(POV Risa)“Jona, kalau kamu masih sakit, sebaiknya kamu tidak usah ikut aku ke acara itu. Biar aku saja tidak apa-apa. Ada Bu Lela dan suaminya juga kok yang bantu,” imbuhku pada Jona di dalam sambungan telepon.“Tidak apa-apa, Risa. Aku kuat kok, ini aku lagi masang sepatu, sebentar lagi aku kesana. Kan ada yang bantu, aku bakalan kuat kok,” sahut Jona bersikukuh ingin ikut aku untuk mengantarkan pesanan catering ke acara nikahan.“Ya sudah kalau kamu maksa mau ikut. Kami tunggu disini, kamu juga nggak usah ngebut bawa motornya. Ini masih subuh, jadi waktu kita masih banyak,” ujarku.Aku mengakhiri panggilan telepon itu. Aku berniat hendak mandi dan mempersiapkan kebutuhan catering. Di rumah sudah ada Bu Lela dan Pak Yanto. Mereka akan bantu-bantu, karena jika aku hanya berdua sama Jona, pasti akan kewalahan.“Risa, Ibu senang sekali akhirnya kamu bisa bangkit seperti ini. Kamu beruntung dipertemukan sama teman kamu, siapa itu? Jo … Jona, ya? Semangat kamu jadi bangkit lagi, setelah
(POV Risa)“Ya!” Aku mengangguk menuruti perkataan ibu-ibu itu.Aku segera menyiapkan dua porsi makanan untuk kedua calon pengantin.Aku menghela nafas dalam, lalu membuangnya perlahan. Seperti yang aku katakan tadi pada Jona, aku harus profesional dalam pekerjaan ini. Aku harus melakukan pekerjaan ini semaksimal mungkin.Aku mulai berjalan membawa dua porsi makanan itu ke dalam rumah. Aku mencari dimana kedua pengantin itu.“Maaf, Mbak, pengantinnya dimana, ya? Saya mau mengantarkan sarapan buat calon pengantin,” tanyaku pada seorang wanita disana.“Disana,” tunjuknya pada sebuah kamar.Aku mengangguk, kemudian berjalan hendak masuk ke kamar itu.“Permisi, makanannya mau ditaruh dimana?” tanyaku saat sudah berada di kamar.Terlihat Davina sedang fokus di rias, namun dia tak melihat ke arahku sama sekali.Aku pun tak melihat sama sekali dimana Rendi.“Taruh di meja sana, Mbak!” sahutnya tanpa menoleh ke arahku.Aku langsung menaruh makanan itu di atas meja sesuai permintaannya.Lalu s
(POV Risa)Semua orang menatapku tajam. Aku menggelengkan kepala, aku tidak tahu menahu soal racun. Yang aku tahu, makanan yang aku masak semuanya aman. Tidak mungkin aku meracuni mereka semua. Aku tidak mungkin setega itu.“Lah, kami disini yang makan nggak kenapa-kenapa, kok. Kenapa tiba-tiba mereka keracunan?” tanya salah seorang dari mereka, yang masih berada di acara nikahan Davina.“Bapak belum terkena efeknya saja. Nanti setelah beberapa menit, perut Bapak akan sakit dan bolak balik kamar mandi,” timpal laki-laki itu.“Maaf semua, saya tidak pernah mencampurkan racun ke dalam makanan ini. Saya tidak serendah itu, ya. Saya tidak mungkin meracuni mereka,” jelasku.“Halah … mana ada maling ngaku. Yang ada penuh itu penjara!” sanggah laki-laki itu, yang tidak aku ketahui namanya.“Aduh … perut saya mulas!” Bapak-bapak yang tadi berbicara, memekik kesakitan sambil memegangi perutnya. Wajahnya pun berkeringat seperti menahan sakit.“Aduh, kok saya juga mulas!” Disusul dengan yang lai
(POV Risa)“Loh … loh … loh! Ini kan tadi yang teriak-teriak menuduh makanan kita beracun. Tak disangka, ternyata maling teriak maling,” imbuh pak Yanto sambil geleng-geleng kepala.Pasalnya di dalam foto bu Lela saat di nikahan Davina tadi, yang dijadikannya sebuah wallpaper. Terlihat laki-laki tadi tertangkap kamera, di belakang bu Lela, sedang menuangkan sesuatu dari dalam kertas kecil, pada kuah sayur di dalam panci.Tak berselang lama, penyidik yang menyelidiki kasus ini sudah selesai dari kamar kecil. Tanpa menunggu lama, pak Yanto langsung memperlihatkan foto tersebut kepada penyidik.“Pak, lihat ini. Tadi istri saya Selfi di tempat nikahan tadi. Lihat di belakang istri saya, laki-laki itu nggak sengaja kefoto sama istri saya,” tutur pak Yanto menggebu-gebu. Tampak dia sangat geram dengan laki-laki itu.Kemudian penyidik itu membawa keluar ponsel bu Lela. Kami bertiga masih menunggu di dalam. Berharap penuh ingin pulang malam ini juga. Kami sangat lelah, ingin segera beristirah
(POV Rendi)Akhirnya setelah seharian lelah menerima tamu undangan, aku bisa istirahat juga. Aku merebahkan diri di ranjang pengantin, menunggu Davina selesai mandi.Kring! Kring! Kring!Ponselku yang berada di atas nakas berdering. Gegas aku mengambilnya dan melihat siapa yang sedang melakukan panggilan ke nomorku.“Adul, ada apa dia menelepon?” gumamku.Aku langsung mengangkat telepon darinya.“Halo, Dul. Ada apa? Kan bayarannya sudah saya kasih,” sapaku kepadanya.“Bukan masalah itu, Pak Rendi. Jadi begini, saya mendapat info, kalau polisi sedang mencari saya. Ternyata saat saya memasukkan obat pencahar di makanan tadi, nggak sengaja kefoto sama ibu-ibu catering tadi yang sedang Selfie. Sekarang saya lagi sembunyi, saya harus gimana, ini? Saya takut ditangkap, bagaimanapun juga kan, saya melakukan itu atas dasar perintah dari Pak Rendi. Jadi Pak Rendi juga bertanggung jawab atas semua itu, bukan saya saja,” sahut Adul.Aku mengacak rambut kasar, tak menyangka si Adul bisa seceroboh
(POV Risa)Kring! Kring! Kring!Aku yang tengah duduk santai di depan rumah, mendengar suara ponselku berdering dari dalam rumah. Gegas aku mengambilnya, kemudian aku kembali lagi ke teras.“Jona!” Senyumku terbit melihat nama yang tertera di layar ponsel.Aku segera mengangkat telepon darinya.“Halo,” sapaku.“Halo, Risa, kamu lagi apa? Bagaimana kabar Bu Imah, apa dia nyaman tinggal dengan kamu?” tanya Jona dari seberang telepon.“Aku lagi duduk-duduk saja di teras. Alhamdulillah, sepertinya sih dia betah. Sekarang aku jadi ada teman, tidak merasa kesepian lagi di rumah,” jawabku.“Syukurlah, oh iya, aku sudah memesan makanan buat kalian. Mungkin sebentar lagi sampai di rumah kamu. Rencananya hari ini aku mau ngajak kamu mengunjungi makam Kania. Itu juga kalau kamu nggak sibuk,” imbuh Jona.“Terima kasih, Jona. Aku jadi nggak enak kamu sudah repot-repot memesan makanan buat kami. Aku nggak sibuk, kok. Aku mau ikut, aku juga sangat rindu dengan anakku,” sahutku antusias.“Iya, Risa.
(POV Risa)Hari sudah semakin siang, dan sebentar lagi sore. Namun Jona belum menampakkan batang hidungnya sama sekali.“Jona kok lama sekali ya, Bu? Apakah dia tidak jadi menjemputku?” ujarku cemas.“Coba Neng Risa telepon lagi, siapa tahu sekarang nomornya sudah aktif,” titah bu Imah.Aku mengangguk, kemudian mencoba menghubungi Jona lagi.(Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar service area).“Masih belum aktif, Bu. Aku jadi khawatir, kemana Jona sebenarnya?” ujarku.“Neng Risa sabar, ya! Mungkin saja Jona sedang ada keperluan lain, dan ponselnya lowbat. Lebih baik kita masuk ke dalam saja, ya! Itu makanan dari Jona masih belum kamu makan. Sebaiknya kamu makan dulu. Kamu belum makan siang, loh! Jangan biarkan perut kamu kosong. Kalau Jona tahu, pasti dia marah,” imbuh bu Imah membujukku.Aku menuruti ucapan bu Imah. Masuk ke dalam dan mulai membuka makanan yang dipesankan oleh Jona.“Ayo bareng makannya, Bu!” ajakku.“Ibu sudah makan, kamu makan saja.” Ibu Imah
(POV Rendi)Sepulang dari Bali, banyak sekali pengeluaran yang membuat keuanganku menipis. Terlalu banyak Davina mengeluarkan uang untuk belanja. Gaya hidupnya sangat keras. Baru saja kami menikah, tapi aku sudah pusing. Berbeda dengan pernikahanku dulu dengan Risa. Bahkan dulu aku bisa menabung, karena Risa tidak pernah menuntut apapun dariku. Ah … kenapa aku jadi ingat Risa. Aku sudah memiliki kehidupan baru, Davina orang yang aku cintai. Wanita cantik, modis dan mampu membuat aku bahagia. Namun dibalik itu semua, aku harus berkorban banyak demi dia.“Besok aku sudah mulai bekerja. Sebaiknya mulai dari sekarang, kamu jangan dulu boros-boros. Karena tanggal gajian masih lama,” ujarku saat makan malam.“Memangnya uang tabungan kamu sudah habis, Mas?” tanyanya.“Ya … ada sih, tapi sedikit lagi. Aku harap kamu mengerti ya, sayang. Bukannya aku pelit, tapi kan uang-uangku sudah aku pakai buat biaya pernikahan kita. Bukan sulap, loh, aku banyak mengeluarkan biaya. Tapi … aku bahagia bisa
(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga
(POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t
(POV Bu Imah)Seminggu kemudian, setelah Risa resmi menikah dengan Jona. Kini aku tinggal seorang diri di rumah Risa. Awalnya aku berniat pergi dari rumah ini. Namun Risa mencegah, dia tak tega jika aku pergi dari sini. Aku merasa tidak enak kepadanya, karena ini bukan rumahku, aku hanya menumpang disini. Tapi sungguh hati Risa sangat baik, entah terbuat dari apa hatinya, dia tidak mempermasalahkan aku tinggal di rumah ini sampai kapanpun. Baginya aku sudah seperti ibunya.Risa pun sempat menawariku untuk tinggal di rumah barunya bersama Jona. Namun aku menolak dan memilih tinggal seorang diri. Bukan aku tak menghargai niat baiknya, namun aku tidak mau jika sampai mengganggu mereka dengan keberadaanku di tengah-tengah mereka.Ting ….“Bibi, aku barusan sudah memesan makanan buat Bibi. Sebentar lagi ada kurir yang mengantarkannya. Bibi tidak usah repot-repot memasak hari ini. Oh iya, kalau perlu apa-apa, hubungi aku ya, Bi. Bibi juga bebas mau main ke rumahku. Mama sama Papa juga tidak
(POV Risa)“Risa!” teriak Jona, bu Imah dan pak Willy kompak.Tubuhku terhempas ke sisi jalan raya saat aku berusaha menyelamatkan bu Diva dari pengendara motor yang ugal-ugalan. Tubuhku rasanya sakit, namun beruntung aku tidak sampai pingsan.“Ya Tuhan, dahi dan kaki kamu berdarah.” Jona panik melihat keadaanku.Sementara pak Willy membantu bu Diva berdiri.“Tolong bawa Risa ke rumah sakit, Nak Jona. Kasihan dia pasti kesakitan,” imbuh bu Imah terlihat khawatir.Tanpa berlama-lama, Jona mengangkat tubuhku dan memasukkan ku ke dalam mobilnya.Beberapa kali aku mengaduh kesakitan. Dahiku terasa perih, terlebih kakiku selain berdarah mungkin juga terkilir.Dengan cepat Jona membawaku ke rumah sakit dekat-dekat sini.“Kamu yang kuat ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jona.Aku hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di rumah sakit. Aku segera ditangani oleh dokter. Dahi dan kakiku diperban supaya darah tidak terus menerus men
(POV Risa)Aku menunduk kala bu Diva sedari tadi memperhatikanku tanpa ekspresi dan tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun itu membuatku merasa was-was.“Risa, rencananya kami mau mengajak kamu makan bersama. Apakah kamu sedang tidak sibuk?” tanya pak Willy.“Em … rencananya hari ini kami mau keliling lagi jualan, Pak,” jawabku.“Begini saja, semua jualan kamu biar saya borong semuanya untuk makan siang semua karyawan di kantor. Saya akan panggil rendra untuk datang kesini menjemput semua makanan itu. Sekarang kamu dan Ibu kamu segera bersiap-siap. Saya ingin mengenal lebih dekat dengan calon menantu saya,” imbuh pak Willy.Aku pun menyetujui permintaannya. Aku meminta izin untuk bersiap berganti pakaian, begitupun dengan bu Imah.Di dalam kamar, aku segera berganti pakaian dengan pakaian terbaik menuurutku yang aku punya. Semoga aku tidak malu-maluin dengan penampilan ini.Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar dan bergabung kembali dengan keluarg