POV AnggaBegitu mobil parkir di halaman rumah Dinda, aku segera turun. Begitu pun Dinda, dia turun dari mobilnya lantas berjalan cepat menghampiriku dengan senyum terkembang lebar. Tangannya terulur ke arahku lalu dengan tak sabar ia menarikku menuju teras rumahnya. Aku mengikutinya dengan perasaan was-was dan tegang. Maka saat kami tiba di depan pintu, aku memutuskan berhenti."Kenapa, Mas?" tanya istriku dengan sorot heran. Aku ingat jelas pertemuanku terakhir kali dengan Mama. Mama terlihat jengkel sekali padaku, tatapannya padaku penuh kebencian.Aku mengusap keringat dingin di dahi. Mau ketemu Mama rasanya seperti mau sidang skripsi saja. Dan perasaan, sidang skripsi rasanya tidak setegang ini. Aku cukup berprestasi selalu juara satu saat sekolah dulu, waktu kuliah juga IP-ku juga tidak mengecewakan. Aku sebelas dua belas dengan Ardy yang sama-sama ber-otak encer, beda dengan Sisil yang hampir semua nilainya jeblok. Jadi, yang kurasakan saat ini, tegangnya melebihi sidang skrips
POV Angga"Emang Mas kenal sama dosen aku?" tanya Dinda lagi yang terdengar begitu antusias. Aku meraih botol sampo kemudian menuangkannya srdikit ke kepala Dinda, segetelah itu aku membasahi rambutnya dengan sedikit air lalu mengusap-usapnya hingga mengeluarkan banyak busa."Tentu saja Mas kenal, Sayang. Ha ha." Aku sedikit tergelak membayangkan anak Bunda yang satu itu. Dia memang begitu kaku dari dulu. Tidak pernah bercanda baik denganku maupun dengan Sisil, dia sangat pendiam dan begitu serius. "Kalau begitu, bolehkah aku minta tolong pada Mas?" tanya Dinda. Aku meraih gagang shower kemudian mengarahkan ke kepala istriku. "Minta tolong apa?" tanyaku. Aku keluar dari bathub, setelah membilas tubuh, aku menyambar handuk, menggunakannya untuk mengeringkan rambut dan melilitkannya ke pinggang. Segera saja aku menggendong istriku yang memakai jubah mandi keluar, meraih daster di lemari kemudian mengulurkan padanya. Dinda segera menerimanya. Segera ia memakainya lalu menyisir rambutny
POV Yana + DindaAku terus memikirkan perkataan Dinda tadi yang menyuruhku agar mendatangi Pak Rama ke ruangannya lalu meminta maaf padanya. Duh, kena-pa, juga, aku pakai acara tinju dia? Benar-benar. Tiap datang bulan, emosiku memang selalu gak terkontrol, selalu gak terkendali.Mungkin memang sebaiknya aku mengikuti saran Dinda. Lebih baik minta maaf daripada aku tidak mengikuti tiga mata kuliah sekaligus. Yang benar saja. Masa harus mengulang tiga mata kuliah pada semester pendek? Aku pasti akan merasa gak enak hati sama papanya Dinda yang udah biayain aku kuliah.Aku menyentuh layar HP lalu menekan nomer ayah. Aku berjalan keluar dari kantin sambil menelepon."Halo, Yah?" ucapku saat panggilan teleponku diangkat oleh Ayah."Ini ayah hampir tiba di kampusmu.""Yah," kataku. "Aku nanti ke warung naik angkot, Yah. Aku lupa ada tugas kuliah yang harus aku kerjain. Maaf ya, Yah," kataku merasa tak enak hati pada Ayah. Ayah pasti akan kaget jika sampai tahu kelakuanku pada dosenku sendi
POV Dinda"Kenapa dia?" tanya Mas Angga saat ia menatap layar HP-ku."Gak tau, nih. Tiba-tiba dia WA gini," ucapku sambil menatap layar HP. Aku mengetik,Kamu ada masalah apa, Yan?Besok aku ceritain, Din. Sekarang aku hanya bisa nangis. Balas YanaAku memandang Mas Angga. "Katanya mau ceritain besok, Mas."Mas Angga mengangguk, tangannya merangkul pundakku. "Iya, Mas baca juga." Dia menatap HP-ku. "Mungkin dia sedang tidak punya uang, Sayang.""Bisa jadi sih, Mas." Tapi rasanya gak mungkin kalau Yana begini karena tidak punya uang. Sahabatku itu walau hidup sederhana, namun ia rajin sekali menabung. Jadi gak ketang satu juta, dia pasti punya uang."Oh ya, Mas lupa. Mas pernah bilang padanya waktu itu pas awal menikah, jika dia mau membantu Mas dengan cara menginap di rumah dan menemui teman-teman Bunda, maka Mas akan memberinya uang. Dia langsung menolak. Tapi menurut Mas, tidak masalah jika Mas memberinya uang," kata Mas Angga. Aku mengangguk setuju."Besok, Mas titip uangnya ke kam
POV Dinda"Setau aku gak ada, Om.""Gak ada masalah kok Yana nangis terus ya, Din? Apa kamu bisa ke sini sebentar? Mungkin keberadaanmu bisa menghibur Yana."Aku memandang suamiku, dia mengangguk kecil."Iya, Om, ini aku mau jalan ke situ sama suamiku.""Iya, Din, Om tunggu.""Iya, Om." Lalu, aku mematikan sambungan."Gak papa nih, Mas, kalau kita ke rumah Yana dulu?" tanyaku sambil menggeser tubuh mendekat ke arahnya lalu tanganku melingkari pinggang suamiku. Mas Angga mengangguk kecil."Tidak papa, Sayang. Tapi dua jam saja di rumah Yana-nya, ya?" Dia menatapku sekilas."Iya, Mas. Aku bertanya-tanya Yana ada masalah apa, ya, sampai sebegitunya? Setahuku, di kampus dia gak punya musuh."Tatapan Mas Angga sedikit menyipit, seolah ia tengah mengingat sesuatu."Apa, Mas?" tanyaku. "Katamu, Yana sedang ada masalah dengan dosennya, kan?""Oh, iya. Tapi masa sebegitunya. Atau mungkin saja, Pak Rama gak mau maafin Yana, ya? Mungkin saja dia gak ijinkan Yana masuk ke mata kuliahnya.""Itu b
POV Dinda"Emp ...." Aku ragu-ragu. Kesannya gak sopan banget meminta Bunda membantu tapi aku gak punya pilihan. Aku gak ingin Yana berhenti kuliah karena kelakuan gak sopannya pada Pak Rama waktu itu. Walau sedang datang bulan sekalipun, kelakuan Yana emang gak bisa dibenarkan juga, sih. Bisa-bisanya dia tinju Pak Rama di depan teman-teman sekelas. Walau ninjunya gak di depan teman-teman sekelas juga namanya ya gak sopan."Ada apa, Din? Bilang saja sama Bunda." Bunda menatapku begitu ingin tahu."Bilang saja, Sayang. Yaa siapa tahu Bunda mau membantumu," kata Mas Angga, membuat Bunda berlama-lama menatapku begitu ingin tahu. Aku terus menoleh memperhatikan Bunda."Apa itu, Ga, coba katakan pada Bunda.""Jadi, Bun," ucapku dengan suara lirih. "Yana sedang ada masalah sama dosennya. Jadi, ceritanya begini." Lalu, aku menceritakan detail kejadiannya pada Bunda, Bunda sesekali tersenyum saat mendengar ceritaku. Di bagian aku bilang Yana gak sengaja cium Pak Rama, Bunda dan Mas Angga sama
POV DindaPapa dan Mama saling pandang. Mereka menatap ke arah anak-anak yang tampak begitu antusias lalu menatap Mas Angga yang terus saja menggaruk-garuk rambutnya. Kalau Mas Angga saja begitu menyikapi anak-anak alias gak bisa tegas, lalu bagaimana denganku yang hanya ibu sambung buat Ian dan Deri? Hmm, benar-benar, deh, Mas Angga, gak tegas banget. Aku tentu saja walau sangat keberatan Ian dan Deri ikut pergi bulan madu, namun aku tak mungkin menolak mengajak keduanya di depan Ayah dan Bunda. Gak enak tentu saja.Seolah mengerti dengan situasi yang tiba-tiba menjadi hening, Bunda segera mendekat ke arah Ian dan Deri lalu menggenggam tangan keduanya."Anak-anak, kita main ke Samber, yuk? Naik komedi putar, ho-reeee!" kata Bunda dengan wajah riang. Namun anak-anak langsung menggeleng secara bersamaan."Enggak, ah, Ian mau ikut Mama Dinda," sahut Ian. Si bungsu Deri mengangguk padaku. "Aku juga mau ikut Mama Dinda," kata Deri. Mata polosnya yang bening memandangku dengan penuh harap
"Eeeh, kok berantem la-giii. Udah, udah," kataku. Aku mengerucutkan bibir saat bertemu tatap dengan suamiku melalui spion dalam. Akhirnya, aku memilih duduk tegak dengan waspada jika ada yang mau memukul duluan, maka tangannya akan kupegang. Perlahan-lahan, Ian dan Deri mulai tertidur. Jadi ketika sampai di kapal harus dibangunkan berkali-kali barulah Ian mau membuka mata. Sementara Deri digendong oleh ayahnya. Aku dan Mas Angga menaiki tangga menunju ke atas, Mas Angga tentu saja dengan menggendong Deri di dadanya sementara aku menuntun Ian yang kepo banget, segala macam ditatap olehnya dan ditanyakan. Terkadang dia berhenti melangkah cukup lama hanya untuk menghitung banyaknya mobil di lantai bawah sementara aku dan dia di tangga menuju lantai atas, udah gitu ditungguin oleh orang-orang di belakang kami. Aku gedek banget, sumpah. Untung aku cinta beneran sama Mas Angga, jadi ya harus menyayangi anaknya juga dengan sepenuh hati.Drama gak berhenti sampai di sini saja rupanya. Begitu
"Ha, ha. Mana mungkin saya berhenti menemui calon istri saya? Itu aneh sekali." Rama sedikit tersenyum."Saya tekankan sekali lagi, saya bukan calon istri Bapak!" sahut Yana dengan ketus. Heran, kok ada manusia seperti Pak Rama. Otaknya sepertinya sedang slek, udah ditolak berkali-kali terus aja ngejar, batin Yana, wajahnya terlihat jengkel sekali. Dia langsung menatap ke luar jendela saat bertemu tatap dengan Rama yang menoleh memandangnya.Rama tak menjawab perkataan Yana. Dia terus mengemudi. Karena Yana tak mau mengatakan inginnya ke mana sebaliknya malah minta diantar pulang dan menyuruh dia tak mengganggunya lagi, akhirnya Rama melajukan mobil ke arah Kolam Renang Palem Indah. Tak banyak kendaraan yang terparkir di tempat yang telah disediakan, jelas karena bukan hari libur. Biasanya tiap hari libur selalu ramai penuh kendaraan. Bahkan mau mandi ke kolam renang pun susah saking banyaknya orang. Rama hampir tiap Minggu ke kolam renang menemani Shelin. Yana hanya bisa menghela na
Tunggu! Aku mau bicara!" Yana yang sudah menstarter motor siap melajukan benda itu pergi meninggalkan parkiran pun memutar kontaknya, mesin kendaraannya itu pun mati seketika."Ada apa, An?" tanyanya, tatapannya tertuju pada Andika yang berjalan cepat ke arahnya. Mata Yana sedikit membola saat tiba-tiba saja Andika membonceng di belakangnya."Jalan.""Apaan sih kamu, An." Dia menoleh ke belakang. "Turun!" "Jalan, kubilang! Ada yang ingin kukatakan padamu. Ini serius.""Serius tentang apa? Jika mengenai Kakak kamu yang aneh itu, bisa-bisanya mentip ex tanda koma dan titik di makalah, maaf-maaf aja! Aku gak ada waktu membahasnya!" "Jalan dulu baru tau aku mau bilang apa.""Baiklah." Dengan terpaksa, Yana mengendarai kendaraannya itu keluar dari parkiran, terus melaju menuju gerbang kampus yang ramai kendaraan. Beberapa kendaraan sepeda motor juga mobil berhenti di depan gerbang, menunggu jalanan di depannya benar-benar sepi. "Cie ci-eeee, romantisnyaaa. Cocok," kata Naya yang berjal
"Ada apa, Pak Rama? Aku tidak membuat kesalahan pada Bapak, kan?" Suara Yana melunak. Rama mengusap dadanya, menahan napas sebelum akhirnya berkata, "Tidak. Tapi ini soal ...." Rama ragu-ragu. "Kalau soal lamaran tadi siang, aku tidak mau pikir ulang. Aku tolak lamaran bapak." Tanpa basa-basi. Langsung pada inti. Rama benar-benar tidak percaya hal ini.Hening. Rama menelan ludah merasakan sakit di dadanya. Tapi ia sudah bertekad tidak akan begitu saja menyerah. Justru, ini akan jadi tantangan buatnya. Disaat gadis lain ingin dekat dengannya, Yana malah tanpa ragu menolaknya. Mentah-mentah menolak lamarannya."Besok, saya ingin bicara." "Maaf Pak, tidak bisa. Sudah dulu ya Pak, saya mengantuk ingin tidur. Sudah malam juga." Klik! Sambungan diputus sepihak. Rama membelalak tak percaya menatap layar HP-nya. Diminumnya kopi yang hampir dingin hingga tak bersisa kemudian dia mengetuk-ngetuk kepalanya. Bagaimana caranya agar bisa bicara dengan gadis jutek itu? Sangat jutek. Tapi anehn
Yana menatap ke arah pintu kamar yang mengayun membuka, menghela napas panjang saat melihat sang ayah melangkah masuk sambil tersenyum kecil. "Apa kamu tidak ingin memikirkannya dulu, Yan?" Yana menatap ayahnya yang perlahan duduk di tepi ranjang. Dia yang tengah rebahan melihat-lihat FB langsung beranjak duduk. Ditatapnya ayah lekat. "Yakin. Aku nggak suka sama Pak Rama. Dan mana ada mahasiswi nikah sama dosennya sendiri? Apa kata teman-temanku nanti? Memalukan." Juga menakutkan. Lamaran Pak Rama membuatnya gemetaran tadi dia mencoba tenang. Tapi tetap saja dia gemetaran. Tidak bisa membayangkan saat bertemu tatap dengan Pak Rama di mata kuliahnya. Kira-kira dosennya itu akan menghukumnya tidak, ya? Semisal melempar pertanyaan macam-macam, begitu?Itu bisa jadi. Hii. Yana bergidik ngeri. Kok bisa-bisanya, ya, Pak Rama yang terlalu kaku melamarnya? Selalu membuat ia begitu tegang di semua mata pelajarannya. Mana mungkin dia menikah sama orang tegang, coba? Bukan berarti benci, hany
POV AuthorYana mendelik jengkel, sama sekali gak menyangka dosennya akan bersikap seperti itu. Dia menghentakkan kaki lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya."Sangat kekanak-kanakan," gumam Rama. Tapi sekaligus sangat mengemaskan. Dia tersenyum sendiri.Lalu dia menghela balas panjang, menggigit bagian dalam bibir bawahnya saat merasakan nyeri di hati. Tentu saja walau dia berusaha menunjukkan bahwa dia tidak apa-apa ditolak akan terus mengejar Yana, tapi hatinya tetap saja sakit. Tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Penolakan Yana yang tanpa keraguan sedikit pun membuatnya jengkel. Lihat saja nanti, kamu pasti akan kudapatkan Dayana Saputri! Dia menekankan itu di dalam hatinya.Dia tidak habis pikir Yana akan menolak lamarannya. Dia pikir, Yana hanya tak mempercayainya ucapannya di mobil tadi pagi. Tapi ternyata benar-benar menolaknya. Apa yang kurang darinya? Bukan menyombongkan diri, tapi kebanyakan orang yang bertemu dengannya di jalan atau di manapun, sering memperhatikannya berl
"Apa?!" kataku sambil mendelik jengkel. Tapi aku tetap menyambut uluran tangannya yaitu hanya menempelkan telapak tanganku ke telapak tangannya saja lalu aku menarik tanganku.Andika menggeser kursi di sebelahku. Dia bertopang dagu memandangku."Apa kamu gak dianterin kakakku? Kak Rama bilang, dia mau bareng kamu. Katanya sekalian bareng dia karena motormu di rumahnya. Makanya aku tinggalin kamu.""Iya, aku bareng Pak Rama. Tapi kan harusnya kamu yang anterin aku pulang bukannya Kakak kamu itu!" sahutku dengan jengkel. Senyum terbit di bibir Andika."Ehemp, maunya dianterin aku, ya?" tanyanya sambil mengerling jail. "Jangan-jangan kamu suka, lagi, sama aku. Ya wajar, sih, aku kan populer sama kayak Kak Bayu. Aku juga ganteng, pula," katanya kepedean. "Ih, amit-amit aku suka sama kamu!" Dia sama Pak Rama gak ada bedanya, sama-sama menjengkelkan.***Begitu mata kuliah berakhir, aku dan teman-teman, Naya, Putri, Mei, Dini berjalan menuju kantin. Di sana, Nari sudhs menunggu. Gadis yang
POV Rama"Tidak mau. Saya tidak suka Bapak," ucap Yana sambil balas memandangku. "Saya menolak jadi istri Bapak," katanya lagi yang membuatku benar-benar tidak percaya, dia menolakku begitu gamplang tanpa keraguan sedikitpun di wajahnya.Apa jangan-jangan, dia menganggapku hanya bercanda? Aku menghela napas panjang. Mungkin sebaiknya, aku langsung datang melamar ke rumahnya. Aku yakin sekali dia pasti menganggapku bercanda jadi aku memutuskan akan ke rumahnya nanti sepulang mengajar.Hening sepanjang jalan menuju kontrakan Yana. Aku memilih diam tidak berkata-kata. Yana terus menatap ke luar jendela. Aku sesekali meliriknya yang terlihat tak nyaman. Akhirnya, mobil berhenti di halaman kontrakan Yana. Dia bergegas turun."Jangan lama-lama, saya tunggu," kataku dengan tatapan tertuju ke wajahnya.Yana menutup pintu mobil, lalu tangannya menuding ke arah rumah Mama."Aku berangkat bareng Dini.""Mungkin saja dia sudah berangkat," kataku sambil kembali menatap ke arah rumah Mama. Pintu r
POV Yana"Saya antar kamu sekarang," ucap Pak Rama setelah dia menghabiskan segelas susunya."Dinda mau jemput saya, Pak," ucapku sambil menatap layar HP. Dari tadi ditunggu, Dinda gak juga menghubungi. Mungkin sahabatku itu masih mandi, atau sedang sarapan. Entahlah."Pukul 6 lewat," kata Pak Rama sambil menunduk menatap layar HP-nya. "Jika tidak bergegas, kamu juga saya bisa terlambat datang ke kampus. Saya harus mengajar. Dan kita sama-sama akan berada di ruangan yang sama.""Benar juga," gumamku."Memang benar," kata Pak Rama yang membuatku tersentak. Bisa-bisanya aku bilang benar juga padanya. Di seberang kami, Bunda dan Ayah saling melirik."Ehemp." Bunda berdeham kecil. "Yasudah sana, kamu segera antar Yana, Dy. Takutnya nanti dia terlambat."Pak Rama mengangguk. Dia meraih tisu di tengah meja lantas menggunakannya untuk mengusap bibirnya."Kalau begitu, Ardy pulang dulu, Bun," kata Pak Rama sambil berdiri. Dia mengernyit ke arahku yang terus duduk."Sana, Yan. Jarang-jarang, l
***POV YanaAku sebentar-sebentar menatap ke jam dinding. Kok Andika gak pulang-pulang, ya, dari masjid? Apa mengobrol dulu? Rasanya gak nyaman banget di sini, ingin segera pulang ke kontrakan."Ma, kenapa katak jalannya lompat-lompat bukan berdiri?" tanya Ian. Asli sebenarnya, aku risih dia terus memanggilku Mama padahal aku dan ayahnya gak ada hubungan apa pun, pernikahan kami waktu itu hanya mainan belaka. Tapi yang namanya anak kecil mana mungkin mengerti? "Ngeeeeng, ngeeeeng," ucap Deri sambil menggerakkan mobil-mobilan di samping tubuhnya. Dia dan Shelin tampak akur mainan mobil-mobilan, masing-masing barusan diberi satu mobil-mobilan yang sama oleh Bunda. "Karena katak malas jalan. Dia sangat pemalas," jawabku asal. Terdengar suara tawa dari arah pintu, ternyata Andika yang baru saja pulang salat dari masjid bersama Pak Rama dan Ayah."Assalamualaikum," ucap Ayah dan Pak Rama secara bersamaan. Sementara Andika tanpa mengucap salam langsung nyelonong masuk."Waalaikum salam,"