Terima kasih buat teman2 yang masih setia satu bulan ini. doakan saya bisa menulis lebih banyak bulan ini, ya. Sehat2 untuk kita semua
Dengan bersimpuh, Pram terus mengguncang tubuh Puspita, berharap wanita itu memberikan respons. Namun, Puspita tetap diam, hanya napasnya yang tersengal lemah. Wajahnya yang semula memerah karena emosi kini memucat, bibirnya tampak kering, dan keringat dingin mulai mengucur deras.Pram semakin panik. Di saat seperti ini, bayangan Soraya saat penyakitnya kambuh berputar-putar di kepalanya. Ketakutan memenuhi hatinya. Sungguh, ia tidak ingin kejadian lalu terulang lagi.Pram mengangkat tubuh Puspita, lalu membaringkannya di atas dipan kecilnya. Setelahnya, ia mencari apa pun yang bisa dipakai untuk mengompres Puspita.Terbiasa mengurus Soraya sendiri meski banyak pelayan di rumahnya, membuatnya sangat sigap. Ia menempelkan handuk kecil yang sudah dibasahi di kening Puspita. Pikirannya melayang-layang ke masa lampau.**“Sebaiknya langsung dibawa ke rumah sakit saja, Pak Pram. Panasnya tinggi,” ujar ibu kos yang kembali datang setelah Pram meminta bantuan satpam. Wanita paruh baya itu me
Pram tertegun mendengar tuduhan itu. Rahangnya mengeras, tetapi ia mencoba menahan diri. Mata Puspita yang memerah karena emosi menembus pertahanannya. Namun, sebelum ia sempat membalas, pintu ruangan diketuk,, dan seorang perawat wanita berhijab masuk dengan setumpuk dokumen di tangannya.“Permisi, Pak, Bu, waktunya kunjungan dokter,” ujarnya ramah.Pram mengangguk dan berdiri untuk memberi ruang. Pandangannya teralih pada dokter wanita senior yang berjalan mendekat dengan senyum profesional. Di belakangnya mengekor seorang perawat lain.“Ah, pasien kita sudah sadar. Syukurlah….” ucap dokter itu ramah. “Bagaimana rasanya sekarang, Bu Puspita? Masih merasa pusing atau mual?” lanjutnya setelah berdiri di samping ranjang Puspita.Puspita menelan ludah, mencoba meredam emosinya yang sempat tersulut pada Pram. Terlebih saat melihat wajah teduh dokter berhijab itu. Ia mengangguk kecil. "Lumayan, Dok,” jawabnya lirih.Tangan dokter bergerak menempelkan stetoskop di beberapa bagian tubuh Pus
"Makanlah, jangan membiarkan perutmu terus kosong." Pram berucap seraya memegang semangkuk bubur hangat yang baru diantarkan petugas.Puspita yang sedari tadi membelakangi Pram, tak menyahut sama sekali. Ia terlalu marah dengan semua perlakuan pria itu, tetapi tak cukup memiliki energi untuk meluapkan rasa marahnya, hingga hanya diam membelakangi.Pram mengakui dirinya sebagai istri, lalu berlanjut dengan janji pada Prily untuk membawanya pulang. Apa-apaan semua itu? Pram seolah sangat berkuasa atas dirinya. Tanpa meminta izin atau persetujuan apa pun darinya, melakukan sesuka hatinya.Puspita menyesali kenapa dirinya harus sakit, hingga membuka peluang untuk Pram menguasai dirinya. Andai ia tidak sampai tumbang begini, tentu Pram tidak punya peluang untuk melakukan semuanya.“Puspita, makanlah dulu. Kasihan tubuhmu kalau terus seperti ini. Apa kamu tidak tahu kalau tubuhmu sangat kurus?”Puspita tetap diam. Apa peduli Pram padanya? Bukankah ia sakit juga karena ulah pria itu? Kalau s
Pram berjalan menjauh dengan perasaan campur aduk. Puspita sedang panas dan merasa mendapat dukungan karena keberadaan Haidar di sana. Jika ia memaksakan terus membantah, hanya akan menambah runyam keadaan.Karenanya, walaupun berat dan tak terima dengan tuduhan itu, ia memutuskan tidak memperpanjang masalah.Pram berjalan keluar. Sesuatu harus ia lakukan. Sepertinya ada yang salah di sini. Namun, sebelum ia benar-benar keluar, pria itu kembali melirik Puspita di ranjangnya. Terlihat Haidar sedang menenangkannya. Laki-laki itu duduk di samping ranjang, di kursi yang biasa ia pakai.Pram memejam sebentar. Ada perasaan tidak rela, tapi ia tidak bisa memaksakan berdebat. Kondisinya tidak memungkinkan, posisinya di sini tidak menguntungkan.Pram membuka pintu dan keluar. Setelahnya ia merogoh ponsel dan menelepon seseorang.Sementara di dalam sana, Puspita masih berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu raganya sedang sakit, tapi jika mengingat kejadian di kantin itu, sakit hatinya lebih besa
Haidar menggeleng. “Akang yakin itu hanya gosip murahan yang disebar orang tidak bertanggung jawab. Akang yakin kalau kamu tidak seperti itu. Ini Akang sedang meyakinkan orang tua yang akhir bulan ini ingin bertemu kamu.”Lagi, Puspita menelan ludah. Haidar meyakinkan orang tuanya? Rasanya itu akan menjadi hal yang sia-sia. “Sepertinya, Akang tidak perlu repot-repot meyakinkan orang tua dan keluarga, Kang. Maaf, tapi Pita rasa semua itu tidak perlu lagi.”“Maksud kamu?” Haidar memperbaiki posisi duduknya. Keningnya mengernyit.Puspita memaksakan senyum saat melihat keheranan laki-laki di hadapannya. “Akang tidak perlu bicara apa pun kepada Ayah dan Ambu, kita sebaiknya memang tidak melanjutkan rencana yang mustahil itu.”“Rencana mustahil? Maksudnya apa, Pita?”Untuk kesekian kalinya Puspita menggigit bibir, menahan air mata yang tiba-tiba ingin tumpah. Mengatakan ini memang menyakitkan, tetapi ia harus melakukannya agar Haidar tidak merasa tidak enak hati apalagi merasa bersalah.“Se
“Puspita akan tinggal lagi di rumahku.” Suara berat itu terdengar tegas. Pramudya berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang sulit ditebak. Ia melangkah masuk perlahan, matanya terpaku pada Puspita. “Aku sudah mengatakan hal ini pada pemilik kos. Jadi, semua sudah jelas. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekeluarnya Puspita dari sini,” lanjut pria yang kini berdiri tak jauh dari ranjang pasien. Tetap berseberangan dengan Haidar.Puspita memicingkan matanya, menahan emosi yang kembali tersulut. Bisa-bisanya Pram tetap berkuasa atas dirinya. Memangnya siapa dirinya?Puspita meneguk air yang disodorkan Haidar, acara makannya kembali tertunda. Ia kini duduk bersandar di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya tajam mengarah pada Pramudya yang malah terlihat santai. “Memangnya Anda siapa, Pak? Kenapa bersikap seolah paling berhak atas saya?” Pertanyaan Puspita menohok, sengaja agar Pram tahu diri, tetapi Pram tidak terpengaruh. “Anda bukan siapa-siapa, Pak Pram. Hany
Matahari sore menyelinap melalui tirai jendela, menerangi wajah Puspita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Keheningan di kamar itu hanya terganggu oleh suara detak jam di dinding. Pramudya berdiri di sudut ruangan, memperhatikan wanita yang masih enggan berbicara dengannya.Setelah perdebatan sengit dengan Haidar dan kejutan yang ia buat mengenai pendaftaran pernikahan mereka di KUA, situasi menjadi semakin rumit. Puspita tidak ingin bicara dengannya sama sekali. Wanita itu berbaring membelakanginya sepanjang hari. Puspita bukan hanya menolak keberadaannya, tetapi juga memutuskan untuk sepenuhnya mengabaikannya.Ia tahu Puspita marah, tetapi ia tetap harus melakukan ini. Pram terpaksa meminta semua orang di ruangan itu untuk keluar dan tidak datang lagi ke sana. Bukan tidak sopan, tetapi semua demi kesehatan Puspita. Karenanya, setelah mengucapkan terima kasih, ia meminta semua yang menjenguk untuk keluar agar Puspita bisa ditangani.Bukan hanya itu, Pram juga sudah meminta
“Sudah saya katakan, Puspita tidak boleh dijenguk siapa pun, Mbak. Saya sudah tekankan itu. Tapi terima kasih informasinya.”Pram mengakhiri panggilan, lalu mengembuskan napas kasar. Sesuatu baru disadarinya. Sang ibu tidak menyukai Puspita. Ia bisa saja memaksa membawa wanita itu kembali ke rumah karena saat ini wanita itu dalam kendalinya, tetapi bagaimana dengan sang ibu?Apa artinya ia membawa wanita itu kembali ke rumahnya jika di sana hanya akan menjadi santapan empuk sang ibu untuk menghinanya?Pram memejamkan mata sebentar sebelum kembali mengembuskan napas. Lalu berjalan kembali menghampiri ranjang Puspita di mana penghuninya masih tertidur.Ditatapnya lekat wajah itu setelah menundukkan diri di sampingnya. Tangannya terulur ke hadapan wajah Puspita, namun urung saat ingin menyentuhnya. Ia tahu itu salah, dan Puspita akan sangat marah jika tahu.Pram menarik tangannya lagi, kemudian hanya membetulkan selimut yang sedikit tersibak.“Aku janji akan mencari jalan keluar terbaik,
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p