"Dekat rumah ada toko disewakan. Itu aja nanti, disulap jadi toko pakaian."
Rahmi terlihat bersemangat. Mungkin menangkap raut setuju di wajahku."Bagus, Dek. Mbak setuju. Tapi, tetap ijin dulu sama suami kamu, ya. Minta ridhonya sebelum memulai usaha. Soal isi toko, gampang itu, nanti Mbak bantu."Dia langsung menghambur memelukku lalu berucap terima kasih berkali-kali. Pelukan kami terurai saat terdengar deheman dari seseorang.Mas Mirza berdiri tegak di ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya."Maaf kalau ganggu yang lagi lepas kangen," ucapnya, disambut kekehan olehku."Nggak apa-apa, Mas. Ada apa?""Ada yang nyari itu, di depan.""Siapa?""Soulmate kamu." Mas Mirza meringis. Rahmi menatapku dengan tatapan entah."Heh? Soulmate gimana ini maksudnya? Bentar, ya, Dek?" Rahmi mengangguk mengiyakan."Siapa, sih, Mas?"Aku beranjak ke depan, melupakan adikku yang berdiri mematunAku sedang duduk menyimak presentasi saat ponsel di saku celanaku bergetar, tanda ada notifikasi pesan.Aku menduga kalau itu Citra. Dia memang selalu bertanya kabar, nyaris setiap jam kalau aku sedang keluar kota seperti sekarang. Nanti sajalah dibuka, sekalian selesai sesi presentasi kali ini. Bosan juga, sedikit-sedikit ditanya sedang apa, sedang di mana, lagi apa. Hufh, apa dia tak punya kesibukan, sampai rajin mengecek suaminya yang sedang melaksanakan tugas negara.Setengah jam kemudian, barulah sesi istirahat. Aku mulai menikmati hidangan dan berbincang dengan teman-teman, melupakan ponselku. Sampai kemudian ponsel kembali berdering dengan suara pelan.Citra. Hem, ia kembali bawel bertanya ini itu, termasuk bertanya bagaimana makanku. Kadang aku merasa perhatiannya berlebihan sekali.Ponsel pun kututup setelah menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan. Lalu sebuah pesan WA kembali mengisi layar ponsel ini.Kedua mataku m
Satu bulan berlalu. Maya yang menjadi asisten pribadiku tengah memberikan laporannya mengenai perkembangan butik. Karin pun ada di ruang yang sama, memberikan laporan mengenai rumah makan."Toko Bu Rahmi mulai berjalan dan sedang proses isi ulang, Mbak," lapor Maya."Ini laporan keuangan rumah makan, juga daftar pesanan Minggu ini, Mbak. Semua bahan kering akan restok siang ini," ujar Karin kemudian.Aku menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih, lantas mempersilakan mereka kembali menjalankan tugasnya.Aku bersyukur memiliki orang-orang yang amanah hingga usaha yang kurintis dari nol kini bisa berkembang dan menyerap tenaga kerja.Komunikasi Mas Ari dan anak-anak kembali terjalin intens. Aku bersyukur Mas Ari mau meluangkan waktu lagi, meski sekedar menelpon sebentar jika tak bisa bertemu langsung.Aku hanya tak mau anakku sakit lagi sebab rindu dengan ayah kandungnya, meski kasih sayang dari ayah sambung
"Banyak berdoa, ya. Semoga operasi ini berjalan lancar."Mas Mirza mengusap-usap punggungku, menenangkan. Jujur saja, mendengar kata operasi rasanya hatiku sudah terkikis habis. Apalagi ini adikku yang ada di dalam sana.Belum pernah sekalipun aku mendengar ia mengeluh sakit, dan tiba-tiba saja sekarang dia ada di dalam sana, sedang berjuang bersama para profesional di bidang kesehatan.Seumur hidup, rasanya baru kali ini ada anggota keluargaku yang masuk ke rumah sakit hingga harus dioperasi. Dulu ayah juga meninggal karena sakit, tapi tak sampai operasi.Membayangkan kulit yang normal digores benda tajam lalu dijahit lagi, seketika membuat perutku mual dan kepalaku seperti berputar-putar.Meski telah dijelaskan kalau ini hanya operasi kecil, sebab menggunakan laser tetap saja aku tak bisa menyembunyikan rasa cemas ini.Semua keluarga yang ikut menunggu, terlihat berwajah sendu dan nampaknya berdoa dalam diam. Mas Dirga sendiri baru saja pamit ke mushola rumah sakit, hendak sholat dan
"Rahmi kenapa dipapah, Mbak? Apakah dia sakit?"Aku mendongakkan kepala dan terkejut melihat Mas Dirga sudah ada di halaman toko ini. Begitu juga Rahmi, nampak begitu kaget melihat kedatangan sang suami yang tiba-tiba. Lelaki itu langsung mengambil langkah cepat mendekat ke arah kami berdua."Dek, kamu kenapa? Kok pucat begini?" tanyanya lagi dengan alis yang nyaris bertautan. "Sini Mbak, biar sama saya saja."Lelaki jangkung itu mengambil alih adikku, lalu mendudukkan di kursi teras yang biasa digunakan pelanggan untuk menunggu.Kedua tangannya merangkum wajah manis adikku, meneliti tiap inchi wajah yang terpatri indah di hadapannya."Aku nggak apa-apa, Mas. Jangan dilihatin begitu, malu ada Mbak Lisa," jawab Rahmi sambil melirikku sekilas, lalu menundukkan kepalanya."Kalau nggak apa-apa kenapa pucat begini?" tanya Mas Dirga dengan wajah gusar. Sementara wanita yang duduk di depannya terl
"Ada banyak hal baik sepanjang hari ini, sebaiknya abaikan hal yang merusak mood. Bagaimana, apa kamu setuju?"Tangannya mengusap pipi Najwa, lalu tatapannya beralih padaku.Benar katamu, Mas, sebaiknya kunikmati saja hari ini, merayakan kabar bahagia dari adikku yang akan segera memiliki bayi. Aku menganggukkan kepala, membalas senyumannya, dan mulai memakan apa yang tersaji di hadapan.Mas Mirza meminta supaya aku makan lebih dulu, sementara ia mengajak Najwa bercanda sambil sesekali menyesap minumannya. Hal kecil tapi bermakna besar yang kuterima darinya. Berada di kondisi ini, membuat aku terlempar pada satu masa dengan kondisi serupa, makan di luar bersama dua balita dan suami tercinta. Hanya saja, saat itu aku dibiarkan makan dan kerepotan sendiri dengan anak-anak, sedangkan Pak suami sibuk memakan makanan yang ia pesan sambil menggulir layar ponsel. Atau di lain kesempatan, aku mendapat giliran terakhir dengan meng
Sinar matahari yang menerobos celah gorden yang menutup jendela, membuat mata ini menyipit, mengira-ngira, sudah jam berapa sekarang.Sebuah kecupan di pipi dan usapan lembut di pucuk kepala, membuat aku mengerjapkan mata."Bangun, sayang."Masih setengah sadar, aku mendengar suaranya yang lembut menyusup ke ruang dengarku.Aku terkejut tak menemukan Najwa di sekitarku. Ke mana dia?"Najwa!" seruku sambil melihat sekeliling. Denyut jantungku berdetak lebih cepat dari biasa. Bukankah tadi aku memberinya ASI, lalu aku ... ah, pasti aku ketiduran sebab nyaris semalaman aku terjaga.Aku masih merutuki diri, kenapa sampai tak sadar anakku telah berpindah tempat. Bagaimana kalau anakku hilang?Kini tatapanku terhenti pada wajah lelaki berhidung mancung dengan rambut dan wajah yang basah di sampingku yang tengah menatapku dengan alis yang nyaris bertaut. Tatapan matanya yang setajam elang itu masih menyorotku.Oh, aku
Aku mulai mencari informasi mengenai travel dan umroh seperti yang diminta oleh Mas Mirza. Tentu setelah memastikan kesediaan ibu serta kondisi kesehatan beliau untuk perjalanan ibadah nanti.Wanita yang telah melahirkanku itu menangis haru saat kusampaikan niat mengajak beliau ke tanah suci. Awalnya sempat menolak sebab mengaku tabungan belum cukup. Tapi, setelah kukatakan kalau ibu tinggal berangkat dan menjaga kesehatan saja, maka beliau pun tak bisa menolak lagi. Justru cucuran air mata bahagia yang yang beliau beri.Setelah mencocokkan dengan tanggal libur sekolah anak-anak, aku pun mengantongi dua agen travel yang akan kudiskusikan nanti dengan Mas Mirza.Merasa apa yang kucari sudah cukup, aku melajukan mobil menuju rumah sakit tempat Mawar dirawat. Hal yang sebenarnya dilarang oleh Mas Mirza. Hanya saja, rasa ingin tahu membuat aku merasa perlu memastikan bagaimana kondisinya saat ini.Beberapa kemungkinan sudah membayang di benakku. Dan
Akhir pekan yang biasanya dihabiskan untuk bersantai dan menikmati waktu bersama keluarga, kali ini diagendakan untuk berkunjung ke rumah Mama.Demi memperbaiki hubungan yang beberapa waktu ke belakang seperti tersulut api lah tujuan kunjungan kali ini. Anak-anak sudah heboh sejak semalam, sebab dijanjikan jalan-jalan ke rumah Eyang. Maka pagi sekali sejak membuka mata, mereka segera menagih janji. Sejak lepas Subuh, Bu Marni dan Mbak Asih sudah sibuk menyiapkan bekal. Menempuh perjalanan satu jam, Mas Mirza menghentikan laju kendaraan roda empat di pinggir sungai besar. Di mana di seberangnya terdapat hamparan sawah yang luas. Perjalanan kami baru setengah, kurasa. Dan menikmati pemandangan hijau ini begitu menyejukkan mata. Ditambah dengan suara aliran air sungai yang deras dengan warna yang jernih, maka kedamaian langsung menyapaku."Kenapa berhenti, Yah?" tanya Arsy sambil melihat ke luar jendela."Kita istirahat dulu, ya, sambil lihat kambing yang lagi makan. Tuh, di sana ada ba
Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene