(POV Risa)Kring! Kring! Kring!Aku yang tengah duduk santai di depan rumah, mendengar suara ponselku berdering dari dalam rumah. Gegas aku mengambilnya, kemudian aku kembali lagi ke teras.“Jona!” Senyumku terbit melihat nama yang tertera di layar ponsel.Aku segera mengangkat telepon darinya.“Halo,” sapaku.“Halo, Risa, kamu lagi apa? Bagaimana kabar Bu Imah, apa dia nyaman tinggal dengan kamu?” tanya Jona dari seberang telepon.“Aku lagi duduk-duduk saja di teras. Alhamdulillah, sepertinya sih dia betah. Sekarang aku jadi ada teman, tidak merasa kesepian lagi di rumah,” jawabku.“Syukurlah, oh iya, aku sudah memesan makanan buat kalian. Mungkin sebentar lagi sampai di rumah kamu. Rencananya hari ini aku mau ngajak kamu mengunjungi makam Kania. Itu juga kalau kamu nggak sibuk,” imbuh Jona.“Terima kasih, Jona. Aku jadi nggak enak kamu sudah repot-repot memesan makanan buat kami. Aku nggak sibuk, kok. Aku mau ikut, aku juga sangat rindu dengan anakku,” sahutku antusias.“Iya, Risa.
(POV Risa)Hari sudah semakin siang, dan sebentar lagi sore. Namun Jona belum menampakkan batang hidungnya sama sekali.“Jona kok lama sekali ya, Bu? Apakah dia tidak jadi menjemputku?” ujarku cemas.“Coba Neng Risa telepon lagi, siapa tahu sekarang nomornya sudah aktif,” titah bu Imah.Aku mengangguk, kemudian mencoba menghubungi Jona lagi.(Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar service area).“Masih belum aktif, Bu. Aku jadi khawatir, kemana Jona sebenarnya?” ujarku.“Neng Risa sabar, ya! Mungkin saja Jona sedang ada keperluan lain, dan ponselnya lowbat. Lebih baik kita masuk ke dalam saja, ya! Itu makanan dari Jona masih belum kamu makan. Sebaiknya kamu makan dulu. Kamu belum makan siang, loh! Jangan biarkan perut kamu kosong. Kalau Jona tahu, pasti dia marah,” imbuh bu Imah membujukku.Aku menuruti ucapan bu Imah. Masuk ke dalam dan mulai membuka makanan yang dipesankan oleh Jona.“Ayo bareng makannya, Bu!” ajakku.“Ibu sudah makan, kamu makan saja.” Ibu Imah
(POV Rendi)Sepulang dari Bali, banyak sekali pengeluaran yang membuat keuanganku menipis. Terlalu banyak Davina mengeluarkan uang untuk belanja. Gaya hidupnya sangat keras. Baru saja kami menikah, tapi aku sudah pusing. Berbeda dengan pernikahanku dulu dengan Risa. Bahkan dulu aku bisa menabung, karena Risa tidak pernah menuntut apapun dariku. Ah … kenapa aku jadi ingat Risa. Aku sudah memiliki kehidupan baru, Davina orang yang aku cintai. Wanita cantik, modis dan mampu membuat aku bahagia. Namun dibalik itu semua, aku harus berkorban banyak demi dia.“Besok aku sudah mulai bekerja. Sebaiknya mulai dari sekarang, kamu jangan dulu boros-boros. Karena tanggal gajian masih lama,” ujarku saat makan malam.“Memangnya uang tabungan kamu sudah habis, Mas?” tanyanya.“Ya … ada sih, tapi sedikit lagi. Aku harap kamu mengerti ya, sayang. Bukannya aku pelit, tapi kan uang-uangku sudah aku pakai buat biaya pernikahan kita. Bukan sulap, loh, aku banyak mengeluarkan biaya. Tapi … aku bahagia bisa
(POV Rendi)Aku kembali ke ruanganku setelah mengobrol serius dengan pak Willy. Dengan perasaan semangat, aku melakukan sesuatu yang mungkin orang-orang tak akan menyangka.Ya, demi naik jabatan, aku rela memfitnah pak Beni. Sebenarnya aku tidak ada masalah apa-apa dengan pria tua itu. Namun aku tergiur dengan jabatannya.Aku memanipulasi semua data, dengan mengarahkan semuanya kepada pak Beni, seakan-akan dia memang pelaku penggelapan dana. Namun nyatanya tidak.“Halo, Bams, bisa ke ruanganku sekarang?” sapaku pada Bams pada sambungan telepon.“Ada apa, Ren? Oke aku kesana sekarang,” sahutnya.Aku menutup teleponnya, dan kembali melakukan semua niatanku.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Aku pun langsung menyahut, dan menyuruhnya masuk.“Masuk!”CeklekBams datang lalu duduk di kursi di seberang mejaku.“Ada apa, Ren, kamu manggil aku?” tanyanya.Aku pun langsung menjelaskan maksud dan tujuanku, mengajaknya bekerja sama untuk menumbangkan Pak Beni dari perusahaa
(POV Rendi)“Pak Beni, anda saya pecat. Saya sangat kecewa dengan anda. Bisa-bisanya anda berkhianat kepada saya. Bahkan sebagian uang hasil penggelapan dana itu, anda berikan cuma-cuma kepada office girl yang bernama Iceu ….” sarkas pak Willy.“Tapi, Pak. Itu uang tabungan saya, semula saya mau memberikannya kepada Pak Rendi sebagai hadiah pernikahannya. Tapi Pak Rendi menolak uang itu, dan akhirnya saya berikan cek berisi uang itu kepada Iceu, karena saya tahu keluarganya sangat membutuhkan,” potong pak Beni menyanggah perkataan pak Willy.“Maaf, Pak Willy dan Pak Beni, saya menyela pembicaraan kalian. Tapi semua sesuai data dan fakta. Dan sudah jelas data dan fakta itu, mengarah kepada Pak Beni, yang telah menggelapkan dana perusahaan. Mau membela diri sekeras apapun, Pak Beni tetap bersalah,” timpalku.“Masih untung anda tidak saya penjarakan, karena anda telah lama bekerja disini, dan telah berjasa pada perusahaan saya. Namun keputusan saya sudah final, anda saya pecat, dan sekar
(POV Davina)Huuuh aku sangat senang hari ini. Bagaimana tidak, aku dibelikan satu unit mobil oleh mas Rendi. Benar-benar mas Rendi bisa saja membuat aku senang. Aku seperti ratu, semua yang aku inginkan dia penuhi.Aku sudah bersiap dan sudah berada di dalam mobil baruku.Aku keliling kota dengan sangat bangga. Bahagia atas apa yang aku punya. Setelah puas keliling jalan-jalan, aku pun mampir di sebuah rumah makan. Rasanya aku sangat lapar setelah seharian ini jalan-jalan.“Mbak, aku pesan sate kambingnya, ya!” ujarku kepada pelayan.Saat sedang menunggu, seketika aku teringat seseorang. Aku tersenyum, ada sebuah rencana yang akan aku lakukan saat ini. Bukan rencana jahat, tapi justru akan membuatku bangga dan senang.“Oke aku akan kesana nanti, setelah makan,” gumamku tersenyum.Aku pun mulai menyantap makanan telah terhidang. Sangat nikmat, apalagi suasana hatiku ini sangat senang.Setelah puas makan, aku pun langsung membayarnya. Namun di piring bekas makan barusan, masih terdapat
(POV Davina)Gawat, kenapa aku bisa bertemu dengan Nesa? Aku harus menghindarinya, sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.“Maaf, Nes, aku harus pulang. Aku banyak urusan,” ujarku menaiki mobilku kembali. Tak jadi membeli paket internet.“Eh tunggu, Vin! Kamu kenapa sih? Padahal aku ingin ngobrol-ngobrol sama kamu. Sudah lumayan lama juga kita nggak ketemu.” Nesa mengikutiku dan berdiri di sebelah mobilku.“Aku sudah menikah, Nes. Jadi aku harap kamu jangan ungkit-ungkit lagi tentang masa laluku,” imbuhku.“Menikah? Kapan? Ya ampun … sama teman sendiri nggak diundang. Sombong kamu ya sekarang. Tapi nggak apa-apa, aku bukan tipe orang pendendam. Oh iya, minta nomor hp kamu dong. Sudah lama kita lost kontak.” Nesa bersiap menyimpan nomorku di ponselnya.“Aduh, Nes, ini sudah malam. Suami aku pasti nyariin. Nanti kapan-kapan, ya ngobrolnya. Aku permisi!” Aku menginjak pedal gas, tanpa memberikan nomor ponselku. Aku tidak mau jika sampai berhubungan lagi dengan temanku itu, dan rahasia m
(POV Rendi)Tok! Tok! Tok!Sebelum berangkat bekerja, aku mampir terlebih dahulu ke kontrakan Mona. Kasihan, dia memberitahu lewat pesan bahwa tak ada makanan untuk sarapan pagi ini. Semua karena salahku. Jika saja aku tidak menabraknya, mungkin sekarang ini Mona masih bisa bekerja. Walaupun tidak berat, namun pekerjaan Mona harus ditunjang dengan penampilan menarik, dan dibayar harian. Entah apa pekerjaannya dia tak menyebutkannya. Aku tak peduli, tidak ingin tahu juga apa pekerjaannya. Namun sayangnya kening dan kaki Mona terdapat bekas luka, yang mungkin membutuhkan waktu lama untuk penyembuhannya.Ceklek!“Eh, Mas Rendi. Ayo masuk, Mas!” ujar Mona.Aku pun masuk ke dalam kontrakan tempat Mona tinggal.“Kakak kamu belum menjenguk kamu?” tanyaku.“Belum, Mas. Entahlah, kami jarang bertemu. Kami sudah terbiasa hidup masing-masing seperti ini. Oh iya, apa kabar Mas Rendi hari ini? Sepertinya Mas Rendi mau pergi bekerja,” tanya Mona.“Kabarku baik, aku memang mau pergi bekerja. Datang
(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga
(POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t
(POV Bu Imah)Seminggu kemudian, setelah Risa resmi menikah dengan Jona. Kini aku tinggal seorang diri di rumah Risa. Awalnya aku berniat pergi dari rumah ini. Namun Risa mencegah, dia tak tega jika aku pergi dari sini. Aku merasa tidak enak kepadanya, karena ini bukan rumahku, aku hanya menumpang disini. Tapi sungguh hati Risa sangat baik, entah terbuat dari apa hatinya, dia tidak mempermasalahkan aku tinggal di rumah ini sampai kapanpun. Baginya aku sudah seperti ibunya.Risa pun sempat menawariku untuk tinggal di rumah barunya bersama Jona. Namun aku menolak dan memilih tinggal seorang diri. Bukan aku tak menghargai niat baiknya, namun aku tidak mau jika sampai mengganggu mereka dengan keberadaanku di tengah-tengah mereka.Ting ….“Bibi, aku barusan sudah memesan makanan buat Bibi. Sebentar lagi ada kurir yang mengantarkannya. Bibi tidak usah repot-repot memasak hari ini. Oh iya, kalau perlu apa-apa, hubungi aku ya, Bi. Bibi juga bebas mau main ke rumahku. Mama sama Papa juga tidak
(POV Risa)“Risa!” teriak Jona, bu Imah dan pak Willy kompak.Tubuhku terhempas ke sisi jalan raya saat aku berusaha menyelamatkan bu Diva dari pengendara motor yang ugal-ugalan. Tubuhku rasanya sakit, namun beruntung aku tidak sampai pingsan.“Ya Tuhan, dahi dan kaki kamu berdarah.” Jona panik melihat keadaanku.Sementara pak Willy membantu bu Diva berdiri.“Tolong bawa Risa ke rumah sakit, Nak Jona. Kasihan dia pasti kesakitan,” imbuh bu Imah terlihat khawatir.Tanpa berlama-lama, Jona mengangkat tubuhku dan memasukkan ku ke dalam mobilnya.Beberapa kali aku mengaduh kesakitan. Dahiku terasa perih, terlebih kakiku selain berdarah mungkin juga terkilir.Dengan cepat Jona membawaku ke rumah sakit dekat-dekat sini.“Kamu yang kuat ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jona.Aku hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di rumah sakit. Aku segera ditangani oleh dokter. Dahi dan kakiku diperban supaya darah tidak terus menerus men
(POV Risa)Aku menunduk kala bu Diva sedari tadi memperhatikanku tanpa ekspresi dan tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun itu membuatku merasa was-was.“Risa, rencananya kami mau mengajak kamu makan bersama. Apakah kamu sedang tidak sibuk?” tanya pak Willy.“Em … rencananya hari ini kami mau keliling lagi jualan, Pak,” jawabku.“Begini saja, semua jualan kamu biar saya borong semuanya untuk makan siang semua karyawan di kantor. Saya akan panggil rendra untuk datang kesini menjemput semua makanan itu. Sekarang kamu dan Ibu kamu segera bersiap-siap. Saya ingin mengenal lebih dekat dengan calon menantu saya,” imbuh pak Willy.Aku pun menyetujui permintaannya. Aku meminta izin untuk bersiap berganti pakaian, begitupun dengan bu Imah.Di dalam kamar, aku segera berganti pakaian dengan pakaian terbaik menuurutku yang aku punya. Semoga aku tidak malu-maluin dengan penampilan ini.Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar dan bergabung kembali dengan keluarg