Aiden terkejut setengah mati melihat Max tak sadarkan diri di samping jendela. Ia segera membopong pria itu dan menyuruh security membantunya membawa Max ke rumah sakit terdekat.
Aiden awalnya hanya ingin mengecek keadaan ruangan Max, memastikan apakah benar-benar tak ada dokumen yang pria itu kerjakan. Tapi, malah melihat Max pingsan dengan wajahnya yang sudah sangat pucat.
Aiden menatap sebentar ke kaca, memeriksa Max yang ia tidurkan di jok belakang. Ia kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Sesampainya di rumah sakit. Pegawai rumah sakit dan beberapa perawat dengan sigap menggulir brankar untuk Max. Max kemudian di bawa ke bagian UGD.
Aiden menunggu di luar ruangan. Ia mendudukkan dirinya di kursi tunggu dengan gelisah. Ia berniat untuk menghubungi Jack, namun akhirnya urung.
*
Jack bersedekap di ruangannya. Ia tak kunjung mendapati kembalinya Aiden ke ruangannya setelah menyuruh pria itu ke ruangaSetelah mengantarkan Max pulang, Aiden kembali ke kantor ketika hari mulai gelap. Ia berderap menuju ruangan Jack, namun ketika ia sudah berada di ruangan, tak ia temukan sosok tuannya. Ia hanya melihat meja yang awalnya dilapisi kaca, kini tak ada kaca yang melapisinya. Aiden menyeret pandangannya ke benda sekitarnya. Tak ada papan nama Jack, dan tumpukan dokumen yang ada sama sekali tak rapi, ada beberapa carik kertas yang tertinggal di lantai. Aiden memperhatikan meja Jack, ada sepercik darah di sana.Aiden segera merogoh ponselnya untuk menelepon Jack sembari ia berderap menuju mobil. Ia baru sadar ketika sudah berada di area parkir, bahwa mobil tuannya sudah tak ada. Ia lalu memakai mobil miliknya sendiri dan melaju ke rumah Jack karena teleponnya tak diangkat oleh tuannya itu.Aiden mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, tak seperti biasanya. Ia ingin secepatnya melihat keadaan Jack, apalagi darah di meja Jack tadi semakin membuatnya khawatir.
Zeta beralih mengulum milik Jack, ia memasukkan benda tumpul itu ke dalam mulut dan hampir tersedak karena ujungnya mengenai sudut tenggorokannya."Ah... Ah..." Zeta melepas kejantanan Jack ketika pria itu telah melewati pelepasannya.Jack menunduk, ia usap dengan ibu jarinya sudut bibir Zeta yang terdapat cairannya. "Kita melakukannya sekarang?" tanyanya menyunggingkan seulas senyum seksi yang sangat menggoda.Zeta menatap sekali lagi kejantanan Jack yang masih menantang ke atas, ia lalu mengangguk cepat. "Iya, Jack."Tanpa diperintah oleh Jack, Zeta kini menanggalkan semua pakaiannya hingga tak menyisakan sehelai benang pun."Aku ingin dua puluh ronde malam ini," bisik Jack kepada Zeta yang baru saja duduk di pangkuannya."Bukannya itu terlalu banyak, Jack. Aku tidak sanggup." Zeta menggelang pelan. Ia memunggungi Jack. Kulitnya yang bersentuhan dengan kulit pria itu segera mematik rasa panas di sekujur tubuhnya, miliknya pun sudah menegan
"Mana mungkin, Aiden. Edwin sangat menyayangi Max. Dia melepaskan Max dengan mengirimkan pria itu ke London, sedang Edwin menekanku agar aku mengisi jabatan CEO Baron group. Kau tahu sendiri, aku hanyalah alat bagi Edwin untuk memperlebar kekuasaannya. Sedangkan, Max adalah anak kesayangannya." Jack bergeleng pelan."Mungkin saya telah salah mengira, Tuan." Aiden melempar pandangannya ke arah lain. Tuannya belum tahu perihal penyakit Max, dan kenyataan bahwa Edwin sama sekali tak menganggap Max sanggup untuk melakukan satu tugas pun. Dalam hati Aiden, ia sangat ingin membeberkan ini semua agar Jack mengerti. Tapi, ia sudah terlanjur berjanji kepada Max kalau ia akan menyimpan rahasia ini dari Jack."Aiden... Kenapa kau berpikir kalau Edwin tak memercayai Max? Kau memiliki gagasan untuk mendukung opinimu ini?" Jack meletakkan kedua sikunya ke lutut, ia pakai tangannya untuk menopang dagunya."Tidak ada, Tuan. Itu hanya sekadar pemikiran saya saja." Aiden me
"Kau hanya bercanda kan tadi?" sembur Zeta menyambut kedatangan Jack dengan duduk di ruang utama. Ia lalu beranjak berdiri dan menghampiri Jack."Aku serius," balas Jack menautkan kedua alis. Sebelah tangannya bergerak melonggarkan dasinya. Ia melanjutkan langkah, pergi ke kamarnya.Zeta refleks mengikuti Jack dari belakang. Ia mengerjap beberapa kali. "Jack, kau benar-benar ingin melakukannya lagi?"Jack menghentikan langkah kakinya, ia berbalik menghadap Zeta sepenuhnya.Karena kurang memperhatikan di depannya dan terus melangkah, Zeta menabrak dada bidang Jack. "Aww...""Tidak bisakah kau lebih hati-hati lagi, Zeta." Jack mendorong dahi Zeta dengan jari telunjuknya.Zeta mengerucutkan bibirnya. "Kenapa juga kau berhenti tiba-tiba?" balasnya tak terima.Jack menarik napas dalam-dalam, ia menurunkan pandangan melihat wajah Zeta yang masih cemberut. "Kau marah?""Tidak. Aku hanya kesal sedikit." Zeta melipat kedua t
Aiden menghela napas lega. Sebelum hari mulai gelap, ia dan orang-orang suruhan Jack sudah memenuhi semua daftar permintaan Jack.Aiden berderap menuju ruangan di mana Jack sedang menunggunya."Sudah semua?" tanya Jack ketika Aiden memasuki ruangannya.Aiden mengangguk. "Iya, Tuan. Semua hadiah saya letakkan di dalam mobil. Madam Viola juga sudah mengiyakan permintaan Tuan.""Baiklah." Jack meremas tangannya dan tersenyum puas.***Ketika Jack sudah berada di rumah. Ia menyuruh para pelayan diam-diam memindahkan semua barangnya ke dalam kamar Zeta.Jack tadi sebelum pulang dari kantor, menyuruh Zeta untuk pergi ke kamarnya. Sementara, kamar Zeta sengaja dibuat kosong, agar ia bisa merombak kamar Zeta. Jack sudah menyiapkan semuanya tanpa terkecuali.Agar tak mencurigakan, Jack segera menuju ke kamarnya, menemui Zeta."Jack..." Zeta terlonjak dari kasur dan berjalan menuju pria yang berdiri di ambang pintu.
Jack membawa kue menuju ke ruang utama, sementara itu Zeta menerima banyak sekali hadiah sederhana dadakan dari para pekerja di rumah Jack. Tak terkecuali Lerry, ia memberikan sebuah baju rajut berwarna maroon, dan Zeta menyukainya."Wah... Kau mendapatkan banyak hadiah, Zeta." Jack meletakkan kue di meja pelan.Zeta mengangguk semangat dengan tangannya memeluk banyak sekali kado. Ia kemudian meletakkan kado-kadonya ke sofa untuk sementara, sebelum ia pindahkan ke dalam kamar dan ia buka satu per satu.Zeta beralih kepada kue tart di depannya. Ia tersenyum melihat nama lengkapnya bisa tertulis di atas kue tart tersebut dengan krim berwarna putih."Zeta Primrose Cdney." Zeta mengeja namanya. Ia mengernyit seketika dan menengok ke arah Jack."Apa?" tanya Jack ikut mengernyit."Kau salah menuliskan namaku, Jack. Di sini namaku Cdney, dan yang benar adalah Cydney. Kau melupakan satu huruf Y di belakang huruf C." Zeta bersedekap seolah-olah ia ma
Jack melangkah menghampiri Zeta yang berjongkok dan menangis sesenggukan di depan sebuah batu nisan. Ia menyentuh pundak Zeta pelan. "Kau baik-baik saja?"Zeta buru-buru menyeka air matanya, ia lalu menoleh ke arah Jack dengan mata yang sembab. "Iya, aku baik-baik saja.""Maaf sebelumnya. Kau kehilangan mereka sejak kecil?" tanya Jack hati-hati. Ia ikut berjongkok di samping Zeta."Iya. Orang tuaku meninggal ketika aku berusia dua belas tahun." Air mata Zeta kembali meluruh ke pipinya.Jack menggerakkan kepalanya paham. Ia merengkuh Zeta ke dalam pelukannya, ia berbisik pelan, "Menangislah sepuasmu. Aku tahu kehilangan orang yang dicintai pasti sulit. Tumpahkan semua yang kau rasakan di pelukanku. Jangan kau tahan."Zeta membalas pelukan Jack, ia mencengkeram erat kemeja yang dipakai oleh pria itu. Ia benar-benar menumpahkan kesedihannya di dalam pelukan Jack. Ia menangis, tak menghiraukan lagi jika Jack melihat sisi kerapuhannya ini.Jack m
"Iya. Keluarga Vernon. Kau pernah mendengar namanya?" Zeta menaikkan kedua alisnya."Tidak. Aku baru mendengarnya," balas Jack ragu sembari melempar pandangan ke arah danau."Kau mau menemuinya dulu?" timpal Jack enggan menatap Zeta."Eumm... Entahlah," jawab Zeta sekenanya. Ia menggoyangkan kakinya bergantian ke depan dan ke belakang."Mungkin untuk terakhir kalinya?" tanya Jack menaikkan sebelah alis menatap perempuan di sampingnya, sengaja memancing kepanikan Zeta."Terakhir kalinya? Kau mau membunuhnya, Jack? Aku kan sudah bilang jangan memakai kekerasan," balas Zeta cepat dengan suara lantang."Aku hanya bercanda, Zeta. Kau lucu sekali." Jack mengacak rambut Zeta gemas."Rambutku jadi kacau, Jack," tukas Zeta berusaha menghentikan perbuatan jahil tangan Jack. Ia lalu mengulas senyum malu, pipinya berubah merona. Katanya aku lucu? tanyanya dalam hati.Jack berhenti mengacak rambut Zeta, dan menggantinya dengan m
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A