Sudah lewat satu hari, sesudah apa yang Zeta alami. Dalam tidurnya yang nyenyak, ada ketukan pintu yang terus berdengung mengganggu ketenangan Zeta.
Zeta mengerjap kedua matanya dengan sebelah tangan menggosok matanya itu. Dengan malas ia memaksakan tubuhnya berdiri dan berjalan mendekat ke arah pintu.
Ceklek...
Pintu terbuka, memperlihatkan sesosok laki-laki yang tak lain ialah Anthony, pacar Sena, sahabat Zeta."Oh... Anthony. Ada apa ke sini? Kemarin Sena sudah membawakan ponselku, jadi kau tak perlu repot-repot ke sini." Zeta berdiri di ambang pintu, mencegah pintunya terbuka lebar untuk Anthony masuki.
"Sena yang menyuruhku ke sini, dia membelikanmu bubur. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Apalagi ketika dia tahu kalau kau pulang duluan meninggalkan kami di club karena alasan sakit." Anthony berucap seraya memperlihatkan sebuah kotak makanan di tangan kanannya.
"Baiklah, terimakasih." Zeta menunjukkan sudut mulut yang terangkat, membentuk sebuah senyuman. Tangan kanannya terjulur menerima kotak tersebut dari Anthony.
Namun, Anthony menghindari tangan Zeta. "Kau akan membiarkan seorang tamu hanya berdiri di ambang pintu seperti ini, huh?"
"Ah, tidak. Masuklah, aku akan buatkan minum." Zeta mundur beberapa langkah, memberikan ruang agar Anthony bisa memasuki apartemen sederhananya.
Zeta berderap menuju dapur, dan mulai meracik teh. Karena terlalu sibuk ia membuat minuman, ia sampai tak mendengar langkah kaki yang mendekatinya.
Tap... Tap....
Anthony menghampiri Zeta selepas ia melirik sekilas kotak bubur di atas meja. Dengan matanya yang sudah gelap, dipenuhi oleh nafsu yang bergelora. Tangannya melingkar di perut ramping Zeta.
Tentu saja, sentuhan Anthony itu membuat Zeta terperanjat kaget. Apalagi laki-laki yang sedang memeluknya, adalah pacar sahabatnya sendiri.
"Lepas, Anthony!" Zeta berusaha melepaskan pelukan di perutnya.
Anthony melonggarkan sedikit pelukannya. Tenaganya yang kuat berhasil membalikkan tubuh mungil Zeta hingga keduanya saling berhadapan. Kaki Anthony menghimpit Zeta sampai perempuan itu tak bisa bergerak dari tempatnya berdiri.
"Siapa pria itu, huh? Siapa pria yang sudah membantumu lepas dari pengaruh obat perangsang yang ada di minumanmu?" tanya Anthony mengangkat dagu Zeta, menatap lurus manik mata hitam milik Zeta.
Zeta tercekat mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut Anthony. Sebuah pengakuan? Jadi Anthonylah yang membuat Zeta kesakitan karena obat perangsang sialan dan yang membuatnya harus melepaskan rasa sakitnya itu bersama pria asing yang tak pernah Zeta temui sesudahnya.
Zeta menatap wajah Anthony dengan penuh kebencian, kedua telapak tangannya sudah terkepal erat.
Tanpa aba-aba, Zeta memukul dada Anthony membuat laki-laki itu mengeluh sakit. Namun dengan cepat Anthony sudah berhasil membekuk Zeta ke dalam pelukannya.
Anthony mencium bibir Zeta dengan kasar, dan melucuti Zeta.
Zeta meronta dan menangis. Ia sempat berteriak meski setelahnya ia dibungkam oleh mulut Anthony yang terus saja melumat dan memaksa agar lidahnya bisa menjangkau semua ruangan hangat di dalam mulut Zeta.
Zeta terus bergeleng dengan berderai air mata yang tak henti-hentinya tertumpah dari kedua matanya yang kini terpejam erat. Ia merapalkan doa, berharap akan ada seseorang yang menolongnya. Ia tak mau ada laki-laki lain yang menjajahi tubuhnya, apalagi itu pacar sahabatnya sendiri.
Di saat yang bersamaan, ada dobrakan pintu yang cukup kencang. Zeta tak tahu siapa orang yang ada di luar sana, namun Zeta berharap orang tersebut yang akan membantunya dari kukungan Anthony yang saat ini sudah berhasil menanggalkan pakaian dari tubuh Zeta, dan hanya menyisakan pakaian dalamnya.
Pintu didobrak sampai tiga kali. Tak ada suara selepas itu. Zeta semakin ketakutan. Ketika bibir Anthony lepas dari bibirnya karena hendak menarik napas, Zeta segera memakai kesempatan itu untuk berteriak.
"Tolong!"
-To Be Continued-
Anthony menatap calang Zeta, ia meraih dagu perempuan itu dengan kasar dan meleparnya. "Tidak ada seorang pun yang akan meno..." Belum juga Anthony menyelesaikan ucapannya, pintu berhasil dibuka dengan sekali tendangan. Anthony terbelalak melihat pria bertubuh kekar dengan balutan jas yang berhasil mendobrak pintu yang tadinya sudah ia kunci agar tak ada yang mengganggunya ketika menikmati Zeta. Sial! Anthony terdiam dengan mata memandangi pria tersebut dengan heran. Siapa dia? Anthony tak habis pikir ada pria macam ini di sekitar apartemen Zeta yang kecil dan sunyi. Bug... Pria itu melayangkan sebuah pukulan yang tepat mengenai wajah Anthony. Pria itu menatap datar Zeta, memastikan kalau ia tak salah sasaran. Ia lalu beralih ke laki-laki yang mengangkat tangannya, siap untuk memberikan sebuah pukulan. Tapi, Anthony tak sebanding dengan pria yang ada di depannya itu. Dari perawakannya saja Anthony sudah kala
Aiden berdehem untuk membuyarkan lamunan Zeta. Zeta terperanjat kaget dan mengulas senyum karena malu."Silahkan masuk, Nona. Koper Anda biar saya yang urus." Aiden membukakan pintu untuk Zeta.Zeta mengangguk cepat dan bergegas masuk ke mobil. Matanya terus berkeliling dengan sangat terpukau, tangannya tak berhenti memberikan sapuan pada jok mobil yang bisa dipastikan untuk joknya saja harganya sudah sangat mahal. Baru kali ini Zeta menduduki mobil semewah ini. Sungguh luar biasa, pikir Zeta mengamati setiap inci mobil tersebut.Aiden melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi namun tetap hati-hati. Dari kaca yang menempel tepat di atasnya, Aiden melirik sekilas Zeta dengan penuh pengamatan. Perempuan di belakangnya sangat polos, tak seperti perempuan-perempuan lain yang pernah berhubungan dengan tuannya.Drttt...Ponsel Zeta bergetar. Terdapat satu panggilan masuk dari Sena ketika Zeta membuka layar ponselnya itu."Bolehkah aku menerima pa
Zeta terlonjak kaget di saat sebuah tangan berhasil masuk ke dalam celana dalamnya dan menusuk bagian sensitifnya dengan cukup dalam. Zeta tercekat, suaranya tersangkut di tenggorokan kala pandangannya beradu dengan dua manik mata berwarna biru gelap di depannya. "Anda siapa?" tanya Zeta ketika berhasil membuka mulutnya. Ia berusaha untuk menghindari kejaran mata biru gelap itu yang seakan-akan ingin menelan Zeta dengan penuh nafsu. "Berhenti, Tuan. Aku mohon." Zeta tak tahan ketika sebuah tangan di bawahnya mengocok miliknya dengan kasar. Zeta menggigit bibir bawahnya, dengan segera ada sebuah rasa yang ikut bergelora. Rasa yang pernah muncul ketika meminum obat perangsang yang diberikan Anthony brengsek. Kalau begini, aku tak bisa tahan. Batin Zeta ingin menangis. Sedetik kemudian air matanya sudah tumpah ruah menghiasi wajahnya yang cantik. "Hush... Jangan menangis, Sayang. Nikmati saja." Tangan kekar Jack membelai lembut pipi Zeta, menyingkirkan b
Seketika tubuh Zeta merinding, bulu kuduknya berdiri tegak saat bayang-bayang tangan laknat itu kembali menjamah tubuhnya. Pasti pria itu yang memakaikan pakaian ini untuk Zeta. Kenapa semua harus berwarna pink? Zeta jadi terlihat seperti seonggok boneka barbie yang baru saja didandani. Ceklek... Suara pintu yang terbuka lebar berhasil menyita perhatian Zeta yang sedari tadi mengutuki pria brengsek dan baju tidur pinknya. "Permisi, Nona. Anda dipanggil Tuan di ruang makan," ucap seorang perempuan setengah baya dengan memakai baju maid. Tatanan rambutnya sangat rapi, tergulung ke bagian belakang. Zeta terus mengamati pelayan tersebut. Mungkin, jika ibunya masih hidup pasti usianya seperti perempuan ini. "Permisi, Nona. Mau saya antar?" ucap si pelayan kepada Zeta. "Untuk selanjutnya saya yang akan mengurus Nona di sini," timpal perempuan itu lagi. "Mungkinkah kau yang memakaikanku pakaian ini?" Pertanyaan Zeta
"Baik, aku akan melakukannya tepat seperti yang dia mau." Jack beranjak dari kursinya. Selera makannya sudah hilang sejak ia mendengar nama kakaknya, apalagi tahu kalau kakaknya itu akan segera pulang. Dan, cepat atau lambat kebebasan Jack ditekannya dengan sangat. Jack berderap menuju kamarnya. Ruangan ini begitu luas dengan perkakas mewah dan elegan. Kasur berukuran super king semakin membuat ruangan ini terlihat megah alih-alih sempit. Jack melempar tubuhnya ke atas kasur dengan desahan berat keluar dari mulutnya. Ia mengacak rambutnya, kegeraman yang memuncak sampai ke umbun-umbun. Rasa amarah segera menyelimuti dada Jack. Besok ia akan kembali bertemu dengan wajah bedebah menjengkelkan itu. Ah, ingin rasanya Jack melempar Max ke kutub utara biar sekalian pria itu dimakan oleh beruang kutub di sana. Jack memejamkan kedua matanya, berusaha menahan emosi yang membuncah di dada. Ia lalu terlelap dalam tidur. ***
"Memangnya aku bisa kabur dari sini, Bi?" Zeta tersenyum miris. "Nona harus bisa bertahan. Ada saya di sini, yang akan membantu Nona kapan saja." Sesosok Lerry begitu baik dan semua yang perempuan itu ucapkan begitu hangat, mendamaikan serta menenangkan hati Zeta. "Kalau begitu bantu aku kabur dari sini, Bi. Bibi pasti tahu apa yang telah Tuan Jack itu lakukan padaku. Aku tak mungkin bisa bertahan hidup di sini. Aku mohon, Bi." Zeta mendekati Lerry dan menangkup tangan kasar penuh kapalan milik perempuan itu. "Maaf, Nona. Untuk yang satu itu saya tidak bisa meloloskannya." Lerry melepaskan genggaman Zeta pada tangannya. Senyum yang semula menghiasi wajahnya kini memudar. Datar. Lerry tak berucap lagi dan segera pergi dari kamar Zeta. Hingga menyisakan Zeta sendirian di dalam kamar. Zeta meremas celananya dan bersumpah akan membalaskan dendamnya kepada Tuan Jack. Zeta akan membuat Tuan Jack menyesali apa yang telah diperbuatnya ini. "Awas
Aiden tak mengeluarkan suara sama sekali. Ia memperlambat laju mobil seraya menunggu perintah dari Jack, mau dibawa ke mana Max, kakak tuannya itu yang sudah dua tahun ini tak terlihat.Sementara Jack masih tak merespon pertanyaan Max, membuat pertanyaan itu menggantung di udara. Jack lebih memilih menekan kembali layar ponselnya dengan kasar."Aiden, antar aku ke rumah Jack sekarang!" titah Max tiba-tiba, memanaskan telinga Jack."Tidak! Aku sudah bilang, kau harus langsung ke rumah Mommy!" sahut Jack meremas ponsel yang ia pegang sampai buku-buku jarinya memutih."Why? Jadi dugaanku benar kalau kau memang menyembunyikan 'yang berhargamu' di sana." Max mengangguk pelan seakan sudah paham."Jaga mulutmu, Max! Jangan berucap omong kosong! Dasar bedebah sialan!" balas Jack geram, menyentak Max. Kakaknya itu selalu berhasil menyulut emosi Jack."Padahal aku hanya ingin mampir sebentar, tapi responmu keterlaluan, Jack. Aku ini kakakmu." Ma
Jack melihat para pelayan berlarian. Maka tahulah ia kalau itu semua pasti karena Zeta.Bisa-bisanya dia membuat kericuhan di sini, desah Jack berat dalam hati. Ia segera menggiring dirinya menuju ke kamar Zeta yang pintunya tertutup. Di sana Zeta menangis ditemani Lerry yang memegang pundaknya, menepuknya perlahan untuk menenangkan."Aku ingin keluar dari rumah ini, Bi. Tapi, aku tidak bisa. Bahkan ponselku sekarang tidak ada, aku tidak bisa menemukannya... Aku ingin sekali pergi dari sini...." Zeta terus berucap dengan sesekali sesengukan."Tenanglah, Nona. Tapi kenapa Nona bisa berada di taman belakang tadi? Jangan seperti itu lagi ya Nona. Saya tadi kebingungan mencari Anda." Lerry mengusap pundak Zeta lembut dengan mata yang memancarkan kasih sayang tulus."Karena mau kabur?" sahut Jack dari balik pintu yang kini terbuka, membuat kedua perempuan di depannya sama-sama terjingkat kaget.Zeta buru-buru mengusap air matanya sebelum Jack mengetahui
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A