(POV Rendi)Jam 06.15, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumahku yang ditempati oleh Davina. Hari ini aku akan melaksanakan ide yang diusulkan oleh Hendri semalam.Dengan berbekal nasi uduk yang dibelikan Hendri tadi, dan sesuatu yang aku selipkan di dalam saku baju untuk berjaga-jaga untuk rencanaku ini. Aku sudah siap berangkat, tinggal memasang sepatu saja.“Hen, aku berangkat, ya!” pamitku.“Oke, semoga berhasil, Bro!” sahutnya.Aku segera berangkat dengan hati was-was. Semoga saja dugaanku salah, aku tidak mau kalau sampai Davina bermain dengan laki-laki lain di belakangku. Sungguh aku tidak rela.Aku mempercepat laju kendaraanku, ingin segera bertemu dengannya.Sampai di depan rumah, tampak pintu masih tertutup rapat. Tampaknya Davina belum bangun tidur.Aku segera menghampiri pintu, dan mengetuknya, sambil menenteng dua bungkus nasi uduk.Tok! Tok! Tok!Tak membutuhkan waktu lama, Davina membukakan pintu itu. Aku kira Davina masih tidur tapi nyatanya aku salah.Ceklek!Kreeek!“
(POV Rendi)“Kamu kenapa, Mas?” tanya Davina.Aku menguap beberapa kali, rasanya aku mengantuk sekali. Tapi keadaan Davina malah terlihat segar. Sementara aku … apakah aku salah memakan nasi uduk itu? Kalau iya, mati aku!“Nggak apa-apa, aku berangkat kerja dulu. Kamu baik-baik di rumah,” jawabku. Niat awalku gagal sudah.Aku memaksakan diri untuk berjalan keluar dari rumahku ini. Aku harus berangkat ke kantor sekarang juga. Aku tidak mau telat. Kalau sampai telat, bisa-bisa pak Willy marah dan kecewa kepadaku.Aku segera masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman. Entah kenapa mataku rasanya lengket sekali. Membayangkan kalau aku tidur lagi, pasti rasanya nyaman. Namun aku tetap memaksakan diri untuk berangkat bekerja.Aku segera menghidupkan mesin mobilku dan keluar dari pelataran rumahku. Berkali-kali aku kembali menguap, mataku pun rasanya sudah tidak kuat.“Ya Tuhan … lancarkan perjalananku. Aku tidak mau terlambat. Aku mohon, hilangkan rasa ngantuk ini, Tuhan!” Aku berdoa
(POV Rendi)Esok pagi, setelah semalaman aku menenangkan pikiranku, dari semua masalah yang terjadi. Hari ini aku kembali masuk kerja. Tak ingin mengecewakan pak Willy lagi, aku memberanikan diri untuk masuk kerja lagi. Walaupun aku tahu, pasti jika bertemu, dia akan menegurku atas apa yang terjadi kemarin, sehingga membuat meeting kemarin kacau, karena semua berkas yang dibutuhkan ada padaku.Tapi aku akan berusaha tenang, aku akan menjelaskan semua kronologis yang membuat aku tidak bisa hadir dan absen bekerja.“Hey, Ren!” sapa seseorang yang sangat aku kenal.Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil.“Kemarin kemana aja, kok nggak masuk kerja?” tanyanya.“Panjang ceritanya, nanti aku ceritain. Sekarang aku mau mulai kerja dulu,” jawabku buru-buru.Aku masuk ke dalam ruangan kerjaku dan mulai bekerja di depan komputer.Kring! Kring! Kring!Telepon kantor berbunyi, aku segera mengangkatnya.“Halo, selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?”“Rendi, sekarang juga kamu ke ruangan saya.
(POV Davina)Pagi ini, aku bangun dan jogging di sekitar area rumah mas Rendi yang aku tempati, sambil menikmati musik dari earphone yang tersambung dengan ponselku.Sekitar tiga puluh menit, aku menyudahi olahraga jogging ini. Lanjut aku pulang ke rumah lalu membersihkan diri.Pagi ini mas Rendi tidak datang, tapi tak masalah. Tapi aku masih merasa aneh dengan mas Rendi kemarin pagi. Kenapa saat aku tukar nasi uduknya dengan milikku yang tidak ada sambal, dia menjadi seperti orang yang mengantuk setelah memakannya. Jelas-jelas ini ada yang janggal. Apakah mas Rendi berniat memberiku obat tidur? Tapi apa tujuannya?Setelah sarapan kemarin, kami tak ada lagi komunikasi, bahkan menanyakan kabar pun mas Rendi tidak ada. Tapi kembali lagi, itu tak masalah bagiku. Rasa cintaku padanya tak sebesar dulu, dan kini berubah hanya untuk memanfaatkan. Rencana pernikahan kami, biarlah gimana nanti. Pasti ada jalan untuk menyelesaikannya.Kenapa begitu? Ya, karena aku telah menemukan orang yang tep
(POV Risa)Aku tertegun mendengar ucapan Jona. Dia melamarku di hadapan Davina? Aku juga baru tahu, kalau mereka saling kenal. Mungkin benar kata orang-orang, dunia ini memang sempit. Sehingga orang-orang yang ada di sekitarku saling memiliki keterkaitan satu sama lain.“Jona, apa yang kamu katakan? Kamu bercanda, kan, mengatakan itu di depan Davina?” ujarku tak percaya.“Aku tidak akan pernah bermain-main dengan ucapanku,” sahutnya.Aku terdiam untuk beberapa saat, aku ragu dengan ucapan Jona. Perasaanku juga rasanya belum bisa menerima Jona sepenuhnya. Hanya sebatas teman, aku masih bisa menerima.“Risa, aku akan menunggu masa Iddah kamu selesai. Kapanpun kamu siap, aku akan melamar kamu.”Jona menghela nafas dalam, kemudian berbicara lagi, “jujur saja, aku menaruh hati sama kamu. Ini bukan semata karena perasaan bersalahku, tapi ini masalah hati. Mungkin kamu ragu terhadapku, tapi aku tidak ragu dengan perasaanku ini.”Aku bingung hendak menjawab apa. Apa aku harus menerimanya sece
(POV Risa)Aku terkejut bukan main, tiba-tiba saja seseorang membekap mulutku dari belakang. Siapa dia, dan mau apa dia, yang jelas aku sangat takut jika orang ini akan berbuat jahat kepadaku.Aku berusaha memberontak, namun tenagaku kalah telak. Aku sangat ketakutan, mau minta tolong pun aku tak bisa, aku tidak bisa berteriak sama sekali.“Mmm … mmm!”“Diam kamu,” lirih orang itu. Aku sama sekali tak mengenali suaranya. “Ya Tuhan … tolong aku, aku sangat takut. Jangan biarkan orang ini menyakitiku,” batinku.Orang yang membekapku berusaha membawaku pergi dari sini. Entah dia mau membawa aku pergi kemana, yang jelas aku sangat berusaha untuk terlepas dari orang ini.Dengan sekuat tenaga, orang itu membawaku masuk ke dalam sebuah mobil. Saat setelah aku masuk ke dalam mobil, aku tetap saja tidak bisa mengenali orang itu. Karena orang itu mengenakan masker. Di dalam mobil terdapat 4 orang pria, dan semuanya serempak mengenakan masker.Aku duduk di barisan tengah, dan di sisi kanan kiri
“Risa, kamu cantik sekali,” puji Jona.Aku tersenyum tersipu malu. Entah kenapa, dipuji segitu saja, aku menjadi deg-degan.“Ayo, jalan!” ajak Jona.Kami berdua melanjutkan jalan-jalan kami, sampai hari menjelang malam.“Nggak kerasa, ya hari sudah malam saja. Kamu sadar, nggak? Dari tadi aku ini cemburu loh!” ujar Jona saat kami berdua sedang makan malam di sebuah kedai bakso.“Cemburu kenapa? Terus emang siapa yang membuat kamu cemburu?” tanyaku.“Kamu!” jawabnya“Lah, kok aku sih. Dari tadi kan aku sama kamu terus. Terus kenapa kamu mesti cemburu?” tanyaku lagi.“Kamu sadar nggak, kalau dari tadi kamu menjadi pusat perhatian orang-orang khususnya kaum pria? Tak sedikit orang yang memperhatikan kamu. Jadi aku cemburu,” jawabnya.“Ah masa, sih? Kayaknya biasa aja, deh,” tukasku.“Nggak percaya? Lihat tuh orang!” tunjuknya.Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Jona. Seorang pria yang hendak menyuapi pacarnya. Namun yang membuatku gagal fokus, pria itu malah menyuapi pacarnya dengan samba
(POV Pak Willy)Semakin hari fisikku semakin lelah karena kesibukanku di kantor. Ingin rasanya aku beristirahat, menikmati masa tuaku bersama istri. Melihat anak menikah dan kami memiliki cucu. Pasti masa tua kami akan sangat bahagia.Usiaku sudah semakin tua, tapi aku dipaksa untuk tetap produktif oleh keadaan.Hari ini, aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantor. Aku duduk di kursi tepi kolam, sambil menikmati secangkir kopi hitam pahit.“Bapak, maaf mengganggu. Ini ponsel Bapak dari tadi bunyi terus saat saya sedang membereskan kamar Bapak. Takutnya ada yang penting,” ucap bi Atun, asisten rumah tangga kami.“Terima kasih, Bi Atun.” Aku menerima ponsel itu dari tangan bi Atun.Bi Atun pergi ke belakang, dan aku memeriksa siapa yang sedari tadi menelponku.“Rendi, ada apa dia menelepon? Apakah di kantor ada masalah?” gumamku.Aku menelepon balik Rendi, dan Rendi langsung mengangkatnya.“Halo, selamat siang, Pak Willy,” sapa Rendi dari balik telepon.“Halo, Rendi. Ada apa ya, kamu me
(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga
(POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t
(POV Bu Imah)Seminggu kemudian, setelah Risa resmi menikah dengan Jona. Kini aku tinggal seorang diri di rumah Risa. Awalnya aku berniat pergi dari rumah ini. Namun Risa mencegah, dia tak tega jika aku pergi dari sini. Aku merasa tidak enak kepadanya, karena ini bukan rumahku, aku hanya menumpang disini. Tapi sungguh hati Risa sangat baik, entah terbuat dari apa hatinya, dia tidak mempermasalahkan aku tinggal di rumah ini sampai kapanpun. Baginya aku sudah seperti ibunya.Risa pun sempat menawariku untuk tinggal di rumah barunya bersama Jona. Namun aku menolak dan memilih tinggal seorang diri. Bukan aku tak menghargai niat baiknya, namun aku tidak mau jika sampai mengganggu mereka dengan keberadaanku di tengah-tengah mereka.Ting ….“Bibi, aku barusan sudah memesan makanan buat Bibi. Sebentar lagi ada kurir yang mengantarkannya. Bibi tidak usah repot-repot memasak hari ini. Oh iya, kalau perlu apa-apa, hubungi aku ya, Bi. Bibi juga bebas mau main ke rumahku. Mama sama Papa juga tidak
(POV Risa)“Risa!” teriak Jona, bu Imah dan pak Willy kompak.Tubuhku terhempas ke sisi jalan raya saat aku berusaha menyelamatkan bu Diva dari pengendara motor yang ugal-ugalan. Tubuhku rasanya sakit, namun beruntung aku tidak sampai pingsan.“Ya Tuhan, dahi dan kaki kamu berdarah.” Jona panik melihat keadaanku.Sementara pak Willy membantu bu Diva berdiri.“Tolong bawa Risa ke rumah sakit, Nak Jona. Kasihan dia pasti kesakitan,” imbuh bu Imah terlihat khawatir.Tanpa berlama-lama, Jona mengangkat tubuhku dan memasukkan ku ke dalam mobilnya.Beberapa kali aku mengaduh kesakitan. Dahiku terasa perih, terlebih kakiku selain berdarah mungkin juga terkilir.Dengan cepat Jona membawaku ke rumah sakit dekat-dekat sini.“Kamu yang kuat ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jona.Aku hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di rumah sakit. Aku segera ditangani oleh dokter. Dahi dan kakiku diperban supaya darah tidak terus menerus men
(POV Risa)Aku menunduk kala bu Diva sedari tadi memperhatikanku tanpa ekspresi dan tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun itu membuatku merasa was-was.“Risa, rencananya kami mau mengajak kamu makan bersama. Apakah kamu sedang tidak sibuk?” tanya pak Willy.“Em … rencananya hari ini kami mau keliling lagi jualan, Pak,” jawabku.“Begini saja, semua jualan kamu biar saya borong semuanya untuk makan siang semua karyawan di kantor. Saya akan panggil rendra untuk datang kesini menjemput semua makanan itu. Sekarang kamu dan Ibu kamu segera bersiap-siap. Saya ingin mengenal lebih dekat dengan calon menantu saya,” imbuh pak Willy.Aku pun menyetujui permintaannya. Aku meminta izin untuk bersiap berganti pakaian, begitupun dengan bu Imah.Di dalam kamar, aku segera berganti pakaian dengan pakaian terbaik menuurutku yang aku punya. Semoga aku tidak malu-maluin dengan penampilan ini.Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar dan bergabung kembali dengan keluarg