Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya.
"Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris.
"Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya.
Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap.
"Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi.
Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
Yeay... Jack dan Zeta sudah happy ending. Mereka hidup bahagia bersama Max kecil😍 Cececans sangat berterima kasih kepada semua pembaca Nafsu Bejat CEO yang setia dari awal sampai akhir. Terima kasih atas dukungan dan cinta kalian semua. Cececans sangat menyayangi kalian♥️♥️♥️ Jack dan Zeta mau pamit ya. Tapi, tenang saja karena Cececans akan segera kembali dengan kisah baru yang tentunya tidak kalah seru. Nantikan ya. Salam cinta dari author terlove, Cececans♥️♥️♥️
Gemerlap malam dihiasi oleh lampu disko yang berwarna-warni dan dengan dentuman musik yang mengiringinya, tak membuat seorang perempuan yang sedari tadi membenamkan wajahnya setelah menenggak habis segelas whiski kembali bergerak. Perempuan itu adalah Zeta Primrose Cydney. Ini merupakan kali pertamanya menginjakkan kaki di sebuah club malam karena ajakan sahabatnya, Sena. Sialnya, Zeta tak tahu apa yang baru saja ia minum sehingga tubuhnya bereaksi aneh. Ada sesuatu yang menjalari tubuhnya. Rasanya panas dan hasrat birahinya bergejolak. Tangannya menekan bagian intinya yang sudah berdenyut-denyut, ingin dimasuki. Zeta tak berhenti memberikan sapuan ke tubuhnya yang mulai bergetar. "Ah... Ah..." Zeta belum puas jika hanya menekannya. Ia perlu seseorang. Bertepatan dengan itu, tangan Zeta tak sengaja mengibas lengan seorang pria yang melewatinya. Zeta tak mau menyia-nyiakan hal ini. Ia harus segera bertindak agar terbebas dari siksaan ini. Walau, artiny
Sinar matahari mulai mengintip dari balik tirai yang tersingkap, silaunya menyentuh kedua mata seorang perempuan yang masih tenggelam dalam kenikmatan tidur pulasnya.Perempuan itu menggeliat berkali-kali. Sampai rasa tidak nyaman, sedikit nyeri ia rasakan di antara pangkal pahanya.Zeta terjingkat bangun, ia langsung menyibak selimut yang tadi membungkus tubuhnya dengan manja. Betapa terkejutnya Zeta ketika mendapati tubuhnya polos tanpa ada sehelai benang pun yang menutupinya. Kedua matanya ia giring melihat bagian intinya. Maka semakin terkejutlah Zeta kala menemukan noda darah di selimut yang ia pakai.Astaga, Siapa yang telah melakukan ini? Siapa pria yang telah merampas milikku yang berharga? Pikiran Zeta semakin rancau. Tak terasa beberapa butir kristal bening jatuh dari kedua pelupuk matanya. Zeta terisak, ia tak pernah menduga kalau ia akan merelakan kesuciannya dengan mudah. Zeta jijik dengan tubuhnya. Zeta merasa dirinya kotor, dia jalang.Zeta
Zeta terus menggiring kedua kakinya masuk ke lift. Di dalam hatinya ia tak henti-hentinya merapalkan doa. Zeta sesekali menunduk ketika berpapasan dengan orang lain. Matanya terus berkeliling dengan penuh was-was, menghindari pandangan yang tertuju padanya dengan penuh kritik. Zeta menunduk lebih dalam lagi, ia menyadari kalau pakaian yang dipakainya saat ini sangat kontras dan tak sesuai jika digunakan ketika pagi yang cerah seperti sekarang ini. Zeta tak memusingkan hal itu. Yang terpenting ia harus pulang ke apartemen sederhananya dengan cepat. Sesampainya ia di luar gedung mewah itu, Zeta yang kebetulan melihat sebuah mobil taksi lewat segera menghentikannya. "Pak!" teriak Zeta tak sabar seraya melambaikan tangan kanannya ke depan. Sopir taksi menghentikan mobilnya tepat di depan Zeta, dengan sebuah anggukan darinya, Zeta pun masuk ke dalam taksi. Zeta tak membawa sepeser pun uang, ia akan membayar ongkos taksi ketika sudah s
Di tempat lain. Di sebuah gedung perusahaan yang berdiri kokoh di kota Chicago ini, Baron group namanya. Seorang pria bermata biru gelap dengan rambut coklat gelap yang tertata rapi dengan baluran pomade duduk di kursi itu menyilangkan kakinya menghadapi pengawalnya yang baru sampai di kantor beberapa menit yang lalu. "Tuan, kenapa Anda tidak memperbolehkan saya untuk mengikutinya?" tanya Aiden dengan sangat sopan. Tangannya saling bertautan di belakang badannya yang gagah dan tegap. "Memangnya dia siapa? Dia kan hanya jalang murahan yang menginginkan sentuhan dariku," balas Jack tak acuh. Begitulah nasib para jalang yang bertemu dengan Jack. Setelah dimasuki, dinikmati, lalu dibuang. Meskipun begitu, para perempuan itu begitu tergila-gila oleh ketampanan Jack, ditambah lagi pria itu sudah mapan dengan kekayaan yang dimilikinya terbilang sangat fantastis. Tidak ada yang tak mengenal Jack, si CEO tampan dari Baron group. Selain itu tubuh Jack seper
Sudah lewat satu hari, sesudah apa yang Zeta alami. Dalam tidurnya yang nyenyak, ada ketukan pintu yang terus berdengung mengganggu ketenangan Zeta.Zeta mengerjap kedua matanya dengan sebelah tangan menggosok matanya itu. Dengan malas ia memaksakan tubuhnya berdiri dan berjalan mendekat ke arah pintu.Ceklek...Pintu terbuka, memperlihatkan sesosok laki-laki yang tak lain ialah Anthony, pacar Sena, sahabat Zeta."Oh... Anthony. Ada apa ke sini? Kemarin Sena sudah membawakan ponselku, jadi kau tak perlu repot-repot ke sini." Zeta berdiri di ambang pintu, mencegah pintunya terbuka lebar untuk Anthony masuki."Sena yang menyuruhku ke sini, dia membelikanmu bubur. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Apalagi ketika dia tahu kalau kau pulang duluan meninggalkan kami di club karena alasan sakit." Anthony berucap seraya memperlihatkan sebuah kotak makanan di tangan kanannya."Baiklah, terimakasih." Zeta menunjukkan sudut mulut yang terangkat, membe
Anthony menatap calang Zeta, ia meraih dagu perempuan itu dengan kasar dan meleparnya. "Tidak ada seorang pun yang akan meno..." Belum juga Anthony menyelesaikan ucapannya, pintu berhasil dibuka dengan sekali tendangan. Anthony terbelalak melihat pria bertubuh kekar dengan balutan jas yang berhasil mendobrak pintu yang tadinya sudah ia kunci agar tak ada yang mengganggunya ketika menikmati Zeta. Sial! Anthony terdiam dengan mata memandangi pria tersebut dengan heran. Siapa dia? Anthony tak habis pikir ada pria macam ini di sekitar apartemen Zeta yang kecil dan sunyi. Bug... Pria itu melayangkan sebuah pukulan yang tepat mengenai wajah Anthony. Pria itu menatap datar Zeta, memastikan kalau ia tak salah sasaran. Ia lalu beralih ke laki-laki yang mengangkat tangannya, siap untuk memberikan sebuah pukulan. Tapi, Anthony tak sebanding dengan pria yang ada di depannya itu. Dari perawakannya saja Anthony sudah kala
Aiden berdehem untuk membuyarkan lamunan Zeta. Zeta terperanjat kaget dan mengulas senyum karena malu."Silahkan masuk, Nona. Koper Anda biar saya yang urus." Aiden membukakan pintu untuk Zeta.Zeta mengangguk cepat dan bergegas masuk ke mobil. Matanya terus berkeliling dengan sangat terpukau, tangannya tak berhenti memberikan sapuan pada jok mobil yang bisa dipastikan untuk joknya saja harganya sudah sangat mahal. Baru kali ini Zeta menduduki mobil semewah ini. Sungguh luar biasa, pikir Zeta mengamati setiap inci mobil tersebut.Aiden melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi namun tetap hati-hati. Dari kaca yang menempel tepat di atasnya, Aiden melirik sekilas Zeta dengan penuh pengamatan. Perempuan di belakangnya sangat polos, tak seperti perempuan-perempuan lain yang pernah berhubungan dengan tuannya.Drttt...Ponsel Zeta bergetar. Terdapat satu panggilan masuk dari Sena ketika Zeta membuka layar ponselnya itu."Bolehkah aku menerima pa
Zeta terlonjak kaget di saat sebuah tangan berhasil masuk ke dalam celana dalamnya dan menusuk bagian sensitifnya dengan cukup dalam. Zeta tercekat, suaranya tersangkut di tenggorokan kala pandangannya beradu dengan dua manik mata berwarna biru gelap di depannya. "Anda siapa?" tanya Zeta ketika berhasil membuka mulutnya. Ia berusaha untuk menghindari kejaran mata biru gelap itu yang seakan-akan ingin menelan Zeta dengan penuh nafsu. "Berhenti, Tuan. Aku mohon." Zeta tak tahan ketika sebuah tangan di bawahnya mengocok miliknya dengan kasar. Zeta menggigit bibir bawahnya, dengan segera ada sebuah rasa yang ikut bergelora. Rasa yang pernah muncul ketika meminum obat perangsang yang diberikan Anthony brengsek. Kalau begini, aku tak bisa tahan. Batin Zeta ingin menangis. Sedetik kemudian air matanya sudah tumpah ruah menghiasi wajahnya yang cantik. "Hush... Jangan menangis, Sayang. Nikmati saja." Tangan kekar Jack membelai lembut pipi Zeta, menyingkirkan b
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A