Tepat adzan Maghrib infus pun sudah bisa di lepas. Mbak Mayang memanggil petugas yang bertugas untuk membantu.Setelah infus dilepas, kami menyempatkan diri sebentar untuk melakukan ibadah maghrib lalu kami segera menuju ke bagian administrasi untuk menyelesaikan pembayaran.Namun, lagi-lagi langkah ini harus terhenti saat kulihat dokter Megan yang sudah tidak lagi mengenakan baju dinasnya, sedang bersenda gurau dan duduk dengan beberapa rekannya di seberang meja administrasi. Aku pun mendesah malas, rasanya masih kesal dengan apa yang dia katakan di dalam tadi. "Kenapa masih saja di sini? Bukan kah harusnya dia sudah pulang mengantar asistennya itu?" tanyaku dalam hati pada diri sendiri."Kenapa berhenti, Nye?" tanya Mbak Mayang begitu kaki ini berhenti."Nggak papa, Mbak." Aku pun bergegas menuju administrasi dan pura-pura tidak melihatnya."Malam, Mbak," sapa mbak Mayang pada petugas administrasi."Eh, Suster Mayang, ada apa?" tanyanya balik."Mau urus administrasi adik saya," jawa
POV Megantara"Nye, Anye. Masih saja ceroboh seperti itu," gumamku saat kulihat dari kaca spion Anyelir sedang berlari mengejar mobilku. Sengaja aku tak menggubris, aku tahu apa yang akan dia bahas, pasti masalah biaya rumah sakit. Karena aku sempat melihat mereka di bagian administrasi sebelum aku pergi dari sana tadi. Aku sengaja menunggu, untuk memastikan Anyelir sudah bisa pulang dengan selamat.Anyelir, hari ini aku dibuat sibuk dan senam jantung olehnya. Melihat demonstrasi mahasiswa yang ada di depan gedung rumah sakit membuatku harus memutar balik mobil memasuki gang dan masuk lewat gerbang belakang, karena aku sudah sangat terlambat. Ya, aku harus mengantar mama ke bandara terlebih dahulu sebelum aku berangkat kerja pagi ini.Setelah kuparkir mobil di belakang rumah sakit, aku bergegas menuju gedung. Namun, ada yang menyita perhatianku saat aku berjalan cepat menuju gedung melewati halaman belakang yang cukup luas dan penuh rumput itu, yang kulihat adalah seseorang sedang t
Di dalam taksi aku terus mencoba untuk menghubungi dokter Megan, namun sampai aku turun dari taksi dan masuk ke dalam kamar pun ia tak menjawab. Sedang sibuk atau memang sengaja tak mau mengangkat? Entahlah.Akhirnya aku memutuskan untuk mengirim pesan. Sudah tak sabar rasanya menunggu dokter Megan menerima teleponku.Tok, tok, tok. Pintu diketuk saat aku hendak mengetik pesan untuk dokter Megan. Aku tahu, itu pasti Ibu karena sejak aku tiba ia tak terlihat. Biasanya memang di jam segini, ibu pergi ke mushola komplek dan setelah isya baru kembali.Kuurungkan niat untuk berkirim pesan dan menoleh ke arah Ibu yang terlihat sudah membuka pintu."Bu," sapaku, kuulurkan tangan menyambut orang tercintaku itu agar segera duduk di sebelahku, tepatnya di bibir ranjang tempatku sekarang tengah duduk.Ibu pun tersenyum menatapku kemudian menghela napas dan duduk di sebelahku. "Kenapa nggak bilang sama ibu kalau kamu di infus?" tanyanya begitu duduk.Degh! Kenapa ibu bisa tahu? Apa Mbak Mayang yan
"Kapan Ibu bertemu dokter Megan?""Tadi ... pagi-pagi sekali dia datang mengambil pesanan kue, Nye. Bahkan dia masuk ke sini.""Hah? Kemana?" tanyaku memperjelas."Kamar kamu ini.""Loh, loh, loh. Ngapain?" tanyaku kaget bukan kepalang."Tadi ada sedikit drama. Jadi, pelanggan kue ibu hamil besar eh mau lahiran. Ya kali, Nye periksa kayak gitu di toko. Malu. Ibu bawa aja ke kamar kamu. Kan yang paling deket dari luar memang kamarmu," terang Ibu, seketika aku teringat akan sesuatu lalu kuedarkan pandangan, di ranjang selimut masih berantakan, baju dan beberapa jilbab yang aku letakkan asal karena terburu-buru berangkat ke rumah sakit semalam pun masih terlihat berceceran di kursi meja rias. Bahkan, aku belum memasukkan pakaian dalam kotorku ke keranjang. Sontak wajahku rasanya memanas dan dadaku berdebar hebat."Kenapa, Nye?""Bu, harusnya jangan dikasih masuk ke orang kalau kondisi kamar saja seperti itu," kataku menunjuk pada sisi sebelah kanan yaitu meja rias. Aku pun membuang napas
"Bu, Anye mau keluar sebentar. Ada perlu," ucapku pada Ibu yang sedang menakar bahan untuk kue setelah aku sudah rapi dan siap untuk menemui dokter Megan di tempat yang sudah aku kirim semalam."Mau ke mana pagi-pagi sekali?" Tanya Ibu mendekati."Ketemu dokter Megan, Bu. Mau mengembalikan biaya perawatan. Anye nggak mau jika harus berhutang pada orang lain," terangku."Oh, kalau gitu Ibu titip untuk Dokter Megan ya, Nye." Ibu bergegas mengambil kotak kue dan dimasukkannya berbagai macam kue di sana."Apa dia pesan kue, Bu?" tanyaku."Nye ... Nye. Apa harus Ibu ajari cara berterimakasih yang baik itu seperti apa?" sindirnya."Ah, Ibu.""Bilang terimakasih tak terhingga dari ibu, karena sudah menolong putri ibu yang sangat berharga," ucap Ibu menyerahkan kotak itu padaku. Seorang Ibu akan tetap menganggap anaknya sebagai ratu yang berharga, meskipun dia tau sejatinya tak ada lagi harga dari seorang Anyelir. "Nye, kamu dengar ibu, kan?" tanyanya lagi padaku yang masih termenung seraya
POV Megantara[Kalau ingin berterimakasih dan tidak berhutang budi. Cukup dengan jaga diri dan kondisi. Karena reputasi saya lebih penting dari uang Anda.]Send."Dan kamu, Nye ... kamu yang paling penting. Kesehatan dan keselamatan kamu lebih penting dari apapun," lirihku di dalam mobil setelah pesan kukirim. Mungkin apa yang aku kirim terkesan jahat dan menyakitkan. Namun sejatinya sebaliknya, dia lebih dari apapun dan tak bisa jika hanya dibandingkan dengan reputasi.Melihat Anyelir selalu menundukkan wajahnya di hadapanku di cafe tadi, membuatku merasa jika lebih cepat pergi dari sana akan lebih baik. Ya, wanita memang diharuskan menundukkan wajahnya pada pria yang bukan mahram dan Anyelir adalah salah satunya. Ia adalah wanita yang sangat menjaga kehormatannya.Tak ada balasan dari pesan yang aku kirim. Mungkin dia sedang kesal atau amarah atas kata-kataku. Tapi akan lebih baik seperti itu. Lebih baik membenci daripada harus baik dan akan bisa saja akan terus memupuk rasa yang s
18. Rasa ingin tahu MegantaraSetelah perbincangan mengenai gagal nikah, kami tak lantas membuka kembali omongan melainkan saling diam. Aku fokus pada jalanan dan Anyelir melihat ke arah luar. "Suami mbak kerja? Ini akhir pekan. Kenapa nggak mengantar?" Dengan sangat berat aku pun menumpahkan apa yang mengganjal di dalam sana meski sebenarnya sakit. Tapi harus ditahan.Ia menoleh sekilas kemudian mengangguk samar. "Kerja di mana? Sepertinya sangat sibuk? Sampai weekend pun harus kerja?" Ia mengambil napas lalu menghembuskannya perlahan. "Travel Agent," jawabnya singkat, menoleh pun sekilas lalu kembali memandang ke arah luar jendela.Entah, apa aku sangat menakutkan? Sampai memandang saja dia enggan. Bukankah aku ini tampan? Kata Mama dan mereka yang melihat. Hatiku hanya bisa mendesah pasrah meski seharusnya aku senang Anyelir bisa menjaga pandangan dari lelaki yang bukan mahram, namun tak bisa dipungkiri hatiku seakan tercubit jika itu juga dilakukan padaku dan dia melakukannya u
19. Permintaan Luna diluar batasPOV AnyelirAku tersenyum miring sambil membawa nampan berisi teh yang baru saja kubuat. Mendengar ucapan dokter Megan itu kenapa aku merasa bahwa dia takut sekali jika aku merasakan suka atau cinta padanya. Dia memang tampan dan menggoda, namun aku tidak sama seperti wanita-wanita lain yang akan memujanya. Ya, setelah aku dirawat di rumah sakit kemarin, aku bisa melihat seperti apa dokter Megantara di mata para wanita termasuk pegawai rumah sakit.Di saat hati masih menganga karena luka. Dia justru berpikir kalau aku akan mengira bahwa dia mencintaiku, dia tidak tau saja kalau cinta sudah tak ada lagi di hati Anyelir, yang ada hanyalah luka yang setiap hari semakin bertambah akibat keadaan. Ya, hari ini di mini market, tanpa sengaja aku bertemu dengan wanita itu. Luna, dia dengan ringannya meminta dan mengatakan padaku untuk tidak mengganggu rumah tangganya dengan Mas Bian lagi karena mereka sudah bahagia. Luna, wanita itu tak pernah berkaca bahwa di
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata