(POV Rendi)“Pak Beni, anda saya pecat. Saya sangat kecewa dengan anda. Bisa-bisanya anda berkhianat kepada saya. Bahkan sebagian uang hasil penggelapan dana itu, anda berikan cuma-cuma kepada office girl yang bernama Iceu ….” sarkas pak Willy.“Tapi, Pak. Itu uang tabungan saya, semula saya mau memberikannya kepada Pak Rendi sebagai hadiah pernikahannya. Tapi Pak Rendi menolak uang itu, dan akhirnya saya berikan cek berisi uang itu kepada Iceu, karena saya tahu keluarganya sangat membutuhkan,” potong pak Beni menyanggah perkataan pak Willy.“Maaf, Pak Willy dan Pak Beni, saya menyela pembicaraan kalian. Tapi semua sesuai data dan fakta. Dan sudah jelas data dan fakta itu, mengarah kepada Pak Beni, yang telah menggelapkan dana perusahaan. Mau membela diri sekeras apapun, Pak Beni tetap bersalah,” timpalku.“Masih untung anda tidak saya penjarakan, karena anda telah lama bekerja disini, dan telah berjasa pada perusahaan saya. Namun keputusan saya sudah final, anda saya pecat, dan sekar
(POV Davina)Huuuh aku sangat senang hari ini. Bagaimana tidak, aku dibelikan satu unit mobil oleh mas Rendi. Benar-benar mas Rendi bisa saja membuat aku senang. Aku seperti ratu, semua yang aku inginkan dia penuhi.Aku sudah bersiap dan sudah berada di dalam mobil baruku.Aku keliling kota dengan sangat bangga. Bahagia atas apa yang aku punya. Setelah puas keliling jalan-jalan, aku pun mampir di sebuah rumah makan. Rasanya aku sangat lapar setelah seharian ini jalan-jalan.“Mbak, aku pesan sate kambingnya, ya!” ujarku kepada pelayan.Saat sedang menunggu, seketika aku teringat seseorang. Aku tersenyum, ada sebuah rencana yang akan aku lakukan saat ini. Bukan rencana jahat, tapi justru akan membuatku bangga dan senang.“Oke aku akan kesana nanti, setelah makan,” gumamku tersenyum.Aku pun mulai menyantap makanan telah terhidang. Sangat nikmat, apalagi suasana hatiku ini sangat senang.Setelah puas makan, aku pun langsung membayarnya. Namun di piring bekas makan barusan, masih terdapat
(POV Davina)Gawat, kenapa aku bisa bertemu dengan Nesa? Aku harus menghindarinya, sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.“Maaf, Nes, aku harus pulang. Aku banyak urusan,” ujarku menaiki mobilku kembali. Tak jadi membeli paket internet.“Eh tunggu, Vin! Kamu kenapa sih? Padahal aku ingin ngobrol-ngobrol sama kamu. Sudah lumayan lama juga kita nggak ketemu.” Nesa mengikutiku dan berdiri di sebelah mobilku.“Aku sudah menikah, Nes. Jadi aku harap kamu jangan ungkit-ungkit lagi tentang masa laluku,” imbuhku.“Menikah? Kapan? Ya ampun … sama teman sendiri nggak diundang. Sombong kamu ya sekarang. Tapi nggak apa-apa, aku bukan tipe orang pendendam. Oh iya, minta nomor hp kamu dong. Sudah lama kita lost kontak.” Nesa bersiap menyimpan nomorku di ponselnya.“Aduh, Nes, ini sudah malam. Suami aku pasti nyariin. Nanti kapan-kapan, ya ngobrolnya. Aku permisi!” Aku menginjak pedal gas, tanpa memberikan nomor ponselku. Aku tidak mau jika sampai berhubungan lagi dengan temanku itu, dan rahasia m
(POV Rendi)Tok! Tok! Tok!Sebelum berangkat bekerja, aku mampir terlebih dahulu ke kontrakan Mona. Kasihan, dia memberitahu lewat pesan bahwa tak ada makanan untuk sarapan pagi ini. Semua karena salahku. Jika saja aku tidak menabraknya, mungkin sekarang ini Mona masih bisa bekerja. Walaupun tidak berat, namun pekerjaan Mona harus ditunjang dengan penampilan menarik, dan dibayar harian. Entah apa pekerjaannya dia tak menyebutkannya. Aku tak peduli, tidak ingin tahu juga apa pekerjaannya. Namun sayangnya kening dan kaki Mona terdapat bekas luka, yang mungkin membutuhkan waktu lama untuk penyembuhannya.Ceklek!“Eh, Mas Rendi. Ayo masuk, Mas!” ujar Mona.Aku pun masuk ke dalam kontrakan tempat Mona tinggal.“Kakak kamu belum menjenguk kamu?” tanyaku.“Belum, Mas. Entahlah, kami jarang bertemu. Kami sudah terbiasa hidup masing-masing seperti ini. Oh iya, apa kabar Mas Rendi hari ini? Sepertinya Mas Rendi mau pergi bekerja,” tanya Mona.“Kabarku baik, aku memang mau pergi bekerja. Datang
(POV Rendi)“Tapi kenapa kamu nyari pembantunya masih muda, Mas?” Ekspresi Davina seperti khawatir.“Susah sayang, cari pembantu yang sesuai keinginan. Kamu mau pembantu yang sudah tua? Kita cari pembantu itu karena butuh tenaganya loh, bukan umurnya. Lagian kamu kenapa, bukannya senang kok malah merajuk seperti ini?” imbuhku.“Tapi ….”“Sudah, lebih baik kita istirahat saja. Aku tidak mau kamu capek mengerjakan pekerjaan rumah. Kamu itu istriku, Yang, bukan pembantu. Biarlah dengan adanya dia, kamu akan sangat terbantu. Kamu kan nyonya di rumah ini. Masa nyonya nyapu, ngepel, nyuci piring, nggak pantas kan?” Aku berusaha memberi pengertian.“Ah iya lupa, aku belum memperkenalkan kalian berdua. Davina, dia itu namanya Mona. Mona, ini Davina istri saya. Semoga kamu nyaman kerja disini.” Aku mengerlingkan sebelah mataku kepadanya.“I-iya, Pak. Salam kenal, Bu Davina. Semoga saya bisa bekerja dengan maksimal di rumah ini,” sahut Mona.“Mona, nama yang bagus. Tapi tak apalah, jadi mulai b
(POV Rendi)“Davina, kenapa bisa sampai pingsan begini? Mona ….” teriakku.Mona tergopoh-gopoh menghampiriku.“Ada apa, Mas? Ya ampun, kenapa dia bisa pingsan seperti ini?” tanya Mona terlihat syok.“Mungkin efek sakit perut yang dideritanya. Sebaiknya kita bawa saja Davina ke rumah sakit. Aku sangat khawatir jika terjadi apa-apa dengannya,” ajakku.“Jangan!” Refleks Mona berteriak jangan. Apa maksudnya?“Maksud kamu? Kenapa jangan?” tanyaku merasa heran.“Ma-maksud aku … jangan dulu. Aku akan mencoba menyembuhkannya. Sebentar aku bikin ramuan dulu. Sebentar aku bikin dulu di belakang,” ujar Mona.Aku merasa aneh dengan sikap Mona. Apakah dia memang polos atau pura-pura polos saja. Aku bukan lelaki bodoh yang iya-iya saja kepada semua wanita. Tingkahnya yang seperti itu membuat aku ingin tahu lebih dalam tentang dirinya. Bagaimanapun, aku dan Mona baru kenal beberapa hari. Namun kecantikan wanita itu membuat aku nekat membawanya ke rumahku sendiri, tanpa pertimbangan yang matang.Aku
(POV Risa)Empat bulan sepuluh hari telah berlalu. Masa Iddahku setelah bercerai dengan mas Rendi sudah selesai. Kini aku sudah tidak terikat lagi dan bebas untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain. Namun nyatanya lelaki yang aku harapkan menjadi bagian dalam hidupku, dia sama sekali tak menampakkan batang hidungnya lagi.Berbulan-bulan lamanya Jona tak pernah menghubungiku lagi apalagi menemuiku. Apakah Jona mengingkari janjinya? Tapi kenapa?Ingin rasanya aku berteriak, kenapa disaat aku bisa membuka hati aku untuk lelaki itu, justru dia menghilang tak ada kabar sama sekali.Hari ini aku memutuskan untuk tidak berjualan. Aku ingin menemui Jona di rumahnya. Walaupun beberapa kali aku kesana namun tak ada, tapi kaki ini tetap ingin melangkah kesana.Di depan rumah Jona, aku berdiri menatap pintu yang tertutup rapat dan teras yang sudah sangat berdebu.Kenapa Jona meninggalkanku disaat aku menyadari aku mencintai dia. Jika harus begitu, sebaiknya dia tidak usah memberi harapan palsu
(POV Risa)“Ponselku … ponselku nggak ada, tapi tadi ada kok,” ujarku masih terus meraba saku celanaku.“Kok bisa? Coba ingat-ingat lagi, apa mungkin ponsel kamu jatuh saat kamu dikeroyok massa tadi?” tanya pria itu.“Entahlah, saya tidak tahu. Karena sebelum dikeroyok, saya sempat ditabrak oleh copet yang tadi menjatuhkan dompet bapak di hadapan saya. Saya sempat terjatuh tertimpa tubuhnya,” jawabku.“Em … ada dua kemungkinan sih, bisa jadi ponsel kamu dicopet sama wanita itu saat tubuh kamu tertimpa tubuhnya tanpa kamu sadari, atau bisa juga saat kamu sedang dikeroyok massa, ponsel kamu jatuh,” tuturnya.“Iya, Pak, ya sudah tidak apa-apa. Yang penting saya selamat dan bisa kembali pulang ke rumah saya,” imbuhku.“Iya, kamu benar, kamu yang sabar ya, sebentar lagi kita akan segera sampai ke rumah sakit. Oh iya, nama kamu siapa? Tinggal dimana?” tanya pria itu.“Saya Risa, Pak, tinggal di … aw, tolong lebih cepat lagi, Pak. Dada saya sakit sekali,” pekikku.“Kamu tahan dulu ya, Risa.
(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga
(POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t
(POV Bu Imah)Seminggu kemudian, setelah Risa resmi menikah dengan Jona. Kini aku tinggal seorang diri di rumah Risa. Awalnya aku berniat pergi dari rumah ini. Namun Risa mencegah, dia tak tega jika aku pergi dari sini. Aku merasa tidak enak kepadanya, karena ini bukan rumahku, aku hanya menumpang disini. Tapi sungguh hati Risa sangat baik, entah terbuat dari apa hatinya, dia tidak mempermasalahkan aku tinggal di rumah ini sampai kapanpun. Baginya aku sudah seperti ibunya.Risa pun sempat menawariku untuk tinggal di rumah barunya bersama Jona. Namun aku menolak dan memilih tinggal seorang diri. Bukan aku tak menghargai niat baiknya, namun aku tidak mau jika sampai mengganggu mereka dengan keberadaanku di tengah-tengah mereka.Ting ….“Bibi, aku barusan sudah memesan makanan buat Bibi. Sebentar lagi ada kurir yang mengantarkannya. Bibi tidak usah repot-repot memasak hari ini. Oh iya, kalau perlu apa-apa, hubungi aku ya, Bi. Bibi juga bebas mau main ke rumahku. Mama sama Papa juga tidak
(POV Risa)“Risa!” teriak Jona, bu Imah dan pak Willy kompak.Tubuhku terhempas ke sisi jalan raya saat aku berusaha menyelamatkan bu Diva dari pengendara motor yang ugal-ugalan. Tubuhku rasanya sakit, namun beruntung aku tidak sampai pingsan.“Ya Tuhan, dahi dan kaki kamu berdarah.” Jona panik melihat keadaanku.Sementara pak Willy membantu bu Diva berdiri.“Tolong bawa Risa ke rumah sakit, Nak Jona. Kasihan dia pasti kesakitan,” imbuh bu Imah terlihat khawatir.Tanpa berlama-lama, Jona mengangkat tubuhku dan memasukkan ku ke dalam mobilnya.Beberapa kali aku mengaduh kesakitan. Dahiku terasa perih, terlebih kakiku selain berdarah mungkin juga terkilir.Dengan cepat Jona membawaku ke rumah sakit dekat-dekat sini.“Kamu yang kuat ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jona.Aku hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di rumah sakit. Aku segera ditangani oleh dokter. Dahi dan kakiku diperban supaya darah tidak terus menerus men
(POV Risa)Aku menunduk kala bu Diva sedari tadi memperhatikanku tanpa ekspresi dan tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun itu membuatku merasa was-was.“Risa, rencananya kami mau mengajak kamu makan bersama. Apakah kamu sedang tidak sibuk?” tanya pak Willy.“Em … rencananya hari ini kami mau keliling lagi jualan, Pak,” jawabku.“Begini saja, semua jualan kamu biar saya borong semuanya untuk makan siang semua karyawan di kantor. Saya akan panggil rendra untuk datang kesini menjemput semua makanan itu. Sekarang kamu dan Ibu kamu segera bersiap-siap. Saya ingin mengenal lebih dekat dengan calon menantu saya,” imbuh pak Willy.Aku pun menyetujui permintaannya. Aku meminta izin untuk bersiap berganti pakaian, begitupun dengan bu Imah.Di dalam kamar, aku segera berganti pakaian dengan pakaian terbaik menuurutku yang aku punya. Semoga aku tidak malu-maluin dengan penampilan ini.Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar dan bergabung kembali dengan keluarg