Sore harinya, Puspita berjalan lunglai menuju ruangan kecil di belakang kantin. Kantin hampir tutup, semua pengunjung sudah bubar, dan karyawan lainnya sudah pulang satu per satu. Ibu pemilik kantin memanggil Puspita setelah suasana sepi.Wanita paruh baya itu sudah menunggunya di sana. Duduk di kursi kayu tua, ia menatap Puspita yang baru datang dengan wajah berat, seolah-olah tengah memikul beban besar. Satu tarikan napas panjang mengawali kalimatnya."Puspita, bagaimana kondisimu seharian ini?" tanya wanita itu begitu Puspita duduk di hadapannya. Tatapan wanita paruh baya itu sayu.Puspita tidak menjawab. Hanya bisa menundukkan wajahnya. Ia sangat yakin bosnya itu tahu persis apa yang ia rasakan. Suasana kerja hari ini sangat tidak nyaman. Semua orang menggunjing, menghujat, dan memberinya berbagai predikat buruk. Bukan hanya sesama karyawan, tetapi hampir semua orang yang berkunjung ke sana.Pelakor, janda gatal, wanita materialistis, dan entah apa lagi tuduhan yang disematkan pad
Puspita menyeka air mata entah untuk ke berapa kalinya.Kaca helm sengaja ia tutup agar tangisnya samar, meski desau angin sebenarnya sudah menyamarkannya. Walaupun sudah kenyang dengan berbagai kepahitan hidup sejak kecil, nyatanya hatinya tak cukup kebal untuk tidak menitikkan air mata setiap kali menerima ketidakadilan.Ia tetap saja gadis rapuh yang cengeng. Air mata menjadi teman setianya sejak lama.Ia pikir setelah keluar dari rumah Pramudya, tidak akan ada lagi air mata yang tumpah berkaitan dengan pria itu. Nyatanya, kini yang ia rasakan lebih sakit dari sebelumnya. Jika dulu hanya sikap Pram yang membuat hatinya sakit, kini tentu lebih parah karena dunia seolah memusuhinya.Sekali lagi Puspita mengusap air mata yang tidak mau mengering. Langit malam mulai menyelimuti kota ketika ia turun dari ojek online di depan rumah kosnya. Pikirannya melayang jauh. Ia tidak tahu lagi harus melangkah ke mana.Saking tidak fokus, ia tidak menyadari jika di teras kamarnya duduk seseorang ya
Puspita mematung. Jeritannya terhenti di tenggorokan saat matanya bertemu dengan wajah laki-laki yang masih duduk di lantai, tepat di bawah kakinya. Pramudya.Apa yang dia lakukan di sini? Bagaimana bisa dia berada di teras kosnya, tempat yang seharusnya aman karena gerbang dikunci setiap malam?“Kau sudah bangun?” Pram bersuara serak, menatapnya dengan mata yang sedikit sembab, seolah ia tidak tidur semalaman. “Kebiasaanmu tidak berubah,” lanjutnya. Tentu saja ia tahu karena tiga tahun Puspita tinggal di rumahnya dan satu tahun menjadi istrinya. Meski tidak memperhatikan, tetapi karena terus berulang ia jadi hapal dengan sendirinya.Puspita mundur selangkah. Masih berusaha menetralkan jantungnya yang berdebar keras. Kekagetan kini berubah kekesalan.“Apa yang Anda lakukan di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar, setengah antara marah dan bingung.Pram bangkit perlahan, membersihkan debu di celananya. “Aku menunggumu,” jawabnya datar.“Nunggu aku? Di sini? Bagaimana bisa?” Puspita mem
Puspita mematung mendengar ucapan satpam yang penuh keyakinan itu. Suaminya? Kabur? Bersembunyi? Apa-apaan semua ini?Puspita merasakan napasnya berat, dan jantungnya berdentum begitu keras hingga hampir menenggelamkan semua suara."T-tunggu!" Puspita akhirnya bersuara, mencoba memecah bisik-bisik orang-orang yang semakin riuh. "Itu tidak benar! Dia bukan—"Namun, sebelum ia dapat menyelesaikan kalimatnya, Pram melangkah maju dengan santai. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya—selembar kertas yang terlihat agak kusam, namun tetap rapi dilipat. Pram membukanya di depan semua orang tanpa ragu. Lalu mengacungkannya."Surat ini," ucapnya dengan nada mantap, "adalah bukti bahwa aku dan Puspita sudah menikah."Mata Puspita melebar. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Ia mengenali surat itu. Surat yang ia dan Pram tandatangani di hari pernikahan mereka.Surat itu dulu ia tinggalkan di rumah Pram karena tak ingin membawa apa pun yang mengingatkan dirinya pada hubungan mereka. Dan sekara
Dengan bersimpuh, Pram terus mengguncang tubuh Puspita, berharap wanita itu memberikan respons. Namun, Puspita tetap diam, hanya napasnya yang tersengal lemah. Wajahnya yang semula memerah karena emosi kini memucat, bibirnya tampak kering, dan keringat dingin mulai mengucur deras.Pram semakin panik. Di saat seperti ini, bayangan Soraya saat penyakitnya kambuh berputar-putar di kepalanya. Ketakutan memenuhi hatinya. Sungguh, ia tidak ingin kejadian lalu terulang lagi.Pram mengangkat tubuh Puspita, lalu membaringkannya di atas dipan kecilnya. Setelahnya, ia mencari apa pun yang bisa dipakai untuk mengompres Puspita.Terbiasa mengurus Soraya sendiri meski banyak pelayan di rumahnya, membuatnya sangat sigap. Ia menempelkan handuk kecil yang sudah dibasahi di kening Puspita. Pikirannya melayang-layang ke masa lampau.**“Sebaiknya langsung dibawa ke rumah sakit saja, Pak Pram. Panasnya tinggi,” ujar ibu kos yang kembali datang setelah Pram meminta bantuan satpam. Wanita paruh baya itu me
Pram tertegun mendengar tuduhan itu. Rahangnya mengeras, tetapi ia mencoba menahan diri. Mata Puspita yang memerah karena emosi menembus pertahanannya. Namun, sebelum ia sempat membalas, pintu ruangan diketuk,, dan seorang perawat wanita berhijab masuk dengan setumpuk dokumen di tangannya.“Permisi, Pak, Bu, waktunya kunjungan dokter,” ujarnya ramah.Pram mengangguk dan berdiri untuk memberi ruang. Pandangannya teralih pada dokter wanita senior yang berjalan mendekat dengan senyum profesional. Di belakangnya mengekor seorang perawat lain.“Ah, pasien kita sudah sadar. Syukurlah….” ucap dokter itu ramah. “Bagaimana rasanya sekarang, Bu Puspita? Masih merasa pusing atau mual?” lanjutnya setelah berdiri di samping ranjang Puspita.Puspita menelan ludah, mencoba meredam emosinya yang sempat tersulut pada Pram. Terlebih saat melihat wajah teduh dokter berhijab itu. Ia mengangguk kecil. "Lumayan, Dok,” jawabnya lirih.Tangan dokter bergerak menempelkan stetoskop di beberapa bagian tubuh Pus
"Makanlah, jangan membiarkan perutmu terus kosong." Pram berucap seraya memegang semangkuk bubur hangat yang baru diantarkan petugas.Puspita yang sedari tadi membelakangi Pram, tak menyahut sama sekali. Ia terlalu marah dengan semua perlakuan pria itu, tetapi tak cukup memiliki energi untuk meluapkan rasa marahnya, hingga hanya diam membelakangi.Pram mengakui dirinya sebagai istri, lalu berlanjut dengan janji pada Prily untuk membawanya pulang. Apa-apaan semua itu? Pram seolah sangat berkuasa atas dirinya. Tanpa meminta izin atau persetujuan apa pun darinya, melakukan sesuka hatinya.Puspita menyesali kenapa dirinya harus sakit, hingga membuka peluang untuk Pram menguasai dirinya. Andai ia tidak sampai tumbang begini, tentu Pram tidak punya peluang untuk melakukan semuanya.“Puspita, makanlah dulu. Kasihan tubuhmu kalau terus seperti ini. Apa kamu tidak tahu kalau tubuhmu sangat kurus?”Puspita tetap diam. Apa peduli Pram padanya? Bukankah ia sakit juga karena ulah pria itu? Kalau s
Pram berjalan menjauh dengan perasaan campur aduk. Puspita sedang panas dan merasa mendapat dukungan karena keberadaan Haidar di sana. Jika ia memaksakan terus membantah, hanya akan menambah runyam keadaan.Karenanya, walaupun berat dan tak terima dengan tuduhan itu, ia memutuskan tidak memperpanjang masalah.Pram berjalan keluar. Sesuatu harus ia lakukan. Sepertinya ada yang salah di sini. Namun, sebelum ia benar-benar keluar, pria itu kembali melirik Puspita di ranjangnya. Terlihat Haidar sedang menenangkannya. Laki-laki itu duduk di samping ranjang, di kursi yang biasa ia pakai.Pram memejam sebentar. Ada perasaan tidak rela, tapi ia tidak bisa memaksakan berdebat. Kondisinya tidak memungkinkan, posisinya di sini tidak menguntungkan.Pram membuka pintu dan keluar. Setelahnya ia merogoh ponsel dan menelepon seseorang.Sementara di dalam sana, Puspita masih berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu raganya sedang sakit, tapi jika mengingat kejadian di kantin itu, sakit hatinya lebih besa
Pram mondar-mandir di kamarnya. Kalimat-kalimat Prabu yang tidak dimengertinya terus terngiang-ngiang. Ia masih tidak bisa menyimpulkan arti ucapan itu, tetapi satu hal yang ia yakini—Prabu sedang tidak baik-baik saja.Pram menengadah, lalu meremas rambutnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sejak awal Prabu memang bicara tersendat-sendat dan terdengar ragu. Tidak mungkin ia memaksa kakak iparnya itu untuk bicara lebih jelas.Lalu, ia harus bagaimana?Ingin memberi solusi? Bagaimana bisa, jika masalah yang sebenarnya saja ia tidak tahu. Prabu langsung pamit setelah mengatakan itu, dan ia tidak bisa mencegahnya.Andai berada di tanah air, mungkin ia bisa sedikit membantu. Masalahnya, jika pulang pun, bagaimana dengan Puspita?Untuk mengatakan bahwa kakaknya ada masalah saja, rasanya Pram tidak tega. Ia yakin itu hanya akan menjadi beban pikiran bagi istrinya. Pram takut Puspita tidak fokus pada pengobatannya. Belum lagi jika benar-benar ingin berpisah. Lalu, apa yang harus dilaku
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya
Pram mengganjal kepalanya dengan kedua tangan. Kini ia berbaring di sofa dengan tatapan lurus ke langit-langit. Ada banyak hal berputar-putar di kepalanya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.Puspita tidak memberikan jawaban apa pun. Dan ia memang sengaja memberikan waktu untuk istrinya itu untuk memikirkan masak-masak keputusannya. Dan apa pun nanti yang akan dikatakan wanita itu, ia harus siap. Bahkan hal terburuk sekalipun.Pram tidak ingin lagi menyakiti hati wanita itu. Sudah terlalu sering ia membuat Puspita terluka. Dan jika dengan menjauh darinya bisa membuat wanita itu bahagia, akan ia lakukan. Tidak ada lagi paksaan, tidak akan ada lagi drama. Ia juga tak akan menggunakan Prily sebagai alasan untuk menahan Puspita tetap di sisinya.Prily harus bisa tanpa Puspita jika wanita itu sudah tak lagi menghendaki mereka di sisinya. Dan tugasnya adalah membuat Prily mengerti, walaupun ia belum tahu apa yang harus ia lakukan nanti untuk membuat anak itu lepas.Entah sudah berapa b
Pramudya berjongkok di hadapan Prily, tangannya mengelus lembut punggung gadis kecil itu yang terus memeluk Puspita erat. Wajahnya berusaha menampilkan kelembutan, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Rasa bersalah.Selama perjalanan mereka menuju unit, Prily bahkan terus berjalan di samping kursi roda Puspita, seolah merasakan firasat yang kurang baik. Lalu, setelah mereka tiba, ia sama sekali tak ingin melepaskan wanita yang sudah dianggapnya ibu kandung itu."Sayang, sama Mbak Sari dulu, ya? Mama mau istirahat dulu biar cepat sembuh," bujuk Pram dengan suara selembut mungkin.Prily bukannya melepaskan pelukan di pinggang Puspita, tetapi justru semakin erat. Kepalanya menggeleng dan menyuruk."Lily butuh tidur siang supaya nanti bisa main lagi, ya. Ayo ikut Mbak Sari, ganti baju dulu, keringatan," lanjut Pram.Prily menggeleng semakin kuat, wajah mungilnya menekan perut Puspita. "Nggak mau. Lily mau tidur sama Mama."Puspita mengusap kepala Prily dengan tatapan l
Puspita merasakan dunianya berguncang. Kata-kata Haidar seperti pukulan telak yang mengusik keyakinannya selama ini. Ia selalu berpikir bahwa Haidar pergi meninggalkannya begitu saja, tetapi jika yang dikatakan pria itu benar, maka ada seseorang yang dengan sengaja menjauhkan mereka.“Ini tidak mungkin,” gumamnya lirih, matanya menatap tajam ke arah Haidar. “Bukannya selama ini Akang yang ninggalin aku? Akang yang membatalkan rencana kita? Akang yang mundur karena orang tua Akang tidak setuju karena aku seorang janda dan hanya wanita miskin?”“Itu tidak benar. Orang tua Akang bahkan terus menanyakan janji Akang yang akan membawa kamu pada mereka. Mereka sangat ingin bertemu kamu, Pita. Mereka mengira Akang sedang berhalusinasi tentang kamu karena kenyataannya kamu tidak ada.” Haidar menjelaskan dengan suaranya yang serak.Puspita menggeleng keras. Matanya memanas. “Ini tidak mungkin, Kang. Tidak mungkin … Akang yang ninggalin aku.”Haidar mengembuskan napas panjang. "Tapi kenyataannya
Malam ini, kamar yang biasanya terasa hangat oleh percakapan ringan dan tawa kecil kini diselimuti kesunyian yang menyesakkan. Puspita sudah lebih dulu berbaring, membelakangi Pramudya, seolah menutup dirinya dari segala bentuk interaksi. Biasanya, sebelum tidur, ia akan menunggu Pram mendekat, mengusap punggungnya yang lelah, lalu mereka akan bercanda—entah soal hal-hal kecil yang terjadi hari itu atau tentang Prily yang selalu meminta perhatian berlebihan padahal Puspita belum pulih. Tapi malam ini berbeda.Pramudya berdiri di ambang tempat tidur, menatap punggung Puspita yang tak bergerak. Napasnya teratur, tapi Pram tahu istrinya belum tidur. Sejenak, ia ingin mengulurkan tangan, menyentuh bahunya, mengembalikan kebiasaan mereka yang telah terbangun begitu lama. Namun, sesuatu yang tak kasatmata menghalangi langkahnya. Ada dinding tak terlihat yang kini memisahkan mereka.Tanpa suara, Pram naik ke tempat tidur, berbaring dengan posisi yang berlawanan. Biasanya, ia akan langsung me
Puspita memejamkan matanya, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan sesaat setelah pintu kamarnya tertutup. Tadi, Prily memeluk pinggangnya erat. Tidak mau melepaskannya, tetapi Pram terus membujuk anak itu hingga akhirnya berhasil membawanya keluar dari sana.Entahlah, kenapa situasi kembali seperti ini. Padahal hidupnya sudah terasa tenang meski belum sepenuhnya pulih. Bersama Pram dan Prily ia bahagia di sini meski sedang menjalani pengobatan. Siapa sangka kehadiran Haidar membuat semuanya berbeda.Puspita memijat pelipisnya. Mencoba mengingat kejadian sebelum ia kehilangan kontak dengan pemuda satu kampungnya itu. Benar-benar tidak ada perpisahan di antara mereka, hingga ia sempat masih berharap.Lalu setelah lama tidak ada kabar dari pemuda itulah ia mulai membuka hati untuk Pram. Saat itu ia mengira orang tua Haidar tidak menyetujui hubungan mereka karena dirinya hanya seorang wanita miskin, janda pula. Tentu saja Haidar yang anak pemilik perkebunan dan pabrik teh di sana diha