Aiden tak mengeluarkan suara sama sekali. Ia memperlambat laju mobil seraya menunggu perintah dari Jack, mau dibawa ke mana Max, kakak tuannya itu yang sudah dua tahun ini tak terlihat.
Sementara Jack masih tak merespon pertanyaan Max, membuat pertanyaan itu menggantung di udara. Jack lebih memilih menekan kembali layar ponselnya dengan kasar.
"Aiden, antar aku ke rumah Jack sekarang!" titah Max tiba-tiba, memanaskan telinga Jack.
"Tidak! Aku sudah bilang, kau harus langsung ke rumah Mommy!" sahut Jack meremas ponsel yang ia pegang sampai buku-buku jarinya memutih.
"Why? Jadi dugaanku benar kalau kau memang menyembunyikan 'yang berhargamu' di sana." Max mengangguk pelan seakan sudah paham.
"Jaga mulutmu, Max! Jangan berucap omong kosong! Dasar bedebah sialan!" balas Jack geram, menyentak Max. Kakaknya itu selalu berhasil menyulut emosi Jack.
"Padahal aku hanya ingin mampir sebentar, tapi responmu keterlaluan, Jack. Aku ini kakakmu." Ma
Jack melihat para pelayan berlarian. Maka tahulah ia kalau itu semua pasti karena Zeta.Bisa-bisanya dia membuat kericuhan di sini, desah Jack berat dalam hati. Ia segera menggiring dirinya menuju ke kamar Zeta yang pintunya tertutup. Di sana Zeta menangis ditemani Lerry yang memegang pundaknya, menepuknya perlahan untuk menenangkan."Aku ingin keluar dari rumah ini, Bi. Tapi, aku tidak bisa. Bahkan ponselku sekarang tidak ada, aku tidak bisa menemukannya... Aku ingin sekali pergi dari sini...." Zeta terus berucap dengan sesekali sesengukan."Tenanglah, Nona. Tapi kenapa Nona bisa berada di taman belakang tadi? Jangan seperti itu lagi ya Nona. Saya tadi kebingungan mencari Anda." Lerry mengusap pundak Zeta lembut dengan mata yang memancarkan kasih sayang tulus."Karena mau kabur?" sahut Jack dari balik pintu yang kini terbuka, membuat kedua perempuan di depannya sama-sama terjingkat kaget.Zeta buru-buru mengusap air matanya sebelum Jack mengetahui
Jack mengangkat wajah serta sebelah alisnya ketika Aiden sudah berdiri di hadapannya. "Bagaimana?" tanyanya seraya memijat-mijat keningnya untuk meringankan rasa berat yang seakan baru saja ditimpa benda besar.Kakinya yang tersilang kini ia buyarkan. Ia berdiri, berderap mengelilingi meja yang memisahkannya dari Aiden dan berhenti ketika tubuhnya sudah membelakangi meja tersebut."Bagaimana, Aiden?" ulang Jack mengalihkan perhatian Aiden yang tadi terpaku sebentar pada sisi meja di belakang Jack. Di bagian itu terdapat cairan putih kental. Aiden bergidik dan matanya langsung berserobok dengan mata biru gelap Jack."Ehemm... Tuan Max sepertinya telah mengetahui keberadaan Nona Zeta di kediaman Tuan." Aiden berdehem agar suaranya bisa keluar setelah sempat tercekat di tenggorokan."Menyusahkan saja," desah Jack berat dengan suara seraknya. Ia menoleh ke samping badannya, tepat di mana Camelia terduduk tadi."Aku akan urus masalah ini," timpal Jack m
Zeta menyelesaikan makan malam di meja panjang sendirian. Tak didapatinya keberadaan Jack. Maka ia bertanya pada Lerry yang tak jauh dari tempatnya berada, perempuan setengah baya itu sedang membereskan pantry bersama pelayan yang lain. "Bi, di mana Tuan Jack?" Zeta memutar badannya menghadap kepada Lerry. Lerry menghentikan aktivitasnya sejenak, ia berderap menuju Zeta. "Tuan sedang berada di kamarnya, Nona" jawabnya lembut. Zeta terhenyak, teringat sesuatu. Dia harus pergi ke kamar Jack untuk menanyakan seputar surat perjanjian yang sudah terlanjur dia sanggupi. Bagaimana bisa dia sampai lupa. Zeta mengulum bibirnya ke dalam, seketika ia meringis kesakitan. Robekan di bibirnya semakin diperparah oleh perbuatan Jack tadi. Pria itu menggigitnya dan menyesap bibir Zeta dengan rakus. Tanpa sadar Zeta menyentuh bibirnya dan kembali mengerang. "Aww..." desisnya lirih. Lerry menyadari hal itu, tapi buru-buru Zeta alihkan dengan sebuah pertanyaan. "
"Bodoh... Kau bodoh Zeta." Zeta berulang kali memukul kepala sembari membenarkan kancing baju tidurnya. Ia baru saja keluar dari kamar mandi seusai membersihkan diri. Milik Jack tadi berhasil membuai Zeta hingga ia tak bisa menolak untuk mengurutnya. Bahkan sekarang ia terus memikirkan benda tumpul seperti sosis itu.Zeta menghempaskan tubuh mungilnya ke kasur yang empuk, membuatnya terpental beberapa kali.Guling di samping Zeta ditariknya mendekat dan dipeluknya dengan gemas. Zeta meremas guling tersebut. Tubuhnya tak tinggal diam, bergulir ke sana kemari."Ah, aku harus berhenti memikirkannya." Zeta meringkuk di balik selimut, masih terjaga. Ia berusaha memejamkan kedua matanya, namun gagal.Malam terasa lama. Untung pagi segera datang. Sinar matahari mulai mengintip dari celah tirai kamar Zeta yang tersibak sedikit.Zeta mengerjap, menggosok kedua matanya secara bergantian. Ia lalu meregangkan tubuhnya yang lesu karena tak bisa tidur semalaman.
Tubuh Zeta terasa remuk. Ia hendak berpijak pada lantai untuk membersihkan sisa percintaan semalam, namun Zeta berhenti, mematung. Ia kini sudah memakai pakaian baru dan tubuhnya sudah bersih, bahkan kulitnya beraroma rose, yang Zeta tahu salah satu aroma sabun cair yang ada di kamar mandinya. Dua kali Zeta mengalami hal ini, pingsan karena digagahi Jack, lalu bangun dengan sudah berpakaian lengkap. Untung saja saat ini Zeta tak memakai baju pink lagi. Zeta menarik napas lega.Zeta menaikkan alisnya ketika Lerry memasuki kamarnya dengan membawa nampan berisi makanan.Harum masakan Lerry menyeruak menggugah selera Zeta. Ia ingin cepat-cepat menghabiskan semua makanan itu sampai tak tersisa.Lerry meletakkan nampan tersebut di meja nakas, di samping tempat tidur Zeta.Zeta ingin langsung menyantap makanannya, namun ada suatu pikiran yang mengganggunya."Bi, bukannya Bibi dilarang membawa makanan ke kamarku? Aku kan harus pergi ke ruang ma
Jack terlihat gusar. Lagi-lagi Max terlambat. Ia tak akan menoleransi keteledoran Max kali ini, meski ia tahu kalau pria itu tidak dalam kondisi baik-baik saja sekarang. Pukulan Jack semalam hanya satu kali, namun sepertinya terlampau kencang sampai sanggup membuat Max tak sadarkan diri. Aiden berdiri di samping Jack, senantiasa menanti perintah dari pria itu. Camelia menyusul masuk. Ia tak mengeluarkan suara sama sekali, hanya bunyi sepatu hak tinggi yang berbenturan dengan lantai keramik yang terdengar. Jack enggan melihat Camelia, ia melengos ke arah lain ketika perempuan itu membawakan seberkas dokumen ke mejanya. "Ini dokumen yang kau minta, Jack." Camelia segera berderap keluar. Ia merasa canggung setelah kejadian semalam. Sebelum pesta penyambutan Max kemarin mencapai di penghujung acara, Camelia sudah meninggalkan Max yang masih pingsan sendirian di ruangan. Sedikit tega, namun ia tak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk mem
Max mengerutkan dahi, bingung melihat lewat jendela, Aiden yang sudah menunggunya di depan rumah."Kenapa dia ada di sini, Mom?" tanya Max pada seorang perempuan setengah baya yang sedang menikmati sarapan paginya dengan gaya elegan penuh wibawa.Merry meletakkan cangkirnya setelah menyesapnya sedikit. "Mom tidak tahu. Mungkin Jack yang menyuruh. Bukankah itu baik untukmu, Max? Kau kan jadi tak kelelahan menyetir sendiri," ujarnya seraya mengulum bibir, memperbaiki polesan lipstik agar tetap rata."Tapi aku tak suka, Mom." Max mengepalkan kedua tangannya. Alasan pasti Jack menyuruh Aiden menjemputnya adalah supaya ia tak lagi menemui Zeta."Sepertinya benar-benar spesial.""Apanya yang spesial?" Merry bertanya ingin tahu."Oh ya, kau belum menjawab pertanyaan Mommy kemarin. Kenapa kau pulang terlambat dan wajahmu ada luka lebam?" tambah Merry."Ah... Bukan apa-apa, Mom. Kemarin aku terlalu mabuk dan karena kurang hati-hati aku j
Pagi-pagi benar ketika sinar matahari baru saja menembus jendela kamar Zeta, perempuan itu sudah sibuk meregangkan tubuhnya. Meliuk ke kanan dan ke kiri, beralih ke kepala yang ia tengokkan ke samping, menengadah dan yang terakhir menunduk. Zeta merasa tubuhnya jadi mudah lelah karena jarang berolahraga, padahal dulu ketika ia masih tinggal di apartemen sederhananya ia sama sekali tak pernah melewatkan waktu olahraganya satu kali pun. Meski hanya berlari, ataupun lompat tali di luar apartemen bersama Sena. Setidaknya itu sudah membuat tubuhnya bugar kembali.Zeta keluar dari kamar dengan memakai kaos putih dan celana training. Ia berlari ke luar rumah, menghiraukan panggilan-panggilan para pelayan yang berusaha menghentikannya."Nona Zeta. Anda bisa kelelahan kalau berlari seperti itu," teriak beberapa pelayan yang ikut berlari untuk menghentikan Zeta.Zeta tak berhenti, ia malah memacu gerakan kakinya lebih cepat lagi, ia mengitari halaman luas yang terdampar d
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A