Jemari lentik milik gadis bernama Irene Broune melingkar disekeliling cangkir berwarna tosca berisi segelas coklat panas dari sang ibu, Hanna Broune. Sudah lebih dari satu jam salju pertama turun di Kota Hollo, gadis itu masih dengan setia duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Mata birunya menatap pohon maple yang terletak tidak jauh dari trotoar depan rumahnya, daunnya kini mulai tertutup salju. Ah, sepertinya truk pengeruk salju harus bekerja ekstra mulai besok pagi.
Sudah lebih dari tiga hari Irene dan ibunya pindah ke Kota Hollo. Tetapi anehnya ia bahkan belum pernah sekalipun menjumpai tetangga depan rumahnya. Padahal Irene hanya ingin berkenalan atau jika bisa sekalian menjadi teman, karena dia merasa bosan ketika belum mendapat teman di tempat baru ini.
Pandangannya tertegun ketika mendapati seorang pemuda jangkung memakai hoodie berwarna hitam berjalan di trotoar depan rumah milik tetangganya. Wajahnya tidak bisa Irene lihat dengan jelas karena terhalang tudung hoodie yang pria itu kenakan. Sekarang minus -2° lalu apa yang dilakukan pemuda itu dimalam musim salju, apalagi jika dilihat dari gerak-geriknya tidak mencurigakan sama sekali. Bahkan perapian didekatnya masih tidak terlalu bekerja dengan baik untuk menghangatkan tubuhnya. Lihat saja! Ia yakin besok pagi pemuda itu akan terserang demam karena hanya keluar menggunakan pakaian seperti itu.
Langkah kaki pemuda yang sejak tadi dia amati membawanya ke halaman depan rumah diseberangnya. Tetapi belum sempat Irene selesai, salju mulai turun dengan lebat hingga membuat penglihatannya terhalang dari luar sana. Helaan napas kasar terdengar dari sang gadis Broune. Ya, setidaknya dia tau bahwa seorang pemuda yang menjadi tetangganya.
—
Reviline Smith yang waktu itu masih berumur empat belas tahun menahan tangis disudut ruang kelurganya. Mendapati sang ibu yang sudah terbujur kaku didepan kaki sang ayah, lantai yang semula berwarna putih kini terdapat banyak sekali bercak darah keluar dari bagian belakang kepala ibunya. Di tangan kanan ayahnya, Andrew Smith terdapat sebuah pisau dapur yang digunakan untuk membunuh sang istri.
Reviline tidak pernah berpikir akan berada diposisi sekarang ini, keadaan yang harus membuatnya membenci seseorang yang dulunya ia bangga-banggakan. Pemuda itu bisa melihat tidak ada penyesalan dari raut wajah sang ayah. Kemudia kakinya tidak bisa menopang tubuhnya lagi hingga dirinya ambruk ke lantai.
"Wanita jalang.." Umpat ayahnya sembari memperlihatkan senyum yang menyeramkan.
Tubuh Reviline bergetar dengan sendirinya menyadari bahwa ia tidak bisa menahan tangisnya terlalu lama. Kilas baliknya begitu cepat hingga jerit keputusan begitu terdengar dari telinganya. Berulang kali hingga frekuensinya mengecil dan kemudian menghilang. Potongan puzzle dimana setiap sudutnya begitu asbtrak, memori masa lalu yang kelam begitu kental didalamnya. Hingga dia melihat siluet orangtunya mulai mengabur dari pandangannya.
Hingga Reviline bangkit dari posisi tidurnya dengan napas yang terengah-engah. Kepalanya teramat sakit membuat peluh ditubuhnya berjatuhan membasahi tempat tidur. Dengan cepat tangan kekarnya meraih kotak aspirin yang terletak didalam laci dekat tempat tidurnya. Memilih meneguknya beberapa butir berharap bisa menetralisir sakit dikepalanya.
Sudah banyak obat tidur yang dia minum agar mimpi buruk itu tidak kembali lagi. Jam menunjukan angka dua malam, waktu yang masih cukup panjang jika dia memilih melanjutkan tidurnya. Psikisnya merasa lelah tetapi matanya engga terpejam, pemuda itu begitu takut jika mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya.
Kembali menemukan dirinya seorang diri dalam titik terendah dihidupnya. Tidak ada siapapun, suara alat pemanas terdengar begitu pelan hingga menjadi temannya dalam semu.
Reviline Smith yakin, matanya akan tetap terjaga sampai pagi tiba.
—
"Satu ducff coffe dengan cheese cake."
Irene terlihat mengenakan longcoat bermotif kotak-kotak itu sedang berada di cafe yang terletak tidak jauh dari jalanan ruangnya.
Setelah menunggu beberapa saat di meja resepsionis sembari memperbaiki letak sarung tangan rajut yang ia kenakan. Pandangnya seketika teralihkan kepada seorang pemuda yang berjalan sempoyongan dari luar jendela besar didepan cafe. Pemuda itu sepertinya mabuk. Jalannya bahkan tidak terarah, tubuhnya beberapa kali menabrak orang-orang yang sedang berjalan di trotoar.
Irene Broune sontak menutup mulutnya dengan telapak tangan ketika pemuda itu beberapa kali dihajar oleh dua orang pria bertubuh besar didepan sana. Atensi orang-orang teralihkan ketika pemuda mabuk itu melayangkan beberapa pukulan tapi kembali tubuhnya terhempas oleh pria yang berkulit hitam mendaratkan pukulan diperutnya.
Sontak Irene Broune berlari keluar dari cafe menghampiri pemuda mabuk yang sudah terkapar di trotoar jalan.
Tidak bisa dibiarkan!
"Excuse me Sir, dia temanku." Suaranya menciut ketika mendapati dirinya berhadapan dengan kedua pria bermuka sangar didepannya.
"Apa benar dia temanmu?" Tanya pria dengan tatto ditangan kirinya.
"Tentu, Sir. Bisa dilihat dia mabuk."
Gadis itu menatap nanar. "Aku akan mengganti semua kerugian yang disebabkan oleh temanku ini."Pria bertubuh besar dengan kulit hitam berjalan mendekati Irene "Tidak perlu, Sis. Cukup katakan untuk tidak mengulanginya lagi."
Ternyata mereka berdua orang yang baik tidak sama dengan asumsinya ketika melihat penampilan mereka dengan beberapa kalung rantai besar di lehernya, terlihat sangatmenyeramkan. Cocok sekali untuk menjadi seorang algojo atau mata-mata agen rahasia. Oke, salahkan dia yang terlalu banyak menonton film action dimalam hari.
"Thank you, Sir.."
Setelah beberapa saat mengambil pesanannya. Irene memutuskan memapah tubuh jangkung pemuda yang tingginya sekitar 190 itu kedalam mobil Audi miliknya.
"Ah, Shit! Dia berat sekali." Umpatnya ketika berhasil membawa pemuda itu masuk dikursi penumpang.
Tangannya meraih kotak P3K yangt terletak didalam tas kantong jok mobil. Namun belum sempat berhasil seketika Irene tersentak ketika merasakan pergelangan tangannya ditarik dengan cepat hingga membuat tubuhnya limbung diatas pemuda itu.
Cahaya lampu jalanan kota Hollo menyorot sedikit kedalam mobil. Dari jarak dekat Irene bisa melihat bulu lentik milik sang pemuda, hidungnya begitu simetris dengan bentuk wajah oval. Bibir bawahnya sedikit tebal dengan bibir atas yang tipis berwarna peach, disudut bibirnya terlihat darah segar. Ah, sepertinya bekas pukulan pria hitam tadi.
Suara desisan terdengar ketika Irene menyentuh perlahan bekas lukanya. Ada raut kesedihan yang terpancar dari wajah sang pemuda hingga Irene bisa merasakan rasa sakit yang pemuda itu alami. Irene tidak mengetahui sama sekali identitasnya yang ia tahu pemuda didepannya menyimpan banyak sekali luka.
Sadly, he needed someone to help him.
Sudah lewat tengah malam.Jalanan Kota Hollo terlihat begitu sepi menyisakan beberapa kendaraan yang bisa dihitung dengan jari. Mobil Audi milik Irene Broune masih terparkir tidak jauh dari cafe tadi. Sudah sekitar dua jam ia menunggu, bahkan beberapa tokoh yang ada dijalanan Kota Hollo mulai tutup.Ah, seharusnya pemuda itu berpikir berapa kali untuk meminum bir jika memang toleransi alkoholnya rendah, alhasil tiba-tiba pemuda itu muntah didalam mobil. Merepotkan saja!Malam ini, ibunya tidak pulang ke rumah karena baru saja tadi pagi melakukan peresmian kantor cabangnya di Kota Hollo. Ibunya, Hanna Broune yang sudah berumur akhir tiga puluhan masih berdedikasi sebagai psikolog klinis. Sedangkan ayahnya sudah meninggal sejak empat tahun lalu akibat kecelakaan mobil.Pemuda itu masih belum bangun padahal Irene telah selesai membersihkan l
Beradaptasi dengan lingkungan baru mungkin tidak begitu mudah bagi Irene. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu terus saja menatap keluar jendela kamarnya berharap badai salju segera usai. Hari ini dirinya berencana pergi ke Art Gallery untuk mempersiapkan pameran yang akan diadakan minggu nanti. Sepertinya dia akan terlambat buktinya lima belas menit lalu, rekan kerjanya memberitahu bahwa teman-temannya yang lain sudah berkumpul disana. Sialnya dia tidak melihat perkiraan cuaca hari ini, ibunya bahkan sudah pergi ke kantor terlebih dahulu saat fajar belum menyingsing. Kalau dia tidak datang hari ini ke lokasi pameran, dia sendiri jadi tidak enak sebab dua hari yang lalu sudah absen karena membantu sang ibu mengurusi kantor baru.Setelah beberapa saat pikirannya berkecamuk, ia kemudian memutuskan untuk mengendarai mobilnya menuju Art Gallery Kota Hollo di tengah
Bak rollercoaster, kehidupan memang berjalan naik turun. Bedanya hanya terletak pada bagaimana caranya seseorang untuk menjalaninya, memilih melewati sampai akhir hingga menemukan jalan keluar atau hanya berputar pada porosnya.Lalu bagaimana untuk Reviline Smith? Untuk beberapa orang terkadang mengikuti alur tidak selamanya berakhir buruk tetapi apakah dia akan menyesal kemudian hari karena tidak berjuang sejak awal. Dirinya tidak punya mimpi lagi untuk saat ini padahal dulu semuanya ingin dia gapai tetapi hilang begitu saja ketika harapan itu pergi bersama luka yang sampai sekarang ia rasakan.Reviline sudah lebih dari setengah jam berkutat pada buku yang saat ini sedang ia baca. Sudah menjadi rutinitas baginya ketika ada waktu luang disela-sela pemotretan. Jadwal memotretnya hari ini dilanjutkan jam enam sore setelah jam satu siang tadi selesai sesi pemotretan kedua, saat ini temannya sedang menggantikannya memotret mod
Kelopak matanya mengerjap berkali-kali menyesuaikan cahaya remang yang dipancarkan lampu tidur di atas laci kayu. Kepalanya masih sedikit berdenyut ketika dirinya bangun dari posisi tidurnya. Terdiam sesaat kemudian menyadari bahwa dirinya merasa asing dengan ruangan yang didominasi warna putih yang sekarang ia tempati, jelas sekali ini bukan kamarnya."Kau sudah bangun."Irene tersentak saat menyadari Reviline mengamatinya dari kursi yang terletak tak jauh di pojok kamar. Entah kenapa tiba-tiba potongan kejadian beberapa jam lalu kembali berputar seperti roll film sehingga membuat kepalanya pusing. Sontak gadis Broune itu segera menyibak selimut guna melihat pakaiannya masih terpasang dengan benar atau tidak. Sedangkan Reviline hanya tertawa samar melihat kelakuan gadis didepannya."Hey! Kau tidak melakukan hal-hal anehkan saat aku pingsan ta
Menerawang jauh ke nirwana biru, semburat putih terlihat mengelilingi. Burung-burung berlalu lalang menghiasi jalanan yang sudah bersih dari salju mematuk biji-bijian yang jatuh dari pepohonan.Reviline Smith baru saja keluar dari Coffe Shop sembari menenteng cup coffe Americano yang baru saja ia beli. Setelah memasuki mobilnya yang terparkir di dekat area pertokohan, ia kemudian menatap sinis seseorang yang duduk disamping kursi pengemudi."Bukankah aku sudah menyuruh managermu untuk menjemputmu kemari, Clara."Clara terdiam sembari memperhatikan kukunya yang sudah dipoles kutek berwarna merah mencolok tadi pagi. "Tidak. Aku sudah memberitahukan kepada managerku bahwa dia tidak perlu menjemputku."Reviline meremas setir mobil dengan begitu geram, "Apa yang kau katakan?""Aku hanya ingin menikmati sebuah kencan." Jawabnya tanpa merasa bersalah sama sekali sembari menaikan satu kakin
Irene Broune menatap pantulan dirinya melalui cermin di kamarnya. Saat ini, ia baru saja selesai memoleskan make up ke wajahnya hingga berbeda dari biasanya. Tubuhnya terbalut dress berwarna peach dengan banyak permata berkilau yang panjang dressnya hanya sebatas lutut hingga saat gadis itu berjalan paha mulus miliknya akan terlihat. Rambut pirangnya ia gelung dengan pita kecil disekelilingnya kemudian hanya menyisakan sedikit rambut yang sengaja ia juntai ditiap sisi pelipis.Gadis itu masih heran kenapa Reviline malah memilihnya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya padahal diluar sana masih banyak gadis lain yang sepertinya bersedia menggantikan posisinya. Sekitar tiga puluh menit lalu, Reviline memberitahukan scenario yang akan dijalankan olehnya melalui telepon. Sebenernya dia agak tidak percaya diri bahwa malam ini akan melakukan hal semacam ini padahal dulunya dia aktif sekali berperan di drama musikal ketika
Kelopak matanya mengatup dari beberapa saat lalu ketika Irene menyandarkan tubuhnya di dinding bercat putih. Sekarang sedang dilangsungkannya pameran lukisan yang bertempat di Art Gallery kota Hollo. Para pengunjung dari berbagai kalangan bahkan sudah berdatangan menikmati lukisan yang ditampilkan. Beberapa kelompok pelajar bahkan datang dengan membawa alat tulis ditangan mereka beberapa diantaranya membawa kamera. Orang-orang di kota ini terlihat begitu antusias mengelilingi pameran.Netra biru terangnya kemudian menyorot ke arah Peter selaku wakil ketua penyelenggara pameran yang kini terlihat memasuki ruangan panitia. Menghembuskan napas perlahan karena tubuhnya cukup lelah setelah tadi malam hanya bisa tertidur empat jam saja. Entah kenapa matanya sulit terpejam mengingat bagaimana perlakuan manis Reviline kepadanya."Ah, aku sudah gila." Lirihnya lalu memilih berkeliling seperti pengunjung lainnya.B
Udara terasa begitu dingin ketika Gadis Broune menyusuri trotoar jalanan yang terlihat sepi.Sudah pukul sembilan malam tetapi Irene masih berkeliaran setelah beberapa saat lalu menemui Peter di salah satu kedai dekat tempat tinggalnya. Pertemuannya dengan pemuda tan itu karena karena Peter akan kembali ke kotanya besok pagi. Untuk itu, Peter ingin mentraktir Irene beberapa makanan sebagai salam perpisahan. Ah, ia jadi rindu rumahnya dulu.Meremas slingbagnya perlahan saat melewati jalan yang gelap, sepertinya lampu penerang jalan disini rusak. Harusnya tadi ia menerima ajakan Peter untuk mengantarnya kembali ke rumah.Saat dirinya sedang fokus berjalan, seseorang muncul dari kegelapan dengan jalan yang tertatih. Irene yang melihatnya ingin segera berteriak tetapi percuma saja tidak ada orang lain yang terlihat disekitar sini.Mendengar langkah kaki yang kian mendekat, Irene kemudian
"Tuan muda berhasil kabur."Pria yang berumur awal empat puluhan itu membanting guci yang berada di dekatnya dengan kencang hingga membuat beberapa orang disana kaget. Raut muka tidak suka terpancar jelas dari wajah pria yang kini menatap ke arah anak buahnya dengan marah.Ruangan mewah yang sengaja dibuat kedap suara itu sekarang kondisinya amat mencekam mengingat bahwa Andrew Smith memiliki peran besar disana."Falco!" Ujar Andrew kepada algojonya yang bernama Falco, ia sudah bertahun-tahun bekerja untuknya.Falco melihat ke arah bossnya dengan penuh hormat."Apa yang kalian lakukan? Kenapa menangkap Reviline Smith saja kalian tidak becus!!!" Ucap pria itu yang tak lain ayah kandung Reviline.Anak buahnya saat ini menundukkan
Udara terasa begitu dingin ketika Gadis Broune menyusuri trotoar jalanan yang terlihat sepi.Sudah pukul sembilan malam tetapi Irene masih berkeliaran setelah beberapa saat lalu menemui Peter di salah satu kedai dekat tempat tinggalnya. Pertemuannya dengan pemuda tan itu karena karena Peter akan kembali ke kotanya besok pagi. Untuk itu, Peter ingin mentraktir Irene beberapa makanan sebagai salam perpisahan. Ah, ia jadi rindu rumahnya dulu.Meremas slingbagnya perlahan saat melewati jalan yang gelap, sepertinya lampu penerang jalan disini rusak. Harusnya tadi ia menerima ajakan Peter untuk mengantarnya kembali ke rumah.Saat dirinya sedang fokus berjalan, seseorang muncul dari kegelapan dengan jalan yang tertatih. Irene yang melihatnya ingin segera berteriak tetapi percuma saja tidak ada orang lain yang terlihat disekitar sini.Mendengar langkah kaki yang kian mendekat, Irene kemudian
Kelopak matanya mengatup dari beberapa saat lalu ketika Irene menyandarkan tubuhnya di dinding bercat putih. Sekarang sedang dilangsungkannya pameran lukisan yang bertempat di Art Gallery kota Hollo. Para pengunjung dari berbagai kalangan bahkan sudah berdatangan menikmati lukisan yang ditampilkan. Beberapa kelompok pelajar bahkan datang dengan membawa alat tulis ditangan mereka beberapa diantaranya membawa kamera. Orang-orang di kota ini terlihat begitu antusias mengelilingi pameran.Netra biru terangnya kemudian menyorot ke arah Peter selaku wakil ketua penyelenggara pameran yang kini terlihat memasuki ruangan panitia. Menghembuskan napas perlahan karena tubuhnya cukup lelah setelah tadi malam hanya bisa tertidur empat jam saja. Entah kenapa matanya sulit terpejam mengingat bagaimana perlakuan manis Reviline kepadanya."Ah, aku sudah gila." Lirihnya lalu memilih berkeliling seperti pengunjung lainnya.B
Irene Broune menatap pantulan dirinya melalui cermin di kamarnya. Saat ini, ia baru saja selesai memoleskan make up ke wajahnya hingga berbeda dari biasanya. Tubuhnya terbalut dress berwarna peach dengan banyak permata berkilau yang panjang dressnya hanya sebatas lutut hingga saat gadis itu berjalan paha mulus miliknya akan terlihat. Rambut pirangnya ia gelung dengan pita kecil disekelilingnya kemudian hanya menyisakan sedikit rambut yang sengaja ia juntai ditiap sisi pelipis.Gadis itu masih heran kenapa Reviline malah memilihnya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya padahal diluar sana masih banyak gadis lain yang sepertinya bersedia menggantikan posisinya. Sekitar tiga puluh menit lalu, Reviline memberitahukan scenario yang akan dijalankan olehnya melalui telepon. Sebenernya dia agak tidak percaya diri bahwa malam ini akan melakukan hal semacam ini padahal dulunya dia aktif sekali berperan di drama musikal ketika
Menerawang jauh ke nirwana biru, semburat putih terlihat mengelilingi. Burung-burung berlalu lalang menghiasi jalanan yang sudah bersih dari salju mematuk biji-bijian yang jatuh dari pepohonan.Reviline Smith baru saja keluar dari Coffe Shop sembari menenteng cup coffe Americano yang baru saja ia beli. Setelah memasuki mobilnya yang terparkir di dekat area pertokohan, ia kemudian menatap sinis seseorang yang duduk disamping kursi pengemudi."Bukankah aku sudah menyuruh managermu untuk menjemputmu kemari, Clara."Clara terdiam sembari memperhatikan kukunya yang sudah dipoles kutek berwarna merah mencolok tadi pagi. "Tidak. Aku sudah memberitahukan kepada managerku bahwa dia tidak perlu menjemputku."Reviline meremas setir mobil dengan begitu geram, "Apa yang kau katakan?""Aku hanya ingin menikmati sebuah kencan." Jawabnya tanpa merasa bersalah sama sekali sembari menaikan satu kakin
Kelopak matanya mengerjap berkali-kali menyesuaikan cahaya remang yang dipancarkan lampu tidur di atas laci kayu. Kepalanya masih sedikit berdenyut ketika dirinya bangun dari posisi tidurnya. Terdiam sesaat kemudian menyadari bahwa dirinya merasa asing dengan ruangan yang didominasi warna putih yang sekarang ia tempati, jelas sekali ini bukan kamarnya."Kau sudah bangun."Irene tersentak saat menyadari Reviline mengamatinya dari kursi yang terletak tak jauh di pojok kamar. Entah kenapa tiba-tiba potongan kejadian beberapa jam lalu kembali berputar seperti roll film sehingga membuat kepalanya pusing. Sontak gadis Broune itu segera menyibak selimut guna melihat pakaiannya masih terpasang dengan benar atau tidak. Sedangkan Reviline hanya tertawa samar melihat kelakuan gadis didepannya."Hey! Kau tidak melakukan hal-hal anehkan saat aku pingsan ta
Bak rollercoaster, kehidupan memang berjalan naik turun. Bedanya hanya terletak pada bagaimana caranya seseorang untuk menjalaninya, memilih melewati sampai akhir hingga menemukan jalan keluar atau hanya berputar pada porosnya.Lalu bagaimana untuk Reviline Smith? Untuk beberapa orang terkadang mengikuti alur tidak selamanya berakhir buruk tetapi apakah dia akan menyesal kemudian hari karena tidak berjuang sejak awal. Dirinya tidak punya mimpi lagi untuk saat ini padahal dulu semuanya ingin dia gapai tetapi hilang begitu saja ketika harapan itu pergi bersama luka yang sampai sekarang ia rasakan.Reviline sudah lebih dari setengah jam berkutat pada buku yang saat ini sedang ia baca. Sudah menjadi rutinitas baginya ketika ada waktu luang disela-sela pemotretan. Jadwal memotretnya hari ini dilanjutkan jam enam sore setelah jam satu siang tadi selesai sesi pemotretan kedua, saat ini temannya sedang menggantikannya memotret mod
Beradaptasi dengan lingkungan baru mungkin tidak begitu mudah bagi Irene. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu terus saja menatap keluar jendela kamarnya berharap badai salju segera usai. Hari ini dirinya berencana pergi ke Art Gallery untuk mempersiapkan pameran yang akan diadakan minggu nanti. Sepertinya dia akan terlambat buktinya lima belas menit lalu, rekan kerjanya memberitahu bahwa teman-temannya yang lain sudah berkumpul disana. Sialnya dia tidak melihat perkiraan cuaca hari ini, ibunya bahkan sudah pergi ke kantor terlebih dahulu saat fajar belum menyingsing. Kalau dia tidak datang hari ini ke lokasi pameran, dia sendiri jadi tidak enak sebab dua hari yang lalu sudah absen karena membantu sang ibu mengurusi kantor baru.Setelah beberapa saat pikirannya berkecamuk, ia kemudian memutuskan untuk mengendarai mobilnya menuju Art Gallery Kota Hollo di tengah
Sudah lewat tengah malam.Jalanan Kota Hollo terlihat begitu sepi menyisakan beberapa kendaraan yang bisa dihitung dengan jari. Mobil Audi milik Irene Broune masih terparkir tidak jauh dari cafe tadi. Sudah sekitar dua jam ia menunggu, bahkan beberapa tokoh yang ada dijalanan Kota Hollo mulai tutup.Ah, seharusnya pemuda itu berpikir berapa kali untuk meminum bir jika memang toleransi alkoholnya rendah, alhasil tiba-tiba pemuda itu muntah didalam mobil. Merepotkan saja!Malam ini, ibunya tidak pulang ke rumah karena baru saja tadi pagi melakukan peresmian kantor cabangnya di Kota Hollo. Ibunya, Hanna Broune yang sudah berumur akhir tiga puluhan masih berdedikasi sebagai psikolog klinis. Sedangkan ayahnya sudah meninggal sejak empat tahun lalu akibat kecelakaan mobil.Pemuda itu masih belum bangun padahal Irene telah selesai membersihkan l