🌻POV Yuda"Kenapa wajah lo kusut banget, Bro?" Fahreza langsung menghadangku saat sampai di parkiran kantor. Aku baru saja sampai dan baru melepaskan helm di kepala. Tapi Fahreza sudah menodongku dengan pertanyaan barusan. Fahreza yang datang juga dengan motornya, mengambil parkir tepat di sebelah motorku. Sehingga kami bertemu di parkiran ini.Kubenahi rambut yang sedikit berantakan setelah melepas helm, sembari mematut di kaca spion. "Kusut apa sih, lo? Wajah gue ganteng begini!" jawabku padanya.Kini aku dengannya berjalan bersamaan memasuki bangunan kantor. Fahreza di sebelahku mendecak. "Iya, gue tahu kalau elo ganteng. Tapi hari ini beda raut wajah lo. Kek ada beban mengganjal yang gak tersalurkan," celetuknya."Masa, sih?" tanyaku penasaran. Entah apa yang dia maksud dengan mengganjal dan tak tersalurkan. Tapi dari arahnya, sepertinya obrolan ini akan mengarah pada aktivitas ranjang."Hu'um. Tuh urat-urat di dahi lo kenceng banget keliatan. Darah putih lo naek, terus kumpul se
Aku menggeleng cepat. Memfokuskan kembali pikiranku lalu menghadap pada layar laptop.Jika terus mengingatnya, yang ada aku ingin segera pulang. Meski tiga hari ke depan. Aku masih harus berpuasa.Memang nasib.*** ***Lima hari berlalu.Kantor sedang mendapatkan proyek besar. Seluruh staff diharuskan lembur. Sudah lima hari, aku pulang ke rumah menyentuh di angka sembilan.Aku bahkan melupakan, malam pertama yang sudah terlewat beberapa hari. Ditambah Hilma yang sedang datang bulan. Membuatku tidak lagi terlalu mengingat. Tubuhku selalu lelah saat tiba di rumah. Disambut makan malam oleh masakannya yang memanjakan lidah, membuatku jadi lebih cepat tidur.Seperti malam ini. Arloji di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Pekerjaan belum selesai, dan sepertinya aku akan telat pulang.Pundakku sudah lelah. Tapi aku terus menyelesaikan pekerjaanku. Karena besok libur dan pekerjaan harus selesai malam ini.Jariku bergerak cepat sambil teliti dengan laporan di depan layar. Hi
"Yud? Yuda?" Aku tersadar karena kibasan tangan Hilma di depanku."Y-ya?""Kamu udah pulang?" tanyanya lagi.Aku mengangguk seraya berdiri.Aduh. Aku makin menelan ludah sesudah berdiri kini. Karena pandangan ke arah bawah disuguhkan oleh belahan dada yang begitu menggoda.Aku berdehem sembari memalingkan wajah. Walau pada akhirnya, penglihatanku kembali ke sana. "U—udah. Aku ... baru aja pulang." Aku diserang rasa gugup.Hilma nampak mengangguk dan turut berdiri. Membuat pemandangan indah itu semakin nyata."Ehhm. Kamu ... ngapain di sini?" tanyaku kemudian.Hilma tersenyum. Dia menuntun tubuhku lalu mendudukkanku di kursi makan. Sementara Hilma, berdiri menghadapku dengan bobot yang bertumpu di pinggiran meja makan. Aku melirik pada ujung gaun tidurnya yang di atas lutut. Memperlihatkan betis serta lututnya yang putih bersih bak pualam.Aku ... sesak napas.Kutelan ludah. Lalu melepaskan kancing atas kemejaku hingga sedikit longgar."Aku ... tadinya menyiapkan makan malam buat kamu.
🌻POV YudaAku menunduk, lantas menyambar bibir ranumnya itu. Menciumnya pelan dan lembut. Kedua netraku seketika memejam. Merasai manisnya bibir yang tengah kucium ini.Menyesapnya tanpa jeda. Serta melumatnya tak sabar.Berbeda dengan saat aku menciumnya pertama kali. Malam ini, kurasakan Hilma membalas ciumanku.Dia balas dengan memagut bibirku. Membuat hasratku lebih cepat naik.Duh. Hilma benar-benar memberiku kejutan luar biasa.Aku menciumnya semakin dalam. Kedua tanganku turun merengkuh pinggangnya. Merapatkan tubuhnya denganku. Aku terheran, karena Hilma benar-benar bisa menyamai permainan bibirku.Kugigit kecil bibir bawahnya sebelum kulepas."Kamu membalas ciumanku? Sejak kapan kamu bisa berciuman?" tanyaku di antara deru napas yang memburu.Hilma tersenyum. Kedua tangannya bergerak memeluk tengkuk leherku. Menundukkan kepalaku dan dia membuat kening kami beradu."Aku ... belajar," bisiknya pelan."Belajar? Dari mana?" tanyaku masih dengan keheranan yang meliputi.Bibir itu
Hilma yang berada di bawah kungkungan tubuhku ini menggeleng. Tangannya terulur menyentuh kedua pipiku dan menangkupnya."Kamu tidak sedang bermimpi, Yud. Ini ... nyata. Apa kamu tidak bisa membedakan mana kenyataan mana hanya mimpi?" ucapnya lembut.Kuraih tangan kanannya di pipiku, lalu menciumi telapak tangannya yang mulus. "Ini ... terlalu indah."Hilma tersenyum tipis. "Kamu ... berhak atas diriku sebagai seorang istri. Aku ridho atas apa yang akan kamu ambil dariku malam ini, Yud."Hatiku bergetar hebat. Ternyata semua memang hanya soal waktu. Tak hentinya aku menciumi tangan Hilma. "Boleh aku meminta sesuatu, sebelum kita menunaikan ibadah kita malam ini?""Ya, apa?""Panggil aku Honey, Beib, Darling, atau apalah, jangan cuma Yud." Aku merengek pada Hilma.Perempuan berparas teduh ini tertawa kecil. "Apalah arti dari sebuah panggilan?" Hilma bertanya sekenanya."Emm, bagiku tentu sangat berarti.""Begitu?""Hu'um.""Ya sudah, emmm ...." Hilma nampak seperti berpikir."Aku akan
Kuambil body lotion dan menggunakannya sebagai pelumas. Setelah kurasa cukup licin, aku pun bergegas kembali ke atas tempat tidur.Menyusup ke dalam selimut yang sama dengan Hilma dan mengungkung tubuhnya kembali."Izinkan aku mencobanya lagi, ya?" bisikku pada Hilma, meminta izin karena tak tega melihatnya kesakitan seperti tadi.Hilma melirikku dan menganggukkan kepalanya pelan.Setelah mendapat izinnya, kuarahkan tombak milikku kembali pada benteng takeshi yang masih kokoh.Mencoba membobolnya kembali setelah tidak berhasil sejak tadi.Aku kembali menggerakkan tubuh bawahku. Mencoba membuka segel yang masih sangat rapat ini.Sekali, dua kali, masih sulit.Kutarik napas panjang dan dalam. Mengumpulkan tenaga dan mengambil ancang-ancang.Kucoba lagi.Dan ....Srettt!"Awkhhhh ...."Tombak pusaka ku seakan telah merobek sesuatu. Dibarengi dengan jeritan tertahan dari bibir Hilma.Lalu setelahnya, tombak milikku itu mulai bisa ku gerakkan. Meski sempit dan juga terhimpit.Aku menatap H
🌻POV Yuda."Hilma, Sayang?" Aku memanggil Hilma di balik pintu kamar mandi. Tidak ada handuk di sini. Semalam, aku meluruhkannya di lantai dekat ujung bed. Sekarang, setelah aku selesai mandi, tidak ada handuk yang bisa kugunakan karena aku lupa membawa "Yaa, kenapa?" Hilma berdiri di depan kamar mandi."Sayang, aku lupa handuk. Bisa minta tolong ambilkan?" pintaku kemudian."Ohh. Tunggu sebentar!" jawabnya lalu melesat dari depan kamar mandi.Aku menunggunya di balik pintu. Hitungan detik Hilma pun telah kembali dengan handuk baru untukku dan menyodorkannya.Aku sedikit melebarkan daun pintu kamar mandi. Tanganku terulur untuk mengambil handuk dari Hilma. Hingga satu ide terlintas begitu saja di kepalaku.Bukan handuk yang kuambil, melainkan tangan Hilma di bawahnya. Menariknya hingga masuk ke dalam kamar mandi. Lalu kututup pintunya dengan cepat dan tak lupa menguncinya."Ay! Kamu apa-apaan?" Hilma merapatkan punggungnya pada daun pintu. Sedangkan aku tersenyum menyeringai.Aku me
Usai Subuh yang kesiangan, aku langsung melesak ke dapur. Nampak Hilma sudah mengisi kursi makan dan sudah memakai kerudungnya."Hey," sapaku setelah berdiri di sisi kursinya. Aku membungkuk lalu mengecup keningnya."Bikin apa? Tadi apa yang gosong?" tanyaku kemudian setelah mendaratkan kecupan mesra di keningnya."Ini, lagi ngoles roti. Kamu mau pakai selai apa? Tadi itu aku lagi goreng sosis. Gara-gara kamu tahan di kamar mandi, jadinya gosong. Padahal apinya udah aku kecilin. Dasar kamu aja gak ada kerjaan nahan nahan aku di kamar mandi," cerocosnya membuatku ingin tertawa. Baru melihat, saat seorang istri sedang mendumel."Aku mau pakai selai hazelnut aja. Ohh, gitu. Ya aku mana tahu kamu lagi goreng sosis," sahutku seraya menghempas bobot di kursi lain.Hilma nampak cekatan menyiapkan roti kupas dengan isian selai hazelnut seperti permintaanku. Segelas susu vanila pun telah siap."Ya makanya jangan suka aneh-aneh deh, Ay! Mandi, ya mandi aja. Jangan pamer pamer piton kayak tadi.