Fay kemudian duduk di meja, ia lebarkan kedua kakinya untuk memperlihatkan kewanitaannya tepat di depan Jack. "Mari kita bermain sebentar, Jack," desah Fay sengaja menggoda.
"Kau jalang juga," balas Jack tersenyum miring. Dari dalam hati ia mendesis pelan, bahwa Jack akan membuat Fay membencinya. Dengan begitu Fay akan berhenti, dan membatalkan pertunangannya tanpa perlu Jack repot-repot menyinggung kedua orang tuanya.
"Kemarilah!" Jack menggeser pinggul Fay mendekat padanya.
Fay menurut. Ia turunkan pinggulnya kepada Jack. Ia kini duduk di pangkuan Jack.
"Kau menginginkan ini?" tanya Jack mengernyit sembari menunjuk ke arah juniornya.
"Iya, Jack. Bebaskan dia," balas Fay mengangguk dengan menggigit bibir bawahnya tak kuasa menahan gairah yang kini mencuat.
"Bagaimana kalau dia nanti menggigitmu?" Jack tak kunjung membuka celananya, ia masih mengulur waktu dengan sangaja.
"Tidak apa-apa, Jack. Ahh..." Fay melepaskan desahan sensualnya
Zeta bangun lebih awal. Ia membantu merapikan dasi yang dipakai oleh Jack. Ia mengecup bibir Jack sebagai penyemangat di pagi ini sebelum pria itu pergi."Aku berangkat ya, Zeta." Jack memeluk Zeta erat, enggan untuk melepasnya."Kau mau begini terus, Jack? Nanti kau terlambat" celetuk Zeta menohok Jack, melonggarkan pelukan Jack atasnya.Jack terkekeh seraya melepaskan pelukannya dari tubuh Zeta. Ia mengusap kepala Zeta lembut. "Ya sudah, kau kembalilah tidur. Aku tahu kau bangun pagi agar bisa memberikan kecupan penyemangatmu itu kan?""Kau tahu saja, Jack." Zeta menunduk malu, ia lalu menguap dan meregangkan tubuhnya."Aku tidak akan pulang terlambat, jadi kau boleh menunggu kepulanganku. Tidak seru ketika aku pulang dan kau sudah tidur. " Jack sengaja menekuk sudut bibirnya ke bawah."Iya... Iya... Aku tidak akan tidur sebelum kau pulang," balas Zeta dengan penuh penekanan."Gitu dong." Jack menyambar bibir Zeta lagi sebelum
Max berdiri tepat di depan Jack, ia tak berhenti mengulas senyum lembut. "Kerja bagus, Jack. Baron group pulih dengan cepat.""Ah... Itu karena Daddy, Max." Jack mengedikkan bahu serentak."Daddy?" Max menaikkan sebelah alisnya. Dua tangan ia jejalkan ke dalam saku celana sembari menghembuskan napas ke udara pelan."Iya. Daddy yang membantu. Yah, meski ada syaratnya." Jack terdiam sejenak sebelum akhirnya ia berkata lagi, kini ia berbisik pelan kepada Max, "Kau juga sedang mencari tahu tentang Fayline group? Mereka kan yang menyerangmu?"Max mengangguk mengiyakan. "Kau pasti terkejut dengan informasi yang sudah aku dapat ini," balasnya berbisik dengan kepala sedikit condong ke arah Jack.Jack mencebik, menyepelekan ucapan Max barusan. Namun, secara cepat wajahnya berubah terkejut mendengar bisikan Max selanjutnya."Sudah kuduga kau akan terkejut, Jack." Max menepuk pundak Jack dan terkekeh nyaring. Ia lalu melirik ke arah belakang Jack, di m
Jack terduduk lesu di kursinya. Masalah di perusahaan sudah selesai, namun ia tak merasa senang akan hal itu. Karena semua hanyalah pembodohan Edwin belaka. Ayahnya telah mempermainkan Jack.Jack mendesah beberapa kali, membuat Aiden yang duduk tak jauh darinya melirik ke arahnya."Ada apa, Tuan?" tanya Aiden penuh perhatian."Tidak apa-apa, Aiden. Hanya saja moodku hari ini jadi sangat jelek," jawab Jack yang kemudian mencoba melirik jam yang melingkar di tangannya."Sebentar lagi kita pulang," desah Jack melepaskan udara kasar dari hidungnya. "Kau mau mampir ke kafetaria dulu?"Aiden mengangguk, mengiyakan ajakan Jack tersebut. "Iya, Tuan. Lagi pula kita juga perlu memperbaiki suasana hati.""Coklat baik untuk memperbaiki suasana hati, Aiden," tukas Jack memutar bolpoin di tangan kanannya."Mungkin aku akan menyuruh orangku membelikan coklat dan membawanya ke sini," imbuh Jack menghentikan gerakan tangannya dan mel
"Zeta..." panggil Jack mendongak ke dalam kamar Zeta dengan membawa sekotak coklat di belakang tubuhnya."Jack, kau sudah pulang?" Zeta berjingkat turun dari kasur dan berlari menghampiri Jack."Aku membawakan coklat untukmu," seru Jack menjulurkan sebuah kotak ke depan Zeta."Wow... Thanks, Jack." Zeta menerima kotak tersebut. Ia lalu menyuruh Jack duduk di pinggir tempat tidurnya, sementara ia sendiri sibuk membuka kota dan segera terkesima dengan coklat yang berjejer rapi dalam berbagai bentuk."Suapi aku, Jack." Zeta mengerucutkan bibir dan berbicara manja.Jack mengulas senyum lalu beranjak. "Aku harus cuci tangan dulu."Zeta mengangguk. Ia menaruh kotak coklat ke pangkuannya, sembari menanti Jack yang masih mencuci tangannya di kamar mandi.Jack kini berada di depan wastafel. Menyalakan kran, menyapukan sabun, lalu mengguyur kedua tangannya dengan air. Ia berbalik kembali kepada Zeta."Sudah..." Jack menghampiri Zeta. Ia
Jack menggenjot miliknya, masuk lebih dalam lagi. Sedang, ia terus melumat bibir Zeta dengan rakus. Ia jelajahi ruang hangat itu, tak membiarkan terlewat sedikit pun.Jack melakukan pelepasan di luar rahim Zeta. Keduanya telah mencapai klimaks untuk ketiga kalinya, dan mereka limbung dengan posisi badan yang saling berhadapan."Kau pasti lelah. Tidurlah, Zeta." Jack tersenyum, mengusap pipi Zeta yang merah merona.Zeta balas tersenyum. "Iya, Jack. Kau juga tidurlah."Zeta mendorong tubuhnya sendiri mendekat kepada Jack, ia peluk perut berotot pria itu, membenamkan wajahnya pada dada bidang Jack.Jack membalas pelukan Zeta dan mulai terpejam.***Jack terbangun. Ia papah pelan tubuh telanjang Zeta menuju ke kamar mandi. Ia menyalakan kran air hangat untuk memenuhi bathtub. Sembari menunggu, Jack meletakkan Zeta yang masih terlelap ke pangkuannya.Kejantanan Jack yang bergesekan dengan kulit mulus Zeta m
"Kau kenapa baru pulang sekarang, Max? Tidak biasanya kau pulang terlambat," celoteh Merry menyambut kedatangan Max di rumah.Baru saja Max melewati ambang pintu utama, namun Merry sudah bersedekap di hadapannya dan Edwin sedang duduk di sofa dengan ponselnya."Aku tadi sedang bersama Jack di kafetaria, jadi aku pulang terlambat," balas Max sengaja memancing respon kedua orang tuanya jika ia menyangkut nama Jack sebagai alasan."Kau bersama Jack? Mommy kan sudah bilang padamu kau harus menjaga jarak dengannya, dia bisa membuatmu celaka, Max." Merry berbicara lantang dengan wajah mengeras. Terlihat jelas rahangnya mengencang.Edwin menarik perhatiannya dari ponsel yang ia genggam. Ia bawa pandangannya ke arah Max dan Merry berdiri. Ia menyilangkan kakinya dan menghela napas panjang."Bagaimana mungkin aku menjaga jarak dengan adik kandungku, Mom? Jack adalah adikku. Aku tak mau hidup terus menghindar darinya. Dan satu lagi, Jack tidak membuatk
"Ah... Sepertinya Zeta sudah selesai memasak." Jack beranjak dari sofa, menggiring langkah menuju ponselnya yang berdering nyaring di atas meja.Aiden ikut beranjak, siap melaksanakan tugasnya mengambil masakan Zeta di rumah Jack dan membawanya, kembali ke ruangan ini.Jack membaca pesan dari Zeta yang mencuat di layar ponselnya, ia tersenyum lalu mengangguk menatap Aiden. "Makanannya sudah siap, Aiden.""Baik, Tuan. Saya akan pergi untuk mengambilnya." Aiden membungkuk sedikit."Thanks, Aiden. Maaf aku jadi merepotkanmu." Jack menaruh kembali ponselnya ke atas meja."Tidak apa, Tuan." Aiden mengangguk sekali lagi, sebelum enyah dari ruangan Jack. Ia lalu bergegas menuju ke area parkir. Setelah mencapai mobil, ia masuk dan melajukannya dengan kecepatan sedang.Mobil yang Aiden tumpangi bersandingan dengan kendaraan lain yang lalu lalang di jalanan.Aiden menaikkan kecepatan mobilnya agar segera sampai di kediaman Jack. Ia memutar seti
Jack merosot duduk lemas di kursi penunggu rumah sakit. Ia menarik napas panjang yang tak segera ia hembuskan kembali. Jejak air matanya yang sudah mengering, ia basahi lagi dengan air mata haru."Syukurlah," gumam Jack menyatukan kedua tangan di pangkuan. Ia membungkuk, menopang kepalanya dengan tangannya yang tertaut."Anda tepat waktu. Jika terlambat sedikit saja, nyawa pasien tidak tertolong," puji Dokter menepuk pundak Jack pelan, menyalurkan energi positif lewat sentuhannya, kemudian ia berlalu pergi.Jack beranjak berdiri. Ia menatap lewat jendela ruangan, tubuh Max dipenuhi alat-alat medis yang tertancap di tubuhnya. Ia lalu duduk kembali dengan kasar."Tuan..." Belum juga Aiden melanjutkan ucapannya, ia terdiam ketika melihat Merry berlari dari arah koridor panjang menuju kepadanya. Terlihat perempuan itu teramat khawatir."Di mana Max, Aiden?" tanya Merry ketika sudah berada tepat di depan Aiden. Ia celingukan melihat ruangan tertutup di