Berbungkus selimut tebal, aku memandangi Hilma yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Rambutnya panjang tergerai hitam lebat.Aku tersenyum melihat rambutnya yang basah lagi. Karena aku berhasil mengajaknya untuk segera memproduksi adik bayi. Meski awalnya penuh penolakan.Rambut Hilma nampak masih belum kering sepenuhnya. Tetapi dia sudah memasang kerudungnya, lalu berjalan ke samping springbed di mana aku masih terbaring. Jalannya pun nampak berbeda dari sebelum sebelumnya."Aku mau ke kios dulu ya," ucapnya seraya menarik laci nakas, dan mengeluarkan dompet hitam miliknya."Nanti ajalah, agak siangan. Nanti aku yang anter!" cegahku pada Hilma."Ini juga udah siang. Lagian kamu sih bawa aku ke sini. Aku mau pergi sekarang ah, ya?"Aku menggeleng. Merangkak lalu menahan tangan Hilma. "Enggak. Kamu tunggu dulu aku mandi. Pokonya aku bakal anter. Jangan pergi sendiri!"Hilma menarik tangannya dariku, lalu duduk di bibir tempat tidur membelakangiku, seraya menghela napa
POV Hilma.Tubuhku menggigil. Padahal seingatku, aku sudah meminum obat pereda demam. Aku juga sudah merasakan kantuk dan mulai untuk tidur. Tapi, tubuhku tetap menggigil kedinginan.Aku semakin meringkuk di balik selimut. Berharap dingin yang kurasakan bisa sedikit berkurang. Lalu mencoba melanjutkan tidurku di sofa ruang bermain. Yuda sebenarnya sudah mengajakku untuk periksa, tetapi aku ingin meringkuk dulu di sofa ini, tidak kuat dengan hidung yang tersumbat dan kepala pusing.Bangun pagi tadi, aku sudah merasa tidak enak badan. Tenggorokanku sakit dan langsung bersin-bersin. Sampai kemudian hidungku meler dan tersumbat. Rasanya tidak enak dan sangat mengganggu.Seharian kemarin, hampir lima kali aku mandi keramas. Mungkin, itulah sebabnya aku jadi sakit hari ini.Yuda terlalu ganas. Di rumah hanya berdua, membuatnya semakin leluasa memproduksi adik untuk si kembar.Aku tidak lagi bisa menghindar atau menolak. Karena aku sudah terhipnotis akan sentuhan bapak dua orang anak itu. Ba
🌻POV Yuda.Hari demi hari berlalu. Tanpa terasa, tepat hari ini pernikahanku dan Hilma sudah berusia tiga bulan. Aku ingin memperingatinya dengan hadiah kecil-kecilan.Sepulang dari kantor sore ini, aku melipir lebih dulu ke toko kue, toko bunga lalu terakhir toko perhiasan.Pernikahanku bersama Hilma kali ini, terasa begitu berbeda. Aku sungguh-sungguh mencintainya. Rasa yang seharusnya terpatri sejak awal naik ranjang yang kujalani. Hilma sosok yang sempurna, dia cantik, istri yang patuh, lembut tutur kata serta tingkahnya. Nyaris tanpa cela di mataku. Dia mengurusku, rumah, dan kedua putraku teramat baik. Sungguh, aku menjadi lelaki paling beruntung, karena bisa memilikinya lagi. Dan, tidak akan kubiarkan dia pergi lagi dariku.Tiga puluh menit berkendara, kini motorku telah sampai di depan rumah. Berbarengan dengan motor pengendara lain yang celingukan ke arah rumahku."Maaf, Mas. Cari siapa?" tanyaku pada lelaki berjaket yang tak kukenal."Saya kurir, Pak. Mau mengantarkan ini,
************POV Yuda.Mengawali pagi, seusai shalat Subuh, aku bergegas cepat ke dapur. Berkutat menyiapkan sarapan pagi, membereskan dapur dan menyapu seluruh rumah. Aktivitas rutin yang kukerjakan sejak tiga bulan lalu.Kandungan Hilma sudah memasuki usia 16 Minggu. Si kembar akan segera memiliki adik beberapa bulan lagi.Sejak memasuki usia kandungan 8 Minggu, aku menggantikan Hilma beberes rumah. Jika tidak begini, Hilma seringkali mengerjakan pekerjaan rumah ini. Padahal, aku sudah memintanya untuk beristirahat dan tidak perlu mengerjakan apa pun. Tapi, Hilma selalu berdalih, jika dia bosan dan apa yang dikerjakannya bukan pekerjaan berat.Namun, tetap saja aku tidak mau. Aku ingin Hilma benar-benar menjaga kehamilannya. Aku tidak mau Hilma capek dan kelelahan, lalu akan berakibat pada kandungannya. Jadi, aku memutuskan turun gunung dan mengerjakan semuanya sebelum berangkat ke kantor.Seperti pagi ini. Setelah hanya menggoreng telur dadar, sosis, dan juga nugget. Juga menanak n
Aku mendekat pada Hilma yang telah duduk di bibir ranjang. Hilma mengambil minyak kayu putih dari dalam laci nakas dan mendekatkan ke hidungnya."Jangan deket-deket ah," ujarnya ketika aku baru saja duduk di sebelahnya."Terus kalau gak Deket Deket kamu, aku harus Deket siapa?" tanyaku dengan raut memelas.Karena yang benar saja aku tidak boleh dekat-dekat dengannya? Hilma memutar tubuhnya hingga membelakangiku. Membuatku menggaruk-garuk tengkuk leher yang tiba-tiba saja gatal."Sayang," panggilku pelan. Kusentuh pundak Hilma agar dia mau berbalik. Namun, Hilma masih enggan menghadapku. Dia masih duduk menghadap nakas dengan minyak kayu putih di tangannya."Sayang aku di sini," ucapku kembali.Hilma masih tak juga mau berbalik. Terpaksa aku beranjak dan langsung berjongkok di hadapannya. "Aku di sini, hey. Kenapa dipunggungin terus, sih?" rengekku.Hilma menutup botol minyak kayu putihnya. Menaruh di atas nakas lalu dia melihatku.Kami saling tatap kemudian. Hilma hanya memandangiku
Di ruang makan, aku sarapan bersama si kembar. Hilma masih tidak ingin berada di dekatku. Dia memilih menikmati sarapan paginya di teras depan.Hingga sarapan telah selesai. Si kembar lanjut bermain di ruangannya. Sedangkan aku, telah siap untuk berangkat ke kantor.Aku berpamitan lebih dulu pasa si kembar yang asyik dengan mainannya."Sayang, aku berangkat dulu," pamitku kemudian pada Hilma yang menemani si kembar.Hilma hanya mengangguk. Meraih tanganku lalu diciumnya asal. Kuhembus napas kasar, lalu merangkul pundaknya untuk mengecup keningnya seperti biasa.Cup~"Huuuekkkk!!" Baru saja bibirku menyentuh keningnya. Hilma serta merta berdiri dan berlari ke arah dapur, sambil membekap mulutnya yang akan muntah.Astaga.Di dapur sana, terdengar Hilma muntah-muntah hebat. Aku memijat pangkal hidungku. Tidak mengerti dengan reaksi Hilma yang segitunya.Apa sebegitu baunya aku di hidungnya?Kutarik napas kasar. Melirik arloji di pergelangan tangan, sudah waktunya aku berangkat. Namun, H
Sesampainya di kantor, aku segera masuk ke ruangan rapat. Karena hari ini, ada rapat seluruh kepala staff bersama direktur utama. Juga pemberitahuan penggantian sekretaris baru sang direktur. Menggantikan sekretaris lama yang harus resign karena sudah cukup tua. Sudah sangat lama mengabdi pada sang direktur. Jika biasanya sekretaris seorang bos itu masih muda dan seksi. Maka tidak pada bos di kantor ini.Ruangan rapat sudah mulai penuh. Aku duduk bersisian dengan Fahreza, yang sudah menyiapkan kursi di sebelahnya memang untukku."Kenapa lo, cemberut?" tanyanya setelah aku duduk di sisinya.Kuraup wajah kasar dengan kedua telapak tangan. "Hilma, Za.""Kenapa Hilma?""Hilma ngidam terlalu aneh.""Aneh gimana?""Ya, aneh. Dia ga mau deket-deket sama gue, Za. Dia bilang gue bau. Deket sama gue, Hilma mual mual."Terdengar Fahreza justru tertawa. Memang kamvret teman satu ini."Emang bau kali, lo!""Ah, resek, lo! Nih lo cium! Bau gak?" Aku mengangkat tangan tinggi-tinggi. Agar Fahreza men
*************Rapat selesai di jam istirahat makan siang. Selama rapat, aku kehilangan fokus. Sekretaris baru sang bos bernama Felicia, benar-benar mengganggu fokusku. Bukan apa, garis wajahnya amat mirip dengan almarhumah Khanza. Entah ini kebetulan atau apa. Aku pun masih tidak mengerti.Bukan hanya aku yang menilai Feli memiliki kemiripan dengan Khanza. Tapi Fahreza, dan beberapa staff lain pun, mengatakan hal demikian.Aku memutar-mutar ujung sedotan di tangan. Benar-benar heran dengan hari ini. Hilma yang tengah ngidam tidak mau dekat-dekat denganku. Lalu kedatangan Feli sebagai sekretaris baru di kantor ini, yang sangat mirip dengan almarhumah Khanza. Membuatku pusing memikirkannya."Bengong aja, Lo!" Sentakan di pundak terasa begitu keras, seiring dengan kedatangan Fahreza yang duduk di sebelahku.Aku mendecak, karena kedatangan Fahreza cukup mengagetkan. "Resek Lo, ah!""Lo mikirin apa? Pasti mikirin si Feli, ya?" tebaknya dengan tepat.Kutarik napas dalam-dalam. "Elo pasti ta