"Nafta, jangan mainin rambut aku." kata Ilena sebal saat sahabat laki-lakinya itu mengambil helaian rambutnya dan menggulung-gulungnya di jari anak laki-laki itu.
Nafta menatap Ilena dalam sambil tersenyum kecil. "Kamu terlalu menggemaskan." katanya mengelus pucuk kepala Ilena yang rambutnya telah di urai olehnya.
Ilena mencebik kesal, tidak sepenuhnya. Anak perempuan berseragam merah putih itu menyenderkan kepalanya ke bahu Nafta. Kemudian, memejamkan mata, menikmati elusan tangan Nafta dan rambutnya yang terasa tertarik ringan, karena gulungan rambutnya pada jari Nafta.
"Mau minum susu? Aku bawa rasa coklat kesukaan kamu."
"Hm."
Ilena berdehem singkat, menanggapi tanyaan Nafta, melingkarkan tangannya pada pinggang Nafta, Ilena rasanya ingin terlelap. Saat Nafta menyodorkan susu kotak yang sudah lengkap dengan sedotan, Ilena menyedot isinya pelan-pelan dalam diam.
Diam-diam pula, anak laki-laki kelas enam sekolah dasar yang ia sandari pundaknya dan ia peluk tersenyum cerah tanpa bisa di cegah.
Tanpa sadar, Nafta jatuh cinta untuk pertama kali dalam hidupnya.
***
Palembang, 13 April 2010
SDS Randawa, papan besi putih besar terpampang besar sebagai identitas sekolah dasar swasta milik yayasan Randawa, tempat hampir dua ratus siswa kelas satu sampai enam bernaung di dalamnya.
Di masa penghujung, di ruangan kelas enam, pewaris yayasan Randawa berbaur bersama teman-teman lainnya tanpa diketahui siapapun, termasuk guru dan staf sekolah.
"Siapa yang mau maju ke depan?" tanya Bu Aina, guru matematika.
Seperti biasa, suasana kelas mendadak senyap, pampangan di papan tulis yang bergambar sebuah tabung dengan angka-angka yang tak dapat di jelaskan oleh kata-kata itu membuat sebagian dari mereka ingin pulang saja. Kenapa harus ada pelajaran matematika di muka bumi?
"Ya, Nafta?" Bu Aina melirik Nafta yang mengangkat tangannya, satu tangan anak laki-laki itu masih mengelus rambut anak disampingnya. Mesra sekali, Bu Aina berdecih. Dia yang jomblo sejak lahir merasa iri, mungkin?
"Enggak ada yang lain?" tanya Bu Aina, rasanya bosan melihat Nafta menuju papan tulis lalu mengerjakan soal tanpa salah, setelah itu sebagai bentuk penghargaan atau terimakasih yang lain akan bertepuk tangan.
"Nafta, 'Kan udah nunjuk, Bu." protes seorang anak laki-laki tanpa dasi dan penampilan acak-acakan sebal. "Kenapa masih repot nanya lagi?"
Anak laki-laki itu mendengus, memberikan pertanyaan sekaligus keluhan mewakili yang lainnya.
"Anta!" tegur Bu Aina kesal. "Kamu berani sekali! Kamu tidak diajari sopan santun?"
"Anta, kamu Keterlaluan." Tara, anak perempuan paling tomboy di kelas enam yang duduk di samping Anta itu menegur sahabat sekaligus musuhnya itu. "Sopan sama yang lebih tua! Kamu ngerti etika, 'Kan?!"
"Ya." jawab Anta dongkol setelah dimarahi.
"Bu, biar aku aja yang maju. Jangan pada ribut, dong! Yuka engga suka." timpal satu anak lagi, teguran dan wajah kesal milik anak perempuan itu malah terkesan Menggemaskan.
Bu Aina mendengus kesal. "Baik, Yuka kerjakan soal di depan!"
Yuka membawa bukunya ke depan, menarik seluruh atensi kelas. Yuka? Rasanya tidak percaya, peringkat terakhir kelas itu bisa mengerjakan soal matematika yang hanya Nafta dengan segala kecerdasan level dewanya yang bisa.
"Ssst!"
Nafta yang masih mengelus kepala Ilena sambil memperhatikan sahabat-sahabat dan gurunya adu mulut, menoleh Kebelakang. Yuka, gadis dengan dua jepit rambut dan rambut terurai itu menusuk-nusuk bahunya pelan dengan pulpen.
"Salin jawabannya ke buku ku. Entar aku yang maju." perintah anak perempuan femenim itu sambil memberikan bukunya.
Dan, Nafta menuruti tanpa bantahan.
Yuka tersenyum senang, mengedipkan matanya pada Nafta saat selesai menjawab soal tanpa kesalahan.
"Yuka ngapain ngedip-ngedipin Nafta?" tanya Ilena sewot. Anak perempuan itu refleks berdiri, Nafta yang sedari tadi memainkan jari-jari tangan anak itu tersentak kaget, termasuk Yuka dan yang lainnya.
"Sebentar! Sebelum ributnya dimulai, Ibu izin undur diri, terimakasih sudah mengikuti kelas matematika Ibu dengan semangat. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya." pamit Bu Aina sambil membereskan seluruh alat tulisnya lalu melenggang keluar.
Menghindari keributan anak-anak itu untuk kestabilan darah.
"Yuka!!!" teriak Ilena yang sedari tadi belum memperoleh jawaban. Anak-anak yang lain berhamburan keluar, menyisakan enam anak-anak yang duduk berjejer, berpasang-pasangan.
"Ih, Yuka engga ngapa-ngapain, ya!" timpal Yuka tidak kalah sewot.
Ilena berkacak pinggang. "Yuka godain Nafta, ya?!" tanya anak itu tidak suka.
Yukq terdiam sejenak. Wajah anak itu berbinar kemudian.
"Emang boleh?"
"Heh!" Ilena dan teman sebangku Yuka refleks memelototi Yuka yang masih di dekat papan tulis, dengan kelima sahabat lainnya yang duduk, menatap anak itu bak tersangka kasus pidana. Anak perempuan feminim itu menunduk takut.
"Yuka, kamu enggak usah cari masalah, deh!" sewot Anta dengan mulut pedasnya, yang ditimpali Tara dengan santai. "Kalian bego banget."
Aldan, teman sebangku Yuka berdiri dari kursinya, menatap Yuka sedih, "Aldan tau. Aldan enggak pernah terlihat di mata kamu." anak laki-laki itu melangkah keluar kelas sambil membawa bekalnya.
"Yuka hanya berterimakasih. Jangan marah, hm?" Nafta menjadi penengah, anak laki-laki yang lumayan pendiam itu mengelus kepala sahabat kesayangannya sambil menatap Ilena lamat-lamat.
Ilena mendengus. "Ya."
***
"Nafta, aku bawa pudding buatan Mama, makan bareng, yuk?"
"Aku tidak suka pudding."
"Tapi, bukannya makanan kesukaan kamu itu pudding?"
"Iya. Tapi pudding milik Ilena. Aku suka semua dari Ilena." Nafta menatap Fayara dan dua orang temannya yang menghampirinya di meja kantin saat ini Dengan dingin. Memberikan jawaban kelewat ambigu. "Jangan ganggu."
Nafta Tridakara Randawa, pewaris yayasan Randawa yang tidak terpublikasi itu sangat dingin dan tak tersentuh bagi orang-orang selain enam sahabatnya, terutama Ilena.
Nafta hanya banyak tersenyum untuk Ilena.
Nafta hanya banyak bicara untuk Ilena.
Nafta hanya berbicara lembut untuk Ilena.
Dan mungkin, hati Nafta memang sudah milik Ilena tanpa diketahui.
Fayara mendengus, melihat Ilena yang baru memasuki kantin, sekelebat ide terbesit di otaknya.
Cup!
"Aku mau, kok. Jadi pacar kamu."
Fayara tersenyum manis, primadona SDS Randawa itu memancing kehebohan di kantin. Semua orang mengira Nafta meminta gadis itu menjadi pacarnya, lalu gadis itu menyetujuinya. Bonus ciuman di Pipi Nafta membuat anak-anak bau kencur itu yakin, Nafta dan Fayara akan menjadi sepasang kekasih.
Lagipula, Fayara adalah anak terkaya di sekolah itu, anak Gubernur Sumatra Selatan itu memiliki banyak koneksi yang tidak main-main. Sangat layak menjadi primadona, 'Kan?
Ilena yang melihat itu tersenyum getir, buliran air mata mengalir begitu saja dari mata besarnya itu.
Ilena cukup tahu diri, ia yang hanya upik abu mana bisa bersaing dengan putri raja.
Bahkan, Ilena tidak tau ia harus bersaing untuk apa.
Nafta adalah pewaris Randawa, Ilena tahu sejak dulu, saat anak laki-laki itu menitipkan akta lahirnya padanya, untuk dikumpulkan pada gurunya.
Pangeran memang harus mendapatkan putri, bukan upik abu. Ilena tidak terlalu bodoh untuk mengerti dongeng Cinderella hanya bualan imajinasi semata.
***
Anak perempuan dengan rambut yang dikuncir kuda itu mendogakkan kepala saat angin taman menyapa wajahnya lembut. Ilena rasanya ingin mengeluh, keadaan sungguh memaksanya dewasa sebelum waktunya. Anak perempuan yang sebentar lagi remaja itu membutuhkan sandaran di tengah keluarganya yang hancur perlahan.
Sampai ia menemukan Nafta, Ilena kira dunianya sudah sempurna. Nyatanya Nafta hanya sebatas fatamorgana yang membuai Ilena dalam kebahagiaan yang maya.
Anak itu terlalu malu untuk protes pada Tuhan, sehingga hanya menerima semua, pasrah pada keadaan.
Perlahan tapi pasti, anak itu menangis, semakin keras.
Nafta yang sejak tadi berada di belakang Ilena tersenyum saat menemukan sahabat kesayangannya.
Rasa nyaman, dan sesuatu yang tak dapat Nafta jelaskan selalu mengambil alih dirinya saat Ilena, gadis sederhana itu ada didekatnya.
Mendengar isak tangis Ilena yang semakin keras anak itu ikut menangis. Meletakkan pelastik besar dengan logo salah satu minimarket di samping Ilena dalam diam, Nafta beranjak pergi.
Karena nyatanya mereka hanya dua insan yang berbagi luka. Berbeda rasa, tapi pada sumber yang sama, keluarga.
***
"Kak Ilena, jangan genit cama kak Nata, ya! Nanti Kak Falaya cakit hati. Kata mama, olang ketida itu ental masuk nelaka." kata seorang anak kelas satu SD saat Ilena melangkah seorang diri menuju kelas. Entah anak itu memang sudah mengerti konsep sebuah hubungan hingga berani menyebutnya orang ketiga, atau salah satu penikmat gosip tetangga.
"Iya, ih. Nanti kakak bisa di tangkap polisi, lho. Kak Falaya, 'Kan anaknya Gubelnul." anak-anak kelas satu yang kebanyakan masih cadel sibuk menggunjingkannya.
Gosip di kantin kemarin merebak cepat. Ilena sebagai pihak yang tidak tau apapun, bahkan sebagai yang terluka malah menjadi bahan gunjingan.
Anak itu baru saja mengawali kegiatan sekolahnya jam setengah tujuh pagi. Dan, sepertinya bukan hanya orang dewasa yang menyibukkan diri dengan urusan orang lain.
Padahal, tanpa diperingatkan pun Ilena tahu diri.
Anak perempuan dengan kuncir kuda, style khas miliknya itu melangkah dengan raut datar, berusaha mengabaikan celoteh adik-adik kelasnya termasuk teman sekelasnya yang ternyata munafik itu, walau ia tahu dengan pasti tidak akan bisa mengabaikannya.
"Ilen!"
"Tunggu!"
Anak perempuan dengan yang dikuncir dua dengan poni tipis yang menutupi dahinya itu tampak di ujung koridor, memanggil Ilena sambil berlari dengan raut khawatir.
"Ilen, Nafta nyariin kamu." tutur anak itu sembari terengah-engah. "Dia masuk UKS!"
Ilen terdiam sejenak.
"I-Ilen, mau ke kelas aja." ucapnya terbata-bata, sedikit terkejut dan khawatir dengan kondisi Nafta. Tapi dia bisa apa?
Sekarang anak SD pun lancar bergosip.Yuka menatap Ilena dingin, anak perempuan feminim dengan wajah manis nan imut itu menipiskan bibirnya.
"Ilen."
"Yuka bakal ambil Nafta dari kamu, kalau kamu perlakukan Nafta kaya gini." tutur Yuka serius, membuat Ilena seketika terdiam.
"Yuka suka Nafta."
***
Tok!
Tok!
Tok!
Ilena mengetuk pintu UKS sesaat setelah izin ke kamar mandi pada wali kelasnya yang sedang mengajar IPS.
Senyap.
Anak perempuan itu melangkah pelan, menuju bangsal putih yang di tiduri seorang anak laki-laki yang terlelap.
Wajahnya pucat.
Meletakkan semangkuk bubur ayam dan sebotol air mineral di atas nakas, Ilena menatap wajah Nafta yang terlelap dengan khawatir.
Sosok yang kemarin masih bisa ia peluk tanpa ragu, hari ini bahkan harus ia temui dengan diam-diam. Waktu memang sekejam itu.
Hap!
Ilena tersentak saat pergelangan tangannya dicekal oleh Nafta. Padahal sebelum ia berbalik anak laki-laki itu masih terlelap.
"Kamu mau kemana?"
Ilena lupa, Nafta sangat sensitif saat tidur. Bahkan untuk suara sekecil apapun anak itu bisa terbangun.
Insting waspada yang keterlaluan untuk ukuran anak kecil.
"A-aku ...."
Ilena menggigit bibir bawahnya cemas saat tidak menemukan satu kosa kata pun yang mau keluar dari mulutnya.
Pada akhirnya ia hanya terdiam, pasrah.
Menarik tangan Ilena untuk menghadapnya, Nafta yang sudah duduk di atas bangsal itu memeluk Ilena yang masih berdiri mematung.
Lalu menangis.
Ilena hanya anak perempuan pencemburu, butuh kasih sayang yang jarang ia dapatkan, susah mengekspresikan perasaannya. Anak itu hanya bisa menangis saat beban-beban yang datang tak lagi sanggup ia tahan.
"Ssst!"
Nafta mendesis menenangkan. Menepuk bahu Ilena, memeluk semakin erat.
"Aku tidak tidur semalaman."
"Aku mikirin kamu." Nafta bercerita tanpa diminta. "Aku takut. Aku takut kamu tidak mau bertemu dengan ku lagi."
"Aku takut tidak punya siapapun lagi." anak itu mengelus kepala belakang Ilena lembut. "Ilen ... Kamu tahu aku, lebih baik dari diriku sendiri."
"Aku akan benci kamu, jika kamu sampai meninggalkan aku." ucap anak itu sungguh-sungguh, menggeretakkan gigirnya, pelukannya kian mengerat. Ilena yang dalam dekapnya sedikit takut.
Walau rasa takut itu hanya buih-buih di lautan rasa nyaman yang Nafta beri.
"Aku akan benci kamu, sampai-sampai aku memilih mati karena terlalu benci sama kamu."
***
Ilena, Nafta, Yuka, Aldan, Tara dan Anta menuju taman belakang sekolah setelah sekolah dibubarkan.
Enam anak sekolah dasar itu menuju pohon beringin besar dengan kursi yang melingkari batang pohonnya, juga ayunan di beberapa sisi.
"Woy anak monyet!" Anta ngegas seperti biasa saat Tara mendorong ayunannya tiba-tiba.
"Orang tuaku pengusaha, bukan monyet!" suru Tara tak suka lalu mendorong ayunan yang duduki Anta sekuat tenaga.
"Aaaaa!!!"
Gubrak!
Anta mendarat ke tanah dengan posisi menyedihkan, dengan bagian wajah yang mendarat terlebih dahulu, kondisi anak itu lumayan mengenaskan.
"Hahaha ...."
"Astagfirullah, Tara berdosa banget." -Yuka.
Aldan dan Tara tergelak, memegang perut mereka yang sakit karena tertawa, Anta menatap nyalang.
"Sini kamu!"
"Aldan, Tara!"
Anta mengejar Aldan dan Tara seperti orang kesetanan.
Nafta dan Ilena duduk di kursi sambil memperhatikan. Sesekali Ilena akan mengaduh saat Nafta dengan gemas menggigiti jarinya, lalu memainkannya kembali.
Yuka berdiri sendirian menatap lurus ke arah Nafta dan Ilena dengab raut tak terbaca. Lalu menatap ke arah Aldan yang masih berlari.
Perlahan, anak itu mendekat.
"Aduh! Yuka kebelet, deh." anak perempuan dengan rambut hitam sepunggung yang terurai itu memegang perutnya sambil meringis pelan.
Mengaduh dengan heboh seolah perutnya akan meledak.
Menarik tangan Ilena, Yuka semakin menekan perutnya yang semakin sakit. "Nafta, Yuka pinjem Ilen dulu, ya."
Nafta tak bergeming. Ilena menatap takut padanya. Sedangkan Yuka menjelma menjadi orang tidak peka sedunia, melepaskan tautan tangan Nafta dan Ilena begitu saja.
"Yuk! Ilen temenin Yuka ke toilet, ya."
Menatap lurus Ilena yang di tarik pergi oleh Yuka, Nafta duduk di salah satu ayunan, memejamkan matanya, menikmati angin sore yang menyapa wajahnya lembut.
Anta, Tara dan Aldan meringis ngeri saat kembali berkumpul, menemukan Nafta seorang diri.
"Aku tidak suka Ilena pergi. Kalian tau itu." tutur anak itu pelan saat teman-temannya mendekat.
"Kalau Aldan tidak bisa lagi mengatur Yuka." anak itu menghela napas sejenak. "Aku akan mengaturnya dengan aturanku."
Yang lainnya hanya terdiam. Sejak Nafta dan mereka berteman enam tahun yang lalu, anak laki-laki itu tidak suka di bantah. Sejak Ilena pindah saat mereka kelas tiga sekolah dasar, anak laki-laki itu seperti mengecap Ilena sebagai miliknya yang tak mungkin ia beri, menempeli Ilena kemanapun ia pergi.
Anak itu juga terlalu kaku, bahasa, gestur, dengab segalanya tentang anak itu selalu kaku. Anak itu terlalu rumit untuk disentuh lebih dalam.
Dan, hanya Ilena yang mampu menembus batasan-batasan yang Nafta buat tanpa susah payah. Karena Nafta sendiri yang menyingkirkan batasan-batasan yang akan menghalangi Ilena terus di dekatnya.
Aldan maju ke hadapan anak itu yang masih mengayunkan ayunannya pelan.
Aldan yang tadinya masih berlari dengan ceria sambil berteriak-teriak seperti orang kurang waras kini memasang raut datar.
"Jangan main-main sama Yuka." suasana yang sudah dingin sejak tadi, mendadak mencekam. "Aku akan lindungin dia bagaimanapun juga. Walau harus lawan kamu."
Aldan bergegas pergi setelah mengatakan itu. Anak itu memang tidak bisa di tebak. Kepribadian Aldan sangat susah diketahui sejak dulu. Latar belakangnya pun tak ada yang tahu.
Suasana hatinya bahkan berubah cepat melebihi cuaca setiap hari.
Misterius dan berbahaya. Hal itu yang Nafta simpulkan.
Sejak bertemu Ilena setelah anak itu kembali dari kamar mandi bersama Yuka, Nafta merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Gelagatnya yang berbeda dari biasanya, membuat Nafta semakin curiga.Anak laki-laki dengan poni hingga alis yang terbelah dua, serta piyama tidur berwarna biru itu berbaring di ranjang king size kamarnya yang bertema antariksa.Jendela besar yang menampilkan lagit malam di luar menjadi satu-satunya penerangan yang ia inginkan, oleh karena itu ia mematikan seluruh lampu kamarnya.Termenung dengan banyak hal dengan satu tema yang berputar di kepalanya.Ilena.Entah sejak kapan, dunia Nafta berotasi pada Ilena. Suatu hari saat ia masih kelas tiga sekolah dasar, Ilena menjadi murid baru di kelasnya, sekaligus teman sebangku pertama dirinya sejak ia kelas satu.Sejauh itu, Nafta tidak mau duduk dengan siapapun, juga jumlah siswa yang ganjil membuatnya leluasa untuk duduk sendiri.Namun, Ilena datang, wal
Menyeka peluh dan air yang telah menjadi satu di dahinya. Ilena mendongak, pintunya ternyata masih tertutup.Lelah dan dingin.Bangkit dari pojok kamar mandi tempat ia terkurung sekarang, anak itu memegang dinding sebagai penyangga saat kepalanya terusa pusing dan tubuhnya yang lemas bukan main.Memijit dahinya yang berdenyut-denyut, Ilena mengarahkan tangannya ke depan wajahnya saat merasakan sesuatu.Darah.Pasrah, anak itu kembali duduk di atas kloset, tubuhnya yang basah kuyup dan kepalanya yang tak berhenti mengucurkan darah membuat anak itu mengalah."Ma ....""Sakit." lirih anak itu nyaris tak terdengar. "Tuhan ... Ilen pasti kuat."Anak itu merintih pilu pada Tuhannya.Mengadukan takdir yang entah mengapa begitu buruk.Ceklek!"Sakit?" tanya seorang wanita dengan dress berwarna merah ketat dan high heels membuka pintu kamar mandi. Bibir merah menyala milik wanita itu menipis, dengan mata yang
Ilena mengetuk pintu kelasnya, waktu menunjukkan pukul setengah delapan, berarti bel sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu.Padahal hari ini adalah minggu pertama bulan mei, di mana ujian sekolah sedang di laksanakan. Anak perempuan dengan kuncir kuda itu memegang lututnya sambil terengah-engah."Kenapa kamu terlambat?" tanya Bu Aina saat Ilena sampai di depan kelas.Semua murid menatapnya penuh tanya, terutama Nafta yang menatap khawatir dan marah."Maaf, Bu. Saya tadi sempat kecelakaan di jalan." jawabnya sambil menunjukkan beberapa goresan di lutut dan sikunya.Bu Aina sedikit heran, menggelengkan kepala, guru yang masih single itu mempersilakan Ilena duduk.Luka tadi pagi, tapi ... Luka itu tidak kelihatan segar, beberapa sudah mengering.Murid-murid mengerjakan soal-soal dalam senyap, detik-detik terakhir mereka di sekolah dasar tak terasa sudah semakin sedikit, waktu terus saja menghitung tanpa jeda.Nafta meremas ker
Juli 2020"Apa kabar, Ma?""Aku bawa bunga mawar putih kesukaan Mama. Aku juga punya hadiah buat Mama." tutur seorang wanita dengan dress berwarna putih sederhana, ia tampah mengeluarkan sesuatu dari sling bag berwarna senada yang menggantung di bahunya.Sebuah kotak dengan alat-alat bedah mainan.Meletakkannya di dekat nisan batu yang mulai usang setelah sepuluh tahun tertanam, menunjukkan identitas seseorang yang dikubur di dalamnya.Tersenyum getir, wanita yang tampak kurus dengan kulit kuning langsat itu mengelus nisan yang tertulis namanya Ibunya. "Mama, aku sudah mengikuti lima oprasi bedah sejak bekerja di rumah sakit dua bulan yang lalu.""Aku berhasil jadi dokter, Ma." tukasnya. "Sayangnya Mama keburu pergi sebelum bisa aku obati.""Sepuluh tahun aku berjuang, Ma. Setelah semua orang meninggalkan aku begitu saja, aku berusaha bangkit bersama mimpi-mimpi yang kembali aku rakit bersama rasa sakit. ""Kenapa Mama harus pe
"Hai, sendirian?" Ilena lantas menoleh, cafe yang ia datangi saat ini lumayan sepi, entah ada angin apa seorang pemuda bodoh menanyakan hal yang sudah ia tau jawabannya.Menaikkan alis, Ilena menatap tajam. "Kita kenal?"Pemuda itu sontak tertawa, lalu duduk di hadapan Ilena tanpa permisi. "Aldan, kamu lupa?"Ilena tersentak saat nama itu membawa dirinya pada kenangan masalalu, naasnya kebanyakan bukan tentang Aldan, tapi yang lainnya."Aku tidak terlalu ingat wajahmu." sahutnya, Aldan yang mengulurkan tangan sejak tadi terpaksa menurunkan tangannya karena tak kunjung disambut. "Pergi. Aku ingin sendiri.""Oh, waw!" Aldan bertepuk tangan heboh. "Dimana Ilenaku yang manja?""I'am not yours!" bantah Ilena lantang, "Kita tidak punya hubungan apapun, baik dulu mau pun sekarang!""Jadi, pergi dari sini." katanya penuh penekanan, matanya memancar dingin, gertur tubuhnya juga terlihat waspada dengan tangan terkepal di atas meja. Aldan
Setelah melayangkan tamparan keras dengan amarah yang menggebu, Ilena meninggalkan Aldan begitu saja di Cafe dan menuju rumahnya dengan taksi, mengingat dirinya harus bersiap untuk pernerbangan ke Jogjakarta dua jam lain.Tanpa tahu, Aldan telah membuntutinya sejak tadi.Mengepak pakaian dan keperluan dengan asal, Ilena melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu mengangkut koper biru besar ke bagasi taksi."Ssh! Berat!" keluhnya ketika menaikkan koper, satu tangannya masih memegang map berwarna biru berisi formulir pendaftaran, lantas ia mendesah lega begitu supir taksi mengambil alih pekerjaannya.Menarik segaris lengkung pada bibir, wanita dengan rok hitam dan bluose putih itu tersenyum ramah, "Terimakasih, Pak."Setelah mengusap map yang ia pegang sejak tadi, Ilena mendekap erat lembaran-lembaran kertas itu di dadanya, begitu mesin mobil berbunyi bergegaslah ia duduk di belakang kursi kemudi.Seiring taksi dengan warna biru
Setelah melayangkan tamparan keras dengan amarah yang menggebu, Ilena meninggalkan Aldan begitu saja di Cafe dan menuju rumahnya dengan taksi, mengingat dirinya harus bersiap untuk pernerbangan ke Jogjakarta dua jam lain.Tanpa tahu, Aldan telah membuntutinya sejak tadi.Mengepak pakaian dan keperluan dengan asal, Ilena melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu mengangkut koper biru besar ke bagasi taksi."Ssh! Berat!" keluhnya ketika menaikkan koper, satu tangannya masih memegang map berwarna biru berisi formulir pendaftaran, lantas ia mendesah lega begitu supir taksi mengambil alih pekerjaannya.Menarik segaris lengkung pada bibir, wanita dengan rok hitam dan bluose putih itu tersenyum ramah, "Terimakasih, Pak."Setelah mengusap map yang ia pegang sejak tadi, Ilena mendekap erat lembaran-lembaran kertas itu di dadanya, begitu mesin mobil berbunyi bergegaslah ia duduk di belakang kursi kemudi.Seiring taksi dengan warna biru
"Hai, sendirian?" Ilena lantas menoleh, cafe yang ia datangi saat ini lumayan sepi, entah ada angin apa seorang pemuda bodoh menanyakan hal yang sudah ia tau jawabannya.Menaikkan alis, Ilena menatap tajam. "Kita kenal?"Pemuda itu sontak tertawa, lalu duduk di hadapan Ilena tanpa permisi. "Aldan, kamu lupa?"Ilena tersentak saat nama itu membawa dirinya pada kenangan masalalu, naasnya kebanyakan bukan tentang Aldan, tapi yang lainnya."Aku tidak terlalu ingat wajahmu." sahutnya, Aldan yang mengulurkan tangan sejak tadi terpaksa menurunkan tangannya karena tak kunjung disambut. "Pergi. Aku ingin sendiri.""Oh, waw!" Aldan bertepuk tangan heboh. "Dimana Ilenaku yang manja?""I'am not yours!" bantah Ilena lantang, "Kita tidak punya hubungan apapun, baik dulu mau pun sekarang!""Jadi, pergi dari sini." katanya penuh penekanan, matanya memancar dingin, gertur tubuhnya juga terlihat waspada dengan tangan terkepal di atas meja. Aldan
Juli 2020"Apa kabar, Ma?""Aku bawa bunga mawar putih kesukaan Mama. Aku juga punya hadiah buat Mama." tutur seorang wanita dengan dress berwarna putih sederhana, ia tampah mengeluarkan sesuatu dari sling bag berwarna senada yang menggantung di bahunya.Sebuah kotak dengan alat-alat bedah mainan.Meletakkannya di dekat nisan batu yang mulai usang setelah sepuluh tahun tertanam, menunjukkan identitas seseorang yang dikubur di dalamnya.Tersenyum getir, wanita yang tampak kurus dengan kulit kuning langsat itu mengelus nisan yang tertulis namanya Ibunya. "Mama, aku sudah mengikuti lima oprasi bedah sejak bekerja di rumah sakit dua bulan yang lalu.""Aku berhasil jadi dokter, Ma." tukasnya. "Sayangnya Mama keburu pergi sebelum bisa aku obati.""Sepuluh tahun aku berjuang, Ma. Setelah semua orang meninggalkan aku begitu saja, aku berusaha bangkit bersama mimpi-mimpi yang kembali aku rakit bersama rasa sakit. ""Kenapa Mama harus pe
Ilena mengetuk pintu kelasnya, waktu menunjukkan pukul setengah delapan, berarti bel sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu.Padahal hari ini adalah minggu pertama bulan mei, di mana ujian sekolah sedang di laksanakan. Anak perempuan dengan kuncir kuda itu memegang lututnya sambil terengah-engah."Kenapa kamu terlambat?" tanya Bu Aina saat Ilena sampai di depan kelas.Semua murid menatapnya penuh tanya, terutama Nafta yang menatap khawatir dan marah."Maaf, Bu. Saya tadi sempat kecelakaan di jalan." jawabnya sambil menunjukkan beberapa goresan di lutut dan sikunya.Bu Aina sedikit heran, menggelengkan kepala, guru yang masih single itu mempersilakan Ilena duduk.Luka tadi pagi, tapi ... Luka itu tidak kelihatan segar, beberapa sudah mengering.Murid-murid mengerjakan soal-soal dalam senyap, detik-detik terakhir mereka di sekolah dasar tak terasa sudah semakin sedikit, waktu terus saja menghitung tanpa jeda.Nafta meremas ker
Menyeka peluh dan air yang telah menjadi satu di dahinya. Ilena mendongak, pintunya ternyata masih tertutup.Lelah dan dingin.Bangkit dari pojok kamar mandi tempat ia terkurung sekarang, anak itu memegang dinding sebagai penyangga saat kepalanya terusa pusing dan tubuhnya yang lemas bukan main.Memijit dahinya yang berdenyut-denyut, Ilena mengarahkan tangannya ke depan wajahnya saat merasakan sesuatu.Darah.Pasrah, anak itu kembali duduk di atas kloset, tubuhnya yang basah kuyup dan kepalanya yang tak berhenti mengucurkan darah membuat anak itu mengalah."Ma ....""Sakit." lirih anak itu nyaris tak terdengar. "Tuhan ... Ilen pasti kuat."Anak itu merintih pilu pada Tuhannya.Mengadukan takdir yang entah mengapa begitu buruk.Ceklek!"Sakit?" tanya seorang wanita dengan dress berwarna merah ketat dan high heels membuka pintu kamar mandi. Bibir merah menyala milik wanita itu menipis, dengan mata yang
Sejak bertemu Ilena setelah anak itu kembali dari kamar mandi bersama Yuka, Nafta merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu. Gelagatnya yang berbeda dari biasanya, membuat Nafta semakin curiga.Anak laki-laki dengan poni hingga alis yang terbelah dua, serta piyama tidur berwarna biru itu berbaring di ranjang king size kamarnya yang bertema antariksa.Jendela besar yang menampilkan lagit malam di luar menjadi satu-satunya penerangan yang ia inginkan, oleh karena itu ia mematikan seluruh lampu kamarnya.Termenung dengan banyak hal dengan satu tema yang berputar di kepalanya.Ilena.Entah sejak kapan, dunia Nafta berotasi pada Ilena. Suatu hari saat ia masih kelas tiga sekolah dasar, Ilena menjadi murid baru di kelasnya, sekaligus teman sebangku pertama dirinya sejak ia kelas satu.Sejauh itu, Nafta tidak mau duduk dengan siapapun, juga jumlah siswa yang ganjil membuatnya leluasa untuk duduk sendiri.Namun, Ilena datang, wal
"Nafta, jangan mainin rambut aku." kata Ilena sebal saat sahabat laki-lakinya itu mengambil helaian rambutnya dan menggulung-gulungnya di jari anak laki-laki itu.Nafta menatap Ilena dalam sambil tersenyum kecil. "Kamu terlalu menggemaskan." katanya mengelus pucuk kepala Ilena yang rambutnya telah di urai olehnya.Ilena mencebik kesal, tidak sepenuhnya. Anak perempuan berseragam merah putih itu menyenderkan kepalanya ke bahu Nafta. Kemudian, memejamkan mata, menikmati elusan tangan Nafta dan rambutnya yang terasa tertarik ringan, karena gulungan rambutnya pada jari Nafta."Mau minum susu? Aku bawa rasa coklat kesukaan kamu.""Hm."Ilena berdehem singkat, menanggapi tanyaan Nafta, melingkarkan tangannya pada pinggang Nafta, Ilena rasanya ingin terlelap. Saat Nafta menyodorkan susu kotak yang sudah lengkap dengan sedotan, Ilena menyedot isinya pelan-pelan dalam diam.Diam-diam pula, anak laki-laki kelas enam sekolah dasar yang ia sandari