"Oh, maksud saya ini, lo. Kue klepon. Ya, ini." Kutunjuk satu kue yang ada pada contoh gambar."Oh, iya, berapa, Dok?""Dua box besar. Ya kan, Ma?"Mama menghembuskan napas kasar. "Kamu lupa, Papa nggak suka gula jawa?" "Hah?""Jadi, Mbak, anak saya pesen klepon dua box. Saya pesen kue lemper sama talam, masing-masing dua box sedang saja, tolong ditotal sekalian," kata Mama mengambil alih, Anyelir dengan sigap mencatat. Kemudian mengambil kalkulator yang ada di meja kasir."Megan, jangan bikin malu Mama, kamu salah tingkah. Katanya mau move on!" "Maaf." "Jadi semua total 500 ribu. Bisa dibayar waktu pengambilan atau DP dulu juga nggak papa." Anyelir kembali dengan tagihan ditangannya, aku pun mengambilnya dengan cepat. Lalu kuberikan 5 lembar uang kertas seratus ribuan."Saya bayar saja, besok saya ambil jam 9, bisa? Karena pesawat Mama saya pagi," ujarku menentukan waktu."Pagi sekali, sebentar saya tanya ....""Anye, Via menghubungi." Seorang wanita paruh baya datang dari pintu b
Pagi ini sebelum aku pergi ke rumah sakit, aku terlebih dahulu mengambil pesanan kue di tempat Anyelir. Sedang Mama sudah mulai siap-siap."Ma, Megan ambil kue," pamitku mengetuk pintu kamar Mama."Ya, langsung pulang, jangan godain istri orang," teriak Mama dari dalam kamar tanpa membuka pintu memberi peringatan. Aku berdecak, seperti itukah aku di mata Mama? Aku masih waras. Tak mungkin merusak rumah tangga orang, meski hatiku benar-benar ingin bersamanya. Sekitar pukul setengah 9 aku sudah sampai di toko kue Lestari. Pembeli terlihat sudah memadati toko tersebut. Benar, toko ini memang sangat ramai, bahkan sudah antri sepagi ini. Sampai aku pun harus mengantri di barisan para pembeli. Kuedarkan pandangan, tak kulihat Anyelir ada di barisan karyawan atau meja kasir. Hanya ada beberapa karyawan yang melayani pembeli dan satu orang kasir. Ibunya pun tak terlihat.Beberapa orang ada yang langsung saja masuk ke belakang dan pulang membawa kotak kue. Aku semakin bingung."Mas, mas yang
POV ANYELIRVia menghubungi, mengatakan bahwa Papa masuk rumah sakit lahi akibat gula darah dan tensinya kembali tinggi. Aku sudah mengatakan tidak bisa datang, aku sudah menutup segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka. Tapi Via terus memaksa karena Papa terus menanyakan aku. Via bingung harus menjawab apa. Via berharap dengan kedatanganku akan membuat Papa lebih cepat membaik dan pulih. Sekuat tenaga aku menolak, akhirnya aku harus mengalah karena Mama memohon, menangis tersedu di seberang sana. Mana aku tega, akhirnya aku dengan ditemani Mbak Mei harus datang. Ya, mereka membawa ke rumah sakit tempat Mbak Mei bekerja. Dengan membawa Papa ke rumah sakit yang lebih besar mereka berharap Papa akan lebih cepat sembuh. Aku tegaskan pada hatiku, aku melakukan ini hanya karena rasa sosial dan tak ada hubungannya dengan Mas Bian.Mbak Mayang aku suruh pulang saja setelah mengantar karena besok dia shift pagi. Kalau menginap di sini pasti tak bisa istirahat, sama halnya denganku. Pa
Perlahan aku membuka mata, ruangan serba putih terlihat begitu aku tersadar. Samar-samar aku juga melihat seorang pria berbaju putih pula sedang memeriksa infus. Setelah mataku terbuka sempurna, ternyata yang aku lihat adalah Dokter Megan dan dia sedang berdiri di sampingku memegang pengatur tetesan infus sambil sesekali melihat pada jam tangan yang ia kenakan."Saya kenapa?" tanyaku lirih, kepalaku berat begitu aku tersadar bahwa infus yang diperiksa itu ada pada tanganku."Sudah bangun? Jangan banyak gerak dulu, Mbak Anye tadi pingsan di belakang sana. Untung ada yang lewat, jadi bawa ke sini," jelas Dokter Megan padaku. Rupanya aku sudah tumbang hanya karena melihat Luna datang bukan hanya sebagai wanita yang dicintai suamiku saja melainkan sebagai istri sah suamiku."Tadinya saya mau ngasih tau keluarga Mbak Anye, tapi belum sempet," sambungnya. Mendengarnya, seketika aku tersadar dan teringat akan Ibu."Dokter tidak menghubungi ibu saya, kan?" tanyaku khawatir."Belum.""Belum?"
[Iya, Nye. Jangan lupa jaga kesehatan.] Balas Ibu."Mbak, Mbak saudaranya Dokter Megan, ya?" tanya suster yang menemaniku itu, sontak membuatku meninggalkan layar ponsel dan beralih menatap suster tersebut."Saudara? Saya pasiennya.""Oh, kirain saudaranya, habis Dokter Megan terlihat perhatian sekali. Pasang infus sendiri nggak minta bantuan kami. Padahal itu tugas kami. Pilih kamar ini untuk Mbak juga beliau sendiri. Terus sampai datang ke dapur rumah sakit, minta dimasakkan menu khusus tanpa a,b,c secara pribadi," terangnya panjang lebar."Maksudnya?""Iya tadi suruh cleaning service beli ikan di depan sana. Terus bawa ikan ke dapur minta tolong secara pribadi dimasakkan sesuai permintaan dokter. Baru kali ini dapur rumah sakit disambangi dokter yang terkenal tampan namun belum pernah mereka lihat itu. Heboh lah tadi di sana.""Lah, ini bukan jatah dari sini?""Yah, Mbak. Mana ada jatah makan rumah sakit ikan salmon. Ini bukan hotel atau rumah sakit sultan yang menyediakan jatah i
"Maaf, Mas," batinku saat kulihat Luna membawa Mas Bian dan mereka sempat berdebat di sini tadi. Pihak rumah sakit pun mendengar dan akhirnya mereka mengusir Mas Bian dan Luna demi untuk menjaga ketenangan pasien yang lain. Ya, aku terpaksa harus menghubungi Luna karena hanya dia lah yang bisa membawa Mas Bian pergi dari sini. Kubaringkan tubuhku saat kulihat jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kembali, pikiran ini datang, pikiran terhadap Mas Bian yang sempat mengusikku, yaitu tentang apa yang diinginkan Mas Bian. Meski yang kuharap pikiran negatifku terhadapnya itu jangan sampai terjadi, nyatanya semua benar adanya. Dengan lugas Mas Bian mengatakan tidak ingin melepasku.Melihat kebencian Luna padaku dan pada hubunganku dengan Mas Bian, rasanya mustahil saja jika kami dipersatukan, apa lagi harus berbagi suami. Lagi pula mana ada wanita yang mau berbagi suami, kalaupun ada pasti di dalam sana sejatinya terluka dan tersiksa. Setiap orang mempunyai hati, jika ada yang bilang hatiny
"Maaf, apa saya ganggu, Sus, Mbak Anye?" Tanpa kami sadari Dokter Megan sudah berdiri di ambang pintu bersama asisten yang terlihat tergopoh-gopoh mengikutinya di belakang, syukurlah, dari pengamatanku mereka baru sampai, berarti tidak mendengar masalah yang aku bahas dengan Mbak Mayang."Dok, sudah mau maghrib, ni," ucap asistennya pada dokter Megan yang terlihat sudah sangat buru-buru. Dari perkiraanku, dokter Megan sudah semena-mena dan memaksa asistennya untuk over time. Pasti. "Batu jam 5, Sus. Masih satu jam.""Rumah saya jauh.""Nanti saya antar.""Haaah ... benarkah, naik mobil sport?" "Hem."Mendengar perdebatan antara dokter dan asistennya itu maka aku dan Mbak Mayang menyempatkan kesempatan itu, dengan cepat kami menghapus air mata kami kemudian Mbak Mayang segera beranjak."Masih mau lanjut? Kalau lanjut saya akan kembali nanti.""Menurut Mbak, dia sedang bertanya atau menyindir? Atau menertawakan?" bisikku pada Mbak Mayang."Haih, Anye ngaco. Diem. Eh, Dok, silahkan
Tepat adzan Maghrib infus pun sudah bisa di lepas. Mbak Mayang memanggil petugas yang bertugas untuk membantu.Setelah infus dilepas, kami menyempatkan diri sebentar untuk melakukan ibadah maghrib lalu kami segera menuju ke bagian administrasi untuk menyelesaikan pembayaran.Namun, lagi-lagi langkah ini harus terhenti saat kulihat dokter Megan yang sudah tidak lagi mengenakan baju dinasnya, sedang bersenda gurau dan duduk dengan beberapa rekannya di seberang meja administrasi. Aku pun mendesah malas, rasanya masih kesal dengan apa yang dia katakan di dalam tadi. "Kenapa masih saja di sini? Bukan kah harusnya dia sudah pulang mengantar asistennya itu?" tanyaku dalam hati pada diri sendiri."Kenapa berhenti, Nye?" tanya Mbak Mayang begitu kaki ini berhenti."Nggak papa, Mbak." Aku pun bergegas menuju administrasi dan pura-pura tidak melihatnya."Malam, Mbak," sapa mbak Mayang pada petugas administrasi."Eh, Suster Mayang, ada apa?" tanyanya balik."Mau urus administrasi adik saya," jawa
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata