(POV Risa)Keesokan paginya, aku sudah beberes rumahku sejak subuh tadi. Pagi ini aku dan Jona akan berbelanja kebutuhan usaha kami.Aku duduk menunggu kedatangan Jona di ruang tamu.“Tidak, jangan lakukan itu. Aku mohon!”“Diam, kamu! Jangan munafik, aku tahu kamu juga mau, kan?”“Tidak, aaaaa!”“Tidak!” Aku berteriak histeris, tiba-tiba saja bayangan menakutkan dulu tentang Jona kembali melintas dalam kepalaku.Masih teringat jelas, wajah Jona yang menatapku bagaikan menatap makanan yang siap santap. Nafasku terengah-engah, aku mencoba berusaha membuang ingatan itu jauh-jauh.“Ya Tuhan … aku tidak ingin mengingat itu lagi,” batinku sambil meremas rambutku.Kesalahan Jona memang sangat fatal dan susah dimaafkan. Tapi saat melihatnya seperti itu, aku melihat ada kesungguhan yang benar-benar dari hatinya untuk meminta maaf kepadaku. Dia tampak menyesali perbuatannya itu.Aku mencoba berdamai dengan kenyataan. Bahwa hidup itu harus terus berjalan. Aku tidak mungkin hidup terjebak di mas
(POV Rendi)“Lepasin, nggak? Kesiniin ponselku!” bentak Davina.Davina berusaha merebut ponselnya dariku. Aku menjauhkan ponsel darinya, dan melihat kejanggalan dalam chat Davina dengan seseorang.Semula aku hanya mengantarkan makan malam untuk Davina sepulang dari kantor. Saat aku hendak menelpon Hendri untuk tidak mengunci dulu rumahnya, sebelum aku pulang dari rumah Davina. Sayangnya ponselku lowbat. Aku bingung kalau sudah begini, aku merasa tidak enak jika harus menggedor pintu gerbang, saat Hendri sudah terlelap tidur. Itu bisa mengganggu waktu istirahatnya.“Sayang, aku ke belakang dulu, ya! Habis makan kok perut aku jadi mulas begini,” imbuh Davina.“Iya, silahkan!” sahutku.Davina setengah berlari menuju toilet, sedangkan aku duduk sendiri di ruang tamu.Aku melihat ponsel Davina tergeletak di atas meja. Apa aku pinjam dulu ya, ponselnya, untuk menghubungi Hendri? Pikirku.Aku mengambil ponselnya dan membuka aplikasi hijau bergambar telepon. Aku hendak mencari kontak Hendri,
(POV Rendi)Jam 06.15, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumahku yang ditempati oleh Davina. Hari ini aku akan melaksanakan ide yang diusulkan oleh Hendri semalam.Dengan berbekal nasi uduk yang dibelikan Hendri tadi, dan sesuatu yang aku selipkan di dalam saku baju untuk berjaga-jaga untuk rencanaku ini. Aku sudah siap berangkat, tinggal memasang sepatu saja.“Hen, aku berangkat, ya!” pamitku.“Oke, semoga berhasil, Bro!” sahutnya.Aku segera berangkat dengan hati was-was. Semoga saja dugaanku salah, aku tidak mau kalau sampai Davina bermain dengan laki-laki lain di belakangku. Sungguh aku tidak rela.Aku mempercepat laju kendaraanku, ingin segera bertemu dengannya.Sampai di depan rumah, tampak pintu masih tertutup rapat. Tampaknya Davina belum bangun tidur.Aku segera menghampiri pintu, dan mengetuknya, sambil menenteng dua bungkus nasi uduk.Tok! Tok! Tok!Tak membutuhkan waktu lama, Davina membukakan pintu itu. Aku kira Davina masih tidur tapi nyatanya aku salah.Ceklek!Kreeek!“
(POV Rendi)“Kamu kenapa, Mas?” tanya Davina.Aku menguap beberapa kali, rasanya aku mengantuk sekali. Tapi keadaan Davina malah terlihat segar. Sementara aku … apakah aku salah memakan nasi uduk itu? Kalau iya, mati aku!“Nggak apa-apa, aku berangkat kerja dulu. Kamu baik-baik di rumah,” jawabku. Niat awalku gagal sudah.Aku memaksakan diri untuk berjalan keluar dari rumahku ini. Aku harus berangkat ke kantor sekarang juga. Aku tidak mau telat. Kalau sampai telat, bisa-bisa pak Willy marah dan kecewa kepadaku.Aku segera masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. Entah kenapa mataku rasanya lengket sekali. Membayangkan kalau aku tidur lagi, pasti rasanya nyaman. Namun aku tetap memaksakan diri untuk berangkat bekerja.Aku segera menghidupkan mesin mobilku dan keluar dari pelataran rumahku. Berkali-kali aku kembali menguap, mataku pun rasanya sudah tidak kuat.“Ya Tuhan … lancarkan perjalananku. Aku tidak mau terlambat. Aku mohon, hilangkan rasa ngantuk ini, Tuhan!” Aku berdoa
(POV Rendi)Esok pagi, setelah semalaman aku menenangkan pikiranku, dari semua masalah yang terjadi. Hari ini aku kembali masuk kerja. Tak ingin mengecewakan pak Willy lagi, aku memberanikan diri untuk masuk kerja lagi. Walaupun aku tahu, pasti jika bertemu, dia akan menegurku atas apa yang terjadi kemarin, sehingga membuat meeting kemarin kacau, karena semua berkas yang dibutuhkan ada padaku.Tapi aku akan berusaha tenang, aku akan menjelaskan semua kronologis yang membuat aku tidak bisa hadir dan absen bekerja.“Hey, Ren!” sapa seseorang yang sangat aku kenal.Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil.“Kemarin kemana aja, kok nggak masuk kerja?” tanyanya.“Panjang ceritanya, nanti aku ceritain. Sekarang aku mau mulai kerja dulu,” jawabku buru-buru.Aku masuk ke dalam ruangan kerjaku dan mulai bekerja di depan komputer.Kring! Kring! Kring!Telepon kantor berbunyi, aku segera mengangkatnya.“Halo, selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?”“Rendi, sekarang juga kamu ke ruangan saya.
(POV Davina)Pagi ini, aku bangun dan jogging di sekitar area rumah mas Rendi yang aku tempati, sambil menikmati musik dari earphone yang tersambung dengan ponselku.Sekitar tiga puluh menit, aku menyudahi olahraga jogging ini. Lanjut aku pulang ke rumah lalu membersihkan diri.Pagi ini mas Rendi tidak datang, tapi tak masalah. Tapi aku masih merasa aneh dengan mas Rendi kemarin pagi. Kenapa saat aku tukar nasi uduknya dengan milikku yang tidak ada sambal, dia menjadi seperti orang yang mengantuk setelah memakannya. Jelas-jelas ini ada yang janggal. Apakah mas Rendi berniat memberiku obat tidur? Tapi apa tujuannya?Setelah sarapan kemarin, kami tak ada lagi komunikasi, bahkan menanyakan kabar pun mas Rendi tidak ada. Tapi kembali lagi, itu tak masalah bagiku. Rasa cintaku padanya tak sebesar dulu, dan kini berubah hanya untuk memanfaatkan. Rencana pernikahan kami, biarlah gimana nanti. Pasti ada jalan untuk menyelesaikannya.Kenapa begitu? Ya, karena aku telah menemukan orang yang tep
(POV Risa)Aku tertegun mendengar ucapan Jona. Dia melamarku di hadapan Davina? Aku juga baru tahu, kalau mereka saling kenal. Mungkin benar kata orang-orang, dunia ini memang sempit. Sehingga orang-orang yang ada di sekitarku saling memiliki keterkaitan satu sama lain.“Jona, apa yang kamu katakan? Kamu bercanda, kan, mengatakan itu di depan Davina?” ujarku tak percaya.“Aku tidak akan pernah bermain-main dengan ucapanku,” sahutnya.Aku terdiam untuk beberapa saat, aku ragu dengan ucapan Jona. Perasaanku juga rasanya belum bisa menerima Jona sepenuhnya. Hanya sebatas teman, aku masih bisa menerima.“Risa, aku akan menunggu masa Iddah kamu selesai. Kapanpun kamu siap, aku akan melamar kamu.”Jona menghela nafas dalam, kemudian berbicara lagi, “jujur saja, aku menaruh hati sama kamu. Ini bukan semata karena perasaan bersalahku, tapi ini masalah hati. Mungkin kamu ragu terhadapku, tapi aku tidak ragu dengan perasaanku ini.”Aku bingung hendak menjawab apa. Apa aku harus menerimanya sece
(POV Risa)Aku terkejut bukan main, tiba-tiba saja seseorang membekap mulutku dari belakang. Siapa dia, dan mau apa dia, yang jelas aku sangat takut jika orang ini akan berbuat jahat kepadaku.Aku berusaha memberontak, namun tenagaku kalah telak. Aku sangat ketakutan, mau minta tolong pun aku tak bisa, aku tidak bisa berteriak sama sekali.“Mmm … mmm!”“Diam kamu,” lirih orang itu. Aku sama sekali tak mengenali suaranya. “Ya Tuhan … tolong aku, aku sangat takut. Jangan biarkan orang ini menyakitiku,” batinku.Orang yang membekapku berusaha membawaku pergi dari sini. Entah dia mau membawa aku pergi kemana, yang jelas aku sangat berusaha untuk terlepas dari orang ini.Dengan sekuat tenaga, orang itu membawaku masuk ke dalam sebuah mobil. Saat setelah aku masuk ke dalam mobil, aku tetap saja tidak bisa mengenali orang itu. Karena orang itu mengenakan masker. Di dalam mobil terdapat 4 orang pria, dan semuanya serempak mengenakan masker.Aku duduk di barisan tengah, dan di sisi kanan kiri