POV Biantara.Mungkin hanya ini yang bisa aku lakukan untuk menebus segala kesalahan. Melihat sorot mata penuh permohonan yang begitu besar agar aku membawa Megantara kembali itu membuat hatiku merasakan sakit yang teramat dalam. Aku menyayanginya, rasa sayang yang berubah menjadi cinta tanpa aku sadari akhirnya membuat hatiku semakin lebam. Aku salah dan aku cukup tahu diri, aku cinta, tapi aku masih punya rasa malu, malu karena telah mencampakkannya, malu karena cinta yang tak aku sadari akhirnya kalah karena telah dibutakan oleh cintaku pada Luna. Andai waktu bisa aku putar, aku akan memilih setia dan bertahan, menjadi ayah dan suami untuk mereka, hidup bahagia dan menjadi sempurna, mempunyai anak lucu seperti Nizam serta istri secantik dan selembut Anyelir. Namun, nyatanya waktu tidak akan pernah bisa diputar kembali, dia milik orang lain yang juga sangat sempurna. Mereka sama-sama sempurna. Kata-kata yang terlontar dari mulut Anyelir dan kuanggap sebagai kutukan untukku ketik
POV Megantara"Bang, bangun, Bang. Ini Denis." Aku menggeliat dengan tubuh yang masih terasa kaku. Kemudian membuka mataku, malas. Dengan bantuan seorang yang melintas di jalan sepi itu dan hampir saja menabrakku tadi, aku memintanya untuk mengantar ke kantor polisi terdekat. Setelah mendapat laporan polisi bergegas ke tempat kejadian untuk menangkap para pelaku."Denis, sudah sampai?" Aku beringsut duduk dengan bantuan Denis. Kupijat pangkal hidung memastikan siapa yang aku lihat di belakang Denis. Mimpi atau nyata. Kemudian aku kembali membuka mata."Kamu ngapain, Nis bawa Mas Mas kemari?" tanyaku menatap lelaki berjas hitam, musuh bebuyutan."Ceritanya panjang, Bang.""Lebih baik sekarang kalian istirahat. Sudah malam. Lanjutkan perjalannya besok saja." Petugas memberi saran.Mereka membawa kami ke sebuah ruang kosong dan memberi kami sebuah kasur lipat. Tempat ini jauh dari hotel juga penginapan jadi mereka menyarankan untuk beristirahat di kantor polisi saja.Tak pernah aku bayan
Amarah DenisPapa memanggilku dan Anyelir saat kami menemani Nizam di ruang tengah. Mendengar perintah Papa, Mama dan Ibu yang ada di dapur bergegas ke ruang tengah menemani Nizam. Sedangkan Papa, aku dan Anyelir menuju ruang kerja.Di dalam ruangan yang biasa aku gunakan untuk mengerjakan tugas kuliah dulu terdapat sebuah sofa dan kami duduk di sana, namun tidak dengan Papa, Papa memilih berdiri, berjalan di depan kami tanpa henti, sesekali menatap ke arah kami dengan tatapan entah dan itu membuat kami merasa sedang diadili di sebuah ruang sidang. Tak ada suara, hanya suara denting jam yang terdengar dan justru membuat suasana semakin terasa mencekam. Sorot mata papa yang penuh penghakiman membuat nyaliku hilang setengahnya."Bagaimana ceritanya semua ini bisa terjadi? Ini fatal." Papa membuka suara setelah beberapa saat larut dalam keheningan."Ini salah, Anye, Pa. Anye teledor. Nggak nutup pintu gerbang dan pintu rumah," terang Anyelir tanpa berani menatap Papa."Kamu cuma bua
Arti kehidupanSore hari setelah kami pulang dari acara sidang, aku dan Anyelir menghabiskan waktu bersama Nizam di halaman belakang. Beberapa saat kemudian, penjaga memberitahukan bahwa ada tamu di luar sedang menunggu. Ya, mereka mengatakan bahwa tamu-tamu itu sedang menungguku dan Anyelir.Sesaat aku dan Anyelir saling bertanya lewat sorot mata tanpa kata. Kami pun bergegas masuk melewati pintu belakang setelah kami titipkan Nizam pada bodyguard dan menyuruh mereka untuk menemani Nizam yang masih enggan ikut masuk ke dalam rumah. Begitu aku masuk, aku melihat Papa sudah ada di sana menemui tamu tersebut.Kuhembuskan napas kasar setelah tau siapa yang datang. Ya, tamu yang dimaksud adalah Om Hendra dan kedua orang tua Tita. Tanpa bicara pun aku sudah bisa menerka maksud dari kedatangan mereka. Mereka pasti akan membicarakan tentang Tita, meminta masalah diakhiri saja, toh Nizam dalam keadaan baik tanpa kurang suatu apapun. Tidak perlu mencari bukti baru dan diselesaikan secara kekel
Hari berganti dengan mendebarkan. Hingga sampailah kami pada pergantian pekan. Menyambut kembali persidangan yang sebelumnya sangat memuakkan.Selama satu pekan, kami terutama Denis berkerja keras mencari bukti. Lelaki paruh baya yang tertangkap oleh CCTV yang sempat aku pasang sebelum aku pergi pagi itu, sampai sekarang belum juga ditemukan. Akhirnya kami memilih opsi kedua, mencari keberadaan Bi Narti yang juga kami curigai ada hubungannya dengan penculikan Nizam. Dengan berbagai usaha dan upaya akhirnya kami menemukannya di Suka Bumi dan dengan berbagai upaya juga kami bisa menghadirkan Bi Narti di persidangan.Setelah sumpah diambil, Hakim pun mulai memberikan pertanyaan-pertanyaan pembuka pada Bi Narti dan hubungannya dengan keluarga kami. Beberapa pertanyaan diajukan pada Bi Narti yang terlihat begitu tertekan. Lalu di seberang tempat Bi Narti duduk sebagai saksi, Tita tampak menatapnya nyalang. Di tempat duduknya, Bi Narti mulai memberikan keterangan-keterangan yang lumay
POV TitaDi balik jeruji besi berlantai dingin ini, sepertinya aku harus mulai membiasakan diri. Ya, lagi-lagi aku kalah, oleh dia yang rupawan di mata semua orang, oleh dia yang mempunyai martabat, dan oleh dia yang pandai dalam segala hal. Anyelir.Kami memang bersama dan terlihat seperti saudara, tapi apakah ada saudara yang menyakiti hati saudaranya secara berulang? Terkadang, orang tak pernah merasa bahwa dirinya telah menyakiti orang lain dengan begitu dalam dan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. menyedihkan. Dia dengan segala kelebihan dan aku dengan segala kekurangan. Kami dibesarkan bersama, semua kami lakukan bersama-sama. Perbedaan kami adalah aku punya hati dan sanggup mencintai, sedangkan dia tidak punya rasa cinta namun banyak diminati. Dia yang hanya memikirkan rumus matematika dan logika tak sempat memikirkan apa yang namanya perasaan ataupun cinta. Sedangkan aku, berkali-kali harus patah oleh dia yang tak punya cinta.Entah sudah berapa kali mereka mendekatiku hany
POV MegantaraSepulang dari persidangan, Anyelir mengurung diri di dalam kamar. Dia terus menyesali dan mencoba mengingat semua kejadian di masa lalu yang kiranya telah membuat sahabatnya itu terluka. Tapi menurutnya tidak ada.Ia tergugu di depan cermin membenamkan wajahnya di atas meja.Aku membiarkannya untuk sesaat, membiarkannya menumpahkan segala emosi dengan menangis sejadi-jadinya. Aku tahu, ini tidak mudah. Dikhianati orang terdekat hingga menimbulkan penderitaan yang sangat dalam dan menghancurkan segala cita-citanya tentu di luar dugaan baginya. Aku paham.Yang membuat hatiku teriris lagi adalah seorang anak tanpa dosa setia duduk di bawah sana memegangi kaki ibunya, dia tahu ibunya sedang terluka.Aku beringsut mendekatinya. Meraih anak polos yang dari sorot mata itu bisa aku rasakan bahwa dia sedang mencemaskan ibunya. "Nizam ikut Oma mau?" tanyaku.Dia menggeleng. "Mama," ucapnya menunjuk pada Anyelir. "Mama sakit, mau Daddy obatin dulu. Tuh, tas Daddy sudah siap kan.
POV AnyelirPersidangan Tita sudah sampai pada putusan. Dia dijatuhi hukuman atas tindakan penculikan dan juga dalam kasus perkosaan yang terjadi padaku. Keduanya secara langsung memang sudah dia akui dalam persidangan sebelumnya. Aku memilih untuk tidak hadir pada sidang putusan tersebut, Megan dan Papa yang mengikuti, bagiku sudah cukup melihatnya begitu menyedihkan, meski tak sebanding dengan apa yang sudah direnggut dariku. Tita, dia ingin menjauhkan aku dari Megantara waktu itu, menyuruhku menggugurkan kandungan demi kebaikanku katanya. Ternyata di balik semua itu ada kebencian yang begitu mendarah daging. Aku menghela napas dalam, berharap dadaku yang sesak setiap teringat apa yang dilakukan oleh sahabatku itu bisa berkurang.Hampir setiap malam saat Nizam sudah terlelap, aku duduk di bangku taman menatap langit bertabur bintang setelah kejadian demi kejadian yang membuat hidupku semakin rumit itu terjadi. Selama tinggal di rumah ini, Ibu meminta Nizam untuk tidur bersamanya.
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata