Share

Bab 4 Pernikahan impian

Author: Sarinah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru

Bab 4

[ Na, aku sudah berhasil. Satu per satu aku mewujudkan impian kita. Aku mewujudkannya untukmu, Na. Aku punya rumah untuk kita, aku punya mobil juga untuk kita dan satu lagi di rumah aku punya kolam renang. Bukankah impianmu dulu punya rumah yang ada kolam renangnya? Kamu mau, kan, hidup bersama denganku? ] Membacanya membuat hatiku semakin teriris. Apa kamu tahu Mas, kamu menceritakan segala impian kita dulu dan kamu mewujudkannya. Sedangkan aku di sini, hidupku dalam kekurangan. Apa aku tinggalkan saja semuanya dan hidup bersamamu? Rasanya aku lelah, capek dengan ini semua.

Tanpa terasa bulir bening sudah mengalir di sudut mata, mengingat betapa berbedanya kehidupanku dan mantan. Aku jadi berandai-andai, kalau saja aku belum menikah mungkin sekarang aku akan langsung mengiyakan permintaan dari Mas Reza. Atau kalau saja dulu aku dan dia tidak berpisah mungkin takdirku akan lain. Tidak kekurangan dan punya mertua seperti sekarang.

Bolehkah aku menyesal? Menyesal dengan keputusanku dulu menerima pinangan Mas Adit yang baru aku kenal selama dua bulan? Padahal jelas aku sudah tahu jika Mas Adit hanyalah seorang kuli di toko bangunan tapi kenapa justru aku jadi terpikat dengan rasa peduli dan perhatian yang diberikannya dulu?

Mas Adit memang penyayang tapi tidak punya banyak uang. Apa aku kurang bersyukur? Kurang bersyukur seperti apa lagi? Aku diam jika Mas Adit memberikan uang untuk ibunya, aku diam ketika ibunya meminta hal-hal yang sebenarnya bukan kebutuhan untuk dibeli walaupun memaksa untuk dicicil. Ditambah dengan sikap kakak ipar yang selalu seenaknya.

Seharusnya dulu aku mendengarkan ucapan ibu. Beliau memintaku untuk memikirkan terlebih dahulu ketika Mas Adit akan melamarku.

"Ai, pikirkan dulu masak-masak. Kamu, kan, baru kenal dua bulan, apa kamu juga sudah mengenal keluarganya?" Begitu yang ibu sampaikan dulu, dan bodohnya aku yang tidak mendengar nasihatnya. Berbeda waktu bersama Mas Reza, ibu sangat setuju dengan hubunganku.

Ah, sudahlah daripada menyesali apa yang sudah terjadi lebih baik aku tidur saja. Besok ada hari yang harus aku lewati dengan kekuatan penuh, mungkin juga aku butuh kekuatan ultraman biar lebih kuat. Namun, sebelum aku tidur terlebih dahulu aku hapus semua chat dari Mas Reza dan mematikan tombol data. Aku tak mau jika tiba-tiba Mas Adit membaca chat dari mantanku.

Mataku terbuka saat bunyi alarm dari ponsel berdering dengan nyaring. Menandakan saatnya untuk berperang dengan aneka cucian dan juga peralatan dapur. Di sampingku Mas Adit masih tertidur lelap. Hal yang pertama aku lakukan adalah merendam cucian. Akan tetapi saat akan mengambil sabun yang aku gantung di tembok kamar mandi tidak kutemukan barang itu. Aku ingat betul kalau sabun dengan berat satu kilo itu masih utuh belum aku buka.

"Cari apa?" Pertanyaan dari ibu yang datang tiba-tiba membuatku kaget, hampir saja aku terjatuh saking kagetnya.

"Ibu ngagetin aja, Ai lagi cari sabun. Perasaan kemarin Ai beli terus digantung di sini. Kenapa sekarang nggak ada?" jawab dan tanyaku dengan heran. Tanganku menunjuk pada tempat di mana sabun itu berada.

"Oh, itu … kemarin dibawa sama Ani," jawab Ibu sukses membuatku tambah kaget.

"Maksudnya dibawa gimana ya?" tanyaku untuk memastikan.

"Nih, yang namanya dibawa itu diambil terus dibawa pulang, masa nggak tahu? Katanya guru kenapa lemot?" sewot Ibu.

"Loh, itu, kan Ai yang beli mau buat nyuci kenapa dibawa?" Masih tak kupercaya dengan apa yang dikatakan oleh ibu. Bagaimana bisa sampai sabun saja sampai dibawa sama Mbak Ani. Keterlaluan! Mending kalau dibawa sekalian sama cuciannya, ini cuciannya ditinggal.

"Ani belum gajian, mau nyuci nggak punya sabun, jadi ya diambil itu sabun. Lagian kenapa, sih kalau diambil? Nggak boleh? Pelit amat!" jelas Ibu. Tangannya bersedekap dan tatapannya tertuju dengan tajam padaku. Sabar Ai, ini masih pagi jangan sampai hanya karena sabun jadi ribut.

"Terus gimana Ai mau nyuci kalau kaya gini caranya, Bu?" Masih dengan kata-kata yang lembut aku berusaha berbicara dengan wanita yang belum beruban walau usianya sudah lebih dari setengah abad.

"Ya direndam dulu, nanti dicuci pakai sabun. Nggak tahu juga hal kaya gitu?"

"Masalahnya yang buat rendam cucian raib, mana bisa nyuci kalau kaya gini. Nggak usah diterangin juga Ai bisa nyuci," sungutku kesal.

"Warung jam segini sudah buka, tinggal beli saja kok repot."

"Ai nggak punya uang," jawabku. Sebenarnya masih ada uang sisa belanja kemarin tapi aku alokasikan untuk beli bensin.

"Minta sama Adit."

"Uangnya Mas Adit, kan sudah buat bayar utang Ibu dan itu adalah uang gaji untuk sebulan ke depan. Sekarang uang itu sudah habis, Ai nggak tahu kita mau makan dari mana."

"Makan itu dari mulut. Udahlah, kamu cari sendiri solusinya. Pokoknya yang Ibu tahu, jatah untuk Ibu harus ada dan tidak boleh kurang. Cicilan juga jangan sampai lupa," tandas Ibu.

"Tapi, Bu—"

"Tidak ada tapi-tapian! Cuci baju sekarang, lalu masak!" Setelah itu, Ibu kemudian keluar dari kamar mandi menyisakan aku yang memendam rasa gondok!

Bugh!

Kutendang ember yang sudah berisi air yang sedianya untuk merendam baju sebagai pelampiasan, setelahnya aku keluar dari kamar mandi. Biarlah nanti saja sepulang mengajar aku mencucinya lagian sekarang di samping nggak ada sabun juga aku sudah bad mood.

Beralih ke dapur, aku mulai menanak nasi dan kubuat telur dadar. Menu sederhana tapi lebih tepatnya seadanya. Nyatanya hanya ada telur empat biji di dalam kulkas.

Pukul tujuh kurang lima belas menit aku sudah siap berangkat, keluar dengan tas punggung serta menenteng map kemudian menuju ke ruang makan bersama dengan Mas Adit yang juga sudah siap pergi bekerja.

Masih dengan suasana dingin, aku tidak mengajak Mas Adit bicara apalagi ditambah tragedi raibnya sabun makin dongkol saja hatiku. Kalau ditanya ya aku jawab kalau tidak ya sudah aku diam.

"Ayo sarapan, Dek," ajak Mas Adit, namun hanya kutanggapi dengan anggukan.

Sepiring nasi dengan sepotong telur dadar sudah terhidang. Bertiga, aku, suami serta mertua sarapan bersama.

"Tante …." Teriakan dari luar disertai gedoran pintu terdengar. Bisa aku tebak siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan Dena. Ibu mertua langsung menghentikan makannya, gegas beranjak dan menuju ke pintu.

"Ai, seperti biasa, Mbak titip Dena." Tanpa salam, Mbak Ani langsung mengucapkan, dan tanpa menunggu jawaban dariku dia kemudian pergi. Dan kejadian seperti kemarin juga terulang kembali. Dena masih memakai baju tidur dan tentu saja belum mandi.

Menarik napas berat, aku melepas sendok yang sedianya akan masuk ke mulut.

"Biar Mas aja yang ngurusin Dena. Adek, lanjut saja sarapan," ucap Mas Adit. Mungkin dia mengerti jika aku merasa berat. Gimana nggak berat kalau tiap pagi dititipkan anak yang baru bangun tidur kemudian memandikan dan juga menyediakan makan. Bukannya tidak ikhlas tapi Mbak Ani juga tidak terlalu sibuk. Anaknya baru 1, suaminya juga kerja di bengkel tidak jauh dari rumah dan lagi berangkatnya siang. Lantas, kenapa Dena ke sini belum siap?

Setelah Dena siap, aku kemudian berangkat. Pun dengan Mas Adit yang juga berangkat ke toko bangunan.

Sampai di gerbang anak-anak sudah ramai. Mereka menyambutku dengan meminta untuk bersalaman. Tampak Bunda Izza sedang duduk sendirian dengan ponsel di tangannya, namun tatapannya justru sesekali melirik ke arah gerbang. Mungkin ada seseorang yang sedang dia tunggu.

Hingga jam masuk, Bunda Izza masih tetap berada di tempatnya. Padahal Izza sendiri sudah berbaris siap untuk masuk ke kelas.

"Nah itu dia," celetuk Bunda Izza yang masih bisa kudengar. Bersamaan dengan itu, terlihat dari arah gerbang Zivanna bersama dengan Mas Reza datang.

"Maaf, Bu, Zivanna terlambat," ucap gadis cilik yang diikat dua.

"Nggak apa-apa, ayo masuk barisan," jawabku seraya mengarahkan.

"Maaf, saya terlambat mengantar, tadi macet," imbuh Mas Reza.

"Tidak apa-apa, ini juga baru mau masuk," jawabku, "Zivanna, ayo salim sama Papa nanti masuk ke kelas." Zivanna menurut, dia kemudian mencium punggung tangan Mas Reza dan mengecup kedua pipinya. Setelahnya, Zivanna kembali masuk ke dalam barisan dan masuk ke dalam kelas.

"Kalau begitu, saya permisi masuk ke dalam kelas," pamitku.

"Tunggu, Na!" Duh, kenapa lagi sama Mas Reza, kenapa selalu saja memanggilku Nana.

"Maaf?" tanyaku seraya melirik posisi Bunda Izza berada.

"Ehm, maksud saya Bu Aisyah," ucap Mas Reza meralat, "saya ada keperluan dengan Ibu. Bisakah nanti saya bertemu?"

"Nanti bisa bicarakan di ruangan saya jika menyangkut anak-anak," jawabku.

"Terima kasih. Kalau begitu saya permisi."

"Tunggu, Papa Zi. Dari tadi itu saya nungguin Papa Zi, kenapa malah dicueki?" protes Bunda Izza.

"Ada perlu apa, ya?"

"Mau nebeng sama Papa Zi, motor saya mogok dari tadi sudah tunggu angkot tapi nggak ada yang lewat. Rumah saya di ujung jalan, pas bukan sekalian sama Papa Zi?" Ya ampun, jadi ini alasan dari tadi Bundanya Izza di sini? Dia ingin ikut bersama dengan Mas Reza? Kalau alasannya angkot, aku rasa itu hanya bualan. Harusnya kalau naik angkot tidak menunggu di dalam sekolah, mana mungkin ada angkot yang masuk ke dalam kelas.

Mas Reza berdiri mematung, mungkin dia sedang bingung dengan permintaan Bunda Izza atau justru dia sedang senang? Entahlah.

"Ayo, Papa Zi." Bunda Izza berdiri sejajar dengan Mas Reza dan setelahnya menarik lengan Mas Reza untuk berjalan bersama. Berjalan seakan terpaksa sesekali Mas Reza menengok ke arahku.

Setelah itu kegiatan mengajar berlangsung. Ada rasa tersendiri ketika berinteraksi dengan anak-anak. Banyak tingkah polos mereka yang membuatku melupakan sejenak peliknya hidup.

Ting

Satu pesan masuk ke ponselku.

[ Na, tolong … aku ingin bicara sama kamu. Sepulang sekolah nanti, aku jemput kamu. Jangan bicara di ruangan kamu, ya …. Tolong ] Pesan dari Mas Reza tidak lupa diberi emot memohon di akhir kalimat.

[ Maaf, nggak bisa ]

[ Ya sudah pokoknya nanti aku tungguin kamu di depan sekolah sampai kamu keluar ]

[ Kalau aku tetap nggak mau gimana? ]

[ Gampang, tinggal aku masuk ke sekolah terus nungguin kamu di depan kelas. Sekalian saja aku ngomong di depan guru yang lain ]

[ Kamu masih sama, sukanya ngancam ]

[ Cintaku juga masih sama. Hanya untuk kamu ]

[ Gombal! ]

[ Siapa yang gombal? Pokoknya nanti aku jemput. Titik! ]

[ Nggak usah, ketemu saja di kios bakso kemarin jam 2 ]

[ Yess. Aku tunggu ]

Keputusan untuk menemuinya akhirnya aku ambil daripada dia nekad menunggu di sekolah.

Waktu untuk pulang tiba, untung saja Dena tadi dijemput oleh Mbak Ani. Segera, aku menuju ke motor matic milikku. Rasanya hatiku berdetak tidak karuan saat ini. Kios bakso menjadi tujuanku.

Sampai di depan kios ternyata justru malah tutup. Mesin motor yang sudah mati dihidupkan kembali, niatku ingin berbelok pergi dari kios. Namun, seseorang justru mengagetkanku.

"Mbak disuruh masuk sama Pak Reza," ucap wanita yang memakai celemek di dada.

"Tapi kiosnya tutup," jawabku ragu.

"Nggak kok, nggak tutup. Tadi ada perbaikan di rolling door jadi ditutup sementara," jelasnya, "ayo masuk."

Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menurut mengikuti langkah wanita itu. Rolling door dibuka sedikit kemudian wanita itu mempersilahkan aku untuk masuk.

Alangkah terkejutnya aku begitu masuk ke kedai. Ruangan yang waktu itu masih berwarna putih polos kini sudah berhias aneka pita besar dan bunga-bunga di setiap sudut. Tepat di hadapanku sudah terbentang karpet merah dengan kanan dan kiri juga dihias mawar merah. Sungguh, aku jadi teringat akan sesuatu.

"Apa ini mirip sama impian pernikahan kamu?" Baru saja aku mengingat, sudah ada seseorang yang berbisik persis dengan yang aku pikirkan. Pernikahan impian dengan karpet merah membentang dan tentu saja mawar merah kesukaan. Sayangnya, pernikahanku dulu hanya pernikahan sederhana sebatas keluarga yang datang.

Mataku semakin terpesona ketika lampu yang tadinya menyala dengan terang kini dimatikan. Lampu hiasan aneka warna menyala, serta musik khas pernikahan seperti di film-film diputar menambah suasana semakin romantis. Aku terlena, saat Mas Reza meraih tanganku, membimbingku melewati karpet merah. Persis seperti sepasang pengantin yang tengah berbahagia.

"Aku mencintaimu, Nana … maukah kamu hidup bersamaku? Kita wujudkan impian kita menjadi keluarga yang bahagia, bersama anak-anak kita nanti."

Apa yang harus aku jawab?

🌹🌹🌹

Related chapters

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 5 Masa lalu

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 5Aku terlena, saat Mas Reza meraih tanganku, membimbingku melewati karpet merah. Persis seperti sepasang pengantin yang tengah berbahagia. "Aku mencintaimu, Nana … maukah kamu hidup bersamaku? Kita wujudkan impian kita menjadi keluarga yang bahagia, bersama anak-anak kita nanti." Apa yang harus aku jawab? Imajinasiku Mas Reza mengatakan hal itu, akan tetapi nyatanya Mas Reza hanya berdiri di sampingku. Dia tidak meraih tanganku, ketika melihat ke bawah kedua tanganku masih dalam posisi semula. Sialan, bagaimana mungkin aku bisa membayangkan sejauh itu? Sadar Ai, sadar …. Aku bermonolog dengan diriku sendiri sampai kupukul kepalaku agar otakku tidak oleng seperti tadi.“Na, ayo,” ajak Mas Reza. “Ke mana?” tanyaku heran.“Ayolah.” Sedikit memaksa, Mas Reza menarik tanganku. berjalan melewati karpet merah dengan hiasan pada kanan dan kiri bunga mawar kini aku sudah sampai di sebuah meja dan kursi yang juga sudah tertata sedemikian rupa.

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 6 Keterlaluan

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 6Aku tidak menjawab, gegas aku melangkah keluar dari ruko. Namun, saat membuka rolling door, justru aku kaget dengan sosok yang berdiri di depan pintu."Mas A–dit."Mati aku! Bagaimana kalau Mas Adit tahu apa yang terjadi di dalam? Batinku.Laki-laki yang memakai kaos kerah berwarna biru dengan nama toko bangunan tercetak lingkaran di dada itu menatapku lekat. Pun denganku yang yang dilanda rasa panik dan gugup. Baru kali ini aku merasakan seperti ini. Mungkin seperti ini rasanya ketika maling akan tertangkap tapi aku bukan maling tentunya. Aku hanya takut jika suamiku mengetahui apa yang terjadi di dalam walaupun aku tahu aku tidak melakukan apa pun. Salahku hanya bertemu dengan Mas Reza yang ternyata adalah mantanku, itu saja.Aku tidak selingkuh … iya aku tidak selingkuh kenapa aku harus takut? Aku hanya takut jika Mas Adit salah paham."Dek, lagi ngapain di sini?" tanya Mas Adit. Matanya mulai menelisik ke dalam kios yang pintunya mas

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 7 Ultraman

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 7"Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Adit. Aku mengangguk seraya tersenyum."Beneran?" Lagi, Mas Adit bertanya."Iya, Mas, aku hamil. Dua garis pada alat itu artinya aku sedang hamil.""Tidak bisa! Kamu harus gugurkan!"Suara lantang dari arah pintu sungguh membuatku kaget. Pun dengan Mas Adit yang seketika berdiri. Aku berbalik dari posisi yang tadinya membelakangi pintu kini jadi semakin jelas melihat siapa yang datang. Ya, wanita dengan memegang gelas besar berisi teh itu adalah ibu. Beliau meletakkan gelas itu di atas meja dan mendekat. Langkah demi langkah membuat posisi kami semakin seakan tidak ada jarak. Tanpa aku duga, beliau kemudian dengan cepat merebut alat tes kehamilan yang berada di tangan Mas Adit dan meremasnya. Aku tahu jika selama ini Ibu melarangku untuk hamil, tapi aku juga punya naluri. Setiap hari aku bersama anak-anak, setiap hari aku mendengar celotehan mereka, setiap hari juga aku melihat tingkah laku menggemaskan mer

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 8 Jangan bohong!

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 8"Jangan dipikirkan nanti, pokoknya kamu harus berhasil membujuk Ai. Kamu bisa kan?""Iya, Bu."Apa? Mas Adit mengiyakan? Itu artinya, Mas Adit setuju dengan Ibunya untuk menggugurkan kandunganku? Keterlaluan kamu, Mas!Tak tahan dengan apa yang akan mereka bicarakan kemudian aku menuju ke kamar. Rasa haus yang tadi menyerang kini menguar entah ke mana. Mungkin sudah hilang bersama dengan isak yang tertahan. Kembali ke kamar aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang, menutup kepalaku dengan bantal kemudian menumpahkan apa yang aku rasa.Bu … Ai pengen pulang … Ai kangen sama pelukan Ibu. Batinku menjerit. Saat seperti ini memang hanya pelukan ibu yang sangat aku butuhkan. Hanya saja jarak memisahkan antara aku dan ibu. Pagi menyapa, saat membuka mata tidak kutemukan Mas Adit berada di sisiku. Mungkin dia tidur di depan tv sesuai dengan kebiasaannya jika terjadi sesuatu antara aku dan ibu. Dia akan tidur terpisah denganku. Sebenarnya Mas

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 9 Aku bukan babu!

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 9"Bu Ai." Panggil seseorang yang belum aku ketahui siapa. Sosoknya tertutup badan Mas Reza. Mas Reza kemudian sedikit bergeser hingga akhirnya aku bisa tahu jika yang memanggilku adalah Bu Eli. "Ya, Bu," jawabku."Dipanggil Bu Kepsek.""Iya, saya segera ke sana." Setelah itu, aku melewati begitu saja Mas Reza, dan tidak tahu kapan dia pergi yang jelas saat aku kembali ke kelas dia sudah tidak ada. Baguslah, jadi aku tidak dicecar penjelasan olehnya.Hari semakin siang, saatnya anak-anak untuk pulang. Seperti biasanya aku akan menunggu sampai orang tua murid datang menjemput. Saat itu juga, anak-anak berteriak kegirangan. Aku menoleh ke arah di mana anak-anak saat ini mengerumuni sosok yang memakai kostum superhero. Sosok yang memakai kostum Ultraman itu menari-nari mendekat ke arahku diikuti oleh anak-anak yang berteriak kegirangan. Zivanna yang tangannya berada dalam genggaman tanganku melepaskan tangannya dan ikut dalam kerumunan tema

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 10 Maaf, aku berbohong

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 10Keterlaluan kalian! Janin yang saat ini ada dalam kandunganku adalah cucu dan keponakan kalian. Teganya kalian akan menggugurkannya. Bukankah itu sama saja dengan membunuhnya? Di mana nurani kalian?Dadaku semakin berdegup dengan kencang saat ini, ingin rasanya aku memaki atau sekalian saja aku melabrak dua orang yang masih belum mengetahui keberadaanku. Namun, setelah dipikir-pikir sepertinya itu bukan cara yang baik. Aku tidak akan bertindak bar-bar terlebih dahulu. Oke, kakak ipar dan ibu mertua, aku akan ikuti permainan kalian. Kita lihat saja apa yang akan terjadi. Aku akan berjuang untuk anakku.Niat awal yang sedianya untuk mengambil makanan aku urungkan. Beralih menuju ke kamar, menunggu kedatangan suami dan ingin membicarakan apa yang sudah aku dengar tadi. Setelah menunggu agak lama, laki-laki yang masih memakai seragam kerja masuk ke dalam kamar. Dia kemudian menghampiri dan duduk di sampingku. "Dek, Mas bawain nasi padang.

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 11 Rencana busuk!

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 11Gegas, Mas Adit berbalik dan bertanya pada ibunya."Iya, Bu, ada apa?""Dicari Pak Sabri itu di depan," ucap Ibu."Pak Sabri? Ada apa, ya?""Katanya mau diajak ke toko yang mau dibuka.""Sekarang?""Ya iya, masa tahun depan." Ibu kemudian keluar dari kamar setelah menjawab. Menyisakan aku dan suami yang masih berada di kamar."Mas pergi dulu, ya, Dek. Nanti pengin dibawain oleh-oleh apa?" Suamiku berkata seraya menangkupkan tangan di wajahku. "Ehm, pengin rujak aja, deh.""Oke, nanti Mas beliin. Tapi nggak boleh yang pedes, ya ….""Oke.""Jangan capek-capek, jam makan siang nanti Mas pulang."Aku mengangguk, kemudian mengantar kepergian suamiku sampai di teras. "Ngapain masih di sini? Tuh, cuci bajunya!" perintah Ibu sinis. Segera, aku berbalik kemudian menuju ke kamar mandi.Mood yang bagus benar-benar membuatku semangat untuk menjalani aktivitas. Bahkan tanpa terasa hari sudah beranjak siang ketika aku menyelesaikan pekerjaan rumah.

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 12 Kau jual aku beli

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 12Aku punya buktinya, sekarang aku akan perlihatkan video ini pada Mas Adit. Kalau Mas Adit masih membela, maka siap-siap kalian masuk penjara.Aku kemudian berbalik, mengendap jangan sampai kalau ibu dan Mbak Ani tahu kalau aku sudah merekam apa yang mereka lakukan. Kamar menjadi pilihan yang tepat untukku. Aku tinggal menunggu panggilan dari ibu sesuai dengan apa yang mereka rencanakan. "Ai … Ai …." Nah, itu dia suara ibu sudah terdengar memanggilku. "Iya, Bu," jawabku juga dengan sedikit berteriak. Aku segera beranjak tapi sebelum itu aku menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. "Oke, kita ikuti permainan kalian. Jangan dipikir aku lemah, jangan dipikir aku tidak bisa melawan," kataku sebelum aku melangkah. "Ai …!" "Iya, Bu, ini Ai lagi jalan," sahutku ketika aku baru sampai di dapur— ruang penghubung antara kamar mandi dan rumah. Kamar mandi letaknya berada di paling belakang dari rumah. "Ada apa, Bu?" tanyaku ketika sud

Latest chapter

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 80 Jalankan rencana

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 79 Aku mau kembali

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 78 Modus

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 77 Ibu peri ngambek?

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 76 Hilangnya nurani

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 75 Kita ke pengadilan

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 74 Permohonan

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 74"Ampuni saya, Bu Ai … ampuni saya … lihatlah istri saya … bagaimana nasibnya jika saya nantinya dipenjara?" Pak Jajang terus memohon. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dan meluncur dengan deras."Pak Jajang, lalu bagaimana dengan saya? Apa Pak Jajang pikir saya tidak sedih kehilangan anak saya?"***Aku mengatakan dengan suara yang bergetar. Hati ini rasanya sangat sakit mendengar permohonan dari laki-laki yang masih bersimpuh. Aku berusaha untuk sekuat tenaga menahan perih di hati. "Bu Ai … saya tahu sekali dengan perasaan Bu Ai, tapi saya mohon Bu Ai …." Kembali Pak Jajang mengiba, namun hati ini rasanya tidak bisa menerima permohonannya. "Maaf, Pak Jajang … saya tidak bisa," jawabku. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan? Setelah semua yang terjadi, setelah keadilan tidak berpihak denganku, setelah dengan mudahnya dia memberikan kesaksian palsu kini dengan muda

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 73 Bagaimana denganku?

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 73"Kenapa?""Ultraman bahaya kalau lagi lapar. Kalau udah jadi Nyonya Ultraman jangan sampai bikin dia kelaparan pokoknya," celetuk Bu Eli. Sore itu aku dibantu Bu Eli untuk memasak makan malam. Daftar makanan yang diminta oleh Mas Reza akhirnya selesai dimasak sebelum maghrib. Lantas kami semua sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu sebelum makan malam. ***Esoknya aku tengah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Mas Reza sudah siap menjemput, kali ini Ibu ikut menemani. Namun, baru saja hendak masuk ke mobil langkah kami dicegat oleh seseorang."Bu Ai, tunggu!" teriaknya seraya terus berlari. Mas Reza yang sudah di dalam mobil pun ikut keluar demi melihat siapa yang sudah memanggilku. "Pak Jajang? Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyaku heran. Dia yang kemarin bungkam kini tiba-tiba mendatangiku. Penasaran aku, ada niat apa sebenarnya. "A–anu, Bu Ai … bisakah ikut saya?" "Ikut Pak Jajang? Ke mana? Terus tahu dari mana tempat tinggal saya

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 72 Berkilah

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 72Pak Jajang yang belum menyadari kehadiranku masih memilih buah apel di depannya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya."Pak Jajang … lagi belanja?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya. Dia yang terlihat terkejut dengan kedatanganku bahkan menjatuhkan apel yang berada di tangannya."Bu … A–Ai," ucapnya tercekat. Dia bahkan terlihat menelan ludah setelahnya. Terlihat dari jakunnya yang naik turun."Iya, ini saya. Kenapa? Kaget?"Laki-laki itu bergeming. "Atau merasa bersalah?" lanjutku bertanya. Kutatap dari ujung kepala sampai ujung kaki laki-laki yang berpenampilan sederhana itu. Tidak ada yang berubah, masih sama. "Saya harus pergi, permisi," ucapnya."Tunggu!" sergahku. "Saya belum selesai bicara, Pak Jajang." Dia yang sedianya akan melangkah urung melakukannya. Kembali dia berhadapan denganku."Kenapa Pak Jajang memberikan kesaksian palsu?" tanyaku seraya menatap tajam padanya. Dia tetap menunduk tanpa berani membalas ta

DMCA.com Protection Status