"Aku mencintaimu, Jack. Sangat-sangat mencintaimu." Zeta menangkup wajah Jack, mencium dagu pria itu.
"Aku juga mencintaimu, Zeta," balas Jack melingkarkan kedua tangannya di pinggang ramping Zeta.
Zeta tersenyum lembut, ia mencium dagu Jack lagi, lalu beralih ke bibir pria itu.
"Apa kau mau menikah denganku, Zeta? Aku akan berusaha untuk terus membahagiakanmu. Aku akan melamarmu secepatnya, setelah aku bisa menyelesaikan semua masalahku. Apa kau mau menunggunya, Zeta?" tanya Jack dengan suara pelan namun tegas, menyakinkan Zeta.
"Aku mau. Aku akan menunggumu, Jack," jawab Zeta membuat senyuman Jack semakin lebar.
"Terima kasih karena kau mau menungguku," ucap Jack mendekatkan wajahnya kepada Zeta. Ia cium lagi bibir penuh milik perempuan itu. Melumatnya.
***"Aku akan menikahi Zeta, Aiden," tukas Jack kepada pria yang berdiri di sampingnya—baru meletakkan dokumen di meja Jack."Jika Anda akan menikahi Nona Zeta
Aiden pada akhirnya memilih untuk membawa serta Jack ketika ia pergi mengunjungi rumah lamanya yang ada di perbatasan Kota Chicago.Kini Aiden dan Jack duduk tenang di dalam ruangan. Aiden beradaptasi dengan cepat sebagai sekretaris baru Jack. Ia mengerjakan tugasnya dengan sangat baik. Itu semua tak lepas dari kerja kerasnya dan tuntunan Jack yang membuatnya semakin cakap. Ia sangat bersyukur, sekarang ia bisa berubah. Tak seperti pemuda lemah penuh luka di sepuluh tahun yang lalu."Aiden, kau melamun ya? Aku panggil sedari tadi kau tak menyahut," tukas Jack menyentak Aiden dari lamunan."Maaf, Tuan..." Aiden mengerjap cepat. Ia lalu melepaskan napas berat dengan perlahan."Aku menyuruhmu untuk nanti singgah di rumahku sebentar. Ada yang ingin aku sampaikan padamu." Jack beranjak mengatur dokumen di depannya hingga tertumpuk rapi. Ia lalu berkata kembali, "Setelah ini siapkan rapat umum pemegang saham. Ada yang harus aku diskusikan dengan mereka. A
Jack meninggalkan Zeta dengan Aiden untuk sementara. Ia sedang berada di kamarnya ditemani sebuah laptop. Ia akan mengambil tindakan atas kesimpulan rapat umum pemegang saham tadi.Sementara, Aiden dan Zeta terduduk di ruang utama, sama-sama menunggu Jack. Keduanya terdiam, dan segera diliputi keheningan yang menyesakkan."Eumm... Aiden," panggil Zeta memecah keheningan yang ada. Ia arahkan pandangan ke wajah Aiden. Sudah berkali-kali ia mengobrol bersama Aiden, tapi ketika tinggal berdua seperti ini rasanya sangat canggung, sampai-sampai Zeta tak tahu apa yang akan ia katakan setelah ini. Semua kalimat seakan menguap, menghilang dari dalam otaknya."Iya, Nona, " jawab Aiden sopan. Kini perhatiannya beralih kepada Zeta, yang awalnya terpaku pada meja di depannya."Eummm...""Iya, Nona.""Aiden, tidak bisakah kau tak memotong ucapanku," ketus Zeta memasang wajah kesal, nyatanya ia hanya ingin menggoda Aiden."Maaf, Nona. Saya kira tadi
"Memangnya boleh?" Max mengerjap tak percaya dengan ucapan Zeta. Perempuan itu dengan enteng berbicara kalau ia bisa mengajaknya pergi ke luar. Memang semudah itu? Max bisa melewati gerbang rumah Jack saja sudah sangat beruntung.Zeta mengangguk yakin. "Aku sudah diizinkan oleh Jack.""Jack mengizinkanmu bertemu denganku?" tanya Max lagi. Ini benar-benar mustahil. Bagaimana mungkin Jack yang sangat sadis kepadanya memperbolehkan perempuan yang disukai pergi bersamanya?"Iya. Kalau sebentar boleh kok." Zeta menarik Max ke arah mobil yang terparkir di luar gerbang rumah Jack."Baiklah." Max pasrah dan membuka pintu mobil untuk Zeta, selanjutnya ia turut masuk lewat pintu yang lain. Ia duduk di bangku kemudi, samping Zeta.Selagi Max dan Zeta pergi ke kafetaria terdekat. Jack sedang terusik dengan pemikiran-pemikiran tentang apa yang dilakukan Zeta bersama Max. Mungkinkah akan ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua?Jack tanpa sadar m
Zeta duduk di sofa ruang tamu, menanti kepulangan Jack. Ia tadi sore sudah mandi dan sudah berdandan tipis-tipis untuk menyambut Jack.Tangan Zeta terus menggulir layar ponsel, membaca artikel tentang trend fashion dan fashion week untuk tahun ini. Dan, yang membuat Zeta terkesima adalah wajah Fay yang banyak menghiasi situs fashion yang Zeta kunjungi. Benar-benar mengagumkan.Perhatian Zeta kemudian teralih kepada kedatangan Jack yang seketika membuat bulu kuduknya merinding."Kenapa kau menatapku seperti itu, Jack?" tanya Zeta menelan ludahnya dengan susah payah."Kenapa kau tak mengangkat teleponku tadi? Kau takut aku akan mengganggumu, huh?" Jack berucap galak.Zeta tergelak. "Kau terlalu overthinking sih, Jack.""Kau tinggal jawab iya atau tidak," balas Jack ketus."Kau pasti berpikir yang tidak-tidak kan tentang pertemuanku dengan Max tadi. Aku ingin bertemu dengan Max, untuk menjelaskan hubungan kita, Jack. Dia paham kok,
Jack muda mengikuti langkah Edwin yang sedang berbincang dengan seorang arsitek. Ia melewati sebuah rumah tua yang tak terurus.Jack menghentikan langkahnya untuk menatapi rumah tua itu, namun segera tersentak karena kemunculan seorang lelaki muda yang terlihat usianya lebih tua darinya. Tangan lelaki itu penuh dengan darah segar. Tak tau apa yang terjadi padanya, Jack hanya bisa diam mematung."Kau..." Suara Jack tercekat. Baru kali ini ia melihat darah sebanyak itu, yang mengalir dari pergelangan tangan si lelaki yang luka menganganya cukup lebar.Jack spontan berlari ketika pemuda di depannya hampir terjatuh ke tanah."Kau... " Lagi-lagi Jack tak bisa meneruskan ucapannya. Matanya memelotot. Ia lalu berteriak meminta tolong. Namun, tak ada yang segera membantunya. Maka semakin keras ia mengaum dan berteriak."Bertahanlah," gumam Jack kepada pemuda yang kini berada di pangkuannya.Jack berusaha berdiri, ia membawa tubuh si pemuda yang suda
Mobil Jack berhenti tepat di depan sebuah rumah tua, yang kini terlihat lebih mengenaskan dibanding dengan yang pertama kali Jack lihat.Jack meloncat turun dari mobil dengan pandangan tertuju ke arah rumah tersebut, sementara Aiden ikut turun pelan dari mobil dan berdiri di samping Jack. Keduanya masih tak bergerak, dan tetap berdiri mematung."Aku akan menunggu di luar, jika..." Belum juga Jack melanjutkan ucapannya, ada seorang perempuan setengah baya keluar dari rumah tua tersebut dengan langkah terseok-seok.Perempuan itu berhenti dan memincingkan mata ketika melihat Aiden. Meski matanya sudah sedikit buram, namun ia masih bisa menangkap sosok Aiden di dalam ingatannya. Dengan bibir yang tertekuk ke atas, ia berkata senang, "Kau Aiden kan? Putra Lisa kan?"Si perempuan berjalan mendekati Aiden yang berdiri dengan angkuh dan tanpa berekspresi. "Kau, kenapa baru sekarang mengunjungi ibumu, huh? Lihat ibumu selalu menunggumu. Dia sering kali menan
"Aku benar-benar tak menduganya, Aiden. Kau melakukannya dengan baik." Jack tersenyum kepada pria di sampingnya. Setelah tadi ia dan Aiden membawa Lisa ke rumah sakit jiwa dan meminta fasilitas terbaik untuk perempuan itu, mereka kembali ke gedung perusahaan.Aiden tersenyum, seakan ia telah melepaskan beban beratnya dan itu membuatnya lega. "Saya tidak akan bisa melakukannya tanpa Anda, Tuan.""Kenapa jadi aku, Aiden? Itu semua kan karena tekadmu sendiri untuk menyelesaikan masalahmu." Jack bersedekap, memutar mata sambil tersenyum."Terima kasih banyak, Tuan." Aiden menunduk sopan."Sudahlah, kau seperti orang asing saja. Kau kan sudah aku anggap keluarga sendiri," balas Jack bergurau dengan sebelah tangan menepuk pundak Aiden cukup keras.Aiden hanya bisa membalas Jack dengan senyuman lebar. "Baik, Tuan."Aiden kemudian memutar posisi duduknya, membelakangi Jack. Ia tidak sekuat yang terlihat. Di dalam hatinya masih terselip kepahitan mas
"Fayline group?" tanya Aiden terbelalak. Ia lepaskan kedua tangan dari seseorang di depannya dan orang itu segera terhuyung tak sadarkan diri ke jalan.Jack mengusap cipratan darah di pipinya, ia sudah membuat empat lawannya sekarat sekarang. Yang terakhir Jack membuat kepalanya pecah dengan sebalok kayu yang ia hantamkan dengan keras dan berkali-kali.Jack menyisakan satu orang yang ia biarkan sadar. Ia berjongkok dan mendekati pria itu.Jack menatapi pria di depannya yang hanya bisa membalas tatapannya karena tangan dan kakinya sudah dipatahkan oleh Jack."Siapa yang menyuruhmu melakukan ini, huh?" Jack bertanya dengan mendesis tajam. Ia tak akan mengampuni siapa pun yang telah menyuruh lima orang di depannya itu untuk mencelakai Max. Kalau ia terlambat sedikit saja, mungkin nyawa Max yang jadi taruhannya. Jack tadi dengan sengaja mengunci Max yang sudah tak sadarkan diri di dalam mobil. Ia bergerak dengan cepat, sebelum orang-orang itu menyerangn
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A