Puspita menyeka air mata entah untuk ke berapa kalinya.Kaca helm sengaja ia tutup agar tangisnya samar, meski desau angin sebenarnya sudah menyamarkannya. Walaupun sudah kenyang dengan berbagai kepahitan hidup sejak kecil, nyatanya hatinya tak cukup kebal untuk tidak menitikkan air mata setiap kali menerima ketidakadilan.Ia tetap saja gadis rapuh yang cengeng. Air mata menjadi teman setianya sejak lama.Ia pikir setelah keluar dari rumah Pramudya, tidak akan ada lagi air mata yang tumpah berkaitan dengan pria itu. Nyatanya, kini yang ia rasakan lebih sakit dari sebelumnya. Jika dulu hanya sikap Pram yang membuat hatinya sakit, kini tentu lebih parah karena dunia seolah memusuhinya.Sekali lagi Puspita mengusap air mata yang tidak mau mengering. Langit malam mulai menyelimuti kota ketika ia turun dari ojek online di depan rumah kosnya. Pikirannya melayang jauh. Ia tidak tahu lagi harus melangkah ke mana.Saking tidak fokus, ia tidak menyadari jika di teras kamarnya duduk seseorang ya
Puspita mematung. Jeritannya terhenti di tenggorokan saat matanya bertemu dengan wajah laki-laki yang masih duduk di lantai, tepat di bawah kakinya. Pramudya.Apa yang dia lakukan di sini? Bagaimana bisa dia berada di teras kosnya, tempat yang seharusnya aman karena gerbang dikunci setiap malam?“Kau sudah bangun?” Pram bersuara serak, menatapnya dengan mata yang sedikit sembab, seolah ia tidak tidur semalaman. “Kebiasaanmu tidak berubah,” lanjutnya. Tentu saja ia tahu karena tiga tahun Puspita tinggal di rumahnya dan satu tahun menjadi istrinya. Meski tidak memperhatikan, tetapi karena terus berulang ia jadi hapal dengan sendirinya.Puspita mundur selangkah. Masih berusaha menetralkan jantungnya yang berdebar keras. Kekagetan kini berubah kekesalan.“Apa yang Anda lakukan di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar, setengah antara marah dan bingung.Pram bangkit perlahan, membersihkan debu di celananya. “Aku menunggumu,” jawabnya datar.“Nunggu aku? Di sini? Bagaimana bisa?” Puspita mem
Puspita mematung mendengar ucapan satpam yang penuh keyakinan itu. Suaminya? Kabur? Bersembunyi? Apa-apaan semua ini?Puspita merasakan napasnya berat, dan jantungnya berdentum begitu keras hingga hampir menenggelamkan semua suara."T-tunggu!" Puspita akhirnya bersuara, mencoba memecah bisik-bisik orang-orang yang semakin riuh. "Itu tidak benar! Dia bukan—"Namun, sebelum ia dapat menyelesaikan kalimatnya, Pram melangkah maju dengan santai. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya—selembar kertas yang terlihat agak kusam, namun tetap rapi dilipat. Pram membukanya di depan semua orang tanpa ragu. Lalu mengacungkannya."Surat ini," ucapnya dengan nada mantap, "adalah bukti bahwa aku dan Puspita sudah menikah."Mata Puspita melebar. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Ia mengenali surat itu. Surat yang ia dan Pram tandatangani di hari pernikahan mereka.Surat itu dulu ia tinggalkan di rumah Pram karena tak ingin membawa apa pun yang mengingatkan dirinya pada hubungan mereka. Dan sekara
Dengan bersimpuh, Pram terus mengguncang tubuh Puspita, berharap wanita itu memberikan respons. Namun, Puspita tetap diam, hanya napasnya yang tersengal lemah. Wajahnya yang semula memerah karena emosi kini memucat, bibirnya tampak kering, dan keringat dingin mulai mengucur deras.Pram semakin panik. Di saat seperti ini, bayangan Soraya saat penyakitnya kambuh berputar-putar di kepalanya. Ketakutan memenuhi hatinya. Sungguh, ia tidak ingin kejadian lalu terulang lagi.Pram mengangkat tubuh Puspita, lalu membaringkannya di atas dipan kecilnya. Setelahnya, ia mencari apa pun yang bisa dipakai untuk mengompres Puspita.Terbiasa mengurus Soraya sendiri meski banyak pelayan di rumahnya, membuatnya sangat sigap. Ia menempelkan handuk kecil yang sudah dibasahi di kening Puspita. Pikirannya melayang-layang ke masa lampau.**“Sebaiknya langsung dibawa ke rumah sakit saja, Pak Pram. Panasnya tinggi,” ujar ibu kos yang kembali datang setelah Pram meminta bantuan satpam. Wanita paruh baya itu me
Pram tertegun mendengar tuduhan itu. Rahangnya mengeras, tetapi ia mencoba menahan diri. Mata Puspita yang memerah karena emosi menembus pertahanannya. Namun, sebelum ia sempat membalas, pintu ruangan diketuk,, dan seorang perawat wanita berhijab masuk dengan setumpuk dokumen di tangannya.“Permisi, Pak, Bu, waktunya kunjungan dokter,” ujarnya ramah.Pram mengangguk dan berdiri untuk memberi ruang. Pandangannya teralih pada dokter wanita senior yang berjalan mendekat dengan senyum profesional. Di belakangnya mengekor seorang perawat lain.“Ah, pasien kita sudah sadar. Syukurlah….” ucap dokter itu ramah. “Bagaimana rasanya sekarang, Bu Puspita? Masih merasa pusing atau mual?” lanjutnya setelah berdiri di samping ranjang Puspita.Puspita menelan ludah, mencoba meredam emosinya yang sempat tersulut pada Pram. Terlebih saat melihat wajah teduh dokter berhijab itu. Ia mengangguk kecil. "Lumayan, Dok,” jawabnya lirih.Tangan dokter bergerak menempelkan stetoskop di beberapa bagian tubuh Pus
"Makanlah, jangan membiarkan perutmu terus kosong." Pram berucap seraya memegang semangkuk bubur hangat yang baru diantarkan petugas.Puspita yang sedari tadi membelakangi Pram, tak menyahut sama sekali. Ia terlalu marah dengan semua perlakuan pria itu, tetapi tak cukup memiliki energi untuk meluapkan rasa marahnya, hingga hanya diam membelakangi.Pram mengakui dirinya sebagai istri, lalu berlanjut dengan janji pada Prily untuk membawanya pulang. Apa-apaan semua itu? Pram seolah sangat berkuasa atas dirinya. Tanpa meminta izin atau persetujuan apa pun darinya, melakukan sesuka hatinya.Puspita menyesali kenapa dirinya harus sakit, hingga membuka peluang untuk Pram menguasai dirinya. Andai ia tidak sampai tumbang begini, tentu Pram tidak punya peluang untuk melakukan semuanya.“Puspita, makanlah dulu. Kasihan tubuhmu kalau terus seperti ini. Apa kamu tidak tahu kalau tubuhmu sangat kurus?”Puspita tetap diam. Apa peduli Pram padanya? Bukankah ia sakit juga karena ulah pria itu? Kalau s
Pram berjalan menjauh dengan perasaan campur aduk. Puspita sedang panas dan merasa mendapat dukungan karena keberadaan Haidar di sana. Jika ia memaksakan terus membantah, hanya akan menambah runyam keadaan.Karenanya, walaupun berat dan tak terima dengan tuduhan itu, ia memutuskan tidak memperpanjang masalah.Pram berjalan keluar. Sesuatu harus ia lakukan. Sepertinya ada yang salah di sini. Namun, sebelum ia benar-benar keluar, pria itu kembali melirik Puspita di ranjangnya. Terlihat Haidar sedang menenangkannya. Laki-laki itu duduk di samping ranjang, di kursi yang biasa ia pakai.Pram memejam sebentar. Ada perasaan tidak rela, tapi ia tidak bisa memaksakan berdebat. Kondisinya tidak memungkinkan, posisinya di sini tidak menguntungkan.Pram membuka pintu dan keluar. Setelahnya ia merogoh ponsel dan menelepon seseorang.Sementara di dalam sana, Puspita masih berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu raganya sedang sakit, tapi jika mengingat kejadian di kantin itu, sakit hatinya lebih besa
Haidar menggeleng. “Akang yakin itu hanya gosip murahan yang disebar orang tidak bertanggung jawab. Akang yakin kalau kamu tidak seperti itu. Ini Akang sedang meyakinkan orang tua yang akhir bulan ini ingin bertemu kamu.”Lagi, Puspita menelan ludah. Haidar meyakinkan orang tuanya? Rasanya itu akan menjadi hal yang sia-sia. “Sepertinya, Akang tidak perlu repot-repot meyakinkan orang tua dan keluarga, Kang. Maaf, tapi Pita rasa semua itu tidak perlu lagi.”“Maksud kamu?” Haidar memperbaiki posisi duduknya. Keningnya mengernyit.Puspita memaksakan senyum saat melihat keheranan laki-laki di hadapannya. “Akang tidak perlu bicara apa pun kepada Ayah dan Ambu, kita sebaiknya memang tidak melanjutkan rencana yang mustahil itu.”“Rencana mustahil? Maksudnya apa, Pita?”Untuk kesekian kalinya Puspita menggigit bibir, menahan air mata yang tiba-tiba ingin tumpah. Mengatakan ini memang menyakitkan, tetapi ia harus melakukannya agar Haidar tidak merasa tidak enak hati apalagi merasa bersalah.“Se
Puspita sontak menarik tangannya dari genggaman Prabu. Seakan tersengat, matanya membelalak lebar. Ia tidak menyangka Pram menemukannya di sini. Dalam keadaan yang akan membuatnya semakin salah paham.Lorong yang sepi pun terasa sangat mencekam saat Pram melangkah mendekat. Suara ketukan sepatunya yang bersatu dengan lantai berlomba dengan detak jantung Puspita yang melonjak-lonjak.“Jadi … memang begini perbuatan kalian di belakangku?” tanya Pram dengan tatapan perpaduan antara kekecewaan dan kemarahan. Ada luka juga di sana.Puspita menggeleng cepat. Ia ingin menyangkal, tetapi Pram dengan cepat mendahului.“Apa kamu mau bilang lagi ini tidak seperti yang aku pikirkan?” tanya Pram sinis. “Jadi, apa yang harus aku pikirkan melihat istriku berduaan bahkan berpegangan dengan pria lain?”“Mas ….” Kepala Puspita semakin menggeleng. Bibirnya bergetar.“Kemarin kamu bisa bilang aku salah paham karena hanya melihat foto. Apa aku masih salah paham juga jika sudah melihat dengan mata sendiri
Puspita mencuri-curi pandang saat Pram berbincang dengan Rangga dan istrinya. Ia mencari keberadaan Prabu. Ia berharap bisa bicara dengan pria itu sebelum acara dimulai. Sayangnya, pria itu tidak terlihat di mana pun di ruangan itu. Matanya justru menangkap seseorang yang wajahnya sangat familiar.Puspita sampai terjengkit kaget.Di sana, di antara para tamu undangan yang ia yakin semuanya adalah relasi bisnis keluarga Bimantara, ia melihat ada pria berusia lebih dari setengah abad yang menatap sinis ke arahnya.Puspita mengucek matanya setelah beberapa saat terperangah. Sayangnya, setelah ia mengucek mata, orang itu sudah tak terlihat lagi di sana. Puspita berkedip beberapa kali, lalu mencari dengan matanya ke semua penjuru ruangan, tetapi ia tidak mendapati orang yang dicarinya.Wanita itu kemudian menggeleng. Mungkin ia sedang berhalusinasi karena melihat pamannya berada di antara para tamu undangan.Bagaimana mungkin sang paman ada di sana? Bukankah semua tamu hanya dari kalangan
Puspita menarik napas panjang sebelum turun dari mobil. Dadanya terasa sangat sesak karena selama dalam perjalanan menuju rumah keluarga Bimantara itu, tak sepatah kata pun Pram berucap. Mereka hanya saling diam meski duduk berdampingan.Saat menerima surat undangan dari Prily, sebenarnya ia malas untuk ikut datang. Toh, hubungannya dengan Pram sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, Pram hanya menitipkan surat itu pada anaknya. Sebenci itukah Pram padanya, bahkan sekadar menyampaikan kartu undangan saja tidak sudi?Kalau mau egois, Puspita lebih baik tidak ikut datang. Toh, ia juga tidak tahu pesta apa gerangan yang harus dihadirinya itu. Namun, ia tidak ingin Pram malu. Ia bahkan masih memikirkan reputasi Pram meski sang suami sedang marah padanya.Lagipula, bukankah di sana ia bisa bertemu dengan Prabu? Ini kesempatan baik, harus ia gunakan untuk meminta tolong Prabu menjelaskan yang sesungguhnya. Bagaimanapun caranya, ia harus bicara dengan pria itu. Jika bukan pada kesempatan ini, i
Wanita berrok pendek berlari menuju pintu ruangan Prabu saat mendengar suara gaduh dari dalam sana. Ia sebenarnya sudah curiga sejak awal karena tamu bosnya datang dengan wajah tegang dan penuh amarah.Suara bentakan terdengar menggema di ruangan megah itu. Sekretaris membuka pintu dan langsung memekik melihat bosnya tersungkur di lantai dengan tamunya masih melayangkan tangan.Wanita itu berlari untuk melerai, berusaha menenangkan Pram yang tengah dikuasai amarah. Setelahnya, ia membantu Prabu untuk bangun dan memapahnya ke sofa.Pram berdiri dengan rahang mengeras, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan amarah yang membara dalam dadanya.Sementara itu, Prabu yang kini duduk bersandar di sofa mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Tatapannya tetap lurus di wajah merah Pram. Senyum sinis tersungging dari bibir pecah Prabu. Sama sekali tidak ada rasa marah atau takut yang ia tampakkan."Beginikah cara seorang Pramudya Adiguna menyelesaikan masalah?" tanya Prabu san
Puspita berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Dadanya sesak, pikirannya kusut, dan hatinya penuh dengan kegelisahan. Sudah dua hari sejak kejadian kemarin, dan Pram tetap diam. Pria itu bahkan memilih tidur di ruang kerjanya, seolah kehadiran Puspita di rumah ini hanyalah gangguan yang harus dihindari.Tidak ada pengusiran dan kata talak seperti dulu, tidak ada kata-kata kasar yang menghujam lagi, tapi didiamkan seperti ini jauh lebih menyakitkan.Ia tinggal di rumah seseorang, tapi si empunya rumah sama sekali tak menganggapnya ada. Pram selalu menghindarinya seolah tak ingin lagi melihatnya. Waktu makan yang biasanya mereka gunakan untuk bercengkerama hangat, hanya kekosongan meja makan yang didapatkan Puspita. Hingga terkadang ia pun malas untuk sekadar mengisi perut.Pram selalu meminta pelayan yang mengantar makan ke ruang kerjanya dan bukan dirinya.Puspita sampai bingung bagaimana melanjutkan hidup. Ia tidak mungkin pergi karena tidak ada kata talak dan pengusiran seperti dulu
“Aku kembalikan kamu ke agensi. Sejak hari ini kamu tidak bekerja di sini lagi.”Kalimat itu meluncur dari pria yang sejak tadi berdiri di teras, menunggu Puspita dan Joseph keluar. Sikapnya dingin, tatapannya tajam, dan ucapannya tak terbantah.Kalimat itu langsung meluncur dari bibir sang pria bahkan saat kaki Puspita dan pengawal yang menyertainya baru saja turun dari mobil.Kedua bola mata Puspita serta-merta melebar. Ia melirik lelaki tinggi tegap yang berdiri di samping pintu mobil. Lelaki yang diam saja tanpa ekspresi mendengar ucapan Pram, meskipun tahu dirinya dipecat.Puspita menggeleng tegas. Suaminya memecat Joseph begitu saja di saat mereka baru saja tiba. Tidak ada interogasi, tidak ada kesempatan untuk menjelaskan, bahkan mereka tidak diberi waktu sekadar untuk menghirup udara di luar mobil. Pram langsung menyambut dengan pemecatan itu.Puspita ingin bertanya, tetapi Pram sudah masuk ke rumah hanya dalam waktu kedipan mata. Dengan berlari-lari kecil, wanita itu menyusul
“Kamu tidak apa-apa?” Pertanyaan lembut penuh kekhawatiran meluncur dari bibir pria yang menahan tubuh seorang wanita. Namun, wanita dalam pelukan itu gegas melepaskan diri setelah beberapa saat terpaku.Puspita—wanita itu—buru-buru mundur, merapikan hijabnya yang sedikit berantakan. Jantungnya yang mendadak bertalu cepat berusaha ia kendalikan. Ini tidak boleh terjadi, Prabu tidak boleh menyentuhnya. tapi semua di luar kendalinya. Semua ini hanya kecelakaan. Prabu menolongnya.Tapi, kenapa tiba-tiba ada Prabu ada di sana?Ah, ya. Pria itu pasti mencari Tika.“Maaf, tapi apa yang terjadi di sini?” tanya Prabu karena melihat Puspita menepuk bajunya seolah telah bersentuhan dengan debu. “Abang ….” Rengekan manja tiba-tiba terdengar, dan itu tentu saja berasal dari mulut Tika. Gadis yang semula amarahnya meluap-luap itu kini berubah ekspresi. Ia mendekati Prabu dengan mimik sedih, seolah tertindas.“Dia menyakitiku, Bang … istrinya Pak Pram ini berusaha menindasku,” adunya dengan suara
Puspita meringis. Tubuhnya terhimpit di antara dinding dan Tika yang tubuhnya penuh kemarahan. Kelembutan dan keanggunan yang sejak tadi disuguhkan gadis itu mendadak sirna, berganti dengan keberingasannya yang menakutkan.Tangannya menekan salah satu tangan Puspita di dinding, sementara tangan lainnya menunjuk wajah Puspita dengan telunjuk bergetar.“Ja-ngan sekali-kali berpikir untuk ikut campur urusanku!” desis gadis itu dengan penuh penekanan. Suaranya persis desisan ular berbisa. Tidak keras, tidak jelas, tapi sangat menakutkan.Puspita memejam. Bukan karena takut, tapi liur Tika berhamburan mengenai wajahnya.“Kamu dengar?” Suara Tika kini disertai tangannya yang mencengkeram dagu Puspita hingga wanita berhijab itu membuka matanya.“Berhenti menjadi orang menyebalkan yang sok suci! Apa pun yang aku lakukan, itu bukan urusanmu! Jadi, urus saja hidupmu sendiri bersama suami hasil rampasan itu. Bukankah kamu sudah bahagia?”Puspita menghempaskan tangan Tika yang mencengkeram daguny
[Sudah sampai mana?][Jangan lama-lama, ya. Prily pasti nungguin kamu.]Pram mengirim dua pesan langsung ke nomor istrinya. Tadi Puspita meminta izin untuk ke supermarket karena ada yang harus dibelinya.Sebenarnya, Pram keberatan membiarkan Puspita keluar rumah tanpa dirinya, tapi setelah berpikir bolak-balik, rasanya tidak adil terlalu mengekang Puspita dengan tidak mengizinkan dia keluar, padahal hanya ke supermarket.Sebenarnya pula, Puspita bisa menyuruh ART jika ada kebutuhan yang harus dibeli. Setidaknya itu yang Pram inginkan. Hanya saja, mungkin istrinya jenuh terus di rumah setelah menikah. Apalagi semenjak menjadi istrinya, Puspita belum pernah diajak ke mana pun.Bukankah ia juga berhak menikmati hidupnya? Bukankah pernikahan bukan untuk mengurung istri di dalam rumah? Hanya saja, kekhawatiran Pram yang terlalu besar memang membuatnya terlalu posesif. Tapi kejadian kemarin membuatnya sangat takut kehilangan Puspita.Karenanya, ia mengizinkan wanita itu keluar. Toh hanya ke