"Yud? Yuda?" Aku tersadar karena kibasan tangan Hilma di depanku."Y-ya?""Kamu udah pulang?" tanyanya lagi.Aku mengangguk seraya berdiri.Aduh. Aku makin menelan ludah sesudah berdiri kini. Karena pandangan ke arah bawah disuguhkan oleh belahan dada yang begitu menggoda.Aku berdehem sembari memalingkan wajah. Walau pada akhirnya, penglihatanku kembali ke sana. "U—udah. Aku ... baru aja pulang." Aku diserang rasa gugup.Hilma nampak mengangguk dan turut berdiri. Membuat pemandangan indah itu semakin nyata."Ehhm. Kamu ... ngapain di sini?" tanyaku kemudian.Hilma tersenyum. Dia menuntun tubuhku lalu mendudukkanku di kursi makan. Sementara Hilma, berdiri menghadapku dengan bobot yang bertumpu di pinggiran meja makan. Aku melirik pada ujung gaun tidurnya yang di atas lutut. Memperlihatkan betis serta lututnya yang putih bersih bak pualam.Aku ... sesak napas.Kutelan ludah. Lalu melepaskan kancing atas kemejaku hingga sedikit longgar."Aku ... tadinya menyiapkan makan malam buat kamu.
🌻POV YudaAku menunduk, lantas menyambar bibir ranumnya itu. Menciumnya pelan dan lembut. Kedua netraku seketika memejam. Merasai manisnya bibir yang tengah kucium ini.Menyesapnya tanpa jeda. Serta melumatnya tak sabar.Berbeda dengan saat aku menciumnya pertama kali. Malam ini, kurasakan Hilma membalas ciumanku.Dia balas dengan memagut bibirku. Membuat hasratku lebih cepat naik.Duh. Hilma benar-benar memberiku kejutan luar biasa.Aku menciumnya semakin dalam. Kedua tanganku turun merengkuh pinggangnya. Merapatkan tubuhnya denganku. Aku terheran, karena Hilma benar-benar bisa menyamai permainan bibirku.Kugigit kecil bibir bawahnya sebelum kulepas."Kamu membalas ciumanku? Sejak kapan kamu bisa berciuman?" tanyaku di antara deru napas yang memburu.Hilma tersenyum. Kedua tangannya bergerak memeluk tengkuk leherku. Menundukkan kepalaku dan dia membuat kening kami beradu."Aku ... belajar," bisiknya pelan."Belajar? Dari mana?" tanyaku masih dengan keheranan yang meliputi.Bibir itu
Hilma yang berada di bawah kungkungan tubuhku ini menggeleng. Tangannya terulur menyentuh kedua pipiku dan menangkupnya."Kamu tidak sedang bermimpi, Yud. Ini ... nyata. Apa kamu tidak bisa membedakan mana kenyataan mana hanya mimpi?" ucapnya lembut.Kuraih tangan kanannya di pipiku, lalu menciumi telapak tangannya yang mulus. "Ini ... terlalu indah."Hilma tersenyum tipis. "Kamu ... berhak atas diriku sebagai seorang istri. Aku ridho atas apa yang akan kamu ambil dariku malam ini, Yud."Hatiku bergetar hebat. Ternyata semua memang hanya soal waktu. Tak hentinya aku menciumi tangan Hilma. "Boleh aku meminta sesuatu, sebelum kita menunaikan ibadah kita malam ini?""Ya, apa?""Panggil aku Honey, Beib, Darling, atau apalah, jangan cuma Yud." Aku merengek pada Hilma.Perempuan berparas teduh ini tertawa kecil. "Apalah arti dari sebuah panggilan?" Hilma bertanya sekenanya."Emm, bagiku tentu sangat berarti.""Begitu?""Hu'um.""Ya sudah, emmm ...." Hilma nampak seperti berpikir."Aku akan
Kuambil body lotion dan menggunakannya sebagai pelumas. Setelah kurasa cukup licin, aku pun bergegas kembali ke atas tempat tidur.Menyusup ke dalam selimut yang sama dengan Hilma dan mengungkung tubuhnya kembali."Izinkan aku mencobanya lagi, ya?" bisikku pada Hilma, meminta izin karena tak tega melihatnya kesakitan seperti tadi.Hilma melirikku dan menganggukkan kepalanya pelan.Setelah mendapat izinnya, kuarahkan tombak milikku kembali pada benteng takeshi yang masih kokoh.Mencoba membobolnya kembali setelah tidak berhasil sejak tadi.Aku kembali menggerakkan tubuh bawahku. Mencoba membuka segel yang masih sangat rapat ini.Sekali, dua kali, masih sulit.Kutarik napas panjang dan dalam. Mengumpulkan tenaga dan mengambil ancang-ancang.Kucoba lagi.Dan ....Srettt!"Awkhhhh ...."Tombak pusaka ku seakan telah merobek sesuatu. Dibarengi dengan jeritan tertahan dari bibir Hilma.Lalu setelahnya, tombak milikku itu mulai bisa ku gerakkan. Meski sempit dan juga terhimpit.Aku menatap H
🌻POV Yuda."Hilma, Sayang?" Aku memanggil Hilma di balik pintu kamar mandi. Tidak ada handuk di sini. Semalam, aku meluruhkannya di lantai dekat ujung bed. Sekarang, setelah aku selesai mandi, tidak ada handuk yang bisa kugunakan karena aku lupa membawa "Yaa, kenapa?" Hilma berdiri di depan kamar mandi."Sayang, aku lupa handuk. Bisa minta tolong ambilkan?" pintaku kemudian."Ohh. Tunggu sebentar!" jawabnya lalu melesat dari depan kamar mandi.Aku menunggunya di balik pintu. Hitungan detik Hilma pun telah kembali dengan handuk baru untukku dan menyodorkannya.Aku sedikit melebarkan daun pintu kamar mandi. Tanganku terulur untuk mengambil handuk dari Hilma. Hingga satu ide terlintas begitu saja di kepalaku.Bukan handuk yang kuambil, melainkan tangan Hilma di bawahnya. Menariknya hingga masuk ke dalam kamar mandi. Lalu kututup pintunya dengan cepat dan tak lupa menguncinya."Ay! Kamu apa-apaan?" Hilma merapatkan punggungnya pada daun pintu. Sedangkan aku tersenyum menyeringai.Aku me
Usai Subuh yang kesiangan, aku langsung melesak ke dapur. Nampak Hilma sudah mengisi kursi makan dan sudah memakai kerudungnya."Hey," sapaku setelah berdiri di sisi kursinya. Aku membungkuk lalu mengecup keningnya."Bikin apa? Tadi apa yang gosong?" tanyaku kemudian setelah mendaratkan kecupan mesra di keningnya."Ini, lagi ngoles roti. Kamu mau pakai selai apa? Tadi itu aku lagi goreng sosis. Gara-gara kamu tahan di kamar mandi, jadinya gosong. Padahal apinya udah aku kecilin. Dasar kamu aja gak ada kerjaan nahan nahan aku di kamar mandi," cerocosnya membuatku ingin tertawa. Baru melihat, saat seorang istri sedang mendumel."Aku mau pakai selai hazelnut aja. Ohh, gitu. Ya aku mana tahu kamu lagi goreng sosis," sahutku seraya menghempas bobot di kursi lain.Hilma nampak cekatan menyiapkan roti kupas dengan isian selai hazelnut seperti permintaanku. Segelas susu vanila pun telah siap."Ya makanya jangan suka aneh-aneh deh, Ay! Mandi, ya mandi aja. Jangan pamer pamer piton kayak tadi.
Berbungkus selimut tebal, aku memandangi Hilma yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Rambutnya panjang tergerai hitam lebat.Aku tersenyum melihat rambutnya yang basah lagi. Karena aku berhasil mengajaknya untuk segera memproduksi adik bayi. Meski awalnya penuh penolakan.Rambut Hilma nampak masih belum kering sepenuhnya. Tetapi dia sudah memasang kerudungnya, lalu berjalan ke samping springbed di mana aku masih terbaring. Jalannya pun nampak berbeda dari sebelum sebelumnya."Aku mau ke kios dulu ya," ucapnya seraya menarik laci nakas, dan mengeluarkan dompet hitam miliknya."Nanti ajalah, agak siangan. Nanti aku yang anter!" cegahku pada Hilma."Ini juga udah siang. Lagian kamu sih bawa aku ke sini. Aku mau pergi sekarang ah, ya?"Aku menggeleng. Merangkak lalu menahan tangan Hilma. "Enggak. Kamu tunggu dulu aku mandi. Pokonya aku bakal anter. Jangan pergi sendiri!"Hilma menarik tangannya dariku, lalu duduk di bibir tempat tidur membelakangiku, seraya menghela napa
POV Hilma.Tubuhku menggigil. Padahal seingatku, aku sudah meminum obat pereda demam. Aku juga sudah merasakan kantuk dan mulai untuk tidur. Tapi, tubuhku tetap menggigil kedinginan.Aku semakin meringkuk di balik selimut. Berharap dingin yang kurasakan bisa sedikit berkurang. Lalu mencoba melanjutkan tidurku di sofa ruang bermain. Yuda sebenarnya sudah mengajakku untuk periksa, tetapi aku ingin meringkuk dulu di sofa ini, tidak kuat dengan hidung yang tersumbat dan kepala pusing.Bangun pagi tadi, aku sudah merasa tidak enak badan. Tenggorokanku sakit dan langsung bersin-bersin. Sampai kemudian hidungku meler dan tersumbat. Rasanya tidak enak dan sangat mengganggu.Seharian kemarin, hampir lima kali aku mandi keramas. Mungkin, itulah sebabnya aku jadi sakit hari ini.Yuda terlalu ganas. Di rumah hanya berdua, membuatnya semakin leluasa memproduksi adik untuk si kembar.Aku tidak lagi bisa menghindar atau menolak. Karena aku sudah terhipnotis akan sentuhan bapak dua orang anak itu. Ba