(POV Risa)Aku terkejut bukan main, tiba-tiba saja seseorang membekap mulutku dari belakang. Siapa dia, dan mau apa dia, yang jelas aku sangat takut jika orang ini akan berbuat jahat kepadaku.Aku berusaha memberontak, namun tenagaku kalah telak. Aku sangat ketakutan, mau minta tolong pun aku tak bisa, aku tidak bisa berteriak sama sekali.“Mmm … mmm!”“Diam kamu,” lirih orang itu. Aku sama sekali tak mengenali suaranya. “Ya Tuhan … tolong aku, aku sangat takut. Jangan biarkan orang ini menyakitiku,” batinku.Orang yang membekapku berusaha membawaku pergi dari sini. Entah dia mau membawa aku pergi kemana, yang jelas aku sangat berusaha untuk terlepas dari orang ini.Dengan sekuat tenaga, orang itu membawaku masuk ke dalam sebuah mobil. Saat setelah aku masuk ke dalam mobil, aku tetap saja tidak bisa mengenali orang itu. Karena orang itu mengenakan masker. Di dalam mobil terdapat 4 orang pria, dan semuanya serempak mengenakan masker.Aku duduk di barisan tengah, dan di sisi kanan kiri
“Risa, kamu cantik sekali,” puji Jona.Aku tersenyum tersipu malu. Entah kenapa, dipuji segitu saja, aku menjadi deg-degan.“Ayo, jalan!” ajak Jona.Kami berdua melanjutkan jalan-jalan kami, sampai hari menjelang malam.“Nggak kerasa, ya hari sudah malam saja. Kamu sadar, nggak? Dari tadi aku ini cemburu loh!” ujar Jona saat kami berdua sedang makan malam di sebuah kedai bakso.“Cemburu kenapa? Terus emang siapa yang membuat kamu cemburu?” tanyaku.“Kamu!” jawabnya“Lah, kok aku sih. Dari tadi kan aku sama kamu terus. Terus kenapa kamu mesti cemburu?” tanyaku lagi.“Kamu sadar nggak, kalau dari tadi kamu menjadi pusat perhatian orang-orang khususnya kaum pria? Tak sedikit orang yang memperhatikan kamu. Jadi aku cemburu,” jawabnya.“Ah masa, sih? Kayaknya biasa aja, deh,” tukasku.“Nggak percaya? Lihat tuh orang!” tunjuknya.Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Jona. Seorang pria yang hendak menyuapi pacarnya. Namun yang membuatku gagal fokus, pria itu malah menyuapi pacarnya dengan samba
(POV Pak Willy)Semakin hari fisikku semakin lelah karena kesibukanku di kantor. Ingin rasanya aku beristirahat, menikmati masa tuaku bersama istri. Melihat anak menikah dan kami memiliki cucu. Pasti masa tua kami akan sangat bahagia.Usiaku sudah semakin tua, tapi aku dipaksa untuk tetap produktif oleh keadaan.Hari ini, aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantor. Aku duduk di kursi tepi kolam, sambil menikmati secangkir kopi hitam pahit.“Bapak, maaf mengganggu. Ini ponsel Bapak dari tadi bunyi terus saat saya sedang membereskan kamar Bapak. Takutnya ada yang penting,” ucap bi Atun, asisten rumah tangga kami.“Terima kasih, Bi Atun.” Aku menerima ponsel itu dari tangan bi Atun.Bi Atun pergi ke belakang, dan aku memeriksa siapa yang sedari tadi menelponku.“Rendi, ada apa dia menelepon? Apakah di kantor ada masalah?” gumamku.Aku menelepon balik Rendi, dan Rendi langsung mengangkatnya.“Halo, selamat siang, Pak Willy,” sapa Rendi dari balik telepon.“Halo, Rendi. Ada apa ya, kamu me
(POV Rendi)Sepulang dari rumah pak Willy, aku tidak langsung pulang ke rumah. Terlebih dahulu aku pergi ke sebuah cafe. Karena aku sudah janjian dengan Davina di sana. Kini Davina saat ini sedang menungguku disana. Bisa-bisa dia marah jika aku kelamaan di jalan. Maka aku mempercepat laju mobilku, supaya bisa cepat sampah di sana.Sesampainya di cafe, aku langsung menghampiri meja yang ditempati Davina.“Kemana saja sih kamu, Mas? Kok lama sekali,” tanya Davina dengan raut wajah cemberut. Sudah terlihat kalau dia sedang marah.“Aku habis ketemu dengan bos aku,” jawabku langsung memesan minuman kepada pelayan cafe.“Gimana ini, Mas? Acara kita sudah di depan mata, loh, tinggal hitungan hari. Aku tidak mau, ya kalau sampai acara pernikahan kita digelar secara sederhana. Pokoknya aku mau pernikahan kita diselenggarakan dengan sangat mewah dan meriah. Jangan lupa mas kawinnya juga harus mewah ya, Mas. Karena itu juga akan membuat semua rekan kerja Mas, akan berdecak kagum sama kamu.” Baru
(POV Davina)Sumpah demi apa? Aku bertemu dengan bi Imah. Sejak kapan dia pergi ke kota ini? Tidak, mas Rendi tidak boleh tahu kalau dia adalah bibiku dari kampung.“Mas, sebaiknya kita pulang sekarang. Aku capek ingin istirahat,” ajakku kepada mas Rendi.“Davina, ini kamu, kah? Ini Bibi, Vin, Bi Imah. Bibi sudah lama mencari kamu,” ujar bi Imah.“Vin, dia bibi kamu?” tanya mas Rendi.“Jangan dengarkan dia, aku tidak kenal sama dia,” sanggahku, tak mau mengakuinya. Aku sangat malu jika mas Rendi tahu dia bibiku. Bibiku yang sangat miskin di kampung.Aku menarik tangan mas Rendi supaya menjauh dari bi Imah. Kami berdua hendak masuk ke dalam mobil.“Tunggu, Davina. Ini Bibi, masa kamu lupa sama Bibi kamu sendiri. Bibi yang merawat kamu sejak kecil. Bibi kangen sama kamu.” Bi Imah mengetuk-ngetuk kaca mobil mas Rendi.“Jalan, Mas!” pintaku.“Tapi, Vin, dia ….”“Jalan saja, Mas, nggak usah menghiraukan dia. Aku tidak kenal sama dia,” potongku.Mas Rendi pun mengalah, dia melajukan mobilny
(POV Bi Imah)Aku terus mengejar mobil yang ditumpangi Davina. Aku tak tahu kenapa Davina seperti itu. Seolah-olah dia tidak kenal denganku.“Davina ….” Aku berjalan sempoyongan, karena rasa lapar yang sudah tidak tertahankan. Aku tak menyangka Davina bisa bersikap seperti itu. Dahulu saat kami masih tinggal bersama di kampung, Davina begitu baik dan sopan. Aku sudah menganggapnya sebagai putriku sendiri, karena aku yang merawatnya dari semenjak dia masih kecil usia 1 tahun. Ibu dan ayahnya meninggal dunia, saat musibah kebakaran terjadi di rumahnya. Kakaknya pun selamat dari insiden itu, dia dimasukkan ke panti asuhan, karena kerabatnya yang lain tak ada yang mau merawatnya. Jika saja aku orang mampu, aku akan dengan senang hati akan merawat dan menganggap kakaknya Davina sebagai anakku sendiri. Tapi apa daya, suamiku hanya pekerja serabutan, jadi aku memutuskan untuk merawat Davina saja. Namun aku dan suamiku sudah berpisah karena suamiku memutuskan untuk merantau ke kota, dan dia
(POV Risa)“Jona, kalau kamu masih sakit, sebaiknya kamu tidak usah ikut aku ke acara itu. Biar aku saja tidak apa-apa. Ada Bu Lela dan suaminya juga kok yang bantu,” imbuhku pada Jona di dalam sambungan telepon.“Tidak apa-apa, Risa. Aku kuat kok, ini aku lagi masang sepatu, sebentar lagi aku kesana. Kan ada yang bantu, aku bakalan kuat kok,” sahut Jona bersikukuh ingin ikut aku untuk mengantarkan pesanan catering ke acara nikahan.“Ya sudah kalau kamu maksa mau ikut. Kami tunggu disini, kamu juga nggak usah ngebut bawa motornya. Ini masih subuh, jadi waktu kita masih banyak,” ujarku.Aku mengakhiri panggilan telepon itu. Aku berniat hendak mandi dan mempersiapkan kebutuhan catering. Di rumah sudah ada Bu Lela dan Pak Yanto. Mereka akan bantu-bantu, karena jika aku hanya berdua sama Jona, pasti akan kewalahan.“Risa, Ibu senang sekali akhirnya kamu bisa bangkit seperti ini. Kamu beruntung dipertemukan sama teman kamu, siapa itu? Jo … Jona, ya? Semangat kamu jadi bangkit lagi, setelah
(POV Risa)“Ya!” Aku mengangguk menuruti perkataan ibu-ibu itu.Aku segera menyiapkan dua porsi makanan untuk kedua calon pengantin.Aku menghela nafas dalam, lalu membuangnya perlahan. Seperti yang aku katakan tadi pada Jona, aku harus profesional dalam pekerjaan ini. Aku harus melakukan pekerjaan ini semaksimal mungkin.Aku mulai berjalan membawa dua porsi makanan itu ke dalam rumah. Aku mencari dimana kedua pengantin itu.“Maaf, Mbak, pengantinnya dimana, ya? Saya mau mengantarkan sarapan buat calon pengantin,” tanyaku pada seorang wanita disana.“Disana,” tunjuknya pada sebuah kamar.Aku mengangguk, kemudian berjalan hendak masuk ke kamar itu.“Permisi, makanannya mau ditaruh dimana?” tanyaku saat sudah berada di kamar.Terlihat Davina sedang fokus di rias, namun dia tak melihat ke arahku sama sekali.Aku pun tak melihat sama sekali dimana Rendi.“Taruh di meja sana, Mbak!” sahutnya tanpa menoleh ke arahku.Aku langsung menaruh makanan itu di atas meja sesuai permintaannya.Lalu s