Luis tiba-tiba merasa kepalanya pening. Ia merasa seolah terantuk benda besar, namun tak ada apa-apa. Yang membantingnya adalah kenyataan bahwa temannya adalah anak kandung dari musuh bebuyutan Roy sejak lama. Luis tidak mengkhawatirkan hal lain, ia hanya memikirkan keselamatan Gera.
"Ge, aku harus jujur pada Roy. Tapi aku sangat takut sesuatu terjadi padamu. Bagaimana aku harus memilih. Tidak mungkin aku berbohong. Roy akan tahu semuanya," gumam Luis seolah berbicara pada Gera. Ia benar-benar bingung harus bagaimana.
Pria itu menggeleng keras lalu membanting kepalanya ke kemudi mobil. Jeritan Luis sangat memekikkan telinga. Untung saja sekarang ia berada di tengah hutan. Jadi tidak akan menganggu siapapun.
"Ge, aku akan jujur pada Roy apapun yang terjadi. Karena aku melakukan ini untukmu. Demi kebaikanmu. Aku tidak mau Roy tahu semuanya setelah semua terlambat. Itu akan menjadi masalah yang jauh lebih
Gera memekik keras hingga memenuhi ruangan dengan suara pekikan frustasi. Ia jambak-jambak rambutnya yang sudah kacau. Luis dan Ros bahkan tak mau lagi melihatnya. Apa masalah keluarga Swara dengan keluarganya? Ia bingung setengah mati. Dan ingin menuntut penjelasan pada Papanya. Kini tentu saja Roy sudah tak membutuhkan dirinya. Lalu ke mana ia harus pergi? Hatinya sangat berat jika harus pergi meninggalkan Roy. Ia sudah terlanjur mencintai pria dingin dan keras itu."Ge, bukalah!" Itu Luis. Namun entah kenapa Gera seperti malas menyahutinya."Masuk saja," jawab Gera dingin. Bagaimanapun juga ini bukan salah Luis. Dia tidak punya kendali atas ini semua. Luis menghampiri Gera dengan langkah pelan. Duduk di sebelah wanita yang
"Kumohon jangan membuat dirimu repot seperti melayani tamu, Luisa," pinta Gera saat melihat wanita itu sibuk dengan beberapa kresek di kedua tangannya."Kau memang tamuku, Nona Gera," Luisa mencoba bercanda."Jika kau ingin tamu ini betah di sini, tolong bersikap biasa saja. Jika aku membutuhkan sesuatu, aku akan melakukannya sendiri. Jangan membuatku merasa tak enak hati," bantah Gera tak mau kalah. Setelah mengemasi barang-barang di kamar yang sudah Luisa sediakan, Gera memilih untuk berjalan-jalan ke arah pantai. Banyak anak-anak di sana. Gera jadi semakin tertarik dan ingin ikut bermain. Ini kali pertamanya dia akan tinggal di dekat laut. Bermain bersama beberapa anak desa membuatnya sejenak rehat dari pikiran beratnya. Otaknya terasa panas dan kebas sebelumnya. Namun ia sangat bersyu
Seperti biasa, dengan cepat Luis bisa mengendalikan rasa terkejutnya. "Ah, Pak David. Maaf mengganggu. Tetapi ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda," tutur Luis sopan. "Tidak apa-apa, nak. Silahkan masuk." Luis disambut hangat oleh David. Karena sejatinya, David tidak pernah memusuhi Roy atau siapapun. Perseteruan di antara mereka hanya kesalahpahaman Roy saja. David sering sekali ingin menjelaskan semuanya secara rinci agar masalah terselesaikan secepatnya. Namun belum saja berbicara, Roy selalu ingin mengamuk. David paham betul sifat Roy. Karena David sudah melihat anak itu semenjak dia masih kecil. Iya, keluarga David dan keluarga Swara dulunya adalah kerabat dekat. Bahkan sangat dekat. Namun karena ada kesalahpahaman antara Roy yang menjadi penerus perusahaan terhadap David, jadi beginilah sekarang. "Ada apa kau kemari, Luis? Apa perintah dari Roy hingg
"Ge, apa kau baik-baik saja bersama Luisa?" tanya Luis dari seberang sana."Aku tak apa, Luis. Di sini sangat damai. Aku sedikit lebih tenang dan bisa melupakan masalahku," tutur Gera."Syukurlah. Roy sedang sangat gencar mencarimu di sini. Bahkan ia sampai datang ke rumahmu." Gera tersentak kaget."Luis, cegah dia. Jangan biarkan dia menyakiti Papaku," Entah darimana air mata Gera menetes begitu saja."Papamu aman, Ge. Untung saja aku sudah lebih dulu ke sana dan menjelaskan semuanya pada Papamu. Beliau sangat khawatir dan ingin menemuimu. Tapi sudah aku larang."Gera menghela napas lega."Syukurlah kalau begitu. Tolong jaga Papaku, Luis.""Tentu, Gera. Jaga diri baik-baik." Sambungan terputus, tetapi air mata Gera terus saja mengalir deras. Sat
Bukan karena itu Luis tak mau bertemu dengan Gera. Terlebih karena masalah kemarin, Roy yang berhubungan lagi dengan wanita bernama Dewi. Luis tak sanggup menatap mata wanita malang itu. Perjalanan panjang mereka lalui hingga Gera pun tertidur. Luisa tersenyum melihatnya. Ia gemas melihat wanita yang semakin hari semakin melebar dan berisi. "Dasar bumil! Kau sudah seperti saudaraku. Aku tidak akan membiarkan pria itu melukaimu lahir dan batin," lirih Luisa. Ia memiliki hati yang sama seperti Luis. Mereka berdua sangat menyayangi Gera. Beberapa jam perjalanan mereka sampai. "Tunggu saja. Akan terbuka otomatis." "Wah. Rumahmu sangat canggih. Kau pasti hidup enak dengan keluarga sekaya ini," ujar Luisa takjub. Ia berdecak kagum melihat kecanggihan dari rumah keluarga Gera. "Big no! Aku sama sekali tidak bangga dengan kekayaan Papaku. Aku bahkan sangat ri
"Nenek?" panggil Roy tanpa keraguan. Ia yakin wanita berumur itu sangat mirip dengan Neneknya. Merasa dipanggil, Nek Rita berbalik dan melihat siapa yang memanggilnya. "Aroy?""Ternyata memang benar Nenek," ujar Roy sembari memeluk erat Nek Rita. Beliau juga sangat senang bisa bertemu dengan cucunya yang nakal ini."Aku sangat merindukan Nenek! Kenapa Nenek tidak langsung datang ke rumah saja? Di sini sedang apa?" Roy melayangkan pertanyaan bertubi-tubi."Nenek juga sangat merindukanmu, Roy. Nenek sengaja tinggal di villa sebelum datang menemuimu. Entah kenapa Nenek sangat malas bertemu dengan orang keras kepala sepertimu," jawab Nek Rita dengan ekspresi yang sengaja dibuat acuh. Steve datang dan menunduk hormat pada Nek Rita. Dia memang merupakan pengawal seni
"Iya, sayang. Kenapa kau mudah sekali terpengaruh oleh wanita macam dia? Ya Tuhan! Apa kau tidak jijik jika mencicipi wanita bekas orang? Apa kau sudi? Nenek saja jijik melihatnya!" olok Rita dengan suara keras. Ia mencemooh Dewi yang masih dengan tidak tahu malunya berdiri tanpa busana."Apa maksudmu, Nyonya?" bentak Dewi."Hei! Berani sekali kau membentakku! Dasar wanita aneh! Kau mau tahu siapa aku? Aku Neneknya Roy. Nyonya Besar di rumah ini. Kau salah sasaran!" Rita tertawa menggelegar memenuhi ruangan itu. Roy hanya diam tak berkutik melihat Neneknya beraksi. Dewi menatap Rita dengan mata melotot. Ia tak bisa berkata-kata. "Berani sekali kau memanfaatkan cucuku yang sedang frustasi ini untuk menyelamatkan reputasi burukmu itu! Anak dalam kandunganmu tidak akan menjadi anak dari cucuku! Kemarin kau menyuruh David untuk tanggung jawab. Setelah ditolak
Dokter itu tersenyum. "Dia sedang hamil empat Minggu, Bu. Anda harus menjaganya lebih hati-hati lagi. Jangan membiarkannya bekerja berat apalagi hingga kelelahan." Mendengar itu, Rita terharu. Dirinya semakin menua sekarang. Roy akan mempunyai anak. Rita segera memberitahu Luis dan Luisa. "Seperti yang kita tebak," ujar Luis tersenyum. Mereka berdua ikut bahagia dengan keadaan Gera. Rita menyuruh mereka berdua lebih sering menemani Gera agar wanita itu tidak bosan. Rita juga meminta tolong kepada mereka agar menuruti semua yang Gera inginkan. Dengan senang hati mereka mengiyakan itu. "Nek, apa yang terjadi? Kalian terlihat sangat senang," ujar Gera bingung saat dirinya bangun. "Kau mau tahu kenapa kami sangat senang?" tanya Luisa dan diangguki Gera. "Sebentar lagi aku akan memiliki seorang keponakan!" seru Luisa girang. Ia meloncat-loncat di atas sofa membuat Rita tert
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap
"Apa maksudmu, Steve?" tanya Luis dengan wajah terkejut. Steve meneleponnya dan mengatakan bahwa Roy sedang berada di klab dan membawa seorang wanita. Steve sendiri sangat bingung... bagaimana bisa Roy menggandeng seorang wanita dengan sangat mesra? Bukankah Bosnya itu sangat mencintai Gera? Lalu apa maksud semua ini, pikirnya. Luis tidak mau memberitahu Gera, tetapi dia langsung beranjak menuju klab dan akan menemui Bosnya itu."Di mana Bos?" Luis bertanya tanpa basa-basi pada pegawai di sana. "Luis, Bos sudah memberi pesan agar tidak seorang pun masuk mengganggunya. Termasuk kau," ujar seorang barista. Luis menatap kaget dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudnya itu?" Luis menggeram kesal. Luis tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh permukaan kulit lengannya yang terbuka. "Kau bisa masuk bersamaku, Luis." "Gera?!""Bagaimana bisa kau di sini? Aku sudah menyuruhmu untuk istirahat, bukan?" "Aku mendengar percakapan mu dengan Steve tadi.
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid