Jack meninggalkan Zeta dengan Aiden untuk sementara. Ia sedang berada di kamarnya ditemani sebuah laptop. Ia akan mengambil tindakan atas kesimpulan rapat umum pemegang saham tadi.
Sementara, Aiden dan Zeta terduduk di ruang utama, sama-sama menunggu Jack. Keduanya terdiam, dan segera diliputi keheningan yang menyesakkan.
"Eumm... Aiden," panggil Zeta memecah keheningan yang ada. Ia arahkan pandangan ke wajah Aiden. Sudah berkali-kali ia mengobrol bersama Aiden, tapi ketika tinggal berdua seperti ini rasanya sangat canggung, sampai-sampai Zeta tak tahu apa yang akan ia katakan setelah ini. Semua kalimat seakan menguap, menghilang dari dalam otaknya.
"Iya, Nona, " jawab Aiden sopan. Kini perhatiannya beralih kepada Zeta, yang awalnya terpaku pada meja di depannya.
"Eummm..."
"Iya, Nona."
"Aiden, tidak bisakah kau tak memotong ucapanku," ketus Zeta memasang wajah kesal, nyatanya ia hanya ingin menggoda Aiden.
"Maaf, Nona. Saya kira tadi
"Memangnya boleh?" Max mengerjap tak percaya dengan ucapan Zeta. Perempuan itu dengan enteng berbicara kalau ia bisa mengajaknya pergi ke luar. Memang semudah itu? Max bisa melewati gerbang rumah Jack saja sudah sangat beruntung.Zeta mengangguk yakin. "Aku sudah diizinkan oleh Jack.""Jack mengizinkanmu bertemu denganku?" tanya Max lagi. Ini benar-benar mustahil. Bagaimana mungkin Jack yang sangat sadis kepadanya memperbolehkan perempuan yang disukai pergi bersamanya?"Iya. Kalau sebentar boleh kok." Zeta menarik Max ke arah mobil yang terparkir di luar gerbang rumah Jack."Baiklah." Max pasrah dan membuka pintu mobil untuk Zeta, selanjutnya ia turut masuk lewat pintu yang lain. Ia duduk di bangku kemudi, samping Zeta.Selagi Max dan Zeta pergi ke kafetaria terdekat. Jack sedang terusik dengan pemikiran-pemikiran tentang apa yang dilakukan Zeta bersama Max. Mungkinkah akan ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua?Jack tanpa sadar m
Zeta duduk di sofa ruang tamu, menanti kepulangan Jack. Ia tadi sore sudah mandi dan sudah berdandan tipis-tipis untuk menyambut Jack.Tangan Zeta terus menggulir layar ponsel, membaca artikel tentang trend fashion dan fashion week untuk tahun ini. Dan, yang membuat Zeta terkesima adalah wajah Fay yang banyak menghiasi situs fashion yang Zeta kunjungi. Benar-benar mengagumkan.Perhatian Zeta kemudian teralih kepada kedatangan Jack yang seketika membuat bulu kuduknya merinding."Kenapa kau menatapku seperti itu, Jack?" tanya Zeta menelan ludahnya dengan susah payah."Kenapa kau tak mengangkat teleponku tadi? Kau takut aku akan mengganggumu, huh?" Jack berucap galak.Zeta tergelak. "Kau terlalu overthinking sih, Jack.""Kau tinggal jawab iya atau tidak," balas Jack ketus."Kau pasti berpikir yang tidak-tidak kan tentang pertemuanku dengan Max tadi. Aku ingin bertemu dengan Max, untuk menjelaskan hubungan kita, Jack. Dia paham kok,
Jack muda mengikuti langkah Edwin yang sedang berbincang dengan seorang arsitek. Ia melewati sebuah rumah tua yang tak terurus.Jack menghentikan langkahnya untuk menatapi rumah tua itu, namun segera tersentak karena kemunculan seorang lelaki muda yang terlihat usianya lebih tua darinya. Tangan lelaki itu penuh dengan darah segar. Tak tau apa yang terjadi padanya, Jack hanya bisa diam mematung."Kau..." Suara Jack tercekat. Baru kali ini ia melihat darah sebanyak itu, yang mengalir dari pergelangan tangan si lelaki yang luka menganganya cukup lebar.Jack spontan berlari ketika pemuda di depannya hampir terjatuh ke tanah."Kau... " Lagi-lagi Jack tak bisa meneruskan ucapannya. Matanya memelotot. Ia lalu berteriak meminta tolong. Namun, tak ada yang segera membantunya. Maka semakin keras ia mengaum dan berteriak."Bertahanlah," gumam Jack kepada pemuda yang kini berada di pangkuannya.Jack berusaha berdiri, ia membawa tubuh si pemuda yang suda
Mobil Jack berhenti tepat di depan sebuah rumah tua, yang kini terlihat lebih mengenaskan dibanding dengan yang pertama kali Jack lihat.Jack meloncat turun dari mobil dengan pandangan tertuju ke arah rumah tersebut, sementara Aiden ikut turun pelan dari mobil dan berdiri di samping Jack. Keduanya masih tak bergerak, dan tetap berdiri mematung."Aku akan menunggu di luar, jika..." Belum juga Jack melanjutkan ucapannya, ada seorang perempuan setengah baya keluar dari rumah tua tersebut dengan langkah terseok-seok.Perempuan itu berhenti dan memincingkan mata ketika melihat Aiden. Meski matanya sudah sedikit buram, namun ia masih bisa menangkap sosok Aiden di dalam ingatannya. Dengan bibir yang tertekuk ke atas, ia berkata senang, "Kau Aiden kan? Putra Lisa kan?"Si perempuan berjalan mendekati Aiden yang berdiri dengan angkuh dan tanpa berekspresi. "Kau, kenapa baru sekarang mengunjungi ibumu, huh? Lihat ibumu selalu menunggumu. Dia sering kali menan
"Aku benar-benar tak menduganya, Aiden. Kau melakukannya dengan baik." Jack tersenyum kepada pria di sampingnya. Setelah tadi ia dan Aiden membawa Lisa ke rumah sakit jiwa dan meminta fasilitas terbaik untuk perempuan itu, mereka kembali ke gedung perusahaan.Aiden tersenyum, seakan ia telah melepaskan beban beratnya dan itu membuatnya lega. "Saya tidak akan bisa melakukannya tanpa Anda, Tuan.""Kenapa jadi aku, Aiden? Itu semua kan karena tekadmu sendiri untuk menyelesaikan masalahmu." Jack bersedekap, memutar mata sambil tersenyum."Terima kasih banyak, Tuan." Aiden menunduk sopan."Sudahlah, kau seperti orang asing saja. Kau kan sudah aku anggap keluarga sendiri," balas Jack bergurau dengan sebelah tangan menepuk pundak Aiden cukup keras.Aiden hanya bisa membalas Jack dengan senyuman lebar. "Baik, Tuan."Aiden kemudian memutar posisi duduknya, membelakangi Jack. Ia tidak sekuat yang terlihat. Di dalam hatinya masih terselip kepahitan mas
"Fayline group?" tanya Aiden terbelalak. Ia lepaskan kedua tangan dari seseorang di depannya dan orang itu segera terhuyung tak sadarkan diri ke jalan.Jack mengusap cipratan darah di pipinya, ia sudah membuat empat lawannya sekarat sekarang. Yang terakhir Jack membuat kepalanya pecah dengan sebalok kayu yang ia hantamkan dengan keras dan berkali-kali.Jack menyisakan satu orang yang ia biarkan sadar. Ia berjongkok dan mendekati pria itu.Jack menatapi pria di depannya yang hanya bisa membalas tatapannya karena tangan dan kakinya sudah dipatahkan oleh Jack."Siapa yang menyuruhmu melakukan ini, huh?" Jack bertanya dengan mendesis tajam. Ia tak akan mengampuni siapa pun yang telah menyuruh lima orang di depannya itu untuk mencelakai Max. Kalau ia terlambat sedikit saja, mungkin nyawa Max yang jadi taruhannya. Jack tadi dengan sengaja mengunci Max yang sudah tak sadarkan diri di dalam mobil. Ia bergerak dengan cepat, sebelum orang-orang itu menyerangn
"Dad..." Fay merajuk dengan seseorang di telepon."Ada apa, Sayang?" balas pria dengan sebuah pertanyaan."Bolehkah aku memakai penthouse milik Daddy untuk semalam saja?" Fay menggigit bibir bawahnya, sangat berharap ayahnya akan memperbolehkan permintaannya ini."Untuk apa?""Untuk bersenang-senang dengan Jack. Lagi pula setelah ini aku dan dia akan resmi bertunangan. Boleh kan Daddy?" Fay semakin kalut ketika tak mendapatkan jawabannya dengan segera."Of course, Sayang. Kau boleh memakainya kapan saja.""Thanks, Dad. I love you so much." Fay tersenyum merekah."I love you too, Honey.""Lihat saja nanti Jack. Kau akan tergila-gila padaku," desis Fay mengulas senyum tipis setelah menutup sambungan teleponnya.***Paginya, Zeta masih tak mendapati kepulangan Jack di rumah. Ia mendesah kecewa sembari melangkah kembali ke kamarnya. Di tengah perjalanan ia bersimpangan dengan Lerry yang sudah s
"Dia tidak akan percaya jika hanya mendengarnya, Aiden." Jack bergeleng.Deringan ponsel Jack yang tergeletak di meja menghentikan pembicaraan di antara Jack dan Aiden.Jack bergerak mengambil ponselnya, ia mengernyit membaca nama sang penelepon. "Dia meneleponku, Aiden," tukas Jack memutar mata malas setelah menyempatkan diri melirik ke arah Aiden dengan senyuman miring.Aiden hanya menggerakkan kepalanya, mengiyakan. Ia kemudian tak bersuara, menutup mulut agar tak mengganggu pembicaraan Jack dan Fay di telepon."Kau, nanti malam tidak ada acara kan?""Kenapa kau bertanya seperti itu, huh?" balas Jack menyentak."Aku ingin kita makan malam bersama. Kau mau kan?" Suara Fay dari seberang telepon melembut."Aku sibuk.""Please, Jack. Ada yang perlu aku bicarakan denganmu. Ini penting. Aku mohon," desak Fay lebih lagi. Ia memohon dengan sangat agar Jack mau."Baiklah. Jam berapa dan di mana?" tukas Jack mendengus kes