"Makanlah, jangan membiarkan perutmu terus kosong." Pram berucap seraya memegang semangkuk bubur hangat yang baru diantarkan petugas.Puspita yang sedari tadi membelakangi Pram, tak menyahut sama sekali. Ia terlalu marah dengan semua perlakuan pria itu, tetapi tak cukup memiliki energi untuk meluapkan rasa marahnya, hingga hanya diam membelakangi.Pram mengakui dirinya sebagai istri, lalu berlanjut dengan janji pada Prily untuk membawanya pulang. Apa-apaan semua itu? Pram seolah sangat berkuasa atas dirinya. Tanpa meminta izin atau persetujuan apa pun darinya, melakukan sesuka hatinya.Puspita menyesali kenapa dirinya harus sakit, hingga membuka peluang untuk Pram menguasai dirinya. Andai ia tidak sampai tumbang begini, tentu Pram tidak punya peluang untuk melakukan semuanya.“Puspita, makanlah dulu. Kasihan tubuhmu kalau terus seperti ini. Apa kamu tidak tahu kalau tubuhmu sangat kurus?”Puspita tetap diam. Apa peduli Pram padanya? Bukankah ia sakit juga karena ulah pria itu? Kalau s
Pram berjalan menjauh dengan perasaan campur aduk. Puspita sedang panas dan merasa mendapat dukungan karena keberadaan Haidar di sana. Jika ia memaksakan terus membantah, hanya akan menambah runyam keadaan.Karenanya, walaupun berat dan tak terima dengan tuduhan itu, ia memutuskan tidak memperpanjang masalah.Pram berjalan keluar. Sesuatu harus ia lakukan. Sepertinya ada yang salah di sini. Namun, sebelum ia benar-benar keluar, pria itu kembali melirik Puspita di ranjangnya. Terlihat Haidar sedang menenangkannya. Laki-laki itu duduk di samping ranjang, di kursi yang biasa ia pakai.Pram memejam sebentar. Ada perasaan tidak rela, tapi ia tidak bisa memaksakan berdebat. Kondisinya tidak memungkinkan, posisinya di sini tidak menguntungkan.Pram membuka pintu dan keluar. Setelahnya ia merogoh ponsel dan menelepon seseorang.Sementara di dalam sana, Puspita masih berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu raganya sedang sakit, tapi jika mengingat kejadian di kantin itu, sakit hatinya lebih besa
Haidar menggeleng. “Akang yakin itu hanya gosip murahan yang disebar orang tidak bertanggung jawab. Akang yakin kalau kamu tidak seperti itu. Ini Akang sedang meyakinkan orang tua yang akhir bulan ini ingin bertemu kamu.”Lagi, Puspita menelan ludah. Haidar meyakinkan orang tuanya? Rasanya itu akan menjadi hal yang sia-sia. “Sepertinya, Akang tidak perlu repot-repot meyakinkan orang tua dan keluarga, Kang. Maaf, tapi Pita rasa semua itu tidak perlu lagi.”“Maksud kamu?” Haidar memperbaiki posisi duduknya. Keningnya mengernyit.Puspita memaksakan senyum saat melihat keheranan laki-laki di hadapannya. “Akang tidak perlu bicara apa pun kepada Ayah dan Ambu, kita sebaiknya memang tidak melanjutkan rencana yang mustahil itu.”“Rencana mustahil? Maksudnya apa, Pita?”Untuk kesekian kalinya Puspita menggigit bibir, menahan air mata yang tiba-tiba ingin tumpah. Mengatakan ini memang menyakitkan, tetapi ia harus melakukannya agar Haidar tidak merasa tidak enak hati apalagi merasa bersalah.“Se
“Puspita akan tinggal lagi di rumahku.” Suara berat itu terdengar tegas. Pramudya berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang sulit ditebak. Ia melangkah masuk perlahan, matanya terpaku pada Puspita. “Aku sudah mengatakan hal ini pada pemilik kos. Jadi, semua sudah jelas. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekeluarnya Puspita dari sini,” lanjut pria yang kini berdiri tak jauh dari ranjang pasien. Tetap berseberangan dengan Haidar.Puspita memicingkan matanya, menahan emosi yang kembali tersulut. Bisa-bisanya Pram tetap berkuasa atas dirinya. Memangnya siapa dirinya?Puspita meneguk air yang disodorkan Haidar, acara makannya kembali tertunda. Ia kini duduk bersandar di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya tajam mengarah pada Pramudya yang malah terlihat santai. “Memangnya Anda siapa, Pak? Kenapa bersikap seolah paling berhak atas saya?” Pertanyaan Puspita menohok, sengaja agar Pram tahu diri, tetapi Pram tidak terpengaruh. “Anda bukan siapa-siapa, Pak Pram. Hany
Matahari sore menyelinap melalui tirai jendela, menerangi wajah Puspita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Keheningan di kamar itu hanya terganggu oleh suara detak jam di dinding. Pramudya berdiri di sudut ruangan, memperhatikan wanita yang masih enggan berbicara dengannya.Setelah perdebatan sengit dengan Haidar dan kejutan yang ia buat mengenai pendaftaran pernikahan mereka di KUA, situasi menjadi semakin rumit. Puspita tidak ingin bicara dengannya sama sekali. Wanita itu berbaring membelakanginya sepanjang hari. Puspita bukan hanya menolak keberadaannya, tetapi juga memutuskan untuk sepenuhnya mengabaikannya.Ia tahu Puspita marah, tetapi ia tetap harus melakukan ini. Pram terpaksa meminta semua orang di ruangan itu untuk keluar dan tidak datang lagi ke sana. Bukan tidak sopan, tetapi semua demi kesehatan Puspita. Karenanya, setelah mengucapkan terima kasih, ia meminta semua yang menjenguk untuk keluar agar Puspita bisa ditangani.Bukan hanya itu, Pram juga sudah meminta
“Sudah saya katakan, Puspita tidak boleh dijenguk siapa pun, Mbak. Saya sudah tekankan itu. Tapi terima kasih informasinya.”Pram mengakhiri panggilan, lalu mengembuskan napas kasar. Sesuatu baru disadarinya. Sang ibu tidak menyukai Puspita. Ia bisa saja memaksa membawa wanita itu kembali ke rumah karena saat ini wanita itu dalam kendalinya, tetapi bagaimana dengan sang ibu?Apa artinya ia membawa wanita itu kembali ke rumahnya jika di sana hanya akan menjadi santapan empuk sang ibu untuk menghinanya?Pram memejamkan mata sebentar sebelum kembali mengembuskan napas. Lalu berjalan kembali menghampiri ranjang Puspita di mana penghuninya masih tertidur.Ditatapnya lekat wajah itu setelah menundukkan diri di sampingnya. Tangannya terulur ke hadapan wajah Puspita, namun urung saat ingin menyentuhnya. Ia tahu itu salah, dan Puspita akan sangat marah jika tahu.Pram menarik tangannya lagi, kemudian hanya membetulkan selimut yang sedikit tersibak.“Aku janji akan mencari jalan keluar terbaik,
Puspita tercekat. Villa? Pram membawanya ke villa? Apa-apaan ini?Puspita merasakan dadanya mendadak bergemuruh. Kepalanya dipenuhi tanda tanya dan emosi yang berkecamuk. Ia tak pernah membayangkan hal seperti ini. Bahkan untuk sekadar berbagi tempat dengannya di rumah yang sama saja sudah berat, apalagi kini berada di sebuah villa terpencil hanya berdua dengannya. Apa yang pria itu rencanakan?“Tidak! Saya tidak mau di sini!” Puspita menggeleng tegas, melangkah cepat menuju mobil. Tangannya mengaduk-aduk kursi belakang dengan panik, mencari sesuatu yang penting baginya.Sang sopir mendekat dengan heran. “Ibu mencari apa?”“Ransel saya! Mana barang-barang saya?” tanya Puspita tanpa menoleh, suaranya gemetar. Ia berencana kabur—keluar dari tempat ini meski tidak tahu di mana kini. Yang penting ia jauh dari Pram.“Oh, ranselnya? Pak Pram sudah membawa semua barang Ibu ke dalam villa,” jawab sopir itu tenang.Puspita berhenti. Wajahnya memucat. Sudah dibawa ke dalam? Itu berarti ia benar
“Bu, kenapa tidak bilang Bibi?” Wanita paruh baya masuk ke dapur dengan tergopoh-gopoh dari pintu belakang. Tangannya terulur ingin mengambil alih gelas di tangan Puspita yang berdiri di samping meja.Puspita tersenyum sambil mempertahankan gelas di tangannya. “Tidak apa-apa, Bi. Saya bisa sendiri, kok. Hanya mengambil minum.”“Tapi Tuan berpesan agar Ibu istirahat saja. Katanya Ibu baru keluar dari rumah sakit. Biar Bibi yang ambilkan.” Wanita itu tampak tidak enak, tetap ingin merebut gelas di tangan Puspita.“Tidak apa-apa, Bibi. Jangan berlebihan. Saya memang sakit, tapi tidak lumpuh. Masih bisa kalau sekadar mengambil minum.” Puspita tersenyum lagi, lalu menuangkan air ke dalam gelasnya—air panas yang dicampur air dingin. Cuaca villa yang dingin membuatnya ingin menghangatkan tubuh.“Tapi ini perintah Tuan Pram, Bu…”“Sssttt!” Puspita menempelkan telunjuk di bibirnya sebagai kode agar wanita paruh baya itu diam.“Tidak apa-apa, Tuan kan tidak ada. Lagipula, saya masih bisa melaku
Pram mondar-mandir di kamarnya. Kalimat-kalimat Prabu yang tidak dimengertinya terus terngiang-ngiang. Ia masih tidak bisa menyimpulkan arti ucapan itu, tetapi satu hal yang ia yakini—Prabu sedang tidak baik-baik saja.Pram menengadah, lalu meremas rambutnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sejak awal Prabu memang bicara tersendat-sendat dan terdengar ragu. Tidak mungkin ia memaksa kakak iparnya itu untuk bicara lebih jelas.Lalu, ia harus bagaimana?Ingin memberi solusi? Bagaimana bisa, jika masalah yang sebenarnya saja ia tidak tahu. Prabu langsung pamit setelah mengatakan itu, dan ia tidak bisa mencegahnya.Andai berada di tanah air, mungkin ia bisa sedikit membantu. Masalahnya, jika pulang pun, bagaimana dengan Puspita?Untuk mengatakan bahwa kakaknya ada masalah saja, rasanya Pram tidak tega. Ia yakin itu hanya akan menjadi beban pikiran bagi istrinya. Pram takut Puspita tidak fokus pada pengobatannya. Belum lagi jika benar-benar ingin berpisah. Lalu, apa yang harus dilaku
Pram sedang mengemas beberapa barang ke dalam ransel di kamarnya. Ia hanya sedang bersiap jika tiba-tiba Puspita mengatakan ia harus pergi.Bukannya menyerah jika ia melakukan ini sejak dini. Sekali lagi, ia hanya sedang bersiap jika suatu saat Puspita benar-benar tak menginginkannya lagi, karena setelah dua hari semenjak ia bertanya, wanita itu belum juga memberikan jawaban.Puspita seolah menggantung hubungan mereka, membuatnya berada dalam ketidakpastian. Namun, Pram sama sekali tak marah atau menyalahkan istrinya karena ia pun dulu pernah melakukan hal yang sama. Mengabaikan Puspita dalam ketidakjelasan hubungan sejak Soraya meninggal. Membuat Puspita tenggelam dalam pusaran keputusasaan. Mungkin, ini juga yang dirasakan Puspita saat itu.Semua yang terjadi padanya saat ini seolah pantulan cahaya dalam cermin. Semua berbalik padanya. Apa yang pernah ia lakukan pada Puspita dulu, kini berbalik dirinya yang harus merasakan semua ini.Pram mengembuskan napas panjang. Kini Puspita sed
"Duduklah," ujar Ny. Bimantara akhirnya, sambil menunjuk kursi di seberang mereka.Irena duduk dengan tangan terkepal di pangkuannya. Perutnya terasa mual, bukan karena makanan, tapi karena suasana kaku yang menyesakkan.Pelayan datang dan mulai menyajikan makanan. Namun, bahkan setelah hidangan tersaji, tidak ada obrolan yang mengalir. Prabu sesekali mencoba mencairkan suasana dengan bertanya tentang kesehatan Opa dan Oma, tetapi jawaban yang didapat hanya sekadarnya."Jadi bagaimana, Opa, Oma? Pendapat kalian tentang rencana kami ke depannya?" Prabu terpaksa bertanya lebih dulu karena kedua orang tua itu tak kunjung bertanya sesuatu tentang mereka.Hening beberapa saat, membuat Prabu yang menunggu menjadi tidak sabar.Irena mencuri pandang ke arah Opa Rangga. Lelaki tua itu duduk dengan postur tegak, sorot matanya masih tajam meski usianya sudah senja. Lalu, tiba-tiba, pria itu meletakkan garpunya, membuat dentingan kecil yang menarik perhatian semua orang."Prabu," suaranya terdeng
Irena menatap dirinya di depan cermin. Seorang wanita empat puluh tahun terpampang di sana dengan wajah yang sudah dipoles make-up flawless. Garis kerutan memang jauh darinya karena ia selalu menjaga pola makan dan olahraga yang teratur. Tapi rasanya, senyum sudah jarang ia sunggingkan dalam kehidupan pribadinya.Jika pun selama ini terkesan ramah dan selalu ceria, itu hanya untuk para pasien dan siapa pun yang ia temui di rumah sakit. Selebihnya, bibirnya jarang sekali tersenyum. Perpisahan dengan Radit yang berbuntut perebutan hak asuh Chiara membuat hari-harinya seolah suram.Memang ia masih bisa menemui sang anak selama Chiara dalam pengasuhan mantan suaminya itu, tetapi dalam waktu yang sangat terbatas dan tentu saja harus mengikuti aturan Radit. Tidak bisa bertemu dan menumpahkan rindu dengan leluasa.Irena sangat menyesali hari-hari yang telah lewat. Ia terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk bersama Chiara sangat sedikit. Dan itu ternyata membuat Chiara lebih dekat dengan aya
Pram mengganjal kepalanya dengan kedua tangan. Kini ia berbaring di sofa dengan tatapan lurus ke langit-langit. Ada banyak hal berputar-putar di kepalanya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.Puspita tidak memberikan jawaban apa pun. Dan ia memang sengaja memberikan waktu untuk istrinya itu untuk memikirkan masak-masak keputusannya. Dan apa pun nanti yang akan dikatakan wanita itu, ia harus siap. Bahkan hal terburuk sekalipun.Pram tidak ingin lagi menyakiti hati wanita itu. Sudah terlalu sering ia membuat Puspita terluka. Dan jika dengan menjauh darinya bisa membuat wanita itu bahagia, akan ia lakukan. Tidak ada lagi paksaan, tidak akan ada lagi drama. Ia juga tak akan menggunakan Prily sebagai alasan untuk menahan Puspita tetap di sisinya.Prily harus bisa tanpa Puspita jika wanita itu sudah tak lagi menghendaki mereka di sisinya. Dan tugasnya adalah membuat Prily mengerti, walaupun ia belum tahu apa yang harus ia lakukan nanti untuk membuat anak itu lepas.Entah sudah berapa b
Pramudya berjongkok di hadapan Prily, tangannya mengelus lembut punggung gadis kecil itu yang terus memeluk Puspita erat. Wajahnya berusaha menampilkan kelembutan, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Rasa bersalah.Selama perjalanan mereka menuju unit, Prily bahkan terus berjalan di samping kursi roda Puspita, seolah merasakan firasat yang kurang baik. Lalu, setelah mereka tiba, ia sama sekali tak ingin melepaskan wanita yang sudah dianggapnya ibu kandung itu."Sayang, sama Mbak Sari dulu, ya? Mama mau istirahat dulu biar cepat sembuh," bujuk Pram dengan suara selembut mungkin.Prily bukannya melepaskan pelukan di pinggang Puspita, tetapi justru semakin erat. Kepalanya menggeleng dan menyuruk."Lily butuh tidur siang supaya nanti bisa main lagi, ya. Ayo ikut Mbak Sari, ganti baju dulu, keringatan," lanjut Pram.Prily menggeleng semakin kuat, wajah mungilnya menekan perut Puspita. "Nggak mau. Lily mau tidur sama Mama."Puspita mengusap kepala Prily dengan tatapan l
Puspita merasakan dunianya berguncang. Kata-kata Haidar seperti pukulan telak yang mengusik keyakinannya selama ini. Ia selalu berpikir bahwa Haidar pergi meninggalkannya begitu saja, tetapi jika yang dikatakan pria itu benar, maka ada seseorang yang dengan sengaja menjauhkan mereka.“Ini tidak mungkin,” gumamnya lirih, matanya menatap tajam ke arah Haidar. “Bukannya selama ini Akang yang ninggalin aku? Akang yang membatalkan rencana kita? Akang yang mundur karena orang tua Akang tidak setuju karena aku seorang janda dan hanya wanita miskin?”“Itu tidak benar. Orang tua Akang bahkan terus menanyakan janji Akang yang akan membawa kamu pada mereka. Mereka sangat ingin bertemu kamu, Pita. Mereka mengira Akang sedang berhalusinasi tentang kamu karena kenyataannya kamu tidak ada.” Haidar menjelaskan dengan suaranya yang serak.Puspita menggeleng keras. Matanya memanas. “Ini tidak mungkin, Kang. Tidak mungkin … Akang yang ninggalin aku.”Haidar mengembuskan napas panjang. "Tapi kenyataannya
Malam ini, kamar yang biasanya terasa hangat oleh percakapan ringan dan tawa kecil kini diselimuti kesunyian yang menyesakkan. Puspita sudah lebih dulu berbaring, membelakangi Pramudya, seolah menutup dirinya dari segala bentuk interaksi. Biasanya, sebelum tidur, ia akan menunggu Pram mendekat, mengusap punggungnya yang lelah, lalu mereka akan bercanda—entah soal hal-hal kecil yang terjadi hari itu atau tentang Prily yang selalu meminta perhatian berlebihan padahal Puspita belum pulih. Tapi malam ini berbeda.Pramudya berdiri di ambang tempat tidur, menatap punggung Puspita yang tak bergerak. Napasnya teratur, tapi Pram tahu istrinya belum tidur. Sejenak, ia ingin mengulurkan tangan, menyentuh bahunya, mengembalikan kebiasaan mereka yang telah terbangun begitu lama. Namun, sesuatu yang tak kasatmata menghalangi langkahnya. Ada dinding tak terlihat yang kini memisahkan mereka.Tanpa suara, Pram naik ke tempat tidur, berbaring dengan posisi yang berlawanan. Biasanya, ia akan langsung me
Puspita memejamkan matanya, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan sesaat setelah pintu kamarnya tertutup. Tadi, Prily memeluk pinggangnya erat. Tidak mau melepaskannya, tetapi Pram terus membujuk anak itu hingga akhirnya berhasil membawanya keluar dari sana.Entahlah, kenapa situasi kembali seperti ini. Padahal hidupnya sudah terasa tenang meski belum sepenuhnya pulih. Bersama Pram dan Prily ia bahagia di sini meski sedang menjalani pengobatan. Siapa sangka kehadiran Haidar membuat semuanya berbeda.Puspita memijat pelipisnya. Mencoba mengingat kejadian sebelum ia kehilangan kontak dengan pemuda satu kampungnya itu. Benar-benar tidak ada perpisahan di antara mereka, hingga ia sempat masih berharap.Lalu setelah lama tidak ada kabar dari pemuda itulah ia mulai membuka hati untuk Pram. Saat itu ia mengira orang tua Haidar tidak menyetujui hubungan mereka karena dirinya hanya seorang wanita miskin, janda pula. Tentu saja Haidar yang anak pemilik perkebunan dan pabrik teh di sana diha