Home / Romansa / Nafkah Batin Basi / Bab 5. Kejutan di Pagi hari

Share

Bab 5. Kejutan di Pagi hari

last update Huling Na-update: 2022-04-04 10:07:33

Bab 5. Kejutan Di Pagi Hari

“Maaf, saya ganggu pagi-pagi, Buk!” ucapnya berjalan masuk dan berdiri  tak jauh di depanku. 

Aroma sampho menguar dari rambut basahnya.  Sepertinya dia sudah mandi, keramas lagi.   Kenapa dia keramas, coba?  Bukankah dia seorang janda? Bukankah aku yang harusnya keramas pagi ini? Entah kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana?

“Ada apa, Mbak?  Gimana keadaan Mbak Yati?  Bercak-bercak merah di dada dan leher  Mbak udah ada  kurangnya?  Kalau belum, mau kita berobat sekarang?” cecarku meneliti lehernya  yang tertutup rambut basahnya.

“Udah, kok, Buk. Saya gak sakit. Mereh-merah itu karena tadi malam gatal-gatal mungkin di gigit kutu kasur, jadi saya  garuk. Makanya gak pake baju saya tadi malam, gatal semua. Maaf, ya, Buk, saya agak kasar tadi malam  sama Ibu.   Saya kesal,  karena saya sedang menderita gatal itu, tiba-tiba Ibu gedor  pintu. Tapi, sekarang saya menyesal, Bu. Itu sebab saya datang ke mari. Saya mau minta maaf.”

Perempuan itu sepertinya sangat menyesali sikapnya tadi malam. Wajahnya menunduk begitu dalam. Seketika terbit rasa tak enak di hatiku.

“Gak apa-apa. Saya juga minta maaf udah ganggu Mbak. Soalnya saya curiga ada suara aneh dari kamar Mbak Yati. Uh , ah, uh, ah, auu, uh, ah, kek gitu. Terakhirnya suara erangan panjang. Kukira Mbak Yati kesakitan. Itu makanya aku gedor pintu kamar  Mbak Yati,” tuturku juga ikut menyesali sikap lancangku tadi malam.

“Saya memang kasakitan, Buk. Sakit menahan gatal. Bukan apa-apa.  Bu Amel udah maafin  kesilapan  saya tadi malam, kan, Buk?” Wanita itu mengangkat wajahnya, menatapku begitu memelas.

“Iya, gak apa-apa. Lupakan saja!”

“Makasih, Buk. Bu Amel memnag baik. Dan satu lagi, Buk, eh, anu –“

“Kenapa? Anu apa,  bilang aja, jangan sungkan!”

“Anu, Bu. Anu … eem.”

“Apa, Mbak?  Bilang aja!”

“Anu, kalau hari ini Ibu dan dan Pak Dar  pindahan, saya boleh ikut, ya, Bu!  Digaji berapapun saya mau. Asal ada tempat tinggal yang lebih layak buat anak-anak,” pintanya teramat mengagetkanku.

Aku dan Mas Dar menyusun rencana itu tadi malam.  Saat ini Mas Dar masih tidur di kamar belakang. Aku yakin belum ada yang tahu rencana itu. Lalu, bagaimana bisa ART ini bisa tahu?

Aneh,  ada yang terasa janggal. Sedangkan Mas Dar saja pulang larut tadi malam.  Mereka belum bertemu, kan?  Atau mereka bertemu saat aku tertidur?   Atau memang  Mas Dar  orang yang  kulihat  dengan  tubuh berbungkus   selimut    di kamarnya tadi malam?  Dan kunci mobil itu?  Ini harus kuselidiki.  Makin lama sikap mereka makin mencurigakan.

“Kamu tau kami mau pindah?  Siapa yang bilang?” tanyaku penasaran.

“Mas Dar,” jawab wanita itu spontan.

“Mas Dar?  Mbak Yati manggil suami saya, ‘Mas’?” seruku makin kaget.

“Eh, maksud saya, Pak Dar.  Maaf, Buk. Pak Dar gak suka dipanggil ‘Pak”. Dia lebih senang dipanggil ‘Mas’.  Begitu selama ini, tapi kalau Ibu gak setuju saya akan manggil ‘Pak’ aja. Maaf, ya, Bu, kalau saya lancang!” terang Mbak Yati semakin gugup.

“Gak apa-apa.   Gak masalah, kok. Tapi, saya heran, kapan Mas Dar beritahu Mbak Yati bahwa kami akan pindah?” selidikku menatap lekat wajahnya yang tiba-tiba memucat.

“Oh, anu, kapan, ya?  Oh, iya.  Saya kebetulan ke dapur mau minum tadi malam saat  Bu Amel bercakap-cakap dengan Mas Dar di  kamar  Ibu.  Jadi saya dengar.”

Aku terdiam. Wanita ini  semakin mencurigakan.

“Boleh, ya, Bu Mel, saya ikut?  Saya bisa kerja, kok, Bu. Sebenarnya  saya udah lama disuruh berhenti kerja dari sini. Mbak Dina dan Mbak Dinda  gak sanggup lagi menggaji saya.  Tapi, saya gak tahu mau pergi ke mana?  Sekedar   untuk tempat tinggal saja makanya   saya bertahan di sini.  Meskipun untuk makan  sering terancam. Kasihan anak-anak. Kalau ikut Ibu, setidaknya  makan anak-anak terjamin, Bu.  Kasihani saya, Bu Mel!  Saya ini janda, gak tahu harus  kerja apa untuk perut sejengkal anak-anak.  Boleh, ya, Buk?  Kami ikut  ke rumah Ibuk!”

Perempuan itu makin memelas.   Air bening  menetes dari  sudut  matanya. Kelemahanku adalah mudah merasa  iba.  Dan itulah yang membuatku gampang diperdaya. Kali ini pun sama. Kutepis rasa curiga yang sempat mendera.

“Baik, Mbak!  Jangan nangis, ya!  Udah, Mbak Yati dan anak-anak boleh, kok, ikut  kami!”

“Makasih, Buk! Kalau gitu, saya permisi, ya. Mau buat sarapan!”

“Iya, Mbak!”

Wanita itu  berlalu.  Kasihan dia, masih muda, cantik, tapi sudah janda. Semoga keputusanku menerima dia ikut bersama  kami nanti, tidak jadi masalah. Bukankah menolong janda miskin dan anak yatim itu perbuatan yang mulia? Ah, semoga.

Aku harus mandi sekarang, sebelum Mas Dar bangun aku harus terlihat  bersih dan cantik. Buru-buru aku ke belakang. Satu-satunya kamar mandi  di rumah ini adanya di  sudut  dapur. 

“Mel, udah bangun?  Mau mandi, ya?”  tegur  mbak Dina.  Kedua iparku tengah duduk di meja makan kayu sederhana di dekat  meja kompor.

“Iya, Mbak,” sahutku tersenyum ramah.

“Holang kaya bangun  paginya cepat juga, ya?” Mbak Dinda mulai menyindir lagi.  Aku hanya tersenyum tipis.

“Kamu penghuni baru, jadi antrianmu paling belakang! Di rumah ini udah ada aturan! Bergiliran memakai kamar mandi  kalau pagi hari. Ini masih giliran suamiku, lalu aku. Baru Dinda dan suaminya. Nah, baru giliran   kamu dan suami kamu!  Sabar, ya!”  terang mbak Dina.

“Oh, gitu, ya, Mbak!” sahutku patuh.

“Iya, makanya kamu jangan mau tinggal di sini!  Di sini susah!  Gak seperti di rumah kamu, setiap kamar ada kamar mandinya.  Percuma punya adik ipar orang kaya, kirain kita akan diajak tinggal di istananya, eh, malah  ikut  neyempitin rumah jelek kita!”  celetuk mbak Dinda

“Eem, kalau gitu saya nunggu giliran di kamar aja, deh, Mbak,” ucapku tak mengmbil hati sindirannya.

“Ya, terserah!”

Lebih baik aku menunggu di kamar saja, daripada  mendengarkan sindiran-sindiran kedua iparku itu. Entah mengapa mereka tak bisa bersikap sedikit ramah. Aku bingung.  Sindiran mereka selalu mengenai aku orang kaya. Maksudnya apa, coba? Apakah mereka ingin aku membawa mereka pindah semua meninggalkan kemiskinana mereka?  Jadi bingung.

Bersender aku duduk di bagian kepala tempat tidur  papan di kamarku.  Mencoba merenungi sikap ipar-iparku. Kepala kembali berdenyut. 

“Udah, dong, Mas!  Nanti ketahuan, lho!”

Aku tersentak, suara apa lagi sih, itu?

“Enggak, si kribo sedang nunggu antrian  kamar mandi  di dapur, bareng Mbak Dina dan Mbak Dinda.”

Ups,  tak salah lagi. Itu suara  Mas Dar.  Dia nyebut   ‘si kribo’. Siapa maksudnya? Aku?

“Mas, udah, dong!  Aku udah keramas, lho! Masa iya, aku di suruh mandi lagi!” Itu suara Yati.

“Ayolah!  Tadi malam tanggung!  Pas lagi enak-enaknya, si kribo bikin ulah! Gak apa-apalah, kamu mandi lagi, Sayang, ya! Pening,  nih!”

Astaga! Mas Dar ada di kamar Yati? Ngapain mereka?

*****

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing!!! g segini juga tolol tokoh cerita rekaan kau njing!!! g banget deh si penulis. g ada otak kau menulis cerita. dasar bodoh melebihi binatang!!!
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

  • Nafkah Batin Basi   Bab 6. Terbongkar  (Mereka Zina Atau Bukan?)

    Bab 6. Terbongkar (Mereka Zina Atau Bukan?)“Mas, udah, dong! Aku udah keramas, lho! Masa iya, aku di suruh mandi lagi!”“Ayolah! Tadi malam tanggung! Pas lagi enak-enaknya, si kribo bikin ulah! Gak apa-apalah, kamu mandi lagi, Sayang, ya! Pening, nih!”“Ya, udah, jangan lama-lama! Cepatan!”“Iya, Sayang, makasih, ya!”Kutajamkan pendengaran, beringsut pelan ke arah dinding kamar. Sela-sela berlubang antara papan lapuk dinding ini, sepertinya bisa kujadikan sarana untuk mencari tahu situasi di kamar sebelah. Mohon ampun pada Tuhan, maaf, ya Allah, bukan aku mau tahu urusan orang. Kali ini saja, izinkan aku mengintip. Sebab aku curiga,

    Huling Na-update : 2022-04-05
  • Nafkah Batin Basi   Bab 7. Kujadikan  Maduku Sebagai  Babu

    Bab 7. Kujadikan Maduku Sebagai Babu=======“Pagi Papa! Papa sehat?” sapaku melalui ponsel. Kutelepon Papa pagi ini.Pembalasanku kepada suami durjanaku harus segera dimulai. Sengaja aku menelepon Papa di hadapan seluruh keluarga Mas Dar. Kuaktifkan pengeras suara ponsel, agar mereka bisa mendengar.“Sehat, Sayang! Gimana keadaan kamu di situ? Kamu senang, kan? Keluarga suami kamu memperlakukan kamu dengan baik, kan?” tanya Papa.“Senang, Pa. Amel bahagia banget di sini. Tapi, anu ….” Sengaja kujeda ucapanku. Itu membuat perhatian mereka sontak tertuju padaku. Sorot gelisah terpancar dari wajah-w

    Huling Na-update : 2022-04-06
  • Nafkah Batin Basi   Bab 8. Papa Amelia Mulai Mengontrol

    Bab 8. Papa Amelia Mulai Mengontrol“Sayang, kita baru aja pindahan. Kok, si Yati langsung disuruh kerja berat, gitu? Mana anak-anaknya masih kecil-kecil lagi! Kan, repot, Sayang! Kalau di rumah Mama, Mama bisa jagain anak-anaknya. Kalau di sini, gimana? Kasihan, lho!” protes Mas Dar tampak sangat tidak suka.“Lah, bukannya Mbak Yati itu pembantu kita? Tugasnya bersih-bersih, dong! Lagian, dia aku izinin, kok, kerja sambil momong anak!” sergahku. “Ayo, dong, Mas! Antarin aku!” perintahku tak peduli akan ketidak senangannya.“Sebenarnya kita mau ke mana? Masih capek, kan, Sayang? Kalau mau ngontrol peternakan, besok aja, ya! Uang penjualan gak mungkin diselewengkan oleh kasir kamu, kan?”

    Huling Na-update : 2022-04-07
  • Nafkah Batin Basi   Bab 9. Papa Amelia Terkapar

    Bab 9. Papa Amelia Terkapar“Kenapa, Pak?” tanyaku tak kalah kalah kaget.Pak Anwar menunjukku dengan tangan gemetar. Kenapa dia? Kertas yang bertuliskan Kartu Keluarga ada di tangannya. Kertas yang ditunjukkan oleh Bagas putra sulungku. Kartu Keluarga? Astaga! Jadi, kertas yang disodorkan bagas tadi adalah kartu keluarga kami?“Ja – di, Dar – fan, su - a – mi, ka – mu? Ka … li … an, pe … ni … pu!” ucap Anwar terbata-bata. Lelaki paruh baya itu jatuh tiba-tiba terkapar.“Pak! Pak Anwar!” Spontan aku menghampirinya. “Bapak kenapa, Pak?” tanyaku seraya mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi pria itu tetap diam, t

    Huling Na-update : 2022-04-13
  • Nafkah Batin Basi   Bab 10. Keluarga Parasit Mulai Mendekat

    Bab 10. Keluarga Parasit Mulai Mendekat “Sabar, ya, Sayang!” Darfan yang sudah datang, duduk di sisinya. “ Tenang, ya!” hiburnya lagi seraya mengelus bahu Amelia. Kali ini tak ada lagi kalimat meninggal dari mulutnya. Khawatir karena Amel telah mengancamnya. Amelia segera menepis kasar elusan tangan pria licik itu. Hampir dua jam mereka menunggu, Dr Frans akhirnya keluar dari ruangan. Amel segera memburunya. “Gimana Papa, Dok? Papa gak meninggal, kan, Dok?” tanya Amelia masih diiringi isak ketakutan. Darfan ikut berdebar. Pria itu berusaha melongokkan kepala ke dalam ruangan untuk mengintip situasi di dalam. Dia tak sabar mengetahui kondisi papa mertua yang diharapkannya 

    Huling Na-update : 2022-04-14
  • Nafkah Batin Basi   Bab 11. Gagal Menguasai Kartu ATM Amelia

    Bab 11. Gagal Menguasai Kartu ATM Amelia “Kenapa, Pa? Papa mau bilang apa?” tanya Amel mendekati ranjang pasien. “Ough! Eeeeegh!” Kembali sang papa bergumam tak jelas. Lidahnya yang kaku membuat pria itu kesulitan untuk berkata-kata. “Amel gak ngerti, Pa! Papa tenang, ya! Kita pulang setelah Mas Dar urus administrasinya,” bujuk Amelia lembut. “Uuuuuugh!” Anwar malah semakin gelisah. “Mas, sepertinya Papa mau bilang sesuatu, aku gak ngerti. Tolong, deh, Mas yang tanyain! Duduk sini, Mas! Biar aku aja yang turun!” Gadis itu mendorong tubuh Darfan dan mendudukkannya di kursi samping ranjang. “Papa ngomong sama Mas Dar, ya, Pa!

    Huling Na-update : 2022-04-14
  • Nafkah Batin Basi   Bab 12. Malam Pertama Yang Tertunda

    Bab 12. Malam Pertama Yang Tertunda Sejatinya, semua mahkluk yang bernama wanita itu cantik sempurna. Namun, banyak pria yang tak mampu melihat kecantikan yang sesungguhnya. Mereka tertipu dengan netra. Padahal, penglihatan kadang bisa berubah menjadi iblis yang memperdaya. ***** Pukul sepuluh malam, mereka tiba di rumah. Amel langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Darfan menunggu dengan sabar. Pria itu tengah menyiapkan suatu rencana. Dia harus melakukan sesuatu untuk memudahkan mencapai tujuannya. Sejauh ini, belum ada hasil apa-apa. Mobil sang mertua yang dia incar gagal dia dapat. Kartu ATM, Kartu Kredit dan lainnya, sama sekali tak bisa dia kuasa

    Huling Na-update : 2022-04-14
  • Nafkah Batin Basi   Bab 13. Perangkap Keluarga Benalu

    Bab 13. Perangkap Keluarga Benalu “Maaf, Mas! Aku khilap. Ini yang pertama kali bagiku, jadinya aku gugup banget. Maafkan aku ya, Mas! Aku belum siap, maaf!” lirih Amelia. Gadis itu berusaha tetap berucap dengan nada lembut, seolah tak ada amarah yang tengah melanda di dadanya. Amelia yakin, bukan dengan amarah untuk melampiaskan rasa sakit ini. Bukan murka yang digunakan untuk membalas rasa terhina ini. Ada cara lain, cara yang sempat tertunda, cara yang akan membuat Darfan menangis darah karena penyesalan. “Maaf, Mas!” ucapnya lagi, seraya memungut dan mengenakan kembali pakaian yang berserakan di lantai. Pakaian yang sudah sempat dilepas satu persatu oleh pria licik itu. &nb

    Huling Na-update : 2022-04-14

Pinakabagong kabanata

  • Nafkah Batin Basi   Bab 200. Tamat (Malam Pertama Amelia)

    Bab 200. Tamat (Malam Pertama Amelia)Amelia bersimpuh di pangkuan sang Papa. Memohon doa restu dengan derai air mata haru. Daffin mengikuti berbuat yang sama.Amelia bergeser ke bangku Rahayu. Andy ada di sampingnya. Wanita itu memeluk gadis bergaun pengantin itu. Membisikkan kalimat restu dan menguntai doa sakral. Semoga pernikahan putra semata wayangnya dengan gadis ini penuh keberkahan, abadi, tanpa pernah ada lagi perpisahan.“Terima kasih Tante,” ucap Amelia surut masih dengan berjongkok. Lalu berbisik pada Daffin, pria yang baru saja menghalalkannya. “Mas, minta restu pada Tante Rahayu, ya! Juga kepada Pak Andy, papa kandung Mas Daffin. Lakukan itu, seperti Mas meminta restu pada papaku! Agar pernikahan kita ini berkah, Mas!”Daffin menatap mata wanitanya, lembut. Lalu mengangguk. Pria itu melakukan seperti yang Amelia ucapkan. Untuk pertama kalinya, Rahayu memeluk tubuh putranya. Air mata haru tak henti mengalir deras membasahi kedua pipi kurusnya. Sama harunya sepert

  • Nafkah Batin Basi   Bab 199. Sentuhan Karena Cemburu Daffin Di Dalam Lif

    Bab 199. Sentuhan Karena Cemburu Daffin Di Dalam Lif“Ada apa dengan Mas Andre? Aku tahu, kok, dia dirawat di sini,” tanya Amelia penasaran.“Dia ingin bertemu kamu, tanpa Pak Daffin. Mungkin kamu bisa luangkan waktu kamu menjenguknya sebentar.” Dr. Vito mengusulkan.“Waw, Andre ingin bertemu Amelia tanpa aku? Hebat! Apa yang kalian rahasiakan dariku?” Daffin mendelik pada Amelia, pria itu kembali terbakar.“Amelia juga belum tahu, Pak Daffin. Tak ada rahasia. Tapi, Andre memang takut kalau Pak Daffin ikut,” sela Dr. Vito.“Takut apa? Dia mau mengambil Amelia lagi dariku, begitu?” sergah Daffin dengan wajah mengetat.“Bukan tentang Amelia, Pak, tapi … wah, saya tak enak mengatakannya. Tapi, alangkah lebih baiknya kalau Amelia menemuinya!”“Baik, terima kasih, Vito! Aku dan Mas Daffin akan menemuinya! Antara aku dan Mas Daffin tak pernah ada rahasia. Terserah, Mas Andre setuju, takut, dan sebagainya! Ayo, Mas kita ke rungannya! Ayo, Mela! Kami duluan, ya! Dadaah, Bilqis!”Amelia me

  • Nafkah Batin Basi   Bab 198. Daffin Cemburu Buta

    Bab 198. Daffin Cemburu Buta“Jangan seperti anak kecil, dong, Mas! Enggak ada angin, enggak ada badai, tiba-tiba aja, Mas Daffin sewot, aku gak paham, ada apa, sih?” Amelia menahan lengan Daffin.“Gak ada! Maaf aku buru-buru!” Pria itu menepis dengan sedikit kasar. Hampir saja gadis itu tersungkur. Sebuah tangan menahan tubuhnya.“Ati-ati, dong, Om! Kacian Antenya!” Seorang anak kecil berteriak dengan lantang. “Untung dipegangi mama Iqis, kalau enggak Antenya udah jatuh! Oom dahat!” sungut bocah perempuan itu lagi. Daffin dan Amelia tersentak kaget. Keduanya menoleh ke sumber suara. Suara itu sepertinya tak asing di telinga Amelia.“Ante Amel?” sang bocah malah lebih dulu mengenalinya. “Ini Ante Amel, kan? Mama, ini Ante Amel!” teriak bocah lincah itu kepada wanita yang bersamanya.“Bilqis?” gumam Amelia seraya merunduk lalu memeluk gadis kecil itu. Daffin terpana. “Ini Mama Iqis, Ante! Mama, ini Ante Amel, temannya Papa! Iqis mau Ante Amel jadi mama Iqis, tapi kata Papa, A

  • Nafkah Batin Basi   Bab 197. Telepon Dari Dr. Vito

    Bab 197. Telepon Dari Dr. Vito“Kalau memang Om Andy dengan Tante Ayu udah ada niat menikah, gak boleh ditunda lagi! Kalau saya dan Mas Daffin, bisa kok, nunggu dulu. Pokoknya Om dan Tante aja duluan! Mas Daffin enggak suka kalau Om Andy menunda lagi, ya, Om, Tante!” kata Amelia menekankan.Kedua calon mertuanya itu saling tatap. Lalu menghela napas kasar.“Mama cepat sembuh, pokoknya! Pak Andy jangan banyak pikiran lagi! Ini, pakai untuk keperluan Bapak! Tentang biaya sekolah Klara dan Indah, jangan pikirkan lagi, sudah diurus oleh anggota saya!” tukas Daffin sembari menyerahkan sebuah kartu kredit kepada Andy.“I-ini apa, Nak?” Andy tergagap. “Ti-tidak usah, Nak Daffin, tidak usah! Bapak akan burusaha bekerja semaksimal mungkin untuk mengumpulkan biaya pernikahan. Bapak tidak mau membebani Nak Daffin!” tolaknya mendorong dengan halus di tangan Daffin.“Pakailah, mulai sekarang Bapak akan saya anggap papa saya. Setelah menikahi Mama, Bapak akan saya bawa ke kantor, bantu saya m

  • Nafkah Batin Basi   Bab 196. Suasana Tegang Di Rumah Sakit

    Bab 196. Suasana Tegang Di Rumah Sakit“Tidak perlu sungkan, Ma! Pak Andy, saya terima lamaran Anda terhadap Mama saya, kapan rencana pernikahan kalian, kalau bisa secepatnya, ya!”Tiba-tiba Daffin muncul di ambang pintu.“Daff-daffin …!” Rahayu dan Andy serentak menoleh. Wajah keduanya memucat sesaat. Tetapi langsung terang benderang begitu Daffin menyelesaikan kalimatnya.“Terima kasih, Bapak sudah menjaga mama saya sepanjang malam ini?” ucap Daffin melangkah masuk.Andy langsung bangkit, memberi ruang kepada Daffin untuk mendekati Rahayu. Daffin segera menyalam ibunya, lalu duduk di kursi itu. Senyum semringah mekar di wajah tampannya.Rahayu sadar, hari ini putranya terlihat berbunga-bunga. Ada binar di wajahnya. Bukan karena lamaran Andy pada dirinya. Ada sesuatu, entah itu apa. Apakah ada hubungannya dengan Amelia? Rahayu menerka-nerka.“Jadi bagaimana Pak Andy, kapan rencana Bapak menikahi mama? Saya mau secepatnya. Kalau bisa begitu Mama boleh pulang kata dokter, esoknya

  • Nafkah Batin Basi   Bab 195. Daffin Menerima Lamaran Andy Untuk Ibunya

    Bab 195. Daffin Menerima Lamaran Andy Untuk Ibunya Pagi ini Andy terjaga karena gerakan di atas ranjang pasien. Rahayu menggeliat di sana. Pria itu perlahan mengangkat kepala yang dia letakkan di tepi ranjang. Persis di sisi sang pasien. “Hey, kamu sudah bangun, Sayang?” sapanya sembari mengucek mata. “Maaf, gerakanku membuat Mas terganggu. Pindah saja tidurnya ke sofa sana, Mas! Kasihan, sepertinya Mas kurang tidur beberapa malam ini,” usul Rahayu menatap iba pria yang sangat dia cintai itu. “Tidak, aku juga sudah bangun. Gimana, kamu mau ke kamar mandi, ayo, aku bantu!” “Tidak usah, Mas. Itu terlalu merepotkan kamu. Aku tunggu perawat saja.” “Tidak Rahayu, kenapa kau masih sungkan. Tolonglah, jangan perlakukan aku seperti orang asing!” “Tapi, kamu memang orang lain, kan, Mas? Kita bukan muhrim, kamu juga bukan suamiku. Aku sungkan kamu membantuku ke kamar mandi. Aku akan minta tolong perawat saja nanti.” “Aku sangat sayang padamu, Yu. Aku sangat sedih kau bicara seperti

  • Nafkah Batin Basi   Bab 194. Papa Amelia Batal Melamar Regina

    Bab 194. Papa Amelia Batal Melamar Regina “Hem.” “Terima kasih, Mel!” Tanpa ragu, Daffin meraih tubuh kekasihnya, membenamkan di dalam pelukan erat. “Aku akan minta pada Papa kamu, agar mau mengalah. Dia boleh melamar Bu Regina, tapi pernikahannya ditunda dulu. Aku mau, kita duluan, Sayang.” “Ya, Papa setuju!” Sontak Daffin melepas pelukan. Anwar telah berdiri tak jauh dari meja makan itu. Suster Ayu dan Bik Jum mengiring di belakangnya. Entah sejak kapan mereka ada di sana. Sedikitpun kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu menyadarinya. “Maaf, Non. Bibik udah berusaha menghalangi agar Bapak jangan masuk ke ruang makan ini, tapi makin dihalangi, Bapak makin maksa masuk,” lirih Bik Jum merasa bersalah. “Papa khawatir, papa minta maaf. Papa kira putri papa sedang ada masalah lagi. Ternyata, papa salah duga. Anak gadis papa rupanya sedang dilamar oleh seorang pria hebat. Papa sangat bahagia. Jangankan menunda pernikahan papa, membatalkan lamaran esok pun, papa bersedia, Nak.”

  • Nafkah Batin Basi   Bab 193. Lamaran Daffin Di Meja Makan

    Bab 193. Lamaran Daffin Di Meja Makan “Apa?” Amelia tersentak kaget. Salah dengarkah dia? Daffin memintanya menyuapi. “Ya, sudah, enggak jadi. Maaf!” ucap daffin dengan wajah sedikit memerah. Telunjuk pria itu langsung mengusap symbol hijau di layar ponselnya. “Ada apa lagi Pak Sastro?” sergahnya meninggikan suara melalui benda pipih itu. “Bu Lidya sudah kami tahan di pos depan, Pak. Tapi, dia tidak berhenti menjerit-jerit. Itu memancing perhatian semua orang yang kebetulan melintas juga warga sekitar. Mohon petunjuk, apa yang harus kami lakukan?” lapor Sastro dari ujung sana. “Hem, perempuan sial! Tidak usah menungguku, bawa ke kantor polisi! Lalu telepon pengacaraku, minta dia mengurus semuanya! Bukti-bukti kejahatan perempuan itu sudah ada di tangan pengacara itu! Sekaligus Bik Rum jadikan sebagai saksi!” kata Daffin menjelaskan. “Siaap, baik, Pak!” Daffin mematikan ponsel, lalu menghela napas panjang seraya menyenderkan tubuh lelahnya ke sandaran kursi. Matanya terpeja

  • Nafkah Batin Basi   Bab 192. Lidya mengamuk

    Bab 192. Lidya mengamuk“Tolong jangan seperti anak kecil, Mas! Mas Daffin itu udah dewasa! Tolong bijaklah dalam berpikir, bijaklah dalam berbicara dan juga dalam memutuskan segala sesuatunya!”“Aku masih kurang bijak, ya?”“Ya!”“Baik, aku minta maaf!”“Aku mencintaimu, Mas! Tolong jangan pernah kamu ragukan! Jangan pula kamu kaitkan dengan hal lain!”“Boleh aku bertanya?”“Ya.”“Kenapa istri Papa yang bernama Tina itu mau bermesraan dengan pria selingkuhannya itu, bahkan mereka tak peduli itu di tempat umum? Karena cinta, bukan? Lalu kamu?”“Bukan. Yang mereka lakukan bukan karena cinta. Tapi karena napsu!”“Begitukah? Lalu kamu mengira aku …?”“Tolong jangan tersinggung! Aku hanya merasa ini terlalu cepat! Satu hal yang perlu Mas Daffin ketahui. Meskipun aku sudah pernah menikah, sudah juga pernah menjalin hubungan dengan Mas Andre. Tetapi hingga detik ini aku masih perawan.”“Mel?” sergah Daffin tersentak kaget. Perempuan yang sangat dia cintai ini ternyata begitu sempurna.“Ya

DMCA.com Protection Status