Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 11Gegas, Mas Adit berbalik dan bertanya pada ibunya."Iya, Bu, ada apa?""Dicari Pak Sabri itu di depan," ucap Ibu."Pak Sabri? Ada apa, ya?""Katanya mau diajak ke toko yang mau dibuka.""Sekarang?""Ya iya, masa tahun depan." Ibu kemudian keluar dari kamar setelah menjawab. Menyisakan aku dan suami yang masih berada di kamar."Mas pergi dulu, ya, Dek. Nanti pengin dibawain oleh-oleh apa?" Suamiku berkata seraya menangkupkan tangan di wajahku. "Ehm, pengin rujak aja, deh.""Oke, nanti Mas beliin. Tapi nggak boleh yang pedes, ya ….""Oke.""Jangan capek-capek, jam makan siang nanti Mas pulang."Aku mengangguk, kemudian mengantar kepergian suamiku sampai di teras. "Ngapain masih di sini? Tuh, cuci bajunya!" perintah Ibu sinis. Segera, aku berbalik kemudian menuju ke kamar mandi.Mood yang bagus benar-benar membuatku semangat untuk menjalani aktivitas. Bahkan tanpa terasa hari sudah beranjak siang ketika aku menyelesaikan pekerjaan rumah.
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 12Aku punya buktinya, sekarang aku akan perlihatkan video ini pada Mas Adit. Kalau Mas Adit masih membela, maka siap-siap kalian masuk penjara.Aku kemudian berbalik, mengendap jangan sampai kalau ibu dan Mbak Ani tahu kalau aku sudah merekam apa yang mereka lakukan. Kamar menjadi pilihan yang tepat untukku. Aku tinggal menunggu panggilan dari ibu sesuai dengan apa yang mereka rencanakan. "Ai … Ai …." Nah, itu dia suara ibu sudah terdengar memanggilku. "Iya, Bu," jawabku juga dengan sedikit berteriak. Aku segera beranjak tapi sebelum itu aku menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. "Oke, kita ikuti permainan kalian. Jangan dipikir aku lemah, jangan dipikir aku tidak bisa melawan," kataku sebelum aku melangkah. "Ai …!" "Iya, Bu, ini Ai lagi jalan," sahutku ketika aku baru sampai di dapur— ruang penghubung antara kamar mandi dan rumah. Kamar mandi letaknya berada di paling belakang dari rumah. "Ada apa, Bu?" tanyaku ketika sud
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 13"Aduh! Pinggangku!" pekik Ibu. "Dit, gimana ini? Apa kita bawa saja ke rumah sakit?" "Kita bawa Ibu ke kamar dulu," jawab suamiku. Sialan mereka! Sengaja mereka pasti mengalihkan perhatian agar Mas Adit tidak fokus pada rekaman yang aku punya. Mereka kemudian memapah Ibu, tidak mempedulikan aku yang kini tengah berdiri di antara mereka. Dikira aku patung kali ya? Aku tidak akan diam, terus saja aku membuntuti mereka hingga akhirnya mereka masuk ke dalam kamar ibu. "Mas, ayo lihat rekamannya. Biar jelas siapa yang benar-benar bersalah di sini. Aku juga tidak terima jika justru akulah yang difitnah," kataku dengan penuh keyakinan."Dit, nanti saja lihatnya. Ibu lagi kesakitan kaya gini, loh," sergah Mbak Ani yang aku yakin saat ini mereka sedang merasa ketakutan."Sekarang aja, Mas … ngapain tunggu nanti? Mbak takut ya, kalau sampai suamiku melihat rekamannya?"Mbak Ani terlihat salah tingkah, dia yang duduk di samping Ibu yang tenga
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 14"Perbesar masalah? Tadinya aku pikir kalau Mas Adit bisa lebih bijaksana mungkin aku akan mengambil jalan damai tapi sepertinya itu hal yang mustahil. Oke, kalau tidak mau melihat rekamannya, biar polisi langsung yang melihatnya. Bagaimana?"Aku melihat bagaimana Mas Adit dan juga Mbak Ani bereaksi setelah aku dengan lantang bilang jika akan melaporkan ke polisi. Bukankah bukti sudah cukup kuat untuk menyeret Mbak Ani dan ibu?"Dit, lihat sendiri bukan kelakuan istri kamu? Kita sedang berduka, tapi dia sangat egois!" seru Mbak Ani."Mbak, aku tidak egois, yang egois itu kalian! Sudah egois, jahat lagi!""Stop!" hardik Mas Adit, "bisa nggak kalian nggak bertengkar lagi? Masalah kaya gini saja jadi melebar kemana-mana. Dek, kirim video itu ke nomor Mas, nanti Mas lihat. Gimana?""Ta–tapi, Dit?" sanggah Mbak Ani. Namun, Mas Adit segera mengode dengan menggelengkan kepalanya, tanda jika Mas Adit tidak mau disanggah. "Oke, aku kirim video
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 15Tidak, aku tidak boleh suudzon, bisa jadi mereka punya kepentingan. Iya, itu saja. Bunda Izza dan Mas Arif hanya punya kepentingan. Titik, nggak lebih. "Ya sudah, sekarang Dena kumpul sama teman-teman yang lain ya, sebentar lagi kita senam bersama terus olahraga." Tidak ingin aku semakin jauh berpikiran, lebih baik aku alihkan dengan pekerjaan saja. Toh kalaupun ada apa-apa itu urusan pribadi mereka. Bukan urusanku.Anak-anak kini sudah berbaris rapi di lapangan sekolah. Tak lama setelahnya musik senam terdengar. Aku berdiri di depan, mulai melakukan gerakan senam dan diikuti oleh anak-anak. Setelah itu, dilanjutkan dengan permainan kucing-kucingan bersama anak-anak. Tawa dan teriakan anak-anak riang terdengar. Rasanya begitu damai mendengarnya. Nak, suatu hari nanti kamu akan seperti mereka. Belajar dan bermain bersama. Sehat-sehat, ya …. Aku mengelus perutku seolah berkata pada janin yang belum aku ketahui usianya. "Bu Ai, kenapa
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru Bab 16"Pe–rut–ku sa–kit," jawabku dengan sisa tenaga, dan setelahnya aku tidak tahu apa yang terjadi. Pandanganku gelap diiringi suara pekikan dari Mas Reza yang memanggil namaku. "Na, bertahanlah … kamu wanita yang kuat, kamu wanita yang hebat." Perlahan aku mendengar suara. Tubuhku pun rasanya berguncang. Namun, rasa sakit pada perutku kembali mendera."Sa–kit," rintihku."Iya, Na, tahan dulu ya, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit." Setelah itu, aku tak lagi bersuara, rasa sakit pada perutku lebih fokus daripada yang lainnya. "Kita sampai, aku keluar dulu." Terdengar suara pintu mobil dibuka, dan tidak lama berselang pintu mobil dibuka dan tubuhku dibopong oleh Mas Reza. Selanjutnya aku merasakan jika tubuhku kini sudah berpindah seperti di atas ranjang kemudian mulai didorong dengan cepat. "Bapak tunggu di luar, biar dokter yang memeriksa," ucap seseorang sebelum aku dibawa masuk ke ruangan yang serba putih. "Dokter, pasien pin
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 17"Maksud Mbak Ani apa? Apa Mbak Ani berharap kalau Ai keguguran?"[ Udahlah, Mbak sibuk lagi masak buat kirim doa. Nanti Mbak sampein sama Adit ]Tuuut!Lagi-lagi Mbak Ani memutus sambungan telepon secara sepihak. Dasar nggak sopan."Tadi siapa yang kamu telepon?" Mas Reza bertanya seraya menerima ponsel yang aku serahkan. Aku lupa kalau dia mengeraskan suara pada ponselnya, dia pasti mendengar semuanya."Kakak iparku.""Apa kamu baik-baik saja, Na? Apa keluarga suamimu baik sama kamu?""Ba–baik. Mereka baik," jawabku seraya tersenyum kecut."Jangan berbohong, Na. Berbohong bukan keahlianmu. Kita adalah sahabat, berbagilah cerita denganku agar kamu tidak memikulnya sendirian.""Aku–" "Permisi, pasien akan segera dipindahkan ke ruang perawatan. Bisa minta data diri pasien? Sama sekalian mau pilih kamar yang mana?" Syukurlah ada perawat yang datang jadi aku tidak menjawab pertanyaan dari Mas Reza."KTPku ada di tas," jawabku. "Kalau beg
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 19"Nggak tahu, mungkin masih sibuk di rumah pakdenya.""Apa kamu sudah hubungi lagi?""Sudah, tapi nomornya justru tidak aktif.""Tidak aktif? Apa ada nomor selain suami kamu yang bisa dihubungi?" Aku menggeleng, karena nyatanya memang baik nomor Mas Adit, Mbak Ani bahkan ibu semuanya tidak aktif. Entah kenapa mereka kompak sekali. "Ya sudah, nggak usah sedih. Aku akan terus di sini menjagamu.""Mas kalau mau keluar, keluar saja. Aku nggak apa-apa. Aku sudah lebih baik.""Aku mau di sini saja.""Terus, kerjaan Mas gimana?""Gampang, aku tinggal terima laporan saja."Aku mengangguk dan tidak ingin ikut campur terlalu jauh. Memang aku tidak terlalu paham dengan apa pekerjaan dari Mas Reza tapi seringkali ponselnya berbunyi dan jika malam hari Mas Reza akan sibuk di depan laptopnya.***Malam ini aku tidak bisa tidur, entah kenapa yang ada di dalam pikiranku justru asinan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam tapi mata ini masih seg
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 74"Ampuni saya, Bu Ai … ampuni saya … lihatlah istri saya … bagaimana nasibnya jika saya nantinya dipenjara?" Pak Jajang terus memohon. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dan meluncur dengan deras."Pak Jajang, lalu bagaimana dengan saya? Apa Pak Jajang pikir saya tidak sedih kehilangan anak saya?"***Aku mengatakan dengan suara yang bergetar. Hati ini rasanya sangat sakit mendengar permohonan dari laki-laki yang masih bersimpuh. Aku berusaha untuk sekuat tenaga menahan perih di hati. "Bu Ai … saya tahu sekali dengan perasaan Bu Ai, tapi saya mohon Bu Ai …." Kembali Pak Jajang mengiba, namun hati ini rasanya tidak bisa menerima permohonannya. "Maaf, Pak Jajang … saya tidak bisa," jawabku. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan? Setelah semua yang terjadi, setelah keadilan tidak berpihak denganku, setelah dengan mudahnya dia memberikan kesaksian palsu kini dengan muda
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 73"Kenapa?""Ultraman bahaya kalau lagi lapar. Kalau udah jadi Nyonya Ultraman jangan sampai bikin dia kelaparan pokoknya," celetuk Bu Eli. Sore itu aku dibantu Bu Eli untuk memasak makan malam. Daftar makanan yang diminta oleh Mas Reza akhirnya selesai dimasak sebelum maghrib. Lantas kami semua sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu sebelum makan malam. ***Esoknya aku tengah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Mas Reza sudah siap menjemput, kali ini Ibu ikut menemani. Namun, baru saja hendak masuk ke mobil langkah kami dicegat oleh seseorang."Bu Ai, tunggu!" teriaknya seraya terus berlari. Mas Reza yang sudah di dalam mobil pun ikut keluar demi melihat siapa yang sudah memanggilku. "Pak Jajang? Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyaku heran. Dia yang kemarin bungkam kini tiba-tiba mendatangiku. Penasaran aku, ada niat apa sebenarnya. "A–anu, Bu Ai … bisakah ikut saya?" "Ikut Pak Jajang? Ke mana? Terus tahu dari mana tempat tinggal saya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 72Pak Jajang yang belum menyadari kehadiranku masih memilih buah apel di depannya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya."Pak Jajang … lagi belanja?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya. Dia yang terlihat terkejut dengan kedatanganku bahkan menjatuhkan apel yang berada di tangannya."Bu … A–Ai," ucapnya tercekat. Dia bahkan terlihat menelan ludah setelahnya. Terlihat dari jakunnya yang naik turun."Iya, ini saya. Kenapa? Kaget?"Laki-laki itu bergeming. "Atau merasa bersalah?" lanjutku bertanya. Kutatap dari ujung kepala sampai ujung kaki laki-laki yang berpenampilan sederhana itu. Tidak ada yang berubah, masih sama. "Saya harus pergi, permisi," ucapnya."Tunggu!" sergahku. "Saya belum selesai bicara, Pak Jajang." Dia yang sedianya akan melangkah urung melakukannya. Kembali dia berhadapan denganku."Kenapa Pak Jajang memberikan kesaksian palsu?" tanyaku seraya menatap tajam padanya. Dia tetap menunduk tanpa berani membalas ta