Jack membawa kue menuju ke ruang utama, sementara itu Zeta menerima banyak sekali hadiah sederhana dadakan dari para pekerja di rumah Jack. Tak terkecuali Lerry, ia memberikan sebuah baju rajut berwarna maroon, dan Zeta menyukainya.
"Wah... Kau mendapatkan banyak hadiah, Zeta." Jack meletakkan kue di meja pelan.
Zeta mengangguk semangat dengan tangannya memeluk banyak sekali kado. Ia kemudian meletakkan kado-kadonya ke sofa untuk sementara, sebelum ia pindahkan ke dalam kamar dan ia buka satu per satu.
Zeta beralih kepada kue tart di depannya. Ia tersenyum melihat nama lengkapnya bisa tertulis di atas kue tart tersebut dengan krim berwarna putih.
"Zeta Primrose Cdney." Zeta mengeja namanya. Ia mengernyit seketika dan menengok ke arah Jack.
"Apa?" tanya Jack ikut mengernyit.
"Kau salah menuliskan namaku, Jack. Di sini namaku Cdney, dan yang benar adalah Cydney. Kau melupakan satu huruf Y di belakang huruf C." Zeta bersedekap seolah-olah ia ma
Jack melangkah menghampiri Zeta yang berjongkok dan menangis sesenggukan di depan sebuah batu nisan. Ia menyentuh pundak Zeta pelan. "Kau baik-baik saja?"Zeta buru-buru menyeka air matanya, ia lalu menoleh ke arah Jack dengan mata yang sembab. "Iya, aku baik-baik saja.""Maaf sebelumnya. Kau kehilangan mereka sejak kecil?" tanya Jack hati-hati. Ia ikut berjongkok di samping Zeta."Iya. Orang tuaku meninggal ketika aku berusia dua belas tahun." Air mata Zeta kembali meluruh ke pipinya.Jack menggerakkan kepalanya paham. Ia merengkuh Zeta ke dalam pelukannya, ia berbisik pelan, "Menangislah sepuasmu. Aku tahu kehilangan orang yang dicintai pasti sulit. Tumpahkan semua yang kau rasakan di pelukanku. Jangan kau tahan."Zeta membalas pelukan Jack, ia mencengkeram erat kemeja yang dipakai oleh pria itu. Ia benar-benar menumpahkan kesedihannya di dalam pelukan Jack. Ia menangis, tak menghiraukan lagi jika Jack melihat sisi kerapuhannya ini.Jack m
"Iya. Keluarga Vernon. Kau pernah mendengar namanya?" Zeta menaikkan kedua alisnya."Tidak. Aku baru mendengarnya," balas Jack ragu sembari melempar pandangan ke arah danau."Kau mau menemuinya dulu?" timpal Jack enggan menatap Zeta."Eumm... Entahlah," jawab Zeta sekenanya. Ia menggoyangkan kakinya bergantian ke depan dan ke belakang."Mungkin untuk terakhir kalinya?" tanya Jack menaikkan sebelah alis menatap perempuan di sampingnya, sengaja memancing kepanikan Zeta."Terakhir kalinya? Kau mau membunuhnya, Jack? Aku kan sudah bilang jangan memakai kekerasan," balas Zeta cepat dengan suara lantang."Aku hanya bercanda, Zeta. Kau lucu sekali." Jack mengacak rambut Zeta gemas."Rambutku jadi kacau, Jack," tukas Zeta berusaha menghentikan perbuatan jahil tangan Jack. Ia lalu mengulas senyum malu, pipinya berubah merona. Katanya aku lucu? tanyanya dalam hati.Jack berhenti mengacak rambut Zeta, dan menggantinya dengan m
Jack tersenyum menerima kabar yang membuatnya senang di pagi hari ini. Vernon dan Adel telah mendapatkan balasan yang setimpal dari apa yang diperbuatnya. Dan rumah keluarga Zeta sekarang telah menjadi milik perempuan itu sepenuhnya."Apa yang membuatmu senang di pagi ini, Jack?" Zeta menyibak selimut yang tadi membungkusnya."Kau pasti juga senang jika mendengarnya," tukas Jack yang masih memakai bathrobe menghampiri Zeta."Ada apa?" Zeta mendudukkan dirinya. Alisnya yang sebelah ia angkat ketika Jack ikut duduk di sampingnya."Kau tahu, Vernon dan Adel sudah mendapatkan ganjarannya. Vernon telah dipecat, dan Adel sudah mengembalikan rumah milik orang tuamu kepadamu," tutur Jack bersemangat."Secepat itukah? Bukannya baru kemarin lusa kau mengurusnya?" Zeta memiringkan kepalanya."Kau lupa siapa pria yang ada di sisimu ini?" Jack memainkan alisnya, naik turun dengan wajah penuh percaya diri."Ah... Iya. Kau kan Jack, si CEO Baron gro
Fay berjalan melewati koridor. Ia usap kasar air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia mendesis tajam, "Aku tidak akan menyerah, Jack. Aku harus membuatmu jatuh cinta padaku."Kaki Fay menghentikan langkahnya, seakan tertancap di atas lantai, mematung karena apa yang dilihatnya itu."Max..." Seolah-olah Fay mendapatkan sebuah pertolongan di waktu yang tepat, ia segera bergegas menggerakkan kakinya kembali menyamperi Max yang terlihat diam berdiri seraya melihat ke luar jendela.Max menelengkan kepalanya ke samping, mendapati Fay yang berjalan ke arahnya. Ia lalu tersenyum tipis. "Fay, kau dari ruangan Jack?" tanyanya pelan."Iya. Kau tahu dari mana?" Fay menoleh ke belakang dan kembali menatap Max. "Dari arah jalanku?" tambahnya seraya tersenyum malu."Yups..." Max mengangguk mengiyakan. Ia berdiri di samping dinding. Diselipkannya kedua tangan di saku celana. "Memangnya tujuannya apa lagi kau ke sini, selain untuk menemui Jack?" kekehn
"Sepertinya aku harus pulang sekarang, Fay." Elle berderap pelan ketika sudah mendapatkan persetujuan Fay dengan sebuah anggukan.Fay kembali menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia meraba miliknya yang telah basah. Padahal ia sudah sering melihat pria telanjang, namun ketika ia membayangkan tubuh eksotis Jack tanpa dibalut oleh apapun, membuat Fay menegang kembali."Sebelum aku melakukannya bersama Jack, aku harus berlatih. Setidaknya aku bisa mengimbangi permainan Jack," gumam Fay bermonolog sendiri. Ia lalu menelepon seorang pria, dan menyuruh pria itu pergi ke apartemennya. Fay akan menyewanya untuk hari ini.Tak lama kemudian seseorang membunyikan bel apartemen Fay. Perempuan itu segera beranjak dari sofa dengan memakai kemeja putih panjang tanpa dalaman sehingga lekuk tubuhnya tercetak jelas."Nice. Kau datang lebih cepat dari dugaanku." Fay membuka pintunya lebar, mempersilakan si pria untuk masuk."Kenapa kau baru memanggilku sek
Fay terbangun ketika tirai jendela di kamarnya menyingkap pemandangan gelap di luar sana. Ia meraba tubuhnya yang masih telanjang.Fay tadi terlalu semangat ketika pria sewaannya menggaulinya. Ia sampai kelelahan dan tertidur. Tangannya yang meraba tubuhnya berhenti ketika menyentuh sesuatu yang empuk. Ia lalu menyibak selimutnya. Sial! Pria sewaannya ternyata tertidur di sampingnya, dan milik pria itu masih tertancap sempurna di lubangnya.Pelan-pelan Fay menarik kejantanan si pria dari miliknya, membuat si pria terkesiap."Sudah malam. Kau pulanglah," ujar Fay berhasil melepaskan batang itu dari kewanitaannya.Si pria mengulas senyum. "Bukankah lebih baik aku bermalam di sini sekalian. Kita masih belum mempraktikkan pose lain. Aku akan memberikanmu diskon, bagaimana?""Penawaran yang bagus. Tapi, aku sudah lelah, dan sebaiknya kau pulang sekarang. Aku ingin tidur." Fay melepas selimut dari tubuhnya. Ia berpijak pada lantai dan melengg
"Jika ada yang ingin kau benci. Aku orangnya dan bukan Jack. Ini semua karena keegoisanku, Max." Olivia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air mata meluruh dari celah jari-jarinya.Max tak sampai hati membiarkan Olivia menangis sesengukan sambil terus berdiri, mengundang perhatian pengunjung lain ke arahnya.Max kemudian menyuruh Olivia duduk untuk menenangkan diri dulu. Selanjutnya ia akan menyuruh perempuan itu menceritakan semuanya.Max tak berkata-kata. Ia hanya menepuk pundak Olivia pelan, agar perempuan berhenti menangis.Tak perlu cukup lama menunggu, kini Olivia sudah bisa menenangkan diri."Maafkan aku, Max." Olivia menarik napas panjang."Kau bisa menceritakan semuanya jika kau sudah tenang," ujar Max datar."Aku sudah lebih tenang, Max. Aku akan menceritakan semuanya di sini." Olivia menarik napasnya lagi lalu ia keluarkan dengan kasar."Kapan kau kembali ke sini?" tanya Max dingin."Kemarin, Max. Sebenarny
"Olivia..." Suara Jack memelan, seakan direndam oleh udara dingin di sekitarnya. Ia mencengkeram jaketnya erat. Tatapannya lumpuh melihat Olivia yang sudah bersama dengan Max."Jack," panggil Max segera beranjak dari tempat duduknya."Olivia, jelaskan kenapa dia malah ada di sini bersamamu?" tanya Jack kepada perempuan yang masih terduduk di kursi dengan suara calang."Olivia sudah menceritakan semuanya, Jack." Max berdiri di depan Jack. "Maafkan aku.""Aku tidak menyuruhmu bicara, Max. Dan kenapa kau meminta maaf, huh?" decak Jack geram."Kau mau bicara atau tidak, Olivia? Jika tidak, aku pulang saja. Waktuku terbuang sia-sia di sini," tambah Jack yang kesabarannya sudah habis sejak melihat wajah kakaknya itu, ia merasa muak."Jack, duduklah sebentar. Biar semuanya jelas, sebelum aku pergi." Olivia menepuk bagian sampingnya. Dengan tatapan sendu, ia berharap Jack akan menurutinya kali ini. Untuk kali ini saja, sebelum Olivia mengakhiri pert
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A