Nama Mantan di
Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 1Hari ini aku berangkat dengan sedikit tergesa-gesa. Pasalnya, motor yang aku gunakan mogok di tengah jalan. Beruntung, ada bengkel di dekatnya. Sungguh, pemilik bengkel benar-benar memilih tempat yang strategis."Bu Ai, tumben terlambat," sapa Bu Eli."Iya, Bu. Mogok," jawabku seraya meletakkan tas di atas meja."Oh iya, ini daftar calon anak-anak yang akan sekolah. Bu Ai silahkan cek, nanti mereka akan datang." Buku panjang diletakkan Bu Eli di depanku. Segera aku membukanya.Namaku Aisyah Naura Illana, guru honorer di salah satu TK. Bulan ini adalah waktu untuk pendaftaran calon murid baru. Ah, bukan murid sebenarnya, aku lebih suka jika menyebutnya anak-anak TK.Pukul sepuluh aku masuk ke ruangan yang sudah berisi orang tua dan anaknya. Riuh suara anak-anak sangat khas di telinga."Selamat pagi," sapaku."Pagi," jawab mereka serempak. Bersama dengan Bu Eli kami lantas duduk di kursi paling depan berhadapan dengan orang tua dan anaknya. Setelah acara perkenalan, kemudian mulai membagikan seragam sekolah. Satu per satu mulai dipanggil."Ananda Zivanna Ilham." Terakhir, aku memanggil nama yang tertera pada daftar buku. Seragam sudah aku siapkan di meja. Gadis kecil dengan kuncir dua mendekat."Selamat pagi, Bu Guru," ucap gadis kecil itu. Aku menengok mencari pendampingnya, namun tidak kutemukan orang lain di ruangan."Pagi juga Zivanna. Zivanna cantik banget, sama siapa, nih ke sekolahnya?""Sendiri. Tadi diantar sama Mang Udin tapi sudah pulang. Katanya Papah mau datang tapi nggak tahu ada di mana," jelas Zivanna khas dengan suara anak-anak."Wah, Zivanna hebat. Kalau begitu, Zivanna tunggu di sini dulu sampai Papah jemput, ya …."Gadis kecil dengan lesung pipi itu mengangguk. Aku kemudian memintanya untuk duduk di sampingku. Sembari menunggu, aku kemudian mulai menyalin nama anak dan orang tua pada buku arsip.Hingga pada nama terakhir aku harus menajamkan penglihatan ku. Zivanna Ilham nama ayah Rezandy Ilham. Tidak … tidak … ini pasti hanya nama yang sama. Nggak mungkin jika Rezandy Ilham adalah nama orang di masa laluku. Tapi, kalau ternyata benar bagaimana? Berarti gadis kecil di sampingku adalah anak dari mantanku dan dia akan jadi anak didiku?Kutatap lekat Zivanna, apa mungkin ada kesamaan pada wajah Mas Reza. Mata itu? Mata itu sangat mirip dengannya. Ah, jangan begitu Ai, bisa saja memang mirip. Aku mencoba untuk berpikiran positif."Selamat pagi." Suara bariton dari seseorang mengagetkanku. Namun, ada yang lebih mengagetkan setelah aku mendongak. Wajah yang selama tujuh tahun aku lupakan kini tepat berada di depanku. Ya, ternyata memang benar. Ayah dari Zivanna adalah mantanku tujuh tahun yang lalu."Selamat pagi," sahutku setelah aku tersadar dari lamunan."Ka-mu," ucapnya tercekat. Sama sepertiku tadi, dia juga kaget setelah melihatku. Sorot matanya masih sama seperti dulu, penampilannya sudah sedikit berbeda. Jika dulu aku sering bersama dengannya memakai kaos, kini dia datang dengan memakai kemeja putih yang lengannya dia lipat sampai ke siku. Sedangkan parasnya, tidak berubah dari dulu. Tampan."Namanya Bu Guru Aisyah, Pah …," celetuk Zivanna membuyarkan pikiran."Iya, Papah tahu," sahutnya."Saya Aisyah, yang nantinya akan jadi guru sekaligus wali kelas Zivanna. Ini seragam dan mohon formulir ini diisi," jelasku berusaha menetralisir keadaan walaupun di dalamnya jantungku sudah berdetak tidak karuan. Untung saja Bu Eli tadi keluar dari ruangan, jadi tidak ada yang tahu betapa gugupnya aku kali ini.Mas Reza kemudian membungkuk, meraih formulir yang aku serahkan dan mulai mengisinya."Ini." Diserahkannya formulir itu padaku lantas mereka pamit pergi. Sungguh, aku tak menyangka jika aku harus menjadi wali dari anak mantanku."Bu Ai, tadi siapa?" Bu Eli yang masuk ke ruangan langsung bertanya. Dia memang tadi berpapasan dengan Mas Reza saat keluar."Wali murid, kenapa?""Ganteng euy, coba kalau anak sekolah sama orang tuanya. Lumayan buat cuci mata," selorohnya."Bu Eli, gimana kalau tukeran wali kelas? Bu Eli yang jadi wali kelas TK A? Barangkali Bu Eli bisa tuh dekat sama ayahnya Zivanna.""Pengen, tapi … pasti nggak boleh sama Bu Kepsek." Bu Eli kemudian duduk lesu di hadapanku. Kedua tangannya menopang dagu. Aku juga sepemikiran dengannya, Bu Kepsek pasti tidak bisa merubah keputusannya.Pukul empat sore pekerjaan sudah selesai, saatnya untuk kembali ke rumah. Lumayan juga pekerjaan hari ini, biasanya jam dua juga sudah selesai tapi berhubung besok adalah hari pertama anak-anak masuk jadi aku sedikit menghias kelas agar terasa lebih ceria.Motor matik berwarna hitam tinggal satu-satunya yang terparkir. Berulang kali aku mencoba untuk menyalakan mesinnya tapi tetap saja tidak mau hidup, bahkan secara manual juga sudah aku lakukan."Mogok lagi, masa iya aku harus dorong," sungutku sebal. Terpaksa aku mendorong motorku keluar dari sekolah. Bengkel yang aku tuju lumayan jauh, mana sekarang matahari masih semangat bekerja. Kalau kaya gini kulitku bisa-bisa jadi tambah eksotis. Coba kalau aku jadi orang kaya, naik mobil pakai AC jadi nggak dorong motor butut kaya gini.Sampai di bengkel, aku harus menunggu hingga mekaniknya mulai memperbaiki motorku."Lama nggak, Mas?""Lumayan. Ini harus dibongkar dulu mesinnya." Entah hari apa sekarang, pagi mogok siang ketemu mantan sore berakhir di bengkel."Nana." Panggilan itu tidak asing terdengar. Aku hafal betul siapa orang yang memanggilku dengan nama itu. Satu-satunya orang yang memanggilku dengan panggilan Nana hanya dia. Benar dugaanku, Mas Reza kini berdiri di sampingku."Kenapa di sini?" tanyanya menyelidik."Makan!""Wah, baru aku tahu kalau bengkel itu tempat makan. Aku kira bengkel itu tempat buat perbaiki kendaraan.""Nah, itu tahu. Pakai nanya!""Kamu masih sama seperti dulu, Na. Semakin gemes kalau lagi marah." Mataku mendelik mendengar ucapannya. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu."Hei, kita makan yuks, itu ada kios bakso. Makanan favorit kamu, 'kan?" Lagi-lagi dia masih saja ingat dengan apa yang aku sukai."Terima kasih, tapi aku masih kenyang," tolakku.KruyuukDuh, kenapa malah perutku bunyi? Malu-maluin aja, padahal tadi aku bilangnya kenyang."Nah, perut memang nggak bisa bohong. Udah, ayo makan …. Hanya makan bakso aja, Na," bujuknya seraya mendorong tas ransel yang masih berada di punggungku. Mau tidak mau aku mengikutinya.Semangkuk bakso panas aromanya menguar. Makanan berat kesukaan segera aku makan. Memang cuaca dan perut yang kosong sangat mendukung untuk menghabiskan bakso ini."Mau tambah lagi?" tawarnya saat melihat mangkokku yang sudah kosong. Aku menggeleng, kalau bisa bungkus saja. Sepuluh. Ups. Untung saja ucapnya cuma dalam hati."Kamu tambah cantik, Na …. Pipimu yang tembem, sama tingkahmu yang lucu selalu membekas di ingatanku. Rasa ini masih sama seperti dulu.""Maaf, ini sudah sore. Aku mau pulang dulu."Aku tak mau membahas lebih jauh, kuputuskan untuk pergi meninggalkannya.Sampai di bengkel ternyata motorku belum selesai, jadi aku duduk untuk menunggu. Sementara itu, tidak lama setelahnya aku lihat Mas Reza juga pergi dengan mengendarai mobil mewah. Jadi, kamu sekarang sudah sukses, Mas. Batinku.Satu jam kemudian aku sudah sampai di rumah. Laki-laki bergelar suami menyambutku dengan hangat. Tas punggungku diraihnya dan dibawakan masuk."Adek pasti capek, Mas sudah siapkan air hangat untuk mandi," ucap Mas Adit."Makasih, Mas. Kenapa repot-repot?""Nggak repot, 'kan Mas balik duluan nggak ada salahnya masak air buat mandi istri tersayang. Buruan, gih, mandi nanti Mas pijitin."Malamnya suamiku benar-benar memijat kakiku. Aku tahu sebenarnya dia yang lelah bekerja sebagai karyawan di toko bangunan tapi justru sekarang dia yang memijit kakiku. Bayangan Mas Reza justru melintas, keadaannya berbanding terbalik denganku. Dia yang sudah sukses sementara aku masih hidup pas-pasan. Coba kalau aku dulu yang jadi jodohnya. Astaga, mikir apa aku? Di depanku ada laki-laki tulus tapi malah aku berpikir seperti ini. Aku jadi menyesal, tadi sudah makan bakso bareng mantan. Apa aku muntahkan saja, ya?Ponsel di sampingku terus bergetar, segera aku meraih dan membukanya. Ternyata pesan dari grup wali murid. Aku memang membuatnya dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi. Satu per satu pesan aku baca hingga pada bagian akhir satu pesan membuatku terhenyak.[ Selamat malam, Bunda ….] Pesan dari mantan sekaligus wali muridku.🌹🌹🌹Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru Bab 2Ponsel di sampingku terus bergetar, segera aku meraih dan membukanya. Ternyata pesan dari grup wali murid. Aku memang membuatnya dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi. Satu per satu pesan aku baca hingga pada bagian akhir satu pesan membuatku terhenyak. [ Selamat malam, Bunda ….] Pesan dari mantan sekaligus wali muridku. Apa-apaan ini? Mendadak grup menjadi ramai saat mantanku mulai memperkenalkan diri dan juga mengirim fotonya. Memang, dari sekian banyak chat para wali murid mengirimkan foto mereka katanya sebagai bentuk perkenalan. Aku masih menyimak saja chat yang terus datang bergantian.[ Salam kenal Bunda semua. Perkenalkan saya papanya Zivanna. Sepertinya hanya saya yang bukan Bunda ][ Iya, lainnya memang Bunda semua ][ Salam kenal, Papa Zi ] [ Salam kenal juga Papa Zi, saya Bundanya Izza nantinya kita akan sering bertemu. Saya single parents. ]Duh, baca chat itu aku jadi malu sendiri. Bundanya Izza adalah seorang ora
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru Bab 3"Nah, ini dia …, ambil saja motornya untuk melunasi hutangku!" ucap Ibu.Apa? Apa-apaan Ibu? Tidak! Aku tidak akan menyerahkan motorku. Lihat saja kalau sampai motorku diambil, aku akan lawan mereka. Enak saja mau ambil motor seenak jidat mereka, gelut juga aku ladenin!Tak terima dengan ucapan dari ibu, segera aku gulung lengan kemeja panjang yang aku kenakan hingga sebatas siku. Tas ransel yang tadinya dipunggung aku lepas dan kutaruh di atas motor. Rasanya tak terima, motor yang kubeli dari hasil jerih payahku selama ini mau dijadikan sebagai pembayaran hutang. Utang juga bukan aku yang ngutang kenapa jadi aku dibawa-bawa?"Kalian mau apa?" tanyaku pada dua orang laki-laki yang masih memandang pada motorku. "Ya mau ambil motor, lah!""Motor siapa yang mau diambil, hah?!""Ai, serahkan saja motornya buat bayar utang ibu. Lagian itu motor, kan, motor Adit juga," sela Ibu dengan wajah datarnya yang tentu saja semakin membuatku bertamb
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru Bab 4[ Na, aku sudah berhasil. Satu per satu aku mewujudkan impian kita. Aku mewujudkannya untukmu, Na. Aku punya rumah untuk kita, aku punya mobil juga untuk kita dan satu lagi di rumah aku punya kolam renang. Bukankah impianmu dulu punya rumah yang ada kolam renangnya? Kamu mau, kan, hidup bersama denganku? ] Membacanya membuat hatiku semakin teriris. Apa kamu tahu Mas, kamu menceritakan segala impian kita dulu dan kamu mewujudkannya. Sedangkan aku di sini, hidupku dalam kekurangan. Apa aku tinggalkan saja semuanya dan hidup bersamamu? Rasanya aku lelah, capek dengan ini semua.Tanpa terasa bulir bening sudah mengalir di sudut mata, mengingat betapa berbedanya kehidupanku dan mantan. Aku jadi berandai-andai, kalau saja aku belum menikah mungkin sekarang aku akan langsung mengiyakan permintaan dari Mas Reza. Atau kalau saja dulu aku dan dia tidak berpisah mungkin takdirku akan lain. Tidak kekurangan dan punya mertua seperti sekarang. Boleh
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 5Aku terlena, saat Mas Reza meraih tanganku, membimbingku melewati karpet merah. Persis seperti sepasang pengantin yang tengah berbahagia. "Aku mencintaimu, Nana … maukah kamu hidup bersamaku? Kita wujudkan impian kita menjadi keluarga yang bahagia, bersama anak-anak kita nanti." Apa yang harus aku jawab? Imajinasiku Mas Reza mengatakan hal itu, akan tetapi nyatanya Mas Reza hanya berdiri di sampingku. Dia tidak meraih tanganku, ketika melihat ke bawah kedua tanganku masih dalam posisi semula. Sialan, bagaimana mungkin aku bisa membayangkan sejauh itu? Sadar Ai, sadar …. Aku bermonolog dengan diriku sendiri sampai kupukul kepalaku agar otakku tidak oleng seperti tadi.“Na, ayo,” ajak Mas Reza. “Ke mana?” tanyaku heran.“Ayolah.” Sedikit memaksa, Mas Reza menarik tanganku. berjalan melewati karpet merah dengan hiasan pada kanan dan kiri bunga mawar kini aku sudah sampai di sebuah meja dan kursi yang juga sudah tertata sedemikian rupa.
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 6Aku tidak menjawab, gegas aku melangkah keluar dari ruko. Namun, saat membuka rolling door, justru aku kaget dengan sosok yang berdiri di depan pintu."Mas A–dit."Mati aku! Bagaimana kalau Mas Adit tahu apa yang terjadi di dalam? Batinku.Laki-laki yang memakai kaos kerah berwarna biru dengan nama toko bangunan tercetak lingkaran di dada itu menatapku lekat. Pun denganku yang yang dilanda rasa panik dan gugup. Baru kali ini aku merasakan seperti ini. Mungkin seperti ini rasanya ketika maling akan tertangkap tapi aku bukan maling tentunya. Aku hanya takut jika suamiku mengetahui apa yang terjadi di dalam walaupun aku tahu aku tidak melakukan apa pun. Salahku hanya bertemu dengan Mas Reza yang ternyata adalah mantanku, itu saja.Aku tidak selingkuh … iya aku tidak selingkuh kenapa aku harus takut? Aku hanya takut jika Mas Adit salah paham."Dek, lagi ngapain di sini?" tanya Mas Adit. Matanya mulai menelisik ke dalam kios yang pintunya mas
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 7"Kamu hamil, Dek?" tanya Mas Adit. Aku mengangguk seraya tersenyum."Beneran?" Lagi, Mas Adit bertanya."Iya, Mas, aku hamil. Dua garis pada alat itu artinya aku sedang hamil.""Tidak bisa! Kamu harus gugurkan!"Suara lantang dari arah pintu sungguh membuatku kaget. Pun dengan Mas Adit yang seketika berdiri. Aku berbalik dari posisi yang tadinya membelakangi pintu kini jadi semakin jelas melihat siapa yang datang. Ya, wanita dengan memegang gelas besar berisi teh itu adalah ibu. Beliau meletakkan gelas itu di atas meja dan mendekat. Langkah demi langkah membuat posisi kami semakin seakan tidak ada jarak. Tanpa aku duga, beliau kemudian dengan cepat merebut alat tes kehamilan yang berada di tangan Mas Adit dan meremasnya. Aku tahu jika selama ini Ibu melarangku untuk hamil, tapi aku juga punya naluri. Setiap hari aku bersama anak-anak, setiap hari aku mendengar celotehan mereka, setiap hari juga aku melihat tingkah laku menggemaskan mer
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 8"Jangan dipikirkan nanti, pokoknya kamu harus berhasil membujuk Ai. Kamu bisa kan?""Iya, Bu."Apa? Mas Adit mengiyakan? Itu artinya, Mas Adit setuju dengan Ibunya untuk menggugurkan kandunganku? Keterlaluan kamu, Mas!Tak tahan dengan apa yang akan mereka bicarakan kemudian aku menuju ke kamar. Rasa haus yang tadi menyerang kini menguar entah ke mana. Mungkin sudah hilang bersama dengan isak yang tertahan. Kembali ke kamar aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang, menutup kepalaku dengan bantal kemudian menumpahkan apa yang aku rasa.Bu … Ai pengen pulang … Ai kangen sama pelukan Ibu. Batinku menjerit. Saat seperti ini memang hanya pelukan ibu yang sangat aku butuhkan. Hanya saja jarak memisahkan antara aku dan ibu. Pagi menyapa, saat membuka mata tidak kutemukan Mas Adit berada di sisiku. Mungkin dia tidur di depan tv sesuai dengan kebiasaannya jika terjadi sesuatu antara aku dan ibu. Dia akan tidur terpisah denganku. Sebenarnya Mas
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 9"Bu Ai." Panggil seseorang yang belum aku ketahui siapa. Sosoknya tertutup badan Mas Reza. Mas Reza kemudian sedikit bergeser hingga akhirnya aku bisa tahu jika yang memanggilku adalah Bu Eli. "Ya, Bu," jawabku."Dipanggil Bu Kepsek.""Iya, saya segera ke sana." Setelah itu, aku melewati begitu saja Mas Reza, dan tidak tahu kapan dia pergi yang jelas saat aku kembali ke kelas dia sudah tidak ada. Baguslah, jadi aku tidak dicecar penjelasan olehnya.Hari semakin siang, saatnya anak-anak untuk pulang. Seperti biasanya aku akan menunggu sampai orang tua murid datang menjemput. Saat itu juga, anak-anak berteriak kegirangan. Aku menoleh ke arah di mana anak-anak saat ini mengerumuni sosok yang memakai kostum superhero. Sosok yang memakai kostum Ultraman itu menari-nari mendekat ke arahku diikuti oleh anak-anak yang berteriak kegirangan. Zivanna yang tangannya berada dalam genggaman tanganku melepaskan tangannya dan ikut dalam kerumunan tema
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 74"Ampuni saya, Bu Ai … ampuni saya … lihatlah istri saya … bagaimana nasibnya jika saya nantinya dipenjara?" Pak Jajang terus memohon. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dan meluncur dengan deras."Pak Jajang, lalu bagaimana dengan saya? Apa Pak Jajang pikir saya tidak sedih kehilangan anak saya?"***Aku mengatakan dengan suara yang bergetar. Hati ini rasanya sangat sakit mendengar permohonan dari laki-laki yang masih bersimpuh. Aku berusaha untuk sekuat tenaga menahan perih di hati. "Bu Ai … saya tahu sekali dengan perasaan Bu Ai, tapi saya mohon Bu Ai …." Kembali Pak Jajang mengiba, namun hati ini rasanya tidak bisa menerima permohonannya. "Maaf, Pak Jajang … saya tidak bisa," jawabku. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan? Setelah semua yang terjadi, setelah keadilan tidak berpihak denganku, setelah dengan mudahnya dia memberikan kesaksian palsu kini dengan muda
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 73"Kenapa?""Ultraman bahaya kalau lagi lapar. Kalau udah jadi Nyonya Ultraman jangan sampai bikin dia kelaparan pokoknya," celetuk Bu Eli. Sore itu aku dibantu Bu Eli untuk memasak makan malam. Daftar makanan yang diminta oleh Mas Reza akhirnya selesai dimasak sebelum maghrib. Lantas kami semua sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu sebelum makan malam. ***Esoknya aku tengah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Mas Reza sudah siap menjemput, kali ini Ibu ikut menemani. Namun, baru saja hendak masuk ke mobil langkah kami dicegat oleh seseorang."Bu Ai, tunggu!" teriaknya seraya terus berlari. Mas Reza yang sudah di dalam mobil pun ikut keluar demi melihat siapa yang sudah memanggilku. "Pak Jajang? Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyaku heran. Dia yang kemarin bungkam kini tiba-tiba mendatangiku. Penasaran aku, ada niat apa sebenarnya. "A–anu, Bu Ai … bisakah ikut saya?" "Ikut Pak Jajang? Ke mana? Terus tahu dari mana tempat tinggal saya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 72Pak Jajang yang belum menyadari kehadiranku masih memilih buah apel di depannya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya."Pak Jajang … lagi belanja?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya. Dia yang terlihat terkejut dengan kedatanganku bahkan menjatuhkan apel yang berada di tangannya."Bu … A–Ai," ucapnya tercekat. Dia bahkan terlihat menelan ludah setelahnya. Terlihat dari jakunnya yang naik turun."Iya, ini saya. Kenapa? Kaget?"Laki-laki itu bergeming. "Atau merasa bersalah?" lanjutku bertanya. Kutatap dari ujung kepala sampai ujung kaki laki-laki yang berpenampilan sederhana itu. Tidak ada yang berubah, masih sama. "Saya harus pergi, permisi," ucapnya."Tunggu!" sergahku. "Saya belum selesai bicara, Pak Jajang." Dia yang sedianya akan melangkah urung melakukannya. Kembali dia berhadapan denganku."Kenapa Pak Jajang memberikan kesaksian palsu?" tanyaku seraya menatap tajam padanya. Dia tetap menunduk tanpa berani membalas ta