19. Permintaan Luna diluar batasPOV AnyelirAku tersenyum miring sambil membawa nampan berisi teh yang baru saja kubuat. Mendengar ucapan dokter Megan itu kenapa aku merasa bahwa dia takut sekali jika aku merasakan suka atau cinta padanya. Dia memang tampan dan menggoda, namun aku tidak sama seperti wanita-wanita lain yang akan memujanya. Ya, setelah aku dirawat di rumah sakit kemarin, aku bisa melihat seperti apa dokter Megantara di mata para wanita termasuk pegawai rumah sakit.Di saat hati masih menganga karena luka. Dia justru berpikir kalau aku akan mengira bahwa dia mencintaiku, dia tidak tau saja kalau cinta sudah tak ada lagi di hati Anyelir, yang ada hanyalah luka yang setiap hari semakin bertambah akibat keadaan. Ya, hari ini di mini market, tanpa sengaja aku bertemu dengan wanita itu. Luna, dia dengan ringannya meminta dan mengatakan padaku untuk tidak mengganggu rumah tangganya dengan Mas Bian lagi karena mereka sudah bahagia. Luna, wanita itu tak pernah berkaca bahwa di
20. Kabar DukaHari ini terhitung sudah enam pekan setelah dokter Megan datang ke rumah mengantarku kala itu, yang artinya sudah enam kali pula aku melakukan pemeriksaan dan bertemu dengannya. Dalam pertemuan kami, aku dan dokter Megan tak banyak berbincang hal pribadi, kami hanya membahas masalah kehamilan dan bayiku. Hal lain yang terjadi selama itu adalah apa yang kudengar dari Luna melalui pesan yang dikirim ke Ibu. Dengan percaya dirinya dia mengatakan bahwa aku sudah bisa mengambil akta ceraiku, keputusan pengadilan sudah final dan memutuskan aku telah resmi bercerai dari Mas Bian. Ya, aku tau lah apa maksud Luna, dia tertawa dan ingin menegaskan bahwa dia sudah menang.Ada yang hilang, ada pula yang membuatku tenang. Hilang karena kehilangan suami yang sangat aku dan Ibu harapkan menjadi sosok panutan dan tenang karena semua sudah jelas sehingga tak ada lagi yang mengganjal di dalam sana. "Nye, ada yang mau ibu sampaikan padamu," kata Ibu yang baru pulang dari rumah Bude M
21. Rahasia yang mulai terkuakPOV MegantaraHari ini aku harus kerja keras. Banyak jadwal operasi yang harus aku lakukan dari pagi dan masih menyisakan beberapa pasien yang akan dilanjutkan lagi sehabis maghrib.Dengan adanya tanggungan operasi aku pun tak bisa pulang ke rumah dan akhirnya harus sholat maghrib di mushola rumah sakit. Setelahnya mengisi perut dengan menu yang sudah kupesan secara online. Usai kembali dari mushola aku pun kembali ke ruangan. Ayam bakar dan kopi terlihat sudah siap di atas meja. Ya, perut juga harus di isi agar tidak lapar dan salah prosedur karena lapar, bahkan aku belum sempat makan dari siang."Bismillah." Kumasukkan ayam dan sambal yang sudah tidak hangat lagi ke dalam mulut, meskipun demikian tetap saja terasa nikmat karena perut sudah sangat keroncongan."Belum waktunya operasi ngapain kesini?" tanyaku pada suster Yeni yang terlihat masuk ruangan tanpa mengetuk pintu. "Eh, Dok, kirain masih di mushola. Ini, Dok. Mau ambil datanya Anyelir."Mende
22. Sebuah rahasia besarJantungku kembali berdegup hebat, saat aku mendengar pernyataan Suster Mayang yang mencengangkan. Anyelir sudah bercerai? Inikah jawaban atas segala pertanyaan yang terus mengusikku selama ini?"Cerai?"Ia mengangguk samar seraya menundukkan wajah."Bercerai tidak berarti tanggung jawab pada anak hilang, Sus. Harusnya suami tetap diberi tahu.""Nggak bisa, Dok.""Nggak bisa? Kenapa? Kalau suster nggak mau kasih tahu, biar saya yang menghubungi. Setidaknya biar bapaknya bisa beli peralatan bayi dan mengurus bayi selama kamu menemani Anyelir nanti.""Dok ... anak itu juga bukan anaknya."Degh! Lagi-lagi dia menuturkan hal yang membuat jantungku kembali berpacu. Apa yang dimaksud dengan bukan anak dari suaminya? Apa artinya Anyelir ...?"Maksud suster?" tanyaku menyelidik. "Dokter, jangan berpikiran negatif terhadap adik saya. Yang pasti anak itu bukan dari hasil perzinahan. Sekarang, dokter tinggal jawab saja. Mau membantu saya menjaga Anyelir atau tidak?" tega
23. Siapa yang mengadzani?"Katakan, Mayang! Siapa yang melakukan?" ucapku bersungut-sungut karena Mayang tak kunjung menjawab pertanyaanku."Mayang!" ulangku dengan nada meninggi."Kami belum mengetahuinya. Ayah Anyelir memutuskan menutup rapat kasus ini demi menjaga perasaan Anyelir dan berharap Anyelir bisa melupakan traumanya.""Lalu, pria itu? Pria yang menikahi Anyelir?" tanyaku yang sudah tak bisa lagi menahan diri.Suster Mayang terlihat menghela napas."Pria itu menikah untuk menutupi aib keluarga dengan imbalan. Sekarang, dia mencintai wanita lain dan memilih menikah dengannya di usia pernikahan mereka yang baru enam bulan, karena tak ada lagi pilihan akhirnya Anyelir pun menerima keputusan itu. Mereka ... memutuskan berpisah."Ragaku semakin lemah mendengar fakta demi fakta yang seolah di luar nalar."Pergilah!" perintahku saat kurasa hatiku sudah mulai tak bisa diajak kompromi. "Hem, saya harap dokter bisa saya percaya. Biar bagaimana pun adik saya tidak dalam posisi yan
*** Berdua aku masuk ke ruang bayi yang berada tak jauh dari ruang bersalin bersama Suster Mayang. Di sana tampak bayi Anyelir sendang di gendong salah seorang perawat, senyuman terpancar di wajah kedua perawat yang sendang memperhatikan bayi tersebut. Namun, kadang mereka saling menatap kemudian mengambil napas dalam."Aduh, anak manis." Senang cepat, Suster Mayang menghampiri dan mengambil bayi Anyelir dari tangan perawat.Setelah itu kedua perawat itu beralih menatapku penuh selidik saat aku masih berdiri di ambang pintu. "Kenapa?" tanyaku bingung seraya melangkah masuk."Anak ini belum diadzani, Dok.""Terus? Kenapa pada lihatin saya?""Dokter," panggil salah satu perawat itu dengan sungguh-sungguh dan raut wajah serius."Ya, Apa?""Apa yang menurut dokter paling baik itu pasti dan harus dilakukan, 'kan?" tanyanya."Ya.""Lebih baik anak ini diadzani sama dokter!""Saya?!" tanyaku tak percaya.Mereka mengangguk cepat. "Semua bayi yang ada di sini sudah mendapat adzan dari aya
POV AnyelirDengan bantuan suster yang kebetulan mengunjungi dan hendak memindahkan aku ke kamar rawat. Aku pergi ke ruang bayi setelah Mbak Mayang dan Dokter Megan pergi. Tanpa sepengetahuan Mbak Mayang dan Dokter Megan, aku mengikuti mereka diam-diam."Berhenti, Sus!" pintaku setelah sampai di balik pintu. Lebih baik melihat dari kejauhan dari pada dekat justru akan menimbulkan kebencian pada anakku dengan kondisi hati yang masih begitu gundah ini.Tak lama setelah aku sampai di sana, jantungku berdetak tak beraturan saat kulihat dokter Megan dengan tiba-tiba dan sungguh-sungguh mengumandangkan adzan pada bayiku. Seketika mataku memanas, hatiku terenyuh melihatnya. Nyatanya Tuhan masih berbaik hati padaku, memberi jalan atas apa yang terjadi, mengirimkan orang untuk mengadzani putraku di saat tak ada lagi ayah dan juga Mas Bian di saat-saat seperti ini.Entah, sudah berapa kebaikan yang dokter Megan lakukan padaku meski kadang kata-katanya pedas dan tak jarang pula membuat hati pana
25. Tak akan Kubiarkan meski hanya melihatnya!Dua hari sudah aku dirawat dan hari ini aku diperbolehkan untuk pulang. Ibu sudah datang pula semalam, jadi, Mbak Mayang sudah bisa bekerja hari ini setelah mengambil cuti dua hari.Nizam Zulfa Ubaidillah Nugraha, adalah nama yang akhirnya aku sematkan untuk anak lelakiku. Berharap menjadi hamba kecil Allah yang kelak akan menjadi pemimpin yang ramah dan bijaksana anugerah dari Tuhan. Berharap dia akan menjadi sosok yang dekat dengan Tuhannya agar sifat dari laki-laki itu tak mampu menjamahnya. Anak yang tak pernah lepas dari pangkuan ibu itu memang sangat penurut dan tidak pernah rewel. Alhamdulillah, dengan kedatangan Nizam, Ibu bisa sedikit melupakan kepergian si Mbah. Tuhan begitu baik, mengganti kepergian si Mbah dengan kehidupan baru di tengah kami."Mbak sudah diperbolehkan pulang, jadwal kontrol dan obat bisa di ambil setelah ini, ya.""Iya, Sus.""Sus, apa dokter Megan tidak datangan hari ini?""Hari ini kebetulan ada seminar,
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata