Ilena mengetuk pintu kelasnya, waktu menunjukkan pukul setengah delapan, berarti bel sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu.
Padahal hari ini adalah minggu pertama bulan mei, di mana ujian sekolah sedang di laksanakan. Anak perempuan dengan kuncir kuda itu memegang lututnya sambil terengah-engah.
"Kenapa kamu terlambat?" tanya Bu Aina saat Ilena sampai di depan kelas.
Semua murid menatapnya penuh tanya, terutama Nafta yang menatap khawatir dan marah.
"Maaf, Bu. Saya tadi sempat kecelakaan di jalan." jawabnya sambil menunjukkan beberapa goresan di lutut dan sikunya.
Bu Aina sedikit heran, menggelengkan kepala, guru yang masih single itu mempersilakan Ilena duduk.
Luka tadi pagi, tapi ... Luka itu tidak kelihatan segar, beberapa sudah mengering.
Murid-murid mengerjakan soal-soal dalam senyap, detik-detik terakhir mereka di sekolah dasar tak terasa sudah semakin sedikit, waktu terus saja menghitung tanpa jeda.
Nafta meremas kertas kosong untuk coret-coretan yang masih putih bersih di tangannya setelah menyelesaikan soal terakhir.
Anak itu berdiri, menimbulkan bunyi deritan hasil gesekan kursinya dan lantai yang membuat seluruh atensi kelas sesaat beralih padanya, lalu kembali normal.
Anak itu menjadi yang pertama keluar kelas.
Menimbulkan efek yang luar biasa bagi anak-anak lainnya, seperti tergesa-gesa untuk keluar juga.
"Baik, Ibu harap nilai kalian semua memuaskan, ibu permisi." Bu Aina membubarkan kelas tiga puluh menit kemudian saat gerombolan murid terakhir termasuk Ilena mengumpulkan kertasnya.
Ilena sebenarnya telah menyelesaikan soal-soalnya tepat setelah Nafta meninggalkan kelas.
Ia hanya takut dengan pandangan sahabatnya itu sesaat sebelum ia keluar.
Pandangan yang terlalu mengintimidasi, membuatnya takut.
Anak itu melangkah cepat ke arah atap lantai tiga, menoleh kanan kiri kalau saya Nafta melihatnya.
Ia harus bersembunyi, atau akibat akan buruk, pikirnya.
Menahan perih di seluruh kulit persendiannya anak itu sedikit meringis saat menaiki tangga terakhir lalu membuka pintu rooftop. Angin langsung menyapa, menerbangkan rambutnya pelan.
Duk!
Nafta yang sedari tadi mengikutinya diam-diam mendorong Ilena hingga menghantam pintu yang baru saja Ilena tutup, setelah itu Nafta membuka pintu pelan dan menguncinya.
Ilena ingin mundur dan kabur saat melihat Nafta yang menatapnya datar. Memutar handle pintu anak itu semakin takut saat pintu itu terkunci.
"Kamu kemana, hm?" tanya anak itu berdehem singkat. "Kenapa menghindar?"
Nafta meletakkan tangannya di dinding samping kepala Ilena saat sahabatnya itu ingin pergi dari samping.
"A-aku—"
"Bukankah kamu sangat tau diriku dengan baik, Ilen." ujar anak laki-laki itu menggeram marah. "Jangan berpikir untuk pergi atau kamu tahu dengan pasti apa akibatnya." ancamnya memotong perkataan Ilena.
Anak laki-laki tiga belas tahun itu memandangi Ilena tajam, seakan siap mengulitinya hidup-hidup.
Ilena suka segala hal tentap Nafta padanya, kecuali satu hal. Yaitu saat sahabatnya itu marah.
Nafta sangat benci jika ada suatu hal tentangnya yang tidak diketahuinya, itu membuat Ilena yang memang sudah menggantungkan hidupnya pada anak laki-laki itu tak pernah menutupi apapun.
Dan pagi tadi, sejak pukul enam anak itu menunggu Ilena di gang rumahnya seperti biasa, anak itu menggila saat hampir satu jam ia menunggu di dalam mobil bersama supir pribadinya namun anak perempuan yang rambutnya sering di ikat kuda itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Sopirnya yang sudah cerewet sejak tadi membuat anak itu bertambah geram dan memilih memberi perintah untuk melajukan mobilnya ke sekolah.
Dengan kepala yang hampir pecah oleh amarah.
Maju selangkah, Nafta semakin memojokkan Ilena dengan tubuh mereka yang bahkan tanpa jarak, fokus Nafta hanya pada mata Ilena yang menatap kesana kemari menghindari matanya.
Ilena yang semakin terpojok gemetar ketakutan.
Nafta memang tak mungkin melakukan kekerasan padanya, tapi tatapan dan perbuatan sahabatnya itu lebih menakutkan dari itu.
"Bukankah kamu harus menatapku saat bicara?"
Nafta mengangkat dagu Ilena paksa sambil menekankan kata-katanya.
Ilena sontak menutup matanya, berkata dengan gemetar. "A–aku ... enggak kemana-mana."
Katanya, memunculkan rahasia pertama antara mereka berdua ke permukaan.
***
Satu bulan berlalu, mengikuti putaran waktu di mana setiap detiknya terus habis tanpa menunggu. Ujian nasional yang menjadi saat-saat terakhir bagi Ilena dan teman-teman seangkatannya berada di sekolah dasar pun telah selesai dengan hasil yang akan di umumkan hari ini.
Bu Aina yang sudah memasuki kelas dengan puluhan raport di tangannya membuat Ilena khawatir, selain gugup anak itu juga terus memandangi kursi kosong di sampingnya yang membuat kepala kecilnya itu penuh dengan tanda tanya.
Bahkan, setelah wali kelasnya membagikan seluruh raport, Nafta tidak kunjung datang.
"Ssst!" Yuka yang duduk dibelakangnya hari ini mendesis sambil menusuk bahunya dengan pulpen. "Nyariin Nafta?"
Ilena mengerjap, "Iya,"
"Lho? Memangnya kamu enggak dikasih tau?" tanya anak perempuan manis itu berbisik.
Ilena baru saja ingin bertanya, namun tepukan tangan Bu Aina mengambil atensinya untuk kembali fokus ke depan.
"Seperti dugaan, nilai tertinggi untuk angkatan tahun ini di raih oleh Nafta dan nilai tertinggi kedua dan ketiga berturut-turut adalah ... Ilena dan Aldan!" tutur Bu Aina yang mendapat tepuk tangan heboh dari satu kelas.
Melambaikan tangannya, Bu Aina memberi syarat untuk kembali hening, wanita dengan seragam khas guru itu Melanjutkan ucapannya. "Dan, Ibu ingin kalian mendoakan salah satu teman kalian, Nafta. Dia akan menjadi salah satu perwakilan negeri ini yang berkesempatan melanjutkan pendidikan hingga S1 di Amerika. Beasiswa ini diberikan langsung oleh pemilik yayasan Randawa."
Ilena terkejut, anak itu terdiam seribu bahasa dengan tubuh menegang. Kenapa ia tidak tahu?
Atau, se-tidak pentingkah itu ia dalam hidup Nafta? Seseorang yang ia percayakan seluruh elemen kehidupannya.
Ilena berjalan linglung keluar kelas, benaknya terus memutar ribuan tanya tanpa jawab.
"Kaget, ya?" tanya Yuka, anak manis itu tersenyum miring, mensejajari langkah Ilena yang tidak tentu arah. "Kasian."
"Maksudnya?" Ilena mengerenyit, mulutnya menggumam pelan. "Kamu ..."
Yuka menatap sinis, melipat kedua lengannya, anak itu terlihat angkuh. "Sesuatu yang kelihatan paling dekat, bisa jadi yang paling jauh. Seseorang enggak punya hak buat merasa berharga di hidup orang lain. Karena, nyatanya dalam kisah hidup seseorang yang paling berharga adalah orang itu sendiri."
Mengulum bibirnya sejenak, Ilena memang sudah kalah telak. Anak itu berucap ragu, "Nafta bukan orang yang egois."
Yuka tertawa keras, namun tetap anggun.
"Aku enggak bilang Nafta egois. Aku cuma mau balikin kamu ke tempat awal. Jangan terlalu melambung tinggi, karena nyatanya kamu enggak lebih dari kenangan yang akan hilang perlahan."
Ilena terdiam, semua bait-baik kata yang sayangnya logis itu terlalu tajam untuk ia cerna. "Bandara jam satu siang." ucap Yuka sesaat sebelum ia berlalu pergi.
Tercenung, anak itu menggigit bibir menahan tangis. Apa yang lebih menakutkan dari kenyataan yang menyakitkan?
Semesta yang bermain tapi kenapa Ilena yang harus menjadi pemain. Meremas amplop putih di tangannya, Ilena melangkah tertatih dengan hati yang tak lagi tertata. Sekelilingnya terasa sunyi dan berdenging seolah berputar pada poros waktu yang menyedihkan.
Ilena menaiki taksi, menuju bandara dalam diam, sekolahnya dan bandara hanya memakan waktu tempuh lima belas menit menggunakan mobil.
Sesampainya di bandara anak perempuan dua belas tahun yang memegang amplop beasiswa SMP favorit di Palembang itu berlari sambil menangis, amplop putih yang berisi kertas-kertas formal yang telah teremas kusut di tangannya itu adalah alasan Ilena berbohong pada Nafta.
Bunyi bising yang memekakkan telinga dengan frekuensi suara yang tinggi tidak lagi membuat Ilena peduli. Fokusnya hanya pada hal di depannya yang membuatnya membeku.
Di sana, sahabatnya memegang belakang kepala Yuka lalu mencium kening anak perempuan anggun itu sambil memejamkan mata, membuat sesuatu di dadanya terasa berdenyut sakit, yang entah apa.
Buliran air mata tapa sadar jatuh, membalikkan badan, Ilena melangkah gontai meninggalkan bandara.
Cukup sampai di sini.
Ilena menghapus air matanya, menoleh ke atas saat sayup-sayup sebuah pesawat melewatinya ia hanya menggeretakkan giginya.
Harapan, impian, dan semua tentang Nafta akan Ilena buang jauh-jauh sebagaimana pesawat itu pergi menjauh.
Sekarang hanya ada dirinya sendiri dan dua pilihan, mati sia-sia atau hidup mati rasa.
Juli 2020"Apa kabar, Ma?""Aku bawa bunga mawar putih kesukaan Mama. Aku juga punya hadiah buat Mama." tutur seorang wanita dengan dress berwarna putih sederhana, ia tampah mengeluarkan sesuatu dari sling bag berwarna senada yang menggantung di bahunya.Sebuah kotak dengan alat-alat bedah mainan.Meletakkannya di dekat nisan batu yang mulai usang setelah sepuluh tahun tertanam, menunjukkan identitas seseorang yang dikubur di dalamnya.Tersenyum getir, wanita yang tampak kurus dengan kulit kuning langsat itu mengelus nisan yang tertulis namanya Ibunya. "Mama, aku sudah mengikuti lima oprasi bedah sejak bekerja di rumah sakit dua bulan yang lalu.""Aku berhasil jadi dokter, Ma." tukasnya. "Sayangnya Mama keburu pergi sebelum bisa aku obati.""Sepuluh tahun aku berjuang, Ma. Setelah semua orang meninggalkan aku begitu saja, aku berusaha bangkit bersama mimpi-mimpi yang kembali aku rakit bersama rasa sakit. ""Kenapa Mama harus pe
"Hai, sendirian?" Ilena lantas menoleh, cafe yang ia datangi saat ini lumayan sepi, entah ada angin apa seorang pemuda bodoh menanyakan hal yang sudah ia tau jawabannya.Menaikkan alis, Ilena menatap tajam. "Kita kenal?"Pemuda itu sontak tertawa, lalu duduk di hadapan Ilena tanpa permisi. "Aldan, kamu lupa?"Ilena tersentak saat nama itu membawa dirinya pada kenangan masalalu, naasnya kebanyakan bukan tentang Aldan, tapi yang lainnya."Aku tidak terlalu ingat wajahmu." sahutnya, Aldan yang mengulurkan tangan sejak tadi terpaksa menurunkan tangannya karena tak kunjung disambut. "Pergi. Aku ingin sendiri.""Oh, waw!" Aldan bertepuk tangan heboh. "Dimana Ilenaku yang manja?""I'am not yours!" bantah Ilena lantang, "Kita tidak punya hubungan apapun, baik dulu mau pun sekarang!""Jadi, pergi dari sini." katanya penuh penekanan, matanya memancar dingin, gertur tubuhnya juga terlihat waspada dengan tangan terkepal di atas meja. Aldan
Setelah melayangkan tamparan keras dengan amarah yang menggebu, Ilena meninggalkan Aldan begitu saja di Cafe dan menuju rumahnya dengan taksi, mengingat dirinya harus bersiap untuk pernerbangan ke Jogjakarta dua jam lain.Tanpa tahu, Aldan telah membuntutinya sejak tadi.Mengepak pakaian dan keperluan dengan asal, Ilena melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu mengangkut koper biru besar ke bagasi taksi."Ssh! Berat!" keluhnya ketika menaikkan koper, satu tangannya masih memegang map berwarna biru berisi formulir pendaftaran, lantas ia mendesah lega begitu supir taksi mengambil alih pekerjaannya.Menarik segaris lengkung pada bibir, wanita dengan rok hitam dan bluose putih itu tersenyum ramah, "Terimakasih, Pak."Setelah mengusap map yang ia pegang sejak tadi, Ilena mendekap erat lembaran-lembaran kertas itu di dadanya, begitu mesin mobil berbunyi bergegaslah ia duduk di belakang kursi kemudi.Seiring taksi dengan warna biru
"Nafta, jangan mainin rambut aku." kata Ilena sebal saat sahabat laki-lakinya itu mengambil helaian rambutnya dan menggulung-gulungnya di jari anak laki-laki itu.Nafta menatap Ilena dalam sambil tersenyum kecil. "Kamu terlalu menggemaskan." katanya mengelus pucuk kepala Ilena yang rambutnya telah di urai olehnya.Ilena mencebik kesal, tidak sepenuhnya. Anak perempuan berseragam merah putih itu menyenderkan kepalanya ke bahu Nafta. Kemudian, memejamkan mata, menikmati elusan tangan Nafta dan rambutnya yang terasa tertarik ringan, karena gulungan rambutnya pada jari Nafta."Mau minum susu? Aku bawa rasa coklat kesukaan kamu.""Hm."Ilena berdehem singkat, menanggapi tanyaan Nafta, melingkarkan tangannya pada pinggang Nafta, Ilena rasanya ingin terlelap. Saat Nafta menyodorkan susu kotak yang sudah lengkap dengan sedotan, Ilena menyedot isinya pelan-pelan dalam diam.Diam-diam pula, anak laki-laki kelas enam sekolah dasar yang ia sandari
Sejak bertemu Ilena setelah anak itu kembali dari kamar mandi bersama Yuka, Nafta merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Gelagatnya yang berbeda dari biasanya, membuat Nafta semakin curiga.Anak laki-laki dengan poni hingga alis yang terbelah dua, serta piyama tidur berwarna biru itu berbaring di ranjang king size kamarnya yang bertema antariksa.Jendela besar yang menampilkan lagit malam di luar menjadi satu-satunya penerangan yang ia inginkan, oleh karena itu ia mematikan seluruh lampu kamarnya.Termenung dengan banyak hal dengan satu tema yang berputar di kepalanya.Ilena.Entah sejak kapan, dunia Nafta berotasi pada Ilena. Suatu hari saat ia masih kelas tiga sekolah dasar, Ilena menjadi murid baru di kelasnya, sekaligus teman sebangku pertama dirinya sejak ia kelas satu.Sejauh itu, Nafta tidak mau duduk dengan siapapun, juga jumlah siswa yang ganjil membuatnya leluasa untuk duduk sendiri.Namun, Ilena datang, wal
Menyeka peluh dan air yang telah menjadi satu di dahinya. Ilena mendongak, pintunya ternyata masih tertutup.Lelah dan dingin.Bangkit dari pojok kamar mandi tempat ia terkurung sekarang, anak itu memegang dinding sebagai penyangga saat kepalanya terusa pusing dan tubuhnya yang lemas bukan main.Memijit dahinya yang berdenyut-denyut, Ilena mengarahkan tangannya ke depan wajahnya saat merasakan sesuatu.Darah.Pasrah, anak itu kembali duduk di atas kloset, tubuhnya yang basah kuyup dan kepalanya yang tak berhenti mengucurkan darah membuat anak itu mengalah."Ma ....""Sakit." lirih anak itu nyaris tak terdengar. "Tuhan ... Ilen pasti kuat."Anak itu merintih pilu pada Tuhannya.Mengadukan takdir yang entah mengapa begitu buruk.Ceklek!"Sakit?" tanya seorang wanita dengan dress berwarna merah ketat dan high heels membuka pintu kamar mandi. Bibir merah menyala milik wanita itu menipis, dengan mata yang
Setelah melayangkan tamparan keras dengan amarah yang menggebu, Ilena meninggalkan Aldan begitu saja di Cafe dan menuju rumahnya dengan taksi, mengingat dirinya harus bersiap untuk pernerbangan ke Jogjakarta dua jam lain.Tanpa tahu, Aldan telah membuntutinya sejak tadi.Mengepak pakaian dan keperluan dengan asal, Ilena melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu mengangkut koper biru besar ke bagasi taksi."Ssh! Berat!" keluhnya ketika menaikkan koper, satu tangannya masih memegang map berwarna biru berisi formulir pendaftaran, lantas ia mendesah lega begitu supir taksi mengambil alih pekerjaannya.Menarik segaris lengkung pada bibir, wanita dengan rok hitam dan bluose putih itu tersenyum ramah, "Terimakasih, Pak."Setelah mengusap map yang ia pegang sejak tadi, Ilena mendekap erat lembaran-lembaran kertas itu di dadanya, begitu mesin mobil berbunyi bergegaslah ia duduk di belakang kursi kemudi.Seiring taksi dengan warna biru
"Hai, sendirian?" Ilena lantas menoleh, cafe yang ia datangi saat ini lumayan sepi, entah ada angin apa seorang pemuda bodoh menanyakan hal yang sudah ia tau jawabannya.Menaikkan alis, Ilena menatap tajam. "Kita kenal?"Pemuda itu sontak tertawa, lalu duduk di hadapan Ilena tanpa permisi. "Aldan, kamu lupa?"Ilena tersentak saat nama itu membawa dirinya pada kenangan masalalu, naasnya kebanyakan bukan tentang Aldan, tapi yang lainnya."Aku tidak terlalu ingat wajahmu." sahutnya, Aldan yang mengulurkan tangan sejak tadi terpaksa menurunkan tangannya karena tak kunjung disambut. "Pergi. Aku ingin sendiri.""Oh, waw!" Aldan bertepuk tangan heboh. "Dimana Ilenaku yang manja?""I'am not yours!" bantah Ilena lantang, "Kita tidak punya hubungan apapun, baik dulu mau pun sekarang!""Jadi, pergi dari sini." katanya penuh penekanan, matanya memancar dingin, gertur tubuhnya juga terlihat waspada dengan tangan terkepal di atas meja. Aldan
Juli 2020"Apa kabar, Ma?""Aku bawa bunga mawar putih kesukaan Mama. Aku juga punya hadiah buat Mama." tutur seorang wanita dengan dress berwarna putih sederhana, ia tampah mengeluarkan sesuatu dari sling bag berwarna senada yang menggantung di bahunya.Sebuah kotak dengan alat-alat bedah mainan.Meletakkannya di dekat nisan batu yang mulai usang setelah sepuluh tahun tertanam, menunjukkan identitas seseorang yang dikubur di dalamnya.Tersenyum getir, wanita yang tampak kurus dengan kulit kuning langsat itu mengelus nisan yang tertulis namanya Ibunya. "Mama, aku sudah mengikuti lima oprasi bedah sejak bekerja di rumah sakit dua bulan yang lalu.""Aku berhasil jadi dokter, Ma." tukasnya. "Sayangnya Mama keburu pergi sebelum bisa aku obati.""Sepuluh tahun aku berjuang, Ma. Setelah semua orang meninggalkan aku begitu saja, aku berusaha bangkit bersama mimpi-mimpi yang kembali aku rakit bersama rasa sakit. ""Kenapa Mama harus pe
Ilena mengetuk pintu kelasnya, waktu menunjukkan pukul setengah delapan, berarti bel sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu.Padahal hari ini adalah minggu pertama bulan mei, di mana ujian sekolah sedang di laksanakan. Anak perempuan dengan kuncir kuda itu memegang lututnya sambil terengah-engah."Kenapa kamu terlambat?" tanya Bu Aina saat Ilena sampai di depan kelas.Semua murid menatapnya penuh tanya, terutama Nafta yang menatap khawatir dan marah."Maaf, Bu. Saya tadi sempat kecelakaan di jalan." jawabnya sambil menunjukkan beberapa goresan di lutut dan sikunya.Bu Aina sedikit heran, menggelengkan kepala, guru yang masih single itu mempersilakan Ilena duduk.Luka tadi pagi, tapi ... Luka itu tidak kelihatan segar, beberapa sudah mengering.Murid-murid mengerjakan soal-soal dalam senyap, detik-detik terakhir mereka di sekolah dasar tak terasa sudah semakin sedikit, waktu terus saja menghitung tanpa jeda.Nafta meremas ker
Menyeka peluh dan air yang telah menjadi satu di dahinya. Ilena mendongak, pintunya ternyata masih tertutup.Lelah dan dingin.Bangkit dari pojok kamar mandi tempat ia terkurung sekarang, anak itu memegang dinding sebagai penyangga saat kepalanya terusa pusing dan tubuhnya yang lemas bukan main.Memijit dahinya yang berdenyut-denyut, Ilena mengarahkan tangannya ke depan wajahnya saat merasakan sesuatu.Darah.Pasrah, anak itu kembali duduk di atas kloset, tubuhnya yang basah kuyup dan kepalanya yang tak berhenti mengucurkan darah membuat anak itu mengalah."Ma ....""Sakit." lirih anak itu nyaris tak terdengar. "Tuhan ... Ilen pasti kuat."Anak itu merintih pilu pada Tuhannya.Mengadukan takdir yang entah mengapa begitu buruk.Ceklek!"Sakit?" tanya seorang wanita dengan dress berwarna merah ketat dan high heels membuka pintu kamar mandi. Bibir merah menyala milik wanita itu menipis, dengan mata yang
Sejak bertemu Ilena setelah anak itu kembali dari kamar mandi bersama Yuka, Nafta merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Gelagatnya yang berbeda dari biasanya, membuat Nafta semakin curiga.Anak laki-laki dengan poni hingga alis yang terbelah dua, serta piyama tidur berwarna biru itu berbaring di ranjang king size kamarnya yang bertema antariksa.Jendela besar yang menampilkan lagit malam di luar menjadi satu-satunya penerangan yang ia inginkan, oleh karena itu ia mematikan seluruh lampu kamarnya.Termenung dengan banyak hal dengan satu tema yang berputar di kepalanya.Ilena.Entah sejak kapan, dunia Nafta berotasi pada Ilena. Suatu hari saat ia masih kelas tiga sekolah dasar, Ilena menjadi murid baru di kelasnya, sekaligus teman sebangku pertama dirinya sejak ia kelas satu.Sejauh itu, Nafta tidak mau duduk dengan siapapun, juga jumlah siswa yang ganjil membuatnya leluasa untuk duduk sendiri.Namun, Ilena datang, wal
"Nafta, jangan mainin rambut aku." kata Ilena sebal saat sahabat laki-lakinya itu mengambil helaian rambutnya dan menggulung-gulungnya di jari anak laki-laki itu.Nafta menatap Ilena dalam sambil tersenyum kecil. "Kamu terlalu menggemaskan." katanya mengelus pucuk kepala Ilena yang rambutnya telah di urai olehnya.Ilena mencebik kesal, tidak sepenuhnya. Anak perempuan berseragam merah putih itu menyenderkan kepalanya ke bahu Nafta. Kemudian, memejamkan mata, menikmati elusan tangan Nafta dan rambutnya yang terasa tertarik ringan, karena gulungan rambutnya pada jari Nafta."Mau minum susu? Aku bawa rasa coklat kesukaan kamu.""Hm."Ilena berdehem singkat, menanggapi tanyaan Nafta, melingkarkan tangannya pada pinggang Nafta, Ilena rasanya ingin terlelap. Saat Nafta menyodorkan susu kotak yang sudah lengkap dengan sedotan, Ilena menyedot isinya pelan-pelan dalam diam.Diam-diam pula, anak laki-laki kelas enam sekolah dasar yang ia sandari