************POV Yuda.Mengawali pagi, seusai shalat Subuh, aku bergegas cepat ke dapur. Berkutat menyiapkan sarapan pagi, membereskan dapur dan menyapu seluruh rumah. Aktivitas rutin yang kukerjakan sejak tiga bulan lalu.Kandungan Hilma sudah memasuki usia 16 Minggu. Si kembar akan segera memiliki adik beberapa bulan lagi.Sejak memasuki usia kandungan 8 Minggu, aku menggantikan Hilma beberes rumah. Jika tidak begini, Hilma seringkali mengerjakan pekerjaan rumah ini. Padahal, aku sudah memintanya untuk beristirahat dan tidak perlu mengerjakan apa pun. Tapi, Hilma selalu berdalih, jika dia bosan dan apa yang dikerjakannya bukan pekerjaan berat.Namun, tetap saja aku tidak mau. Aku ingin Hilma benar-benar menjaga kehamilannya. Aku tidak mau Hilma capek dan kelelahan, lalu akan berakibat pada kandungannya. Jadi, aku memutuskan turun gunung dan mengerjakan semuanya sebelum berangkat ke kantor.Seperti pagi ini. Setelah hanya menggoreng telur dadar, sosis, dan juga nugget. Juga menanak n
Aku mendekat pada Hilma yang telah duduk di bibir ranjang. Hilma mengambil minyak kayu putih dari dalam laci nakas dan mendekatkan ke hidungnya."Jangan deket-deket ah," ujarnya ketika aku baru saja duduk di sebelahnya."Terus kalau gak Deket Deket kamu, aku harus Deket siapa?" tanyaku dengan raut memelas.Karena yang benar saja aku tidak boleh dekat-dekat dengannya? Hilma memutar tubuhnya hingga membelakangiku. Membuatku menggaruk-garuk tengkuk leher yang tiba-tiba saja gatal."Sayang," panggilku pelan. Kusentuh pundak Hilma agar dia mau berbalik. Namun, Hilma masih enggan menghadapku. Dia masih duduk menghadap nakas dengan minyak kayu putih di tangannya."Sayang aku di sini," ucapku kembali.Hilma masih tak juga mau berbalik. Terpaksa aku beranjak dan langsung berjongkok di hadapannya. "Aku di sini, hey. Kenapa dipunggungin terus, sih?" rengekku.Hilma menutup botol minyak kayu putihnya. Menaruh di atas nakas lalu dia melihatku.Kami saling tatap kemudian. Hilma hanya memandangiku
Di ruang makan, aku sarapan bersama si kembar. Hilma masih tidak ingin berada di dekatku. Dia memilih menikmati sarapan paginya di teras depan.Hingga sarapan telah selesai. Si kembar lanjut bermain di ruangannya. Sedangkan aku, telah siap untuk berangkat ke kantor.Aku berpamitan lebih dulu pasa si kembar yang asyik dengan mainannya."Sayang, aku berangkat dulu," pamitku kemudian pada Hilma yang menemani si kembar.Hilma hanya mengangguk. Meraih tanganku lalu diciumnya asal. Kuhembus napas kasar, lalu merangkul pundaknya untuk mengecup keningnya seperti biasa.Cup~"Huuuekkkk!!" Baru saja bibirku menyentuh keningnya. Hilma serta merta berdiri dan berlari ke arah dapur, sambil membekap mulutnya yang akan muntah.Astaga.Di dapur sana, terdengar Hilma muntah-muntah hebat. Aku memijat pangkal hidungku. Tidak mengerti dengan reaksi Hilma yang segitunya.Apa sebegitu baunya aku di hidungnya?Kutarik napas kasar. Melirik arloji di pergelangan tangan, sudah waktunya aku berangkat. Namun, H
Sesampainya di kantor, aku segera masuk ke ruangan rapat. Karena hari ini, ada rapat seluruh kepala staff bersama direktur utama. Juga pemberitahuan penggantian sekretaris baru sang direktur. Menggantikan sekretaris lama yang harus resign karena sudah cukup tua. Sudah sangat lama mengabdi pada sang direktur. Jika biasanya sekretaris seorang bos itu masih muda dan seksi. Maka tidak pada bos di kantor ini.Ruangan rapat sudah mulai penuh. Aku duduk bersisian dengan Fahreza, yang sudah menyiapkan kursi di sebelahnya memang untukku."Kenapa lo, cemberut?" tanyanya setelah aku duduk di sisinya.Kuraup wajah kasar dengan kedua telapak tangan. "Hilma, Za.""Kenapa Hilma?""Hilma ngidam terlalu aneh.""Aneh gimana?""Ya, aneh. Dia ga mau deket-deket sama gue, Za. Dia bilang gue bau. Deket sama gue, Hilma mual mual."Terdengar Fahreza justru tertawa. Memang kamvret teman satu ini."Emang bau kali, lo!""Ah, resek, lo! Nih lo cium! Bau gak?" Aku mengangkat tangan tinggi-tinggi. Agar Fahreza men
*************Rapat selesai di jam istirahat makan siang. Selama rapat, aku kehilangan fokus. Sekretaris baru sang bos bernama Felicia, benar-benar mengganggu fokusku. Bukan apa, garis wajahnya amat mirip dengan almarhumah Khanza. Entah ini kebetulan atau apa. Aku pun masih tidak mengerti.Bukan hanya aku yang menilai Feli memiliki kemiripan dengan Khanza. Tapi Fahreza, dan beberapa staff lain pun, mengatakan hal demikian.Aku memutar-mutar ujung sedotan di tangan. Benar-benar heran dengan hari ini. Hilma yang tengah ngidam tidak mau dekat-dekat denganku. Lalu kedatangan Feli sebagai sekretaris baru di kantor ini, yang sangat mirip dengan almarhumah Khanza. Membuatku pusing memikirkannya."Bengong aja, Lo!" Sentakan di pundak terasa begitu keras, seiring dengan kedatangan Fahreza yang duduk di sebelahku.Aku mendecak, karena kedatangan Fahreza cukup mengagetkan. "Resek Lo, ah!""Lo mikirin apa? Pasti mikirin si Feli, ya?" tebaknya dengan tepat.Kutarik napas dalam-dalam. "Elo pasti ta
Hari sudah beranjak malam. Pekerjaan tersisa sedikit lagi. Tubuhku sudah cukup lelah dengan pekerjaan hari ini. Apalagi hari ini, harus lembur. Sudah jam sembilan malam, aku masih di dalam ruangan.Nampak layar ponselku menyala. Kuhentikan sejenak aktivitas di layar laptop. Lalu beralih pada ponselku.Senyum tersungging di bibirku. Melihat nomor istriku yang menghubungi lewat sambungan video. Cepat aku menggeser layar untuk menerimanya."Hallo, Sayang?" sapaku semringah. Ku lambaikan tangan pada layar ponsel. Namun, Hilma justru terlihat cemberut.Nampak dia mengenakan jubah tidur pink fanta. Rambutnya diikat tinggi-tinggi. Memperlihatkan leher putih mulusnya yang terdapat bercak keunguan. Bekas ulahku beberapa hari yang lalu.Tidak biasanya Hilma melakukan video call dengan gaun tidurnya itu. Entah apa maksudnya malam ini, menghubungiku dalam keadaan yang memancing hasratku."Ay, kamu lembur?" Hilma bertanya lesu. Bibirnya semakin mengerucut."Iya, Sayang. Bentar lagi juga pulang. In
Kuhembus napas berat. "Ya sudah."Akhirnya aku menemani Feli menunggu ojol pesananku. Hanya keheningan yang tercipta di antara kami. Tidak ada obrolan yang mengisi. Selain suara dari kendaraan lewat yang bisa dihitung jari.Untungnya ojol yang kupesan datang lebih awal lima menit. Sehingga aku tidak tertahan lebih lama lagi di sini.Setelah Feli pergi dengan ojol yang membawanya. Lekas aku pun tancap gas. Menyusuri jalanan malam dengan kecepatan tinggi. Meluncur ke tempat pedagang martabak langganan.Karena jalanan sepi, aku tiba lebih cepat di tempat pedagang martabak. Lalu memesan seperti yang Hilma inginkan.Menunggu beberapa saat, menunggu sesuai antrian. Akhirnya pesananku selesai. Segera aku pulang dengan martabak terang bulan kismis persis seperti permintaan Hilma.***Tidak sampai sepuluh menit. Aku telah tiba di rumahku. Dengan menjinjing kresek berisi martabak, aku melangkah cepat ke dalam rumah setelah memutar kunci cadangan yang kubawa.Rumah sudah sepi. Pasti para penghun
*********"Yang bener aja, Sayang? Masa' kita tidur terpisah?" Aku terheran-heran dengan apa yang diucapkan Hilma. Aku bahkan sampai bangkit dari tidur hingga kini terduduk.Terdengar helaan napas berat dari Hilma. Tanpa suara, dia beringsut ke sisian tempat tidur ini, dengan guling di tangannya."Lho, kamu mau ke mana?" tanyaku sembari mencekal lengan Hilma yang hampir turun dari springbed."Ke kamar kedua!" jawabnya singkat seraya menepis cekalan tanganku.Kuhembus napas kasar. "Jangan, jangan! Kamu di sini. Biar aku yang ke luar. Biar aku yang tidur di kamar itu."Hilma tak merespon. Hanya bergeming di sisian tempat tidur. Aku lekas turun. Memaksakan tubuh yang terasa berat untuk bangkit dan menjauh dari tempat tidur.Jalanku terseret. Mulutku tak henti menguap. Mataku begitu berat dan perih. Hingga aku keluar dari kamar dan menjatuhkan tubuhku di sofa ruangan bermain si kembar. Sudah tak kuat lagi berjalan masuk kamar kedua.Tanpa mempedulikan apa pun lagi. Aku memejamkan mataku d