Share

Bab 7 Ultraman

Penulis: Sarinah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru

Bab 7

"Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Adit. Aku mengangguk seraya tersenyum.

"Beneran?" Lagi, Mas Adit bertanya.

"Iya, Mas, aku hamil. Dua garis pada alat itu artinya aku sedang hamil."

"Tidak bisa! Kamu harus gugurkan!"

Suara lantang dari arah pintu sungguh membuatku kaget. Pun dengan Mas Adit yang seketika berdiri. Aku berbalik dari posisi yang tadinya membelakangi pintu kini jadi semakin jelas melihat siapa yang datang.

Ya, wanita dengan memegang gelas besar berisi teh itu adalah ibu. Beliau meletakkan gelas itu di atas meja dan mendekat. Langkah demi langkah membuat posisi kami semakin seakan tidak ada jarak.

Tanpa aku duga, beliau kemudian dengan cepat merebut alat tes kehamilan yang berada di tangan Mas Adit dan meremasnya. Aku tahu jika selama ini Ibu melarangku untuk hamil, tapi aku juga punya naluri. Setiap hari aku bersama anak-anak, setiap hari aku mendengar celotehan mereka, setiap hari juga aku melihat tingkah laku menggemaskan mereka. Bagaimana aku tidak iri melihat semua itu?

"Bu, sebentar lagi Ibu akan punya cucu," ucapku dengan berbinar. Aku berharap Ibu akan luluh jika mendengar kabar inu langsung dariku.

"Tidak sudi aku punya cucu!" Kata-kata Ibu begitu jelas terdengar di telinga. Seketika itu juga perasaan kecewa hadir.

"Kenapa, Bu?"

"Kamu masih tanya kenapa? Lihat diri kamu baik-baik! Apa kamu punya waktu untuk merawatnya nanti? Apa kamu punya uang untuk membiayainya nanti? Punya uang juga nggak sok-sokan mau punya anak, dikira punya anak itu nggak butuh banyak biaya, hah?! Satu lagi, aku nggak mau direpotkan dengan titipan bayi apalagi jika harus mendengar tangisan bayi setiap malam. Brisik!" Astaga, jadi karena itu alasan ibu melarang punya anak? Lagi-lagi tentang uang.

"Tapi Ai sudah hamil, Bu."

"Gugurkan! Kaya gitu aja kok repot!" Ibu menjawab dengan entengnya.

"Astaghfirullah hal adzim, tega sekali Ibu?!"

"Loh, kenapa? Yang tega itu kamu! Sudah tahu ekonomi kurang tapi masih nekad punya anak. Bukankah selama ini Ibu sudah memintamu untuk meminum pil KB? Kenapa bisa kebobolan?" cecar Ibu. Matanya kini menelisik padaku. Sedangkan aku … perasaanku sudah hancur saat ini. Kebahagiaan yang tadinya sangat tergambar jelas seketika sirna dengan ucapan dari ibu mertua.

"Atau kamu memang sengaja tidak meminumnya?"

"Kalau iya, kenapa?" jawab dan tanyaku langsung.

"Dasar pembangkang!"

"Stop!" Mas Adit bersuara. Laki-laki yang sedari tadi diam itu akhirnya mendekat dan kini berada di tengah-tengah antara posisi aku dan Ibu.

"Apa kalian tidak bisa sehari saja tidak bertengkar? Rasanya telinga ini panas dan tidak ada ketenangan di rumah ini," kata Mas Adit. Pandangannya sesekali ke arahku dan sesekali berpindah ke arah Ibu.

"Ibu juga sama, Dit. Kamu tahu sendiri kalau Ibu itu nggak suka dengan pertengkaran, tapi istri kamu ini, loh, selalu memancing keributan," ujar Ibu membuatku tak percaya. Bagaimana bisa Ibu bilang jika beliau tidak suka pertengkaran dan bilang jika aku yang memancing emosi.

"Jadi begitu, Bu? Aku yang selalu memancing emosi? Terus yang tiba-tiba datang ke sini dan melarangku untuk punya anak siapa?"

"Aku! Memangnya kenapa? Pokoknya gugurkan kandungan kamu, titik!"

"Tidak akan pernah. Titik!"

"Berani kamu sama Ibu, hah?!"

"Tentu saja. Aku akan berani jika aku tidak bersalah dan satu lagi, ini anakku akan aku jaga dia dari makhluk yang berani mengganggunya. Makhluk astral memang tidak suka sama bayi."

"Apa kamu bilang? Makhluk astral? Kamu pikir ibu makhluk astral?"

"Ai tidak pernah bilang Ibu adalah makhluk astral tapi Ai bilang jika makhluk yang mengganggu bayi. Sekarang, tanyakan pada diri ibu sendiri Ibu ganggu apa tidak?" Ibu menatapku dengan nyalang, wajahnya merah padam dan bisa aku dengar jika nafasnya kini memburu. Terlihat dari dadanya yang naik turun tidak beraturan. Sedangkan aku … aku berusaha meredam emosi yang sudah timbul sejak awal. Aku manusia biasa yang akan mempertahankan apa yang aku punya. Termasuk sekarang, sekuat tenaga aku akan pertahankan janin yang kini ada di perut.

"Sudah berhenti! Tolong kalian jangan bertengkar lagi. Rasanya kepalaku mau pecah mendengar kalian yang terus bertengkar. Bu … tolong keluar dari kamar, biar Adit yang bicara sama Ai," ucap Mas Adit. Dia kemudian mengusap bahu ibunya lembut dan membalikan badannya. Kemudian perlahan menuntunnya untuk keluar dari kamar.

"Dit, tolong kamu bilangin sama istri kamu itu biar lebih sopan sama Ibu. Hati Ibu rasanya sangat sakit, Dit. Seumur-umur Ibu baru pernah diperlakukan kayak gini. Kamu dan Ani tidak pernah sekalipun membentak sama Ibu, tapi mantu Ibu justru sudah sangat berani." Ibu masih berkata pada anaknya sembari melangkah, dan tentu saja aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas.

"Iya, Bu … iya. Sekarang, Ibu ke kamar dulu istirahat."

"Pokoknya bujuk istri kamu biar mau gugurkan kandungannya. Bukannya Ibu jahat, Dit, tapi Ibu justru kasihan sama kalian. Mau dikasih makan apa anak kalian nanti kalau kalian saja masih kekurangan? Gaji kamu masih pas-pasan, Dit. Coba pikirkan dengan baik." Ibu masih berusaha membujuk, tidak … lebih tepatnya mempengaruhi pikiran dari Mas Adit, tapi aku yakin jika Mas Adit masih punya hati dia pasti akan mendukungku.

"Nanti Adit bilang sama Ai, Bu …."

Apa? Apa maksudnya? Apa artinya Mas Adit akan mendukung Ibunya? Tidak, itu tidak mungkin terjadi. Mas Adit sama sepertiku, ingin secepatnya punya anak.

Dua orang itu kemudian keluar dari kamar menyisakan aku yang masih berdiri mematung. Meratapi bagaimana tadi aku membayangkan dengan indah jika kabar bahagia ini juga akan disambut dengan kebahagiaan, tapi nyatanya justru tidak.

Kesal, aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang, mengusap perutku yang masih rata dan berandai-andai bagaimana perut ini nantinya akan semakin membesar.

Tenang, Nak, Bunda akan selalu menjagamu. Bunda tidak akan membiarkan sesuatu menyakitimu. Batinku.

"Dek," ucap Mas Adit yang kini sudah duduk di sampingku.

"Apa?!"

"Adek, marah?"

"Menurut, Mas?"

"Maaf, Dek … maafkan sikap Ibu. Nanti Mas, akan membujuknya."

"Memangnya bisa? Bukannya Mas akan selalu menuruti keinginan Ibu?" tanyaku tidak yakin dengan ucapan dari Mas Adit. Aku menatap manik mata hitam miliknya, mencoba mencari pembenaran atas kata-katanya. Namun, Mas Adit justru merangkulku dan membawanya dalam pelukan.

"Adek tahu, jika Adek dan Ibu adalah dua wanita yang sangat, Mas cintai? Kalian adalah sumber kebahagiaan, Mas. Jika kalian selalu bertengkar rasanya hati Mas itu sakit," ucapnya, "sebisa mungkin Mas akan penuhi keinginan kalian."

"Termasuk jika aku harus menggugurkan kandungan ini?" Aku mengurai pelukan dan beralih memandang ke wajah suami. Wajah yang tampan dengan hidung mancung yang membuatnya semakin mempesona. Rahangnya kokoh serta yang paling aku suka adalah matanya yang teduh.

Mas Adit diam, tidak menjawab pertanyaan dariku. Pandangannya juga menunduk, apa itu artinya dia juga kan memenuhi permintaan dari Ibu?

"Apa Mas, tidak bahagia jika aku hamil?" cecarku, "jawab, Mas!"

"Bukan, bukan begitu, Dek. Mas sangat bahagia. Sebentar lagi, Mas akan menjadi seorang ayah, tapi … yang dikatakan oleh Ibu ada benarnya juga."

"Maksud, Mas?"

"Ya, kita belum punya penghasilan yang mencukupi untuk anak kita nanti."

"Mas! Anak itu bawa rejeki masing-masing, dan lagi siapa yang bilang penghasilan kita tidak mencukupi? Yang membuat kita selalu kekurangan adalah gaya hidup ibu," jelasku yang sudah mulai kembali terbawa emosi. Bisa-bisanya suamiku sendiri berpikiran sama dengan ibunya.

"Apa-apa sukanya dibeli tapi tidak melihat kondisi keuangan, memaksakan membeli walaupun dengan cara berhutang yang ujung-ujungnya dibebankan pada kita. Coba kalau Ibu nggak kaya gitu, tiap bulan tidak akan pusing dengan tagihan dan cicilan."

"Tapi beliau ibuku, satu-satunya orang tua yang aku punya, Dek. Sebisa mungkin aku akan menuruti keinginannya."

"Termasuk membunuh darah daging kamu sendiri, Mas?" tanyaku penuh penekanan. Tanpa terasa air mata sudah mengalir di pipi, rasanya begitu pedih dan sakit hati ini.

"Bukan begitu, Dek, jangan salah paham."

"Kalau begitu apa? Jelaskan padaku!"

"Mas … mas–"

"Mas apa? Mau bilang, kalau Mas nggak bisa menolak keinginan Ibu?"

"Dek, dengarkan Mas baik-baik dulu."

"Sekarang begini saja, kita pindah dari rumah ini. Bagaimana?"

"Nanti bagaimana dengan Ibu?"

"Nah, kan, sudah aku duga jika Mas tidak akan mau. Sudahlah, Mas … aku capek bicara sama Mas. Jadi laki-laki kok lembek banget. Suami itu harusnya lindungi istri, lindungi anak, ini malah nggak! Sana, minta kelonin sama Ibu atau minta ngempeng saja sekalian!" kataku dengan nada yang cukup tinggi. Tidak bisa lagi aku berkata-kata pada laki-laki yang kini hanya bisa menunduk. Selalu sikapnya seperti ini, setidaknya sebagai laki-laki ada ketegasan darinya. Ini malah tidak.

Menaikkan kedua kaki, aku kemudian tiduran dengan membelakangi posisi suami yang saat ini masih duduk. Lantas aku kemudian mengambil ponsel milikku.

Siapa pelindungku?

Sebagai bentuk kekecewaan aku membuat status pada W******p. Sebenarnya aku tipe orang yang jarang sekali membuat status tapi rasanya kali ini aku ingin mengungkapkan apa yang aku rasa walaupun tidak secara langsung. Setelah itu aku kemudian meletakkan kembali ponsel dan mulai memejamkan mata.

Entah berapa lamanya, mata ini terpejam. Aku terbangun kemudian melihat ke arah layar ponsel milikku. Sudah tengah malam rupanya. Mataku menyipit melihat banyak sekali pesan yang masuk. Satu per satu pesan aku buka, rata-rata dari teman sesama guru yang justru berkomentar pada status yang aku buat.

[ Tumben, Bu Ai bikin status ] Begitu rata-rata isi pesannya. Berbeda dengan satu nomor yang memberikan komentar berbeda.

[ Aku akan selalu jadi pelindung untukmu. Ceritakan padaku, Na, ada apa? Setidaknya jadikan aku sahabatmu. Jangan pernah menyimpan masalahmu sendiri. ]

[ Na ]

[ Nana ]

[ Hey, Ultraman sudah datang. Sudah siap melindungi. Katakan di mana monster jahat yang sudah berani menggangu Nanaku? ]

[ Nana … jangan biarkan Ultraman nganggur ]

Rentetan pesan dari Mas Reza cukup membuatku tersenyum. Selalu saja dia bisa menghiburku, sama seperti dulu.

Rasa haus yang memaksaku untuk segera bangkit dan meletakkan kembali ponsel pada tempatnya. Secepatnya aku beranjak dan melangkah menuju ke dapur. Namun, baru saja aku melangkah keluar kamar, lamat-lamat aku mendengar suara orang yang sedang mengobrol. Sepertinya itu dari arah ruang tamu.

Penasaran, akhirnya aku mengikuti sumber suara. Benar saja, ternyata memang ibu mertua dan Mas Adit yang sedang berbincang. Dari balik tembok aku bisa mendengar jika namaku disebut. Aku mendekat tapi tidak sampai terlihat oleh mereka, menajamkan pendengaran aku mendengarkan dengan baik apa yang mereka bicarakan.

"Dit, bujuk itu istrimu untuk mau menggugurkan kandungannya."

"Maaf, Bu, tapi Adit juga pengin punya anak."

"Iya, Ibu tahu, Ibu ngerti … apa kamu pikir Ibu nggak pengin punya cucu? Ibu itu pengin banget punya cucu, Dit, tapi Ibu juga nggak mau cucu Ibu menderita. Coba nanti kalau anak kamu lahir terus kamu nggak sanggup belikan dia susu, apa kamu nggak kasihan?"

"Tapi, Bu–"

"Kamu, kan, bisa punya anak lagi, Dit. Nanti kalau kamu sudah berkecukupan kamu program lagi sama Ai biar bisa punya anak. Jadi, anak kamu bahagia, tidak kekurangan. Benar, 'kan?"

"Nanti Adit pikirkan, Bu."

"Jangan dipikirkan nanti, pokoknya kamu harus berhasil membujuk Ai. Kamu bisa kan?"

"Iya, Bu."

Apa? Mas Adit mengiyakan? Itu artinya, Mas Adit setuju dengan Ibunya untuk menggugurkan kandunganku? Keterlaluan kamu, Mas!

***

Bab terkait

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 8 Jangan bohong!

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 8"Jangan dipikirkan nanti, pokoknya kamu harus berhasil membujuk Ai. Kamu bisa kan?""Iya, Bu."Apa? Mas Adit mengiyakan? Itu artinya, Mas Adit setuju dengan Ibunya untuk menggugurkan kandunganku? Keterlaluan kamu, Mas!Tak tahan dengan apa yang akan mereka bicarakan kemudian aku menuju ke kamar. Rasa haus yang tadi menyerang kini menguar entah ke mana. Mungkin sudah hilang bersama dengan isak yang tertahan. Kembali ke kamar aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang, menutup kepalaku dengan bantal kemudian menumpahkan apa yang aku rasa.Bu … Ai pengen pulang … Ai kangen sama pelukan Ibu. Batinku menjerit. Saat seperti ini memang hanya pelukan ibu yang sangat aku butuhkan. Hanya saja jarak memisahkan antara aku dan ibu. Pagi menyapa, saat membuka mata tidak kutemukan Mas Adit berada di sisiku. Mungkin dia tidur di depan tv sesuai dengan kebiasaannya jika terjadi sesuatu antara aku dan ibu. Dia akan tidur terpisah denganku. Sebenarnya Mas

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 9 Aku bukan babu!

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 9"Bu Ai." Panggil seseorang yang belum aku ketahui siapa. Sosoknya tertutup badan Mas Reza. Mas Reza kemudian sedikit bergeser hingga akhirnya aku bisa tahu jika yang memanggilku adalah Bu Eli. "Ya, Bu," jawabku."Dipanggil Bu Kepsek.""Iya, saya segera ke sana." Setelah itu, aku melewati begitu saja Mas Reza, dan tidak tahu kapan dia pergi yang jelas saat aku kembali ke kelas dia sudah tidak ada. Baguslah, jadi aku tidak dicecar penjelasan olehnya.Hari semakin siang, saatnya anak-anak untuk pulang. Seperti biasanya aku akan menunggu sampai orang tua murid datang menjemput. Saat itu juga, anak-anak berteriak kegirangan. Aku menoleh ke arah di mana anak-anak saat ini mengerumuni sosok yang memakai kostum superhero. Sosok yang memakai kostum Ultraman itu menari-nari mendekat ke arahku diikuti oleh anak-anak yang berteriak kegirangan. Zivanna yang tangannya berada dalam genggaman tanganku melepaskan tangannya dan ikut dalam kerumunan tema

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 10 Maaf, aku berbohong

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 10Keterlaluan kalian! Janin yang saat ini ada dalam kandunganku adalah cucu dan keponakan kalian. Teganya kalian akan menggugurkannya. Bukankah itu sama saja dengan membunuhnya? Di mana nurani kalian?Dadaku semakin berdegup dengan kencang saat ini, ingin rasanya aku memaki atau sekalian saja aku melabrak dua orang yang masih belum mengetahui keberadaanku. Namun, setelah dipikir-pikir sepertinya itu bukan cara yang baik. Aku tidak akan bertindak bar-bar terlebih dahulu. Oke, kakak ipar dan ibu mertua, aku akan ikuti permainan kalian. Kita lihat saja apa yang akan terjadi. Aku akan berjuang untuk anakku.Niat awal yang sedianya untuk mengambil makanan aku urungkan. Beralih menuju ke kamar, menunggu kedatangan suami dan ingin membicarakan apa yang sudah aku dengar tadi. Setelah menunggu agak lama, laki-laki yang masih memakai seragam kerja masuk ke dalam kamar. Dia kemudian menghampiri dan duduk di sampingku. "Dek, Mas bawain nasi padang.

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 11 Rencana busuk!

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 11Gegas, Mas Adit berbalik dan bertanya pada ibunya."Iya, Bu, ada apa?""Dicari Pak Sabri itu di depan," ucap Ibu."Pak Sabri? Ada apa, ya?""Katanya mau diajak ke toko yang mau dibuka.""Sekarang?""Ya iya, masa tahun depan." Ibu kemudian keluar dari kamar setelah menjawab. Menyisakan aku dan suami yang masih berada di kamar."Mas pergi dulu, ya, Dek. Nanti pengin dibawain oleh-oleh apa?" Suamiku berkata seraya menangkupkan tangan di wajahku. "Ehm, pengin rujak aja, deh.""Oke, nanti Mas beliin. Tapi nggak boleh yang pedes, ya ….""Oke.""Jangan capek-capek, jam makan siang nanti Mas pulang."Aku mengangguk, kemudian mengantar kepergian suamiku sampai di teras. "Ngapain masih di sini? Tuh, cuci bajunya!" perintah Ibu sinis. Segera, aku berbalik kemudian menuju ke kamar mandi.Mood yang bagus benar-benar membuatku semangat untuk menjalani aktivitas. Bahkan tanpa terasa hari sudah beranjak siang ketika aku menyelesaikan pekerjaan rumah.

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 12 Kau jual aku beli

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 12Aku punya buktinya, sekarang aku akan perlihatkan video ini pada Mas Adit. Kalau Mas Adit masih membela, maka siap-siap kalian masuk penjara.Aku kemudian berbalik, mengendap jangan sampai kalau ibu dan Mbak Ani tahu kalau aku sudah merekam apa yang mereka lakukan. Kamar menjadi pilihan yang tepat untukku. Aku tinggal menunggu panggilan dari ibu sesuai dengan apa yang mereka rencanakan. "Ai … Ai …." Nah, itu dia suara ibu sudah terdengar memanggilku. "Iya, Bu," jawabku juga dengan sedikit berteriak. Aku segera beranjak tapi sebelum itu aku menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. "Oke, kita ikuti permainan kalian. Jangan dipikir aku lemah, jangan dipikir aku tidak bisa melawan," kataku sebelum aku melangkah. "Ai …!" "Iya, Bu, ini Ai lagi jalan," sahutku ketika aku baru sampai di dapur— ruang penghubung antara kamar mandi dan rumah. Kamar mandi letaknya berada di paling belakang dari rumah. "Ada apa, Bu?" tanyaku ketika sud

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 13 Ketar-ketir

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 13"Aduh! Pinggangku!" pekik Ibu. "Dit, gimana ini? Apa kita bawa saja ke rumah sakit?" "Kita bawa Ibu ke kamar dulu," jawab suamiku. Sialan mereka! Sengaja mereka pasti mengalihkan perhatian agar Mas Adit tidak fokus pada rekaman yang aku punya. Mereka kemudian memapah Ibu, tidak mempedulikan aku yang kini tengah berdiri di antara mereka. Dikira aku patung kali ya? Aku tidak akan diam, terus saja aku membuntuti mereka hingga akhirnya mereka masuk ke dalam kamar ibu. "Mas, ayo lihat rekamannya. Biar jelas siapa yang benar-benar bersalah di sini. Aku juga tidak terima jika justru akulah yang difitnah," kataku dengan penuh keyakinan."Dit, nanti saja lihatnya. Ibu lagi kesakitan kaya gini, loh," sergah Mbak Ani yang aku yakin saat ini mereka sedang merasa ketakutan."Sekarang aja, Mas … ngapain tunggu nanti? Mbak takut ya, kalau sampai suamiku melihat rekamannya?"Mbak Ani terlihat salah tingkah, dia yang duduk di samping Ibu yang tenga

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 14 Ada yang aneh

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 14"Perbesar masalah? Tadinya aku pikir kalau Mas Adit bisa lebih bijaksana mungkin aku akan mengambil jalan damai tapi sepertinya itu hal yang mustahil. Oke, kalau tidak mau melihat rekamannya, biar polisi langsung yang melihatnya. Bagaimana?"Aku melihat bagaimana Mas Adit dan juga Mbak Ani bereaksi setelah aku dengan lantang bilang jika akan melaporkan ke polisi. Bukankah bukti sudah cukup kuat untuk menyeret Mbak Ani dan ibu?"Dit, lihat sendiri bukan kelakuan istri kamu? Kita sedang berduka, tapi dia sangat egois!" seru Mbak Ani."Mbak, aku tidak egois, yang egois itu kalian! Sudah egois, jahat lagi!""Stop!" hardik Mas Adit, "bisa nggak kalian nggak bertengkar lagi? Masalah kaya gini saja jadi melebar kemana-mana. Dek, kirim video itu ke nomor Mas, nanti Mas lihat. Gimana?""Ta–tapi, Dit?" sanggah Mbak Ani. Namun, Mas Adit segera mengode dengan menggelengkan kepalanya, tanda jika Mas Adit tidak mau disanggah. "Oke, aku kirim video

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 15 Tolong, perutku sakit

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 15Tidak, aku tidak boleh suudzon, bisa jadi mereka punya kepentingan. Iya, itu saja. Bunda Izza dan Mas Arif hanya punya kepentingan. Titik, nggak lebih. "Ya sudah, sekarang Dena kumpul sama teman-teman yang lain ya, sebentar lagi kita senam bersama terus olahraga." Tidak ingin aku semakin jauh berpikiran, lebih baik aku alihkan dengan pekerjaan saja. Toh kalaupun ada apa-apa itu urusan pribadi mereka. Bukan urusanku.Anak-anak kini sudah berbaris rapi di lapangan sekolah. Tak lama setelahnya musik senam terdengar. Aku berdiri di depan, mulai melakukan gerakan senam dan diikuti oleh anak-anak. Setelah itu, dilanjutkan dengan permainan kucing-kucingan bersama anak-anak. Tawa dan teriakan anak-anak riang terdengar. Rasanya begitu damai mendengarnya. Nak, suatu hari nanti kamu akan seperti mereka. Belajar dan bermain bersama. Sehat-sehat, ya …. Aku mengelus perutku seolah berkata pada janin yang belum aku ketahui usianya. "Bu Ai, kenapa

Bab terbaru

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 80 Jalankan rencana

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 79 Aku mau kembali

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 78 Modus

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 77 Ibu peri ngambek?

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 76 Hilangnya nurani

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 75 Kita ke pengadilan

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 74 Permohonan

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 74"Ampuni saya, Bu Ai … ampuni saya … lihatlah istri saya … bagaimana nasibnya jika saya nantinya dipenjara?" Pak Jajang terus memohon. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dan meluncur dengan deras."Pak Jajang, lalu bagaimana dengan saya? Apa Pak Jajang pikir saya tidak sedih kehilangan anak saya?"***Aku mengatakan dengan suara yang bergetar. Hati ini rasanya sangat sakit mendengar permohonan dari laki-laki yang masih bersimpuh. Aku berusaha untuk sekuat tenaga menahan perih di hati. "Bu Ai … saya tahu sekali dengan perasaan Bu Ai, tapi saya mohon Bu Ai …." Kembali Pak Jajang mengiba, namun hati ini rasanya tidak bisa menerima permohonannya. "Maaf, Pak Jajang … saya tidak bisa," jawabku. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan? Setelah semua yang terjadi, setelah keadilan tidak berpihak denganku, setelah dengan mudahnya dia memberikan kesaksian palsu kini dengan muda

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 73 Bagaimana denganku?

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 73"Kenapa?""Ultraman bahaya kalau lagi lapar. Kalau udah jadi Nyonya Ultraman jangan sampai bikin dia kelaparan pokoknya," celetuk Bu Eli. Sore itu aku dibantu Bu Eli untuk memasak makan malam. Daftar makanan yang diminta oleh Mas Reza akhirnya selesai dimasak sebelum maghrib. Lantas kami semua sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu sebelum makan malam. ***Esoknya aku tengah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Mas Reza sudah siap menjemput, kali ini Ibu ikut menemani. Namun, baru saja hendak masuk ke mobil langkah kami dicegat oleh seseorang."Bu Ai, tunggu!" teriaknya seraya terus berlari. Mas Reza yang sudah di dalam mobil pun ikut keluar demi melihat siapa yang sudah memanggilku. "Pak Jajang? Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyaku heran. Dia yang kemarin bungkam kini tiba-tiba mendatangiku. Penasaran aku, ada niat apa sebenarnya. "A–anu, Bu Ai … bisakah ikut saya?" "Ikut Pak Jajang? Ke mana? Terus tahu dari mana tempat tinggal saya

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 72 Berkilah

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 72Pak Jajang yang belum menyadari kehadiranku masih memilih buah apel di depannya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya."Pak Jajang … lagi belanja?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya. Dia yang terlihat terkejut dengan kedatanganku bahkan menjatuhkan apel yang berada di tangannya."Bu … A–Ai," ucapnya tercekat. Dia bahkan terlihat menelan ludah setelahnya. Terlihat dari jakunnya yang naik turun."Iya, ini saya. Kenapa? Kaget?"Laki-laki itu bergeming. "Atau merasa bersalah?" lanjutku bertanya. Kutatap dari ujung kepala sampai ujung kaki laki-laki yang berpenampilan sederhana itu. Tidak ada yang berubah, masih sama. "Saya harus pergi, permisi," ucapnya."Tunggu!" sergahku. "Saya belum selesai bicara, Pak Jajang." Dia yang sedianya akan melangkah urung melakukannya. Kembali dia berhadapan denganku."Kenapa Pak Jajang memberikan kesaksian palsu?" tanyaku seraya menatap tajam padanya. Dia tetap menunduk tanpa berani membalas ta

DMCA.com Protection Status