"Jika ada yang ingin kau benci. Aku orangnya dan bukan Jack. Ini semua karena keegoisanku, Max." Olivia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air mata meluruh dari celah jari-jarinya.
Max tak sampai hati membiarkan Olivia menangis sesengukan sambil terus berdiri, mengundang perhatian pengunjung lain ke arahnya.
Max kemudian menyuruh Olivia duduk untuk menenangkan diri dulu. Selanjutnya ia akan menyuruh perempuan itu menceritakan semuanya.
Max tak berkata-kata. Ia hanya menepuk pundak Olivia pelan, agar perempuan berhenti menangis.
Tak perlu cukup lama menunggu, kini Olivia sudah bisa menenangkan diri.
"Maafkan aku, Max." Olivia menarik napas panjang.
"Kau bisa menceritakan semuanya jika kau sudah tenang," ujar Max datar.
"Aku sudah lebih tenang, Max. Aku akan menceritakan semuanya di sini." Olivia menarik napasnya lagi lalu ia keluarkan dengan kasar.
"Kapan kau kembali ke sini?" tanya Max dingin.
"Kemarin, Max. Sebenarny
"Olivia..." Suara Jack memelan, seakan direndam oleh udara dingin di sekitarnya. Ia mencengkeram jaketnya erat. Tatapannya lumpuh melihat Olivia yang sudah bersama dengan Max."Jack," panggil Max segera beranjak dari tempat duduknya."Olivia, jelaskan kenapa dia malah ada di sini bersamamu?" tanya Jack kepada perempuan yang masih terduduk di kursi dengan suara calang."Olivia sudah menceritakan semuanya, Jack." Max berdiri di depan Jack. "Maafkan aku.""Aku tidak menyuruhmu bicara, Max. Dan kenapa kau meminta maaf, huh?" decak Jack geram."Kau mau bicara atau tidak, Olivia? Jika tidak, aku pulang saja. Waktuku terbuang sia-sia di sini," tambah Jack yang kesabarannya sudah habis sejak melihat wajah kakaknya itu, ia merasa muak."Jack, duduklah sebentar. Biar semuanya jelas, sebelum aku pergi." Olivia menepuk bagian sampingnya. Dengan tatapan sendu, ia berharap Jack akan menurutinya kali ini. Untuk kali ini saja, sebelum Olivia mengakhiri pert
"Aku mencintaimu, Jack. Sangat-sangat mencintaimu." Zeta menangkup wajah Jack, mencium dagu pria itu. "Aku juga mencintaimu, Zeta," balas Jack melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping Zeta. Zeta tersenyum lembut, ia mencium dagu Jack lagi, lalu beralih ke bibir pria itu. "Apa kau mau menikah denganku, Zeta? Aku akan berusaha untuk terus membahagiakanmu. Aku akan melamarmu secepatnya, setelah aku bisa menyelesaikan semua masalahku. Apa kau mau menunggunya, Zeta?" tanya Jack dengan suara pelan namun tegas, menyakinkan Zeta. "Aku mau. Aku akan menunggumu, Jack," jawab Zeta membuat senyuman Jack semakin lebar. "Terima kasih karena kau mau menungguku," ucap Jack mendekatkan wajahnya kepada Zeta. Ia cium lagi bibir penuh milik perempuan itu. Melumatnya. *** "Aku akan menikahi Zeta, Aiden," tukas Jack kepada pria yang berdiri di sampingnya—baru meletakkan dokumen di meja Jack. "Jika Anda akan menikahi Nona Zeta
Aiden pada akhirnya memilih untuk membawa serta Jack ketika ia pergi mengunjungi rumah lamanya yang ada di perbatasan Kota Chicago.Kini Aiden dan Jack duduk tenang di dalam ruangan. Aiden beradaptasi dengan cepat sebagai sekretaris baru Jack. Ia mengerjakan tugasnya dengan sangat baik. Itu semua tak lepas dari kerja kerasnya dan tuntunan Jack yang membuatnya semakin cakap. Ia sangat bersyukur, sekarang ia bisa berubah. Tak seperti pemuda lemah penuh luka di sepuluh tahun yang lalu."Aiden, kau melamun ya? Aku panggil sedari tadi kau tak menyahut," tukas Jack menyentak Aiden dari lamunan."Maaf, Tuan..." Aiden mengerjap cepat. Ia lalu melepaskan napas berat dengan perlahan."Aku menyuruhmu untuk nanti singgah di rumahku sebentar. Ada yang ingin aku sampaikan padamu." Jack beranjak mengatur dokumen di depannya hingga tertumpuk rapi. Ia lalu berkata kembali, "Setelah ini siapkan rapat umum pemegang saham. Ada yang harus aku diskusikan dengan mereka. A
Jack meninggalkan Zeta dengan Aiden untuk sementara. Ia sedang berada di kamarnya ditemani sebuah laptop. Ia akan mengambil tindakan atas kesimpulan rapat umum pemegang saham tadi.Sementara, Aiden dan Zeta terduduk di ruang utama, sama-sama menunggu Jack. Keduanya terdiam, dan segera diliputi keheningan yang menyesakkan."Eumm... Aiden," panggil Zeta memecah keheningan yang ada. Ia arahkan pandangan ke wajah Aiden. Sudah berkali-kali ia mengobrol bersama Aiden, tapi ketika tinggal berdua seperti ini rasanya sangat canggung, sampai-sampai Zeta tak tahu apa yang akan ia katakan setelah ini. Semua kalimat seakan menguap, menghilang dari dalam otaknya."Iya, Nona, " jawab Aiden sopan. Kini perhatiannya beralih kepada Zeta, yang awalnya terpaku pada meja di depannya."Eummm...""Iya, Nona.""Aiden, tidak bisakah kau tak memotong ucapanku," ketus Zeta memasang wajah kesal, nyatanya ia hanya ingin menggoda Aiden."Maaf, Nona. Saya kira tadi
"Memangnya boleh?" Max mengerjap tak percaya dengan ucapan Zeta. Perempuan itu dengan enteng berbicara kalau ia bisa mengajaknya pergi ke luar. Memang semudah itu? Max bisa melewati gerbang rumah Jack saja sudah sangat beruntung.Zeta mengangguk yakin. "Aku sudah diizinkan oleh Jack.""Jack mengizinkanmu bertemu denganku?" tanya Max lagi. Ini benar-benar mustahil. Bagaimana mungkin Jack yang sangat sadis kepadanya memperbolehkan perempuan yang disukai pergi bersamanya?"Iya. Kalau sebentar boleh kok." Zeta menarik Max ke arah mobil yang terparkir di luar gerbang rumah Jack."Baiklah." Max pasrah dan membuka pintu mobil untuk Zeta, selanjutnya ia turut masuk lewat pintu yang lain. Ia duduk di bangku kemudi, samping Zeta.Selagi Max dan Zeta pergi ke kafetaria terdekat. Jack sedang terusik dengan pemikiran-pemikiran tentang apa yang dilakukan Zeta bersama Max. Mungkinkah akan ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua?Jack tanpa sadar m
Zeta duduk di sofa ruang tamu, menanti kepulangan Jack. Ia tadi sore sudah mandi dan sudah berdandan tipis-tipis untuk menyambut Jack.Tangan Zeta terus menggulir layar ponsel, membaca artikel tentang trend fashion dan fashion week untuk tahun ini. Dan, yang membuat Zeta terkesima adalah wajah Fay yang banyak menghiasi situs fashion yang Zeta kunjungi. Benar-benar mengagumkan.Perhatian Zeta kemudian teralih kepada kedatangan Jack yang seketika membuat bulu kuduknya merinding."Kenapa kau menatapku seperti itu, Jack?" tanya Zeta menelan ludahnya dengan susah payah."Kenapa kau tak mengangkat teleponku tadi? Kau takut aku akan mengganggumu, huh?" Jack berucap galak.Zeta tergelak. "Kau terlalu overthinking sih, Jack.""Kau tinggal jawab iya atau tidak," balas Jack ketus."Kau pasti berpikir yang tidak-tidak kan tentang pertemuanku dengan Max tadi. Aku ingin bertemu dengan Max, untuk menjelaskan hubungan kita, Jack. Dia paham kok,
Jack muda mengikuti langkah Edwin yang sedang berbincang dengan seorang arsitek. Ia melewati sebuah rumah tua yang tak terurus.Jack menghentikan langkahnya untuk menatapi rumah tua itu, namun segera tersentak karena kemunculan seorang lelaki muda yang terlihat usianya lebih tua darinya. Tangan lelaki itu penuh dengan darah segar. Tak tau apa yang terjadi padanya, Jack hanya bisa diam mematung."Kau..." Suara Jack tercekat. Baru kali ini ia melihat darah sebanyak itu, yang mengalir dari pergelangan tangan si lelaki yang luka menganganya cukup lebar.Jack spontan berlari ketika pemuda di depannya hampir terjatuh ke tanah."Kau... " Lagi-lagi Jack tak bisa meneruskan ucapannya. Matanya memelotot. Ia lalu berteriak meminta tolong. Namun, tak ada yang segera membantunya. Maka semakin keras ia mengaum dan berteriak."Bertahanlah," gumam Jack kepada pemuda yang kini berada di pangkuannya.Jack berusaha berdiri, ia membawa tubuh si pemuda yang suda
Mobil Jack berhenti tepat di depan sebuah rumah tua, yang kini terlihat lebih mengenaskan dibanding dengan yang pertama kali Jack lihat.Jack meloncat turun dari mobil dengan pandangan tertuju ke arah rumah tersebut, sementara Aiden ikut turun pelan dari mobil dan berdiri di samping Jack. Keduanya masih tak bergerak, dan tetap berdiri mematung."Aku akan menunggu di luar, jika..." Belum juga Jack melanjutkan ucapannya, ada seorang perempuan setengah baya keluar dari rumah tua tersebut dengan langkah terseok-seok.Perempuan itu berhenti dan memincingkan mata ketika melihat Aiden. Meski matanya sudah sedikit buram, namun ia masih bisa menangkap sosok Aiden di dalam ingatannya. Dengan bibir yang tertekuk ke atas, ia berkata senang, "Kau Aiden kan? Putra Lisa kan?"Si perempuan berjalan mendekati Aiden yang berdiri dengan angkuh dan tanpa berekspresi. "Kau, kenapa baru sekarang mengunjungi ibumu, huh? Lihat ibumu selalu menunggumu. Dia sering kali menan