Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 19"Nggak tahu, mungkin masih sibuk di rumah pakdenya.""Apa kamu sudah hubungi lagi?""Sudah, tapi nomornya justru tidak aktif.""Tidak aktif? Apa ada nomor selain suami kamu yang bisa dihubungi?" Aku menggeleng, karena nyatanya memang baik nomor Mas Adit, Mbak Ani bahkan ibu semuanya tidak aktif. Entah kenapa mereka kompak sekali. "Ya sudah, nggak usah sedih. Aku akan terus di sini menjagamu.""Mas kalau mau keluar, keluar saja. Aku nggak apa-apa. Aku sudah lebih baik.""Aku mau di sini saja.""Terus, kerjaan Mas gimana?""Gampang, aku tinggal terima laporan saja."Aku mengangguk dan tidak ingin ikut campur terlalu jauh. Memang aku tidak terlalu paham dengan apa pekerjaan dari Mas Reza tapi seringkali ponselnya berbunyi dan jika malam hari Mas Reza akan sibuk di depan laptopnya.***Malam ini aku tidak bisa tidur, entah kenapa yang ada di dalam pikiranku justru asinan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam tapi mata ini masih seg
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 20Bab "Bogor.""Bogor? Jauh banget," jawabku tidak percaya. Setidaknya tiga jam bolak-balik jika harus ke Bogor. Sontak aku melihat ke arah jam dinding yang berada di atas pintu. Ya Tuhan, sudah jam dua pagi. "Aku sudah berusaha mencari di kota ini tapi nggak ada, terus jadilah ingat Bogor. Bogor kan banyak asinan.""Maaf, aku sudah merepotkanmu." Aku merasa tidak enak hati dengan Mas Reza. Demi asinan yang aku inginkan tengah malam dia harus ke Bogor. Bukan dia yang membuatku nyidam taoinjustru dialah yang menuruti keinginanku."Siapa yang direpotkan? Kita kan sahabat, lagian aku juga kepengin asinan. Ayo, kita makan bareng." Akhirnya asinan yang aku inginkan kemudian aku santap. Namun, baru beberapa suap justru rasa mual yang timbul dan selepas itu justru aku memuntahkan isi perutku. Rasanya perutku sangat kaku dan tenggorokan ini terasa pahit. Lagi-lagi Mas Reza yang merawatku, dia tidak jijik membersihkan muntahanku bahkan dia haru
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 21"Bukankah kata Mbak Ani pendarahan itu biasa?""Terus saja percaya sama Mbak Ani. Aku hampir kehilangan nyawa anakku dan kamu bilang biasa! Tega sekali kamu, Mas! Setelah anak ini lahir, ceraikan aku!"Akhirnya kata-kata yang selama ini aku pendam keluar. Rasanya aku sudah menyerah menghadapi sikap Mas Adit dan keluarganya. "Dek, ngomong apa kamu?" Mas Adit mendekat kemudian memegang bahuku. "Istighfar, Dek.""Mas yang istighfar! Selama ini, apa Mas pernah membelaku? Mengerti bagaimana perasaanku? Dan sekarang ketika aku pendarahan justru dibilang hal yang biasa! Bagaimana kalau aku keguguran? Apa itu hal yang biasa juga?""Nggak Dek, maafkan Mas yang tidak tahu.""Keputusanku sudah bulat, ceraikan aku!"Tidak disangka, Mas Adit justru meraih tubuhku dan memeluk. "Lepas, Mas!""Nggak, Dek … Mas nggak akan lepasin.""Buat apa aku bertahan kalau tidak ada yang menyayangiku?""Mas sayang sama kamu, Dek," jawab Mas Adit seraya mengurai p
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 22"Dena, masuk kamar Tante," perintahku pada Dena yang sedang menatapku dan juga ibunya. Seketika, Dena berlari menuju ke kamar. Setelah memastikan Dena sudah berada di kamar, aku kemudian mulai mengutak-atik ponsel milik Mas Adit. "Itu hp Adit, mau kamu apain?" tanya Mbak Ani dengan raut wajah yang sudah pucat. Aku bergeming, tidak menjawab dan setelahnya layar ponsel yang sudah menyala aku perlihatkan pada Mas Adit."Lihat, Mas, hpmu menyala dan semuanya baik-baik saja." Kuperlihatkan juga menu-menu pada ponselnya dan semuanya berjalan normal. Mas Adit kemudian mengambil ponsel miliknya dan mulai mengutak-atiknya."Loh, itu … jadi, kemarin mati total, loh, Dit," ucap Mbak Ani yang tentu saja hanya alasan. "Bener, kan, Bu?" Beralih pada ibu yang masih duduk, beliau juga sedang memandang kami yang tadinya berebut ponsel seperti anak kecil."I–iya. Kemarin mati," jawab Ibu gelagapan."Masa, Bu? Atau kalian sengaja ngumpetin hp Mas Adit?
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 23"Apa-apaan kamu, Dek? Bukankah sudah Mas bilang, kalau Mas nggak akan ceraikan kamu?" Mas Adit memohon, dia mengusap bahuku."Aku sudah tidak tahan berada di rumah ini, Mas. Lama-lama aku bisa gila!" sentakku, "dari dulu aku selalu diam, selalu nurut dengan semua permintaan Ibu. Bahkan aku rela semua uang gajiku untuk keperluan rumah, tapi sepertinya itu tidak ada artinya.""Wajar dong, kalau kamu ikut bantu keperluan rumah, orang ini rumah ibu. Kamu itu cuma numpang di sini," sinis Mbak Ani."Oke, kalau begitu aku akan pergi dari rumah ini.""Silahkan, pintu selalu terbuka buat kamu. Jangan lupa semua baju juga dibawa. Aku nggak mau rumah ini kotor kalau ada barang-barang kamu!""Siap, Mbak … tapi Mbak jangan lupa, setelah ini Mbak dan juga Ibu pindah tinggal di balik jeruji besi. Kalian tidak lupa kan tentang video rekaman itu?" Aku tersenyum mengatakannya. Aku justru senang jika harus keluar dari rumah ini. Walaupun aku tidak tahu h
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 24Ancaman yang dilayangkan oleh suamiku cukup membuatku terkejut. Baru kali ini aku melihat dan mendengar sendiri jika Mas Adit tak lagi bersikap lembek. Mas Adit sepertinya tidak tahu jika aku tidak punya salinan videonya. Biarlah, setidaknya walaupun tidak ada salinannya tapi bisa digunakan untuk mengancam. Satu minggu … ya, waktu satu minggu ini akan membuktikan bagaimana sikap mereka. "Dit, kamu kejam! Kamu sudah tidak punya perasaan sama ibu! Pikiranmu sudah diracuni oleh wanita sialan itu!" murka Ibu. Wajah Ibu kini sudah memerah, dan aku lihat sendiri bagaimana air mata sudah mengalir di pipinya."Tidak ada yang meracuni pikiranku, Bu. Pokoknya keputusan Adit sudah bulat, satu minggu lagi aku dan Ai akan pergi dari rumah ini," kata Mas Adit."Bagaimana dengan ibu? Siapa yang akan mengurus ibu? Kamu benar-benar tega, Dit mau menelantarkan ibu." Ibu mengatakan diantara isak tangisnya. "Siapa yang akan menelantarkan Ibu? Nggak ada
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 25Oh, iya … saat aku turun dari mobil juga sopir taxi online malah bawa 3 tas dan dia taruh di teras depan. Gegas, aku beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar.Sampai di teras depan, benar saja kalau masih ada 2 tas yang tergeletak di samping pintu."Untung tidak hilang," gumamku. Dua tas itu kemudian aku bawa masuk ke kamar. Satu tas berwarna coklat kemudian aku buka. Terlihat jejeran dus susu ibu hamil dengan jumlah lebih dari 4 berada di dalam tas. Aku mengeluarkan satu per satu. Bukan hanya ada susu tetapi masih ada yang lainnya. Camilan dengan berbagai jenis juga ada dalam tas itu. Ya ampun, banyak banget ini. Batinku. Setelah itu, aku kemudian beralih pada tas berwarna hitam yang ukurannya lebih besar. Bukan … bukan tas tepatnya tapi koper. "Apa ini?" Koper itu asing di mataku. Tidak mungkin ini punya ibu ataupun Mbak Ani, karena aku ingat benar jika mereka tidak punya koper seperti ini. Apa jangan-jangan milik orang lain? Ta
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 26Kamu nggak tahu?" Aku menggeleng. Satu tumpeng nasi kuning dan satu kue ulang tahun yang bertuliskan ucapan selamat dan tertera namaku kini terhidang di atas meja. Pas saat itu juga ponselku berdering. Nama Mas Reza tertera di layar. "Saya jawab telepon dulu, Bu …." Bu Kepsek mengangguk dan mempersilahkan. "Halo, assalamualaikum."[ Waalaikumsalam, selamat ulang tahun, Nana … panjang umur, sehat selalu. Bahagia selalu, ya ….]"Terima kasih. Aku justru lupa kalau aku ultah. Tunggu, apa tumpeng sama kue kamu yang kirim?" [ Ha ha ha, ketahuan ternyata. Sekali lagi, selamat ulang tahun. Bilang saja dari suamimu kalau ditanya sama guru yang lain. Bahagia selalu, Bumil ]Lepas itu Mas Reza mematikan sambungan teleponnya. Hadiah yang bertubi-tubi dari Mas Reza membuatku kaget. Entah, rasa apa yang harus aku keluarkan. Antara senang tapi juga tidak enak. Senang karena ada yang peduli tapi juga tidak enak karena status dia."Ini pasti dari
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 74"Ampuni saya, Bu Ai … ampuni saya … lihatlah istri saya … bagaimana nasibnya jika saya nantinya dipenjara?" Pak Jajang terus memohon. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dan meluncur dengan deras."Pak Jajang, lalu bagaimana dengan saya? Apa Pak Jajang pikir saya tidak sedih kehilangan anak saya?"***Aku mengatakan dengan suara yang bergetar. Hati ini rasanya sangat sakit mendengar permohonan dari laki-laki yang masih bersimpuh. Aku berusaha untuk sekuat tenaga menahan perih di hati. "Bu Ai … saya tahu sekali dengan perasaan Bu Ai, tapi saya mohon Bu Ai …." Kembali Pak Jajang mengiba, namun hati ini rasanya tidak bisa menerima permohonannya. "Maaf, Pak Jajang … saya tidak bisa," jawabku. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan? Setelah semua yang terjadi, setelah keadilan tidak berpihak denganku, setelah dengan mudahnya dia memberikan kesaksian palsu kini dengan muda
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 73"Kenapa?""Ultraman bahaya kalau lagi lapar. Kalau udah jadi Nyonya Ultraman jangan sampai bikin dia kelaparan pokoknya," celetuk Bu Eli. Sore itu aku dibantu Bu Eli untuk memasak makan malam. Daftar makanan yang diminta oleh Mas Reza akhirnya selesai dimasak sebelum maghrib. Lantas kami semua sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu sebelum makan malam. ***Esoknya aku tengah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Mas Reza sudah siap menjemput, kali ini Ibu ikut menemani. Namun, baru saja hendak masuk ke mobil langkah kami dicegat oleh seseorang."Bu Ai, tunggu!" teriaknya seraya terus berlari. Mas Reza yang sudah di dalam mobil pun ikut keluar demi melihat siapa yang sudah memanggilku. "Pak Jajang? Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyaku heran. Dia yang kemarin bungkam kini tiba-tiba mendatangiku. Penasaran aku, ada niat apa sebenarnya. "A–anu, Bu Ai … bisakah ikut saya?" "Ikut Pak Jajang? Ke mana? Terus tahu dari mana tempat tinggal saya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 72Pak Jajang yang belum menyadari kehadiranku masih memilih buah apel di depannya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya."Pak Jajang … lagi belanja?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya. Dia yang terlihat terkejut dengan kedatanganku bahkan menjatuhkan apel yang berada di tangannya."Bu … A–Ai," ucapnya tercekat. Dia bahkan terlihat menelan ludah setelahnya. Terlihat dari jakunnya yang naik turun."Iya, ini saya. Kenapa? Kaget?"Laki-laki itu bergeming. "Atau merasa bersalah?" lanjutku bertanya. Kutatap dari ujung kepala sampai ujung kaki laki-laki yang berpenampilan sederhana itu. Tidak ada yang berubah, masih sama. "Saya harus pergi, permisi," ucapnya."Tunggu!" sergahku. "Saya belum selesai bicara, Pak Jajang." Dia yang sedianya akan melangkah urung melakukannya. Kembali dia berhadapan denganku."Kenapa Pak Jajang memberikan kesaksian palsu?" tanyaku seraya menatap tajam padanya. Dia tetap menunduk tanpa berani membalas ta