Juli 2020
"Apa kabar, Ma?"
"Aku bawa bunga mawar putih kesukaan Mama. Aku juga punya hadiah buat Mama." tutur seorang wanita dengan dress berwarna putih sederhana, ia tampah mengeluarkan sesuatu dari sling bag berwarna senada yang menggantung di bahunya.
Sebuah kotak dengan alat-alat bedah mainan.
Meletakkannya di dekat nisan batu yang mulai usang setelah sepuluh tahun tertanam, menunjukkan identitas seseorang yang dikubur di dalamnya.
Tersenyum getir, wanita yang tampak kurus dengan kulit kuning langsat itu mengelus nisan yang tertulis namanya Ibunya. "Mama, aku sudah mengikuti lima oprasi bedah sejak bekerja di rumah sakit dua bulan yang lalu."
"Aku berhasil jadi dokter, Ma." tukasnya. "Sayangnya Mama keburu pergi sebelum bisa aku obati."
"Sepuluh tahun aku berjuang, Ma. Setelah semua orang meninggalkan aku begitu saja, aku berusaha bangkit bersama mimpi-mimpi yang kembali aku rakit bersama rasa sakit. "
"Kenapa Mama harus pergi setelah dia juga pergi meninggalkan aku." katanya sendu. "Kalian jahat. Kalian meninggalkan aku tanpa sandaran."
Wanita berumur dua puluh dua tahun itu berdiri, dress putihnya menjadi begitu kontras dengan langit yang mendadak kelabu.
Bahkan saat hujan kembai membasahi bumi, wanita itu berjalan dengan santai, setidaknya suara rintik hujan menjadi pengisi heningnya suasana pemakaman yang mencekam.
Seseorang dulu pernah berkata padanya, bahwa luka ada ujian untuk sebuah kepantasan, dan bekasnya adalah bukti rasa cinta Tuhan.
Seseorang yang namanya selalu ia tanam dalam-dalam.
***
"Dokter Ilena!"
Sayup suara itu menghentikan langkah Ilena, panggilan yang entah mengapa, asing namun candu. Bagaimana orang-orang bisa mengenalnya namanya dengan sebutan itu, Ilena tersenyum tipis.
"Ya?" sahutnya berbalik. Di belakang sana perawat yang sedikit lebih tua darinya sedangkan menundukkan kepala sembari terengah-engah.
"Kamu dicari direktur!" Glesia menunjuk ke atas, karena kantor direktur memang ada di lantai teratas rumah sakit. Ilena menganggukkan kepala lalu berjalan dengan bingung.
"Ada apa, ya?" batinnya tak tenang, seiring kotak besi yang semakin naik, wanita itu melangkahkan kakinya anggun saat sampai di lantai atas.
Sejak dia dan Ibunya meninggalkannya tanpa pamit, Ilena harus bersusah payah sendiri, membentuk kepribadiannya, merakit masa depan dan semua hal tentang kelangsungan hidupnya.
Hampa atau tidak hidupnya adalah keputusannya sendiri, sejak dicampakkan begitu saja oleh seseorang yang ia anggap teman sejati dalam hidup Ilena sudah tidak sudi menggantungkan hidupnya pada siapapun.
Bahkan itu berteman lebih dekat dengan seseorang. Sebuah hubungan adalah tipuan yang membuai, yang katanya tulus padahal secara manusiawi pasti hanya saling membutuhkan lalu menjauh satu sama lain.
Hubungannya bisa secepat kedipan untuk selesai, tapi sakitnya tak kunjung usai.
Hidup dengan ambisi serta mimpi sudah cukup, itulah Ilena kini.
"Siang, Pak." sapa sebagai bentuk formalitas dan sopan santun Ilena lantunkan pada sang petinggi rumah sakit. Setelah mengetuk pintu tiga kali, ia masuk dengan sopan. "Ada apa memanggil saya?"
"Duduk dulu, kamu tidak perlu sungkan." Brama menunjuk kursi di sebrang meja kaca yang berhadapan dengannya, laki-laki yang sudah beruban itu tersenyum teduh. "Kamu sangat mirip dengan putriku, Lena."
Ilena menggigit bibirnya kuat. Tangan kurus wanita itu mengepal di bawah meja tanpa terlihat. "Ada apa, Pak?"
Ilena memilih mengulang, membiarkan perkataan itu berlalu bersama angin, naasnya kata-katanya benar berlalu, tapi lukanya menetap dihati laksana paku yang tanam palu.
Brama mendesah, laki-laki tua itu mengeluarkan amplom putih, menyodorkannya pada Ilena. "Prestasi kamu sangat mengesankan saat kamu menjalani pendidikan S1 kedokteran di Universitas Gadjah Mada beberapa waktu lalu. Melalui pertimbangan itu, aku dan petinggi lain akan membiayai sekolah S2-mu di universitas yang sama. Aku harap kamu bisa menerimanya."
Ilena tertegun. "Aku pasti menerimanya, Pak!" sahutnya tersenyum lebar. Mengangkat amplop itu dan memeluknya Ilena membuat pria tua di hadapannya tersenyum sendu.
"Juga aku ingin minta maaf kepada putriku yang dulu aku tinggalkan melalui kamu." sambung Brama membuat senyum Ilena luntur. "Kamu benar-benar sangat mirip dengannya, Lena. Bahkan namamu pun sama."
Berdiri dari kursinya Ilena menunduk sopan seraya berpamitan. Kata-kata itu kembali menggores hatinya yang memang telah penuh dengan ribuan rasa sakit.
Bukan mirip, Pa. Tapi aku memang anakmu. Anak yang kamu tinggalkan dengan begitu kejam hingga aku hampir tidak waras karena Mama yang memiliki gangguan jiwa.
Apapun alasannya, walau kamu ribuan kali mengatakan aku putrimu, aku tidak akan mau memelukmu. Luka yang Ayah berikan terlalu banyak sampai-sampai aku tidak yakin Ayah masih layak disebut Ayah.
"Hai, sendirian?" Ilena lantas menoleh, cafe yang ia datangi saat ini lumayan sepi, entah ada angin apa seorang pemuda bodoh menanyakan hal yang sudah ia tau jawabannya.Menaikkan alis, Ilena menatap tajam. "Kita kenal?"Pemuda itu sontak tertawa, lalu duduk di hadapan Ilena tanpa permisi. "Aldan, kamu lupa?"Ilena tersentak saat nama itu membawa dirinya pada kenangan masalalu, naasnya kebanyakan bukan tentang Aldan, tapi yang lainnya."Aku tidak terlalu ingat wajahmu." sahutnya, Aldan yang mengulurkan tangan sejak tadi terpaksa menurunkan tangannya karena tak kunjung disambut. "Pergi. Aku ingin sendiri.""Oh, waw!" Aldan bertepuk tangan heboh. "Dimana Ilenaku yang manja?""I'am not yours!" bantah Ilena lantang, "Kita tidak punya hubungan apapun, baik dulu mau pun sekarang!""Jadi, pergi dari sini." katanya penuh penekanan, matanya memancar dingin, gertur tubuhnya juga terlihat waspada dengan tangan terkepal di atas meja. Aldan
Setelah melayangkan tamparan keras dengan amarah yang menggebu, Ilena meninggalkan Aldan begitu saja di Cafe dan menuju rumahnya dengan taksi, mengingat dirinya harus bersiap untuk pernerbangan ke Jogjakarta dua jam lain.Tanpa tahu, Aldan telah membuntutinya sejak tadi.Mengepak pakaian dan keperluan dengan asal, Ilena melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu mengangkut koper biru besar ke bagasi taksi."Ssh! Berat!" keluhnya ketika menaikkan koper, satu tangannya masih memegang map berwarna biru berisi formulir pendaftaran, lantas ia mendesah lega begitu supir taksi mengambil alih pekerjaannya.Menarik segaris lengkung pada bibir, wanita dengan rok hitam dan bluose putih itu tersenyum ramah, "Terimakasih, Pak."Setelah mengusap map yang ia pegang sejak tadi, Ilena mendekap erat lembaran-lembaran kertas itu di dadanya, begitu mesin mobil berbunyi bergegaslah ia duduk di belakang kursi kemudi.Seiring taksi dengan warna biru
"Nafta, jangan mainin rambut aku." kata Ilena sebal saat sahabat laki-lakinya itu mengambil helaian rambutnya dan menggulung-gulungnya di jari anak laki-laki itu.Nafta menatap Ilena dalam sambil tersenyum kecil. "Kamu terlalu menggemaskan." katanya mengelus pucuk kepala Ilena yang rambutnya telah di urai olehnya.Ilena mencebik kesal, tidak sepenuhnya. Anak perempuan berseragam merah putih itu menyenderkan kepalanya ke bahu Nafta. Kemudian, memejamkan mata, menikmati elusan tangan Nafta dan rambutnya yang terasa tertarik ringan, karena gulungan rambutnya pada jari Nafta."Mau minum susu? Aku bawa rasa coklat kesukaan kamu.""Hm."Ilena berdehem singkat, menanggapi tanyaan Nafta, melingkarkan tangannya pada pinggang Nafta, Ilena rasanya ingin terlelap. Saat Nafta menyodorkan susu kotak yang sudah lengkap dengan sedotan, Ilena menyedot isinya pelan-pelan dalam diam.Diam-diam pula, anak laki-laki kelas enam sekolah dasar yang ia sandari
Sejak bertemu Ilena setelah anak itu kembali dari kamar mandi bersama Yuka, Nafta merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Gelagatnya yang berbeda dari biasanya, membuat Nafta semakin curiga.Anak laki-laki dengan poni hingga alis yang terbelah dua, serta piyama tidur berwarna biru itu berbaring di ranjang king size kamarnya yang bertema antariksa.Jendela besar yang menampilkan lagit malam di luar menjadi satu-satunya penerangan yang ia inginkan, oleh karena itu ia mematikan seluruh lampu kamarnya.Termenung dengan banyak hal dengan satu tema yang berputar di kepalanya.Ilena.Entah sejak kapan, dunia Nafta berotasi pada Ilena. Suatu hari saat ia masih kelas tiga sekolah dasar, Ilena menjadi murid baru di kelasnya, sekaligus teman sebangku pertama dirinya sejak ia kelas satu.Sejauh itu, Nafta tidak mau duduk dengan siapapun, juga jumlah siswa yang ganjil membuatnya leluasa untuk duduk sendiri.Namun, Ilena datang, wal
Menyeka peluh dan air yang telah menjadi satu di dahinya. Ilena mendongak, pintunya ternyata masih tertutup.Lelah dan dingin.Bangkit dari pojok kamar mandi tempat ia terkurung sekarang, anak itu memegang dinding sebagai penyangga saat kepalanya terusa pusing dan tubuhnya yang lemas bukan main.Memijit dahinya yang berdenyut-denyut, Ilena mengarahkan tangannya ke depan wajahnya saat merasakan sesuatu.Darah.Pasrah, anak itu kembali duduk di atas kloset, tubuhnya yang basah kuyup dan kepalanya yang tak berhenti mengucurkan darah membuat anak itu mengalah."Ma ....""Sakit." lirih anak itu nyaris tak terdengar. "Tuhan ... Ilen pasti kuat."Anak itu merintih pilu pada Tuhannya.Mengadukan takdir yang entah mengapa begitu buruk.Ceklek!"Sakit?" tanya seorang wanita dengan dress berwarna merah ketat dan high heels membuka pintu kamar mandi. Bibir merah menyala milik wanita itu menipis, dengan mata yang
Ilena mengetuk pintu kelasnya, waktu menunjukkan pukul setengah delapan, berarti bel sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu.Padahal hari ini adalah minggu pertama bulan mei, di mana ujian sekolah sedang di laksanakan. Anak perempuan dengan kuncir kuda itu memegang lututnya sambil terengah-engah."Kenapa kamu terlambat?" tanya Bu Aina saat Ilena sampai di depan kelas.Semua murid menatapnya penuh tanya, terutama Nafta yang menatap khawatir dan marah."Maaf, Bu. Saya tadi sempat kecelakaan di jalan." jawabnya sambil menunjukkan beberapa goresan di lutut dan sikunya.Bu Aina sedikit heran, menggelengkan kepala, guru yang masih single itu mempersilakan Ilena duduk.Luka tadi pagi, tapi ... Luka itu tidak kelihatan segar, beberapa sudah mengering.Murid-murid mengerjakan soal-soal dalam senyap, detik-detik terakhir mereka di sekolah dasar tak terasa sudah semakin sedikit, waktu terus saja menghitung tanpa jeda.Nafta meremas ker
Setelah melayangkan tamparan keras dengan amarah yang menggebu, Ilena meninggalkan Aldan begitu saja di Cafe dan menuju rumahnya dengan taksi, mengingat dirinya harus bersiap untuk pernerbangan ke Jogjakarta dua jam lain.Tanpa tahu, Aldan telah membuntutinya sejak tadi.Mengepak pakaian dan keperluan dengan asal, Ilena melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu mengangkut koper biru besar ke bagasi taksi."Ssh! Berat!" keluhnya ketika menaikkan koper, satu tangannya masih memegang map berwarna biru berisi formulir pendaftaran, lantas ia mendesah lega begitu supir taksi mengambil alih pekerjaannya.Menarik segaris lengkung pada bibir, wanita dengan rok hitam dan bluose putih itu tersenyum ramah, "Terimakasih, Pak."Setelah mengusap map yang ia pegang sejak tadi, Ilena mendekap erat lembaran-lembaran kertas itu di dadanya, begitu mesin mobil berbunyi bergegaslah ia duduk di belakang kursi kemudi.Seiring taksi dengan warna biru
"Hai, sendirian?" Ilena lantas menoleh, cafe yang ia datangi saat ini lumayan sepi, entah ada angin apa seorang pemuda bodoh menanyakan hal yang sudah ia tau jawabannya.Menaikkan alis, Ilena menatap tajam. "Kita kenal?"Pemuda itu sontak tertawa, lalu duduk di hadapan Ilena tanpa permisi. "Aldan, kamu lupa?"Ilena tersentak saat nama itu membawa dirinya pada kenangan masalalu, naasnya kebanyakan bukan tentang Aldan, tapi yang lainnya."Aku tidak terlalu ingat wajahmu." sahutnya, Aldan yang mengulurkan tangan sejak tadi terpaksa menurunkan tangannya karena tak kunjung disambut. "Pergi. Aku ingin sendiri.""Oh, waw!" Aldan bertepuk tangan heboh. "Dimana Ilenaku yang manja?""I'am not yours!" bantah Ilena lantang, "Kita tidak punya hubungan apapun, baik dulu mau pun sekarang!""Jadi, pergi dari sini." katanya penuh penekanan, matanya memancar dingin, gertur tubuhnya juga terlihat waspada dengan tangan terkepal di atas meja. Aldan
Juli 2020"Apa kabar, Ma?""Aku bawa bunga mawar putih kesukaan Mama. Aku juga punya hadiah buat Mama." tutur seorang wanita dengan dress berwarna putih sederhana, ia tampah mengeluarkan sesuatu dari sling bag berwarna senada yang menggantung di bahunya.Sebuah kotak dengan alat-alat bedah mainan.Meletakkannya di dekat nisan batu yang mulai usang setelah sepuluh tahun tertanam, menunjukkan identitas seseorang yang dikubur di dalamnya.Tersenyum getir, wanita yang tampak kurus dengan kulit kuning langsat itu mengelus nisan yang tertulis namanya Ibunya. "Mama, aku sudah mengikuti lima oprasi bedah sejak bekerja di rumah sakit dua bulan yang lalu.""Aku berhasil jadi dokter, Ma." tukasnya. "Sayangnya Mama keburu pergi sebelum bisa aku obati.""Sepuluh tahun aku berjuang, Ma. Setelah semua orang meninggalkan aku begitu saja, aku berusaha bangkit bersama mimpi-mimpi yang kembali aku rakit bersama rasa sakit. ""Kenapa Mama harus pe
Ilena mengetuk pintu kelasnya, waktu menunjukkan pukul setengah delapan, berarti bel sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu.Padahal hari ini adalah minggu pertama bulan mei, di mana ujian sekolah sedang di laksanakan. Anak perempuan dengan kuncir kuda itu memegang lututnya sambil terengah-engah."Kenapa kamu terlambat?" tanya Bu Aina saat Ilena sampai di depan kelas.Semua murid menatapnya penuh tanya, terutama Nafta yang menatap khawatir dan marah."Maaf, Bu. Saya tadi sempat kecelakaan di jalan." jawabnya sambil menunjukkan beberapa goresan di lutut dan sikunya.Bu Aina sedikit heran, menggelengkan kepala, guru yang masih single itu mempersilakan Ilena duduk.Luka tadi pagi, tapi ... Luka itu tidak kelihatan segar, beberapa sudah mengering.Murid-murid mengerjakan soal-soal dalam senyap, detik-detik terakhir mereka di sekolah dasar tak terasa sudah semakin sedikit, waktu terus saja menghitung tanpa jeda.Nafta meremas ker
Menyeka peluh dan air yang telah menjadi satu di dahinya. Ilena mendongak, pintunya ternyata masih tertutup.Lelah dan dingin.Bangkit dari pojok kamar mandi tempat ia terkurung sekarang, anak itu memegang dinding sebagai penyangga saat kepalanya terusa pusing dan tubuhnya yang lemas bukan main.Memijit dahinya yang berdenyut-denyut, Ilena mengarahkan tangannya ke depan wajahnya saat merasakan sesuatu.Darah.Pasrah, anak itu kembali duduk di atas kloset, tubuhnya yang basah kuyup dan kepalanya yang tak berhenti mengucurkan darah membuat anak itu mengalah."Ma ....""Sakit." lirih anak itu nyaris tak terdengar. "Tuhan ... Ilen pasti kuat."Anak itu merintih pilu pada Tuhannya.Mengadukan takdir yang entah mengapa begitu buruk.Ceklek!"Sakit?" tanya seorang wanita dengan dress berwarna merah ketat dan high heels membuka pintu kamar mandi. Bibir merah menyala milik wanita itu menipis, dengan mata yang
Sejak bertemu Ilena setelah anak itu kembali dari kamar mandi bersama Yuka, Nafta merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Gelagatnya yang berbeda dari biasanya, membuat Nafta semakin curiga.Anak laki-laki dengan poni hingga alis yang terbelah dua, serta piyama tidur berwarna biru itu berbaring di ranjang king size kamarnya yang bertema antariksa.Jendela besar yang menampilkan lagit malam di luar menjadi satu-satunya penerangan yang ia inginkan, oleh karena itu ia mematikan seluruh lampu kamarnya.Termenung dengan banyak hal dengan satu tema yang berputar di kepalanya.Ilena.Entah sejak kapan, dunia Nafta berotasi pada Ilena. Suatu hari saat ia masih kelas tiga sekolah dasar, Ilena menjadi murid baru di kelasnya, sekaligus teman sebangku pertama dirinya sejak ia kelas satu.Sejauh itu, Nafta tidak mau duduk dengan siapapun, juga jumlah siswa yang ganjil membuatnya leluasa untuk duduk sendiri.Namun, Ilena datang, wal
"Nafta, jangan mainin rambut aku." kata Ilena sebal saat sahabat laki-lakinya itu mengambil helaian rambutnya dan menggulung-gulungnya di jari anak laki-laki itu.Nafta menatap Ilena dalam sambil tersenyum kecil. "Kamu terlalu menggemaskan." katanya mengelus pucuk kepala Ilena yang rambutnya telah di urai olehnya.Ilena mencebik kesal, tidak sepenuhnya. Anak perempuan berseragam merah putih itu menyenderkan kepalanya ke bahu Nafta. Kemudian, memejamkan mata, menikmati elusan tangan Nafta dan rambutnya yang terasa tertarik ringan, karena gulungan rambutnya pada jari Nafta."Mau minum susu? Aku bawa rasa coklat kesukaan kamu.""Hm."Ilena berdehem singkat, menanggapi tanyaan Nafta, melingkarkan tangannya pada pinggang Nafta, Ilena rasanya ingin terlelap. Saat Nafta menyodorkan susu kotak yang sudah lengkap dengan sedotan, Ilena menyedot isinya pelan-pelan dalam diam.Diam-diam pula, anak laki-laki kelas enam sekolah dasar yang ia sandari