Max berdiri tepat di depan Jack, ia tak berhenti mengulas senyum lembut. "Kerja bagus, Jack. Baron group pulih dengan cepat."
"Ah... Itu karena Daddy, Max." Jack mengedikkan bahu serentak.
"Daddy?" Max menaikkan sebelah alisnya. Dua tangan ia jejalkan ke dalam saku celana sembari menghembuskan napas ke udara pelan.
"Iya. Daddy yang membantu. Yah, meski ada syaratnya." Jack terdiam sejenak sebelum akhirnya ia berkata lagi, kini ia berbisik pelan kepada Max, "Kau juga sedang mencari tahu tentang Fayline group? Mereka kan yang menyerangmu?"
Max mengangguk mengiyakan. "Kau pasti terkejut dengan informasi yang sudah aku dapat ini," balasnya berbisik dengan kepala sedikit condong ke arah Jack.
Jack mencebik, menyepelekan ucapan Max barusan. Namun, secara cepat wajahnya berubah terkejut mendengar bisikan Max selanjutnya.
"Sudah kuduga kau akan terkejut, Jack." Max menepuk pundak Jack dan terkekeh nyaring. Ia lalu melirik ke arah belakang Jack, di m
Jack terduduk lesu di kursinya. Masalah di perusahaan sudah selesai, namun ia tak merasa senang akan hal itu. Karena semua hanyalah pembodohan Edwin belaka. Ayahnya telah mempermainkan Jack.Jack mendesah beberapa kali, membuat Aiden yang duduk tak jauh darinya melirik ke arahnya."Ada apa, Tuan?" tanya Aiden penuh perhatian."Tidak apa-apa, Aiden. Hanya saja moodku hari ini jadi sangat jelek," jawab Jack yang kemudian mencoba melirik jam yang melingkar di tangannya."Sebentar lagi kita pulang," desah Jack melepaskan udara kasar dari hidungnya. "Kau mau mampir ke kafetaria dulu?"Aiden mengangguk, mengiyakan ajakan Jack tersebut. "Iya, Tuan. Lagi pula kita juga perlu memperbaiki suasana hati.""Coklat baik untuk memperbaiki suasana hati, Aiden," tukas Jack memutar bolpoin di tangan kanannya."Mungkin aku akan menyuruh orangku membelikan coklat dan membawanya ke sini," imbuh Jack menghentikan gerakan tangannya dan mel
"Zeta..." panggil Jack mendongak ke dalam kamar Zeta dengan membawa sekotak coklat di belakang tubuhnya."Jack, kau sudah pulang?" Zeta berjingkat turun dari kasur dan berlari menghampiri Jack."Aku membawakan coklat untukmu," seru Jack menjulurkan sebuah kotak ke depan Zeta."Wow... Thanks, Jack." Zeta menerima kotak tersebut. Ia lalu menyuruh Jack duduk di pinggir tempat tidurnya, sementara ia sendiri sibuk membuka kota dan segera terkesima dengan coklat yang berjejer rapi dalam berbagai bentuk."Suapi aku, Jack." Zeta mengerucutkan bibir dan berbicara manja.Jack mengulas senyum lalu beranjak. "Aku harus cuci tangan dulu."Zeta mengangguk. Ia menaruh kotak coklat ke pangkuannya, sembari menanti Jack yang masih mencuci tangannya di kamar mandi.Jack kini berada di depan wastafel. Menyalakan kran, menyapukan sabun, lalu mengguyur kedua tangannya dengan air. Ia berbalik kembali kepada Zeta."Sudah..." Jack menghampiri Zeta. Ia
Jack menggenjot miliknya, masuk lebih dalam lagi. Sedang, ia terus melumat bibir Zeta dengan rakus. Ia jelajahi ruang hangat itu, tak membiarkan terlewat sedikit pun.Jack melakukan pelepasan di luar rahim Zeta. Keduanya telah mencapai klimaks untuk ketiga kalinya, dan mereka limbung dengan posisi badan yang saling berhadapan."Kau pasti lelah. Tidurlah, Zeta." Jack tersenyum, mengusap pipi Zeta yang merah merona.Zeta balas tersenyum. "Iya, Jack. Kau juga tidurlah."Zeta mendorong tubuhnya sendiri mendekat kepada Jack, ia peluk perut berotot pria itu, membenamkan wajahnya pada dada bidang Jack.Jack membalas pelukan Zeta dan mulai terpejam.***Jack terbangun. Ia papah pelan tubuh telanjang Zeta menuju ke kamar mandi. Ia menyalakan kran air hangat untuk memenuhi bathtub. Sembari menunggu, Jack meletakkan Zeta yang masih terlelap ke pangkuannya.Kejantanan Jack yang bergesekan dengan kulit mulus Zeta m
"Kau kenapa baru pulang sekarang, Max? Tidak biasanya kau pulang terlambat," celoteh Merry menyambut kedatangan Max di rumah.Baru saja Max melewati ambang pintu utama, namun Merry sudah bersedekap di hadapannya dan Edwin sedang duduk di sofa dengan ponselnya."Aku tadi sedang bersama Jack di kafetaria, jadi aku pulang terlambat," balas Max sengaja memancing respon kedua orang tuanya jika ia menyangkut nama Jack sebagai alasan."Kau bersama Jack? Mommy kan sudah bilang padamu kau harus menjaga jarak dengannya, dia bisa membuatmu celaka, Max." Merry berbicara lantang dengan wajah mengeras. Terlihat jelas rahangnya mengencang.Edwin menarik perhatiannya dari ponsel yang ia genggam. Ia bawa pandangannya ke arah Max dan Merry berdiri. Ia menyilangkan kakinya dan menghela napas panjang."Bagaimana mungkin aku menjaga jarak dengan adik kandungku, Mom? Jack adalah adikku. Aku tak mau hidup terus menghindar darinya. Dan satu lagi, Jack tidak membuatk
"Ah... Sepertinya Zeta sudah selesai memasak." Jack beranjak dari sofa, menggiring langkah menuju ponselnya yang berdering nyaring di atas meja.Aiden ikut beranjak, siap melaksanakan tugasnya mengambil masakan Zeta di rumah Jack dan membawanya, kembali ke ruangan ini.Jack membaca pesan dari Zeta yang mencuat di layar ponselnya, ia tersenyum lalu mengangguk menatap Aiden. "Makanannya sudah siap, Aiden.""Baik, Tuan. Saya akan pergi untuk mengambilnya." Aiden membungkuk sedikit."Thanks, Aiden. Maaf aku jadi merepotkanmu." Jack menaruh kembali ponselnya ke atas meja."Tidak apa, Tuan." Aiden mengangguk sekali lagi, sebelum enyah dari ruangan Jack. Ia lalu bergegas menuju ke area parkir. Setelah mencapai mobil, ia masuk dan melajukannya dengan kecepatan sedang.Mobil yang Aiden tumpangi bersandingan dengan kendaraan lain yang lalu lalang di jalanan.Aiden menaikkan kecepatan mobilnya agar segera sampai di kediaman Jack. Ia memutar seti
Jack merosot duduk lemas di kursi penunggu rumah sakit. Ia menarik napas panjang yang tak segera ia hembuskan kembali. Jejak air matanya yang sudah mengering, ia basahi lagi dengan air mata haru."Syukurlah," gumam Jack menyatukan kedua tangan di pangkuan. Ia membungkuk, menopang kepalanya dengan tangannya yang tertaut."Anda tepat waktu. Jika terlambat sedikit saja, nyawa pasien tidak tertolong," puji Dokter menepuk pundak Jack pelan, menyalurkan energi positif lewat sentuhannya, kemudian ia berlalu pergi.Jack beranjak berdiri. Ia menatap lewat jendela ruangan, tubuh Max dipenuhi alat-alat medis yang tertancap di tubuhnya. Ia lalu duduk kembali dengan kasar."Tuan..." Belum juga Aiden melanjutkan ucapannya, ia terdiam ketika melihat Merry berlari dari arah koridor panjang menuju kepadanya. Terlihat perempuan itu teramat khawatir."Di mana Max, Aiden?" tanya Merry ketika sudah berada tepat di depan Aiden. Ia celingukan melihat ruangan tertutup di
"Jadi kau benar impotent, Jack? Kenapa kau baru bicara sekarang? Besok kita sudah mengadakan pesta pertunangan, tapi..." Fay mengeratkan kepalan tangannya di samping badan."Kalau kau tidak mau, kau tinggal membatalkan pertunangannya. Gampang kan?" Jack menyela dengan acuh tak acuh. Ia berdiri dengan punggung yang bersandar pada dinding."Tapi... Aku tidak mau membatalkannya." Fay bergeleng cepat. Ia lalu duduk di sofa yang ada di apartemennya. Ia sangat syok dengan perkataan Jack, di mana pria itu mendatanginya di pagi hari untuk mengatakan sesuatu yang tak ingin Fay dengar. Fay berusaha menyangkal kalau Jack menderita impotent."Cihhh... Kau tak perlu memaksakan diri untuk mengikuti keinginan orang tuamu. Aku bisa membantumu untuk membatalkan pertunangannya. Karena Edwin sudah menjeratku, aku jadi tak bisa bergerak leluasa, tapi aku tetap bisa membantumu kalau kau mau," ujar Jack setengah bergumam. Ia selipkan kedua tangan di saku celana, menatap ke arah Fay d
Zeta belum mengantuk. Ia duduk di atas ranjang sembari menggulir layar ponselnya. Ia melihat Fay sedang melakukan siaran langsung. Karena penasaran ia memencet dan melihat langsung sebuah acara mewah yang dihadiri tamu-tamu penting, kebanyakan tamunya adalah seorang pengusaha, model, aktris, dan juga ada pejabat kota.Ia terperangah dengan gaun indah yang melekat di tubuh ramping Fay. Sungguh menawan, sampai Zeta tanpa sadar bergumam, "Cantik sekali."Fay tersenyum. Ia berkedip menggoda ke arah kamera yang sedang di bawa oleh sahabatnya, Elle."Agak ke sini dong. Biar aku kelihatan lebih jelas lagi." Fay berucap dengan anggun.Zeta mengamati yang terlihat di layar ponselnya itu dengan seulas senyum. Ia menopang dagunya dengan sebelah tangan.Fay kini terlihat seperti seorang putri dari negeri dongeng bagi Zeta. Namun tak lama kemudian kamera bergetar sedikit, mengganggu siaran langsung yang dilakukan oleh Fay.Sontak Fay terlihat menol
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A