Kelopak matanya mengerjap berkali-kali menyesuaikan cahaya remang yang dipancarkan lampu tidur di atas laci kayu. Kepalanya masih sedikit berdenyut ketika dirinya bangun dari posisi tidurnya. Terdiam sesaat kemudian menyadari bahwa dirinya merasa asing dengan ruangan yang didominasi warna putih yang sekarang ia tempati, jelas sekali ini bukan kamarnya.
"Kau sudah bangun."
Irene tersentak saat menyadari Reviline mengamatinya dari kursi yang terletak tak jauh di pojok kamar. Entah kenapa tiba-tiba potongan kejadian beberapa jam lalu kembali berputar seperti roll film sehingga membuat kepalanya pusing. Sontak gadis Broune itu segera menyibak selimut guna melihat pakaiannya masih terpasang dengan benar atau tidak. Sedangkan Reviline hanya tertawa samar melihat kelakuan gadis didepannya.
"Hey! Kau tidak melakukan hal-hal anehkan saat aku pingsan tadi." Tanya Irene was-was.
Menggelengkan kepalanya cepat, pemuda itu kemudian beranjak dari duduknya.
"Tidak boleh mendekat! Mau apa kau?"
Irene segera menutupi seluruh badannya dengan selimut tebal berwarna merah saat Reviline berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Saat ini kondisinya sangat tidak menguntungkan baginya, bagaimana jika pemuda sialan itu hendak melakukan hal-hal aneh apalagi mengetahui bahwa beberapa jam lalu ia sempat ketahuan mengikuti pemuda Smith itu.
Tubuh gadis itu bahkan meremang mengingat perlakuan kasar yang ia dapat. Hingga sisi ranjang yang ia tempati berdenyit, Irene tidak ingin keluar dari balik selimut.
"Apa kau takut?" Tanya pemuda itu.
"Y—aa..." Jawab Irene. Suaranya bahkan terdengar bergetar.
Hening berapa saat membuat Irene meremat selimut yang ia gunakan. Entah apa yang dilakukan pemuda itu diluar sana.
"Apa ada hal lain selain rasa takut setelah apa yang kau lakukan padaku beberapa waktu lalu?" Irene bahkan tidak pernah diperlakukan kasar seperti itu oleh pria lain bahkan ayahnya saja tidak berani.
Terdengar helaan napas berat dari pemuda Smith hingga selimut yang ia gunakan tiba-tiba saja ditarik olehnya membuat wajah sembab Irene terlihat.
"Kau menangis?"
Tidak seperti biasanya, suaranya terdengar rendah tanpa penekanan. Pemuda itu hanya menatapnya tanpa berniat melakukan apa-apa
"Hari ini kau bahkan sudah banyak membuatku menangis, lalu kenapa baru bertanya sekarang? Kau seperti tidak merasa bersalah sama sekali." Lirihnya. Ia benci sekali kepada pemuda sialan di depannya. "Aku bukan gadis cengeng tetapi gadis lain mungkin akan berpikir sama sepertiku."
Irene terdiam ketika jemari Reviline mengelus pipi kananya kemudian menyeka sudut matanya. Ia bahkan tidak menyari bahwa air matanya sudah turun sejak beberapa saat lalu. Perlakuan pemuda Smith itu begitu lembut berbanding terbalik dari sebelum-sebelumnya.
"Maafkan aku."
Mata keduanya bertemu membuat Irene melihat tidak ada kebohongan didalamnya. Raut penyesalan terpancar dari wajah Reviline saat pemuda itu menatapnya sendu.
"Ak—"
Belum sempat ia berbicara, pemuda Smith itu kembali membuatnya tersentak ketika tangannya ditarik dengan lembut hingga kepalanya membentur dada bidang milik Reviline. Masih mencermati apa yang terjadi tetapi dirinya begitu nyaman berada diposisi saat ini. Entah bagaimana, pemuda itu bahkan mengelus rambut pirangnya beberapa kali sampai membuat rasa takut Irene hilang begitu saja. Aroma mint menguar dari tubuh Reviline begitu memabukkan hingga membuat Irene merasa frustasi. Hingga perlahan-lahan kelopak matanya terasa berat ketika pemuda Smith itu membisikan sesuatu ditelinganya. Suaranya begitu samar seperti lagu pengantar tidur hingga membuatnya tidur di pelukan Reviline.
—
Jam menunjukkan angka tiga pagi. Reviline Smith masih tetap terjaga sembari memantik rokok didepan tv yang sengaja tidak ia nyalakan. Sebenarnya dia bukan perokok aktif tetapi ia hanya merokok disaat situasi tertentu. Beberapa jam lalu yang membuatnya begitu frustasi atas apa yang telah ia lakukan kepada Irene Broune, tetangga depan rumahnya. Bagaimana pun, dia masih merasa bersalah tidak seharusnya ia berlaku kasar seperti tadi. Mengingat bagaimana tubuh gadis itu bergetar hebat akibat ulahnya membuatnya sangat menyesal.
Memejamkan matanya beberapa saat lalu memori masa lalu kembali berputar cepat dikepalanya. Teriakan disertai tangisan histeris masih terngiang jelas ditelinganya. Ibunya mencoba memukul ayahnya beberapa kali tetapi tidak bisa tangannya jangkau karena sang ayah menjambak rambut ibunya dengan kuat. Pekikan terdengar saat ayahnya menampar wajah sang ibu beberapa kali sampai terlihat jejak merah di pipi ibunya. Sudut bibirnya bahkan terlihat mengeluarkan darah tetapi ayahnya masih berlaku kasar tanpa ampun. Ibunya menangis kencang tetapi Reviline hanya bisa melihatnya dari celah pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
Pemuda itu menghembuskan napas kasar disertai asap rokok yang keluar dari mulutnya. Memilih merogoh kantong longcoatnya lalu menengguk aspirin. Kepalanya ia sandarkan di sofa sembari melihat notifikasi yang baru saja masuk ke ponselnya.
'JALAN BLOUSE NOMOR 54, KOTA MARLEY.'
Reviline meremas puntung rokoknya yang sudah hampir habis terbakar, tenggorokannya jadi kering sekali. Kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur guna untuk meredakan dahaganya padahal beberapa saat lalu dia sudah menghabiskan dua gelas coffe.
Setelah selesai dengan urusannya, Reviline kembali ke kamarnya. Gadis Broune itu masih terlelap di ranjangnya sejak dua jam yang lalu. Muka sembabnya masih terlihat karena gadis itu banyak menangis tadi padahal dirinya tidak bermaksud membuatnya ketakutan tetapi entah kenapa dirinya malah berbuat sebaliknya.
Kembali duduk di sisi ranjang sambil menatap gadis yang sekarang sedang tidur dengan posisi menyamping ke arahnya. Beberapa saat kemudian ponsel Irene berdering dari kantong jaket berwarna kuning yang tadi Irene pakai.
"Peter?" Ujar pemuda itu ketika melihat nama kontak si penelepon.
"Halo..." Ucap seseorang lelaki diseberang sana ketika teleponnya tersambung. "Ya! Irene, kau dimana? Aku sudah mencoba menghubungimu beberapa kali sejak tadi. Ibumu bilang kalau kau tidak pulang malam ini? Dia panik sekali mencarimu."
Kemudian helaan napas kasar terdengar dari sana. "Aku bahkan sampai berbohong kepada ibumu kalau saat ini kita masih berada di Art Gallery untuk mengerjakan pameran. Sekarang cepat beritahu kepada ku dimana kau sekarang ini!" Cerocos pemuda itu sampai membuat Reviline heran. Memang tadi ia sempat melihat banyak sekali notifikasi yang masuk ke ponsel milik gadis Broune itu.
"Dia sedang berada di rumahku." Jawab Reviline.
"Tu—nggu. Kau siapa?" Tanya lelaki diseberang sana.
"Reviline Smith." Terangnya. "Irene ketiduran di rumahku setelah acara makan malam tadi." Lanjutnya bohong.
"Kau temannya? Lalu apa kalian hanya berdua saja di rumah?"
Reviline tersenyum sinis mendengar pertanyaan lelaki bernama Peter itu.
"Apa kau sepenasaran itu?" Tanyanya sarkas.
"Tentu saja, bagaimana jika Irene dalam bahaya. Aku tidak bisa menjamin bahwa kau tidak akan berbuat yang tidak-tidak kepadanya." Jawab Peter dingin.
Reviline kemudian tertawa. "Aku kekasihnya."
Hening beberapa saat, "Be-narkah? Dia tidak pernah memberitahuku bahwa dia memiliki kekasih."
Reviline kemudian menatap Irene yang masih terlelap. "Tentu saja, bukankah itu sebuah privasi. Lalu kenapa kau sampai sekaget itu? Apa kau memiliki hubungan lain dengan kekasihku?" Tanyanya dingin.
Peter terdiam diseberang sana, "Ti-tidak. Kami hanya berteman, tidak lebih dari itu. Ma—"
"Bukankah aku sudah menjelaskannya dengan begitu jelas. Kau bahkan tidak perlu berlebihan begitu mengkhawatirkan kekasihku. Dia sedang terlelap sekarang jadi berhenti menghubunginya."
Berhenti sejenek, "Aku tidak suka kau terlihat begitu dekat dengan kekasihku. Jadi, harusnya kau tahu batasanmu sampai dimana. Jangan bersikap tidak tahu diri dengan mendekati kekasih orang lain." Sarkasnya tajam sedangkan seseorang disana hanya diam mencermati. Kemudian Reviline memilih memutuskan sambungan teleponnya.
Tangannya mengelus rambut pirang milik Irene dengan lembut. Dia menatap wajah gadis Broune itu, bulu matanya terlihat begitu lentik dengan hidung mungil yang lancip. Bibirnya tipis dengan tahi lalat kecil di sudut bibir kanannya. Kulitnya seputih porselen sangat kontras dengan warna alami rambutnya yang berwarna pirang. Mata Reviline bahkan tak bisa berpaling dari wajah Irene, entah kenapa gadis itu seperti mempunyai magis tersendiri hingga membuat Reviline betah untuk menatapnya.
So beautiful.
—
"Kau tahu, luka ditubuhmu mungkin bisa sembuh tetapi berbeda dengan luka dihatimu. Jika hatimu terluka, sakitnya akan meninggalkan bekas kemudian hilangnya perlu waktu yang lama."Reviline meremang ketika mendapati foto lama keluarganya yang terpampang didinding rumahnya dulu. Pemuda itu membisu padahal banyak kata yang ingin ia lontarkan. Benar, hatinya begitu sakit.
Ketiganya terlihat tersenyum bahagia bahkan Reviline masih ingat, dirinya sempat menangis sebelum sesi foto dimulai akan tetapi ibunya berhasil membujuknya dengan alasan akan dibelikan banyak mainan baru di tokoh mainan paman Sam setelah pemotretan keluarganya selesai.
Irene menatap Reviline dari samping ketika pemuda itu masih terdiam ditempatnya menatap foto keluarga berukuran besar yang terdapat didinding. Sebentar lagi ia akan pulang ke rumahnya bersama Reviline setelah semalaman menginap di rumah milik pemuda itu. Irene tidak ingin membuat ibunya khawatir karena tadi malam ia tidak memberi kabar apapun.
"Tunggu, ayahmu seorang dokter?" Gadis Broune itu terlihat memegang sebuah bingkai foto yang terdapat sosok lelaki berpakaian seragam khas Dokter. Seketika gadis itu tersentak kaget mendapati Reviline membanting bingkai foto yang tadi ia pegang hingga pecah berserakan.
"Reviline, apa yang kau...?" Teriak Irene marah tetapi dirinya segera terdiam mendapati muka pemuda didepannya berubah pucat hingga keringat dingin terlihat disekitar pelipis.
"He-yy! Kau baik-baik saja?" Gadis itu begitu panik sembari menempelkan telapak tangannya di kening Reviline beberapa kali. "Tidak demam. Lalu kenapa wajahmu pucat sekali?"
"Aku ingin pulang." Lirih pemuda didepannya samar hampir tidak bisa didengar oleh Irene.
"Baik-lah, kita pulang." Irene berjalan mengekori Reviline keluar dari rumah yang dulu keluarga Smith tempati.
Pandangannya mengarah kepada punggung didepannya yang begitu kokoh tetapi baginya punggung itu begitu rapuh hingga ingin sekali ia rengkuh.
Menerawang jauh ke nirwana biru, semburat putih terlihat mengelilingi. Burung-burung berlalu lalang menghiasi jalanan yang sudah bersih dari salju mematuk biji-bijian yang jatuh dari pepohonan.Reviline Smith baru saja keluar dari Coffe Shop sembari menenteng cup coffe Americano yang baru saja ia beli. Setelah memasuki mobilnya yang terparkir di dekat area pertokohan, ia kemudian menatap sinis seseorang yang duduk disamping kursi pengemudi."Bukankah aku sudah menyuruh managermu untuk menjemputmu kemari, Clara."Clara terdiam sembari memperhatikan kukunya yang sudah dipoles kutek berwarna merah mencolok tadi pagi. "Tidak. Aku sudah memberitahukan kepada managerku bahwa dia tidak perlu menjemputku."Reviline meremas setir mobil dengan begitu geram, "Apa yang kau katakan?""Aku hanya ingin menikmati sebuah kencan." Jawabnya tanpa merasa bersalah sama sekali sembari menaikan satu kakin
Irene Broune menatap pantulan dirinya melalui cermin di kamarnya. Saat ini, ia baru saja selesai memoleskan make up ke wajahnya hingga berbeda dari biasanya. Tubuhnya terbalut dress berwarna peach dengan banyak permata berkilau yang panjang dressnya hanya sebatas lutut hingga saat gadis itu berjalan paha mulus miliknya akan terlihat. Rambut pirangnya ia gelung dengan pita kecil disekelilingnya kemudian hanya menyisakan sedikit rambut yang sengaja ia juntai ditiap sisi pelipis.Gadis itu masih heran kenapa Reviline malah memilihnya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya padahal diluar sana masih banyak gadis lain yang sepertinya bersedia menggantikan posisinya. Sekitar tiga puluh menit lalu, Reviline memberitahukan scenario yang akan dijalankan olehnya melalui telepon. Sebenernya dia agak tidak percaya diri bahwa malam ini akan melakukan hal semacam ini padahal dulunya dia aktif sekali berperan di drama musikal ketika
Kelopak matanya mengatup dari beberapa saat lalu ketika Irene menyandarkan tubuhnya di dinding bercat putih. Sekarang sedang dilangsungkannya pameran lukisan yang bertempat di Art Gallery kota Hollo. Para pengunjung dari berbagai kalangan bahkan sudah berdatangan menikmati lukisan yang ditampilkan. Beberapa kelompok pelajar bahkan datang dengan membawa alat tulis ditangan mereka beberapa diantaranya membawa kamera. Orang-orang di kota ini terlihat begitu antusias mengelilingi pameran.Netra biru terangnya kemudian menyorot ke arah Peter selaku wakil ketua penyelenggara pameran yang kini terlihat memasuki ruangan panitia. Menghembuskan napas perlahan karena tubuhnya cukup lelah setelah tadi malam hanya bisa tertidur empat jam saja. Entah kenapa matanya sulit terpejam mengingat bagaimana perlakuan manis Reviline kepadanya."Ah, aku sudah gila." Lirihnya lalu memilih berkeliling seperti pengunjung lainnya.B
Udara terasa begitu dingin ketika Gadis Broune menyusuri trotoar jalanan yang terlihat sepi.Sudah pukul sembilan malam tetapi Irene masih berkeliaran setelah beberapa saat lalu menemui Peter di salah satu kedai dekat tempat tinggalnya. Pertemuannya dengan pemuda tan itu karena karena Peter akan kembali ke kotanya besok pagi. Untuk itu, Peter ingin mentraktir Irene beberapa makanan sebagai salam perpisahan. Ah, ia jadi rindu rumahnya dulu.Meremas slingbagnya perlahan saat melewati jalan yang gelap, sepertinya lampu penerang jalan disini rusak. Harusnya tadi ia menerima ajakan Peter untuk mengantarnya kembali ke rumah.Saat dirinya sedang fokus berjalan, seseorang muncul dari kegelapan dengan jalan yang tertatih. Irene yang melihatnya ingin segera berteriak tetapi percuma saja tidak ada orang lain yang terlihat disekitar sini.Mendengar langkah kaki yang kian mendekat, Irene kemudian
"Tuan muda berhasil kabur."Pria yang berumur awal empat puluhan itu membanting guci yang berada di dekatnya dengan kencang hingga membuat beberapa orang disana kaget. Raut muka tidak suka terpancar jelas dari wajah pria yang kini menatap ke arah anak buahnya dengan marah.Ruangan mewah yang sengaja dibuat kedap suara itu sekarang kondisinya amat mencekam mengingat bahwa Andrew Smith memiliki peran besar disana."Falco!" Ujar Andrew kepada algojonya yang bernama Falco, ia sudah bertahun-tahun bekerja untuknya.Falco melihat ke arah bossnya dengan penuh hormat."Apa yang kalian lakukan? Kenapa menangkap Reviline Smith saja kalian tidak becus!!!" Ucap pria itu yang tak lain ayah kandung Reviline.Anak buahnya saat ini menundukkan
December 20, 2015Jemari lentik milik gadis bernama Irene Broune melingkar disekeliling cangkir berwarna tosca berisi segelas coklat panas dari sang ibu, Hanna Broune. Sudah lebih dari satu jam salju pertama turun di Kota Hollo, gadis itu masih dengan setia duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Mata birunya menatap pohon maple yang terletak tidak jauh dari trotoar depan rumahnya, daunnya kini mulai tertutup salju. Ah, sepertinya truk pengeruk salju harus bekerja ekstra mulai besok pagi.Sudah lebih dari tiga hari Irene dan ibunya pindah ke Kota Hollo. Tetapi anehnya ia bahkan belum pernah sekalipun menjumpai tetangga depan rumahnya. Padahal Irene hanya ingin berkenalan atau jika bisa sekalian menjadi teman, karena dia merasa bosan ketika belum mendapat teman di tempat baru ini.Pandangannya tertegun ketika mendapati seorang pemuda jangkung me
Sudah lewat tengah malam.Jalanan Kota Hollo terlihat begitu sepi menyisakan beberapa kendaraan yang bisa dihitung dengan jari. Mobil Audi milik Irene Broune masih terparkir tidak jauh dari cafe tadi. Sudah sekitar dua jam ia menunggu, bahkan beberapa tokoh yang ada dijalanan Kota Hollo mulai tutup.Ah, seharusnya pemuda itu berpikir berapa kali untuk meminum bir jika memang toleransi alkoholnya rendah, alhasil tiba-tiba pemuda itu muntah didalam mobil. Merepotkan saja!Malam ini, ibunya tidak pulang ke rumah karena baru saja tadi pagi melakukan peresmian kantor cabangnya di Kota Hollo. Ibunya, Hanna Broune yang sudah berumur akhir tiga puluhan masih berdedikasi sebagai psikolog klinis. Sedangkan ayahnya sudah meninggal sejak empat tahun lalu akibat kecelakaan mobil.Pemuda itu masih belum bangun padahal Irene telah selesai membersihkan l
Beradaptasi dengan lingkungan baru mungkin tidak begitu mudah bagi Irene. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu terus saja menatap keluar jendela kamarnya berharap badai salju segera usai. Hari ini dirinya berencana pergi ke Art Gallery untuk mempersiapkan pameran yang akan diadakan minggu nanti. Sepertinya dia akan terlambat buktinya lima belas menit lalu, rekan kerjanya memberitahu bahwa teman-temannya yang lain sudah berkumpul disana. Sialnya dia tidak melihat perkiraan cuaca hari ini, ibunya bahkan sudah pergi ke kantor terlebih dahulu saat fajar belum menyingsing. Kalau dia tidak datang hari ini ke lokasi pameran, dia sendiri jadi tidak enak sebab dua hari yang lalu sudah absen karena membantu sang ibu mengurusi kantor baru.Setelah beberapa saat pikirannya berkecamuk, ia kemudian memutuskan untuk mengendarai mobilnya menuju Art Gallery Kota Hollo di tengah
"Tuan muda berhasil kabur."Pria yang berumur awal empat puluhan itu membanting guci yang berada di dekatnya dengan kencang hingga membuat beberapa orang disana kaget. Raut muka tidak suka terpancar jelas dari wajah pria yang kini menatap ke arah anak buahnya dengan marah.Ruangan mewah yang sengaja dibuat kedap suara itu sekarang kondisinya amat mencekam mengingat bahwa Andrew Smith memiliki peran besar disana."Falco!" Ujar Andrew kepada algojonya yang bernama Falco, ia sudah bertahun-tahun bekerja untuknya.Falco melihat ke arah bossnya dengan penuh hormat."Apa yang kalian lakukan? Kenapa menangkap Reviline Smith saja kalian tidak becus!!!" Ucap pria itu yang tak lain ayah kandung Reviline.Anak buahnya saat ini menundukkan
Udara terasa begitu dingin ketika Gadis Broune menyusuri trotoar jalanan yang terlihat sepi.Sudah pukul sembilan malam tetapi Irene masih berkeliaran setelah beberapa saat lalu menemui Peter di salah satu kedai dekat tempat tinggalnya. Pertemuannya dengan pemuda tan itu karena karena Peter akan kembali ke kotanya besok pagi. Untuk itu, Peter ingin mentraktir Irene beberapa makanan sebagai salam perpisahan. Ah, ia jadi rindu rumahnya dulu.Meremas slingbagnya perlahan saat melewati jalan yang gelap, sepertinya lampu penerang jalan disini rusak. Harusnya tadi ia menerima ajakan Peter untuk mengantarnya kembali ke rumah.Saat dirinya sedang fokus berjalan, seseorang muncul dari kegelapan dengan jalan yang tertatih. Irene yang melihatnya ingin segera berteriak tetapi percuma saja tidak ada orang lain yang terlihat disekitar sini.Mendengar langkah kaki yang kian mendekat, Irene kemudian
Kelopak matanya mengatup dari beberapa saat lalu ketika Irene menyandarkan tubuhnya di dinding bercat putih. Sekarang sedang dilangsungkannya pameran lukisan yang bertempat di Art Gallery kota Hollo. Para pengunjung dari berbagai kalangan bahkan sudah berdatangan menikmati lukisan yang ditampilkan. Beberapa kelompok pelajar bahkan datang dengan membawa alat tulis ditangan mereka beberapa diantaranya membawa kamera. Orang-orang di kota ini terlihat begitu antusias mengelilingi pameran.Netra biru terangnya kemudian menyorot ke arah Peter selaku wakil ketua penyelenggara pameran yang kini terlihat memasuki ruangan panitia. Menghembuskan napas perlahan karena tubuhnya cukup lelah setelah tadi malam hanya bisa tertidur empat jam saja. Entah kenapa matanya sulit terpejam mengingat bagaimana perlakuan manis Reviline kepadanya."Ah, aku sudah gila." Lirihnya lalu memilih berkeliling seperti pengunjung lainnya.B
Irene Broune menatap pantulan dirinya melalui cermin di kamarnya. Saat ini, ia baru saja selesai memoleskan make up ke wajahnya hingga berbeda dari biasanya. Tubuhnya terbalut dress berwarna peach dengan banyak permata berkilau yang panjang dressnya hanya sebatas lutut hingga saat gadis itu berjalan paha mulus miliknya akan terlihat. Rambut pirangnya ia gelung dengan pita kecil disekelilingnya kemudian hanya menyisakan sedikit rambut yang sengaja ia juntai ditiap sisi pelipis.Gadis itu masih heran kenapa Reviline malah memilihnya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya padahal diluar sana masih banyak gadis lain yang sepertinya bersedia menggantikan posisinya. Sekitar tiga puluh menit lalu, Reviline memberitahukan scenario yang akan dijalankan olehnya melalui telepon. Sebenernya dia agak tidak percaya diri bahwa malam ini akan melakukan hal semacam ini padahal dulunya dia aktif sekali berperan di drama musikal ketika
Menerawang jauh ke nirwana biru, semburat putih terlihat mengelilingi. Burung-burung berlalu lalang menghiasi jalanan yang sudah bersih dari salju mematuk biji-bijian yang jatuh dari pepohonan.Reviline Smith baru saja keluar dari Coffe Shop sembari menenteng cup coffe Americano yang baru saja ia beli. Setelah memasuki mobilnya yang terparkir di dekat area pertokohan, ia kemudian menatap sinis seseorang yang duduk disamping kursi pengemudi."Bukankah aku sudah menyuruh managermu untuk menjemputmu kemari, Clara."Clara terdiam sembari memperhatikan kukunya yang sudah dipoles kutek berwarna merah mencolok tadi pagi. "Tidak. Aku sudah memberitahukan kepada managerku bahwa dia tidak perlu menjemputku."Reviline meremas setir mobil dengan begitu geram, "Apa yang kau katakan?""Aku hanya ingin menikmati sebuah kencan." Jawabnya tanpa merasa bersalah sama sekali sembari menaikan satu kakin
Kelopak matanya mengerjap berkali-kali menyesuaikan cahaya remang yang dipancarkan lampu tidur di atas laci kayu. Kepalanya masih sedikit berdenyut ketika dirinya bangun dari posisi tidurnya. Terdiam sesaat kemudian menyadari bahwa dirinya merasa asing dengan ruangan yang didominasi warna putih yang sekarang ia tempati, jelas sekali ini bukan kamarnya."Kau sudah bangun."Irene tersentak saat menyadari Reviline mengamatinya dari kursi yang terletak tak jauh di pojok kamar. Entah kenapa tiba-tiba potongan kejadian beberapa jam lalu kembali berputar seperti roll film sehingga membuat kepalanya pusing. Sontak gadis Broune itu segera menyibak selimut guna melihat pakaiannya masih terpasang dengan benar atau tidak. Sedangkan Reviline hanya tertawa samar melihat kelakuan gadis didepannya."Hey! Kau tidak melakukan hal-hal anehkan saat aku pingsan ta
Bak rollercoaster, kehidupan memang berjalan naik turun. Bedanya hanya terletak pada bagaimana caranya seseorang untuk menjalaninya, memilih melewati sampai akhir hingga menemukan jalan keluar atau hanya berputar pada porosnya.Lalu bagaimana untuk Reviline Smith? Untuk beberapa orang terkadang mengikuti alur tidak selamanya berakhir buruk tetapi apakah dia akan menyesal kemudian hari karena tidak berjuang sejak awal. Dirinya tidak punya mimpi lagi untuk saat ini padahal dulu semuanya ingin dia gapai tetapi hilang begitu saja ketika harapan itu pergi bersama luka yang sampai sekarang ia rasakan.Reviline sudah lebih dari setengah jam berkutat pada buku yang saat ini sedang ia baca. Sudah menjadi rutinitas baginya ketika ada waktu luang disela-sela pemotretan. Jadwal memotretnya hari ini dilanjutkan jam enam sore setelah jam satu siang tadi selesai sesi pemotretan kedua, saat ini temannya sedang menggantikannya memotret mod
Beradaptasi dengan lingkungan baru mungkin tidak begitu mudah bagi Irene. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu terus saja menatap keluar jendela kamarnya berharap badai salju segera usai. Hari ini dirinya berencana pergi ke Art Gallery untuk mempersiapkan pameran yang akan diadakan minggu nanti. Sepertinya dia akan terlambat buktinya lima belas menit lalu, rekan kerjanya memberitahu bahwa teman-temannya yang lain sudah berkumpul disana. Sialnya dia tidak melihat perkiraan cuaca hari ini, ibunya bahkan sudah pergi ke kantor terlebih dahulu saat fajar belum menyingsing. Kalau dia tidak datang hari ini ke lokasi pameran, dia sendiri jadi tidak enak sebab dua hari yang lalu sudah absen karena membantu sang ibu mengurusi kantor baru.Setelah beberapa saat pikirannya berkecamuk, ia kemudian memutuskan untuk mengendarai mobilnya menuju Art Gallery Kota Hollo di tengah
Sudah lewat tengah malam.Jalanan Kota Hollo terlihat begitu sepi menyisakan beberapa kendaraan yang bisa dihitung dengan jari. Mobil Audi milik Irene Broune masih terparkir tidak jauh dari cafe tadi. Sudah sekitar dua jam ia menunggu, bahkan beberapa tokoh yang ada dijalanan Kota Hollo mulai tutup.Ah, seharusnya pemuda itu berpikir berapa kali untuk meminum bir jika memang toleransi alkoholnya rendah, alhasil tiba-tiba pemuda itu muntah didalam mobil. Merepotkan saja!Malam ini, ibunya tidak pulang ke rumah karena baru saja tadi pagi melakukan peresmian kantor cabangnya di Kota Hollo. Ibunya, Hanna Broune yang sudah berumur akhir tiga puluhan masih berdedikasi sebagai psikolog klinis. Sedangkan ayahnya sudah meninggal sejak empat tahun lalu akibat kecelakaan mobil.Pemuda itu masih belum bangun padahal Irene telah selesai membersihkan l