Menerawang jauh ke nirwana biru, semburat putih terlihat mengelilingi. Burung-burung berlalu lalang menghiasi jalanan yang sudah bersih dari salju mematuk biji-bijian yang jatuh dari pepohonan.
Reviline Smith baru saja keluar dari Coffe Shop sembari menenteng cup coffe Americano yang baru saja ia beli. Setelah memasuki mobilnya yang terparkir di dekat area pertokohan, ia kemudian menatap sinis seseorang yang duduk disamping kursi pengemudi.
"Bukankah aku sudah menyuruh managermu untuk menjemputmu kemari, Clara."Clara terdiam sembari memperhatikan kukunya yang sudah dipoles kutek berwarna merah mencolok tadi pagi. "Tidak. Aku sudah memberitahukan kepada managerku bahwa dia tidak perlu menjemputku."
Reviline meremas setir mobil dengan begitu geram, "Apa yang kau katakan?"
"Aku hanya ingin menikmati sebuah kencan." Jawabnya tanpa merasa bersalah sama sekali sembari menaikan satu kakinya ke kaki kirinya memperlihatkan paha mulusnya yang hanya terbalut dress minim dengan stocking pendek. "Bukankah aku sudah menunggu sangat lama untuk mendapatkan waktu luang agar bisa pergi denganmu. Ayolah, bagaimana dengan tiket VVIP-nya?" Rayu Clara.
"Aku sudah memiliki kekasih." Ujar Reviline lalu menatap Clara penuh intimidasi. Sedangkan Clara hanya tertawa menanggapi.
"Kau tidak pandai berbohong. Jangan membuat banyak alibi, aku tidak akan mudah tertipu begitu saja." Clara merangkul lengan Reviline dari samping untungnya kaca mobilnya berwarna hitam sehingga orang-orang diluar sana tidak bisa melihat apa yang sedang mereka lakukan.
"Dasar manipulatif." Sarkas Reviline sembari menyingkirkan tangan Clara yang masih merangkulnya.
"Kau tahukan bagaimana seorang Clara. Aku akan percaya jika memang kau mau memperkenalkannya kepadaku. Aku ingin tahu sejauh mana seleramu, melebihi diriku atau malah sebaliknya." Ujarnya dengan penuh percaya diri.
"Lalu setelah itu terjadi apa yang akan kau lakukan?" Tanya Reviline setelah Clara membenarkan posisi duduknya.
"Haha... Kau tipeku sekali. Simple saja jika memang benar dia melebihi ekspektasiku, aku akan mundur." Jawabnya tenang.
Reviline menatap dia sinis, "Benarkah? Sepertinya tidak mudah bagimu untuk menyerah begitu saja. Ayolah Clara, aku tau bagaimana liciknya dirimu. Kau bahkan membuat Jacob membenciku setelah kau meninggalkannya begitu saja."
Clara kemudian tertawa dibuat-buat lalu memegang tangan Reviline yang masih menggenggam setir mobil. "Dia yang bodoh dengan begitu tergila-gila padaku. Aku bahkan muak sekali melihat wajahnya."
Kepala Reviline berdenyut menghadapi Clara. Otak perempuan ini sepertinya sudah gila sampai membuatnya tidak bisa berpikir logis. "Baiklah, aku akan mengenalkan kekasihku nanti tetapi setelah itu berhenti mengangguku dan kau tidak boleh menyentuhnya sama sekali." Ujarnya tajam.
"Kita lihat saja." Tertarik perempuan itu sembari menyinggungkan senyum licik.
—Irene terlihat panik sembari merogoh kantong jaketnya yang tadi malam ia kenakan. Pagi ini ia baru menyadari dompet miliknya hilang padahal jelas-jelas malam tadi dia menaruhnya dikantong jaket.
"Mom, melihat dompet miliku tidak?" Tanyanya ketika mendekat ke arah ibunya yang sekarang sedang asik menonton tv. Hari ini ibunya menghabiskan waktu liburnya yang hanya berlaku satu hari karena besok harus bekerja kembali.
"Tidak. Sepertinya kau lupa meletakkannya dimana. Kau sudah mencarinya dikamarmu belum?" Tanya ibunya khawatir.
Irene terlihat begitu frustasi memikirkan hilangnya dompet miliknya. "Sudah tetapi masih tidak bisa kutemukan."
"Mungkin tertinggal di Art Gallery tadi malam."
"What?..."
Irene mencoba mencerna perkataan ibunya. Apa maksudnya dengan Art Gallery?
"Peter bilang tadi malam kalian menginap di Art Gallery karena masih mengerjakan sesuatu untuk pameran nanti." Ucap ibunya lalu menyeruput teh yang sudah hangat.
'Pe-ter, bilang begitu?' Ujar Irene dalam hati.
"Coba kau tanya Peter apa dia melihat dompet milikmu. Apa perlu Mommy yang menghubungi—"
"Tidak! Ti-tidak perlu. Aku akan menghubunginya sendiri, Mom." Cegah Irene panik.
Kemudian Irene segera berjalan kembali ke kamarnya sebelum ibunya menatapnya heran. Dia harus banyak berterimakasih kepada Peter karena sudah membantunya berbohong kepada ibunya tadi malam.
Mendudukan dirinya diranjang sembari mengacak rambutnya kasar. Kepalanya pusing mengingat bahwa terdapat barang-barang berharganya di dompet miliknya yang hilang. Bagaimana jika dompetnya berhasil ditemukan orang lain.
"Argghhh....."
Teriaknya frustasi.
Sampai pintu kamarnya diketuk beberapa kali disusul suara ibunya dari balik pintu.
"Irene, ada seorang pemuda yang dateng mencarimu. Cepatlah turun kebawah." Ucap ibunya.
Apakah Peter yang datang?
Dengan cepat Irene menuruni anak tangga untuk sampai di ruang tamu yang berada dilantai bawah. Sesampainya di sana ia melihat punggung tegap milik seorang pemuda kini tengah duduk membelakanginya.
"Peter?" Sapanya.
Tetapi alangkah terkejutnya dia ketika menyadari bahwa bukan Peter yang ada disana melainkan Reviline.
"K-kau..."
Pemuda Smith itu menatap Irene yang sekarang hanya terbalut kaos tipis berwarna putih dengan rambut sedikit acak-acakan. Gadis itu kemudian duduk di sofa sebrang sana sembari menatap Reviline malas.
"Mau apa kau datang kemari?" Tanyanya ketus.
Reveline kemudian terlihat mengeluarkan dompet cream milik Irene. "Aku ingin mengembalikan barang yang sepertinya milikmu."
"Kau menemukannya dimana?" Tanya Irene senang ketika dompetnya kembali.
Tiba-tiba ibunya datang membawa nampan dengan satu gelas coffe dengan beberapa cemilan diatasnya.
"Bukannya dompet ini punyamu, Irene. Kau bahkan mencarinya tadi." Ibunya melihat dompet yang Reviline pegang.
"I-iya Mom. Se-pertinya terjatuh tadi pagi sebelum aku masuk ke dalam rumah. Jadi Reviline menemukannya trotoar depan." Bohong Irene sedangkan Reviline tertawa samar ketika Irene memelototinya.
"Oh, jadi namamu Reviline." Tanya ibunya lalu duduk disamping Irene.
"Perkenalkan saya Reviline Smith, cucu dari nenek Ellen yang tinggal dirumah sebrang sana." Ucapnya sopan.
"Wah, aku sudah akrab dengan nenekmu. Memang dia bilang memiliki cucu laki-laki tapi tidak terbayangkan bahwa cucunya sangat tampan." Ucap ibunya dengan antusias.
"Ya! Apa yang kau bicarakan, Mom." Ujar Irene kesal setelah mengetahui bahwa ibunya begitu menyukai Reviline. "Peter bahkan lebih tampan." Dumalnya pelan tetapi masih terdengar oleh keduanya.
"Panggil saja bibi Hanna, kau boleh datang kemari sesukamu. Bibi akan senang jika Irene mempunyai teman baru di tempat ini." Ibunya menatap Reviline dengan begitu ramah.
"Mom, aku bukan anak introvert begitu. Kenapa malah menyuruhnya sering-sering datang kemari. Nantinya juga aku akan mempunyai banyak teman baru disini." Ucapnya kesal sepertinya merasa terpojokkan.
"Baiklah, terserah kau saja. Yang jelas, kau harus bersikap baik kepada tamu kita ini." Ancam ibunya setelah itu memilih pergi ke dapur.
Irene kemudian melihat Reviline yang kini tengah menikmati secangkir coffe buatan ibunya.
"Apa kau sibuk malam nanti?" Tanya pemuda Smith itu sampai ke intinya.
Meremas jemarinya perlahan, "Tidak. Ada apa?" Tanyanya begitu penasaran.
Reveline lalu menatap Irene sesaat. "Bisakah kau membantuku? Untuk kali ini saja."
Irene tercengang kaget mendengar penuturan pemuda di depannya. "Wow. Apa aku salah dengar tadi?"
Pemuda Smith itu masih tetap tenang terhadap respon Irene. "Kau menolongku. Bukankah sudah jelas?" Ucapnya penuh penekanan.
"Wah? Luar biasa. Kau baru saja meminta bantuan kepadaku." Ledek Irene lalu menatap Reviline konyol. Sedangkan pemuda itu memutar bola matanya malas, ayolah berhenti bermain-main.
"Apa yang bisa aku bantu?" Tanya Irene serius.
"Bisakah kau membantuku dengan cara berpura-pura menjadi kekasihku?" Tutur Reviline hingga membuat Irene tercengang kaget.
"APA!!"
Yang benar saja, Reviline Smith baru saja menyuruhnya untuk menjadi kekasihnya. Walaupun semata-mata itu hanya sebuah kebohongan tetapi tetap saja bukankah itu hal gila.
"Ak—"
"Hanya berpura-pura sampai batas waktu tertentu. Saat ini aku sangat membutuhkanmu untuk suatu kondisi yang tidak terduga." Jelas pemuda Smith itu.
Terdiam sesaat, "Apa yang akan aku dapat setelah itu? Maksudku aku tidak ingin melakukan hal yang tidak begitu menguntungkan untuk diriku sendiri."
Pemuda itu lalu menyeruput coffenya lagi. "Tentu, aku akan menuruti permintaanmu setelah itu asal kau mau membantuku."
Irene berpikir sejenak, "Menarik. Baiklah, aku akan membantumu." Setujunya. "Asal, tepati janjimu setelah itu."
Reveline tersenyum sinis, lalu memanggukan kepalanya perlahan.
"Lalu apa yang akan aku lakukan malam nanti?" Tanya Irene penasaran.
Pemuda itu lalu menyerahkan sebuah undangan berwarna pink dengan tinta emas didalamnya. Sepertinya acara formal karena designnya begitu cantik.
"Undangan acara makan malam di suatu perusahaan. Kau harus berdandan cantik untuk malam ini oleh karena itu aku sudah menyediakan ini untukmu." Ujarnya sembari menyerahkan tiga tas kantong dengan satu box berisi baju dan perlengkapan untuk malam nanti.
"Bukannya ini terlalu berlebihan? Kau bahkan sudah menyiapkannya sebanyak ini." Ucap Irene.
"Tidak. Buatlah dirimu berbeda malam ini. Sekitar jam tujuh nanti aku akan datang lagi untuk menjemputmu kemari." Reviline lalu mengambil ponsel miliknya yang terdapat di kantong celananya.
Irene kemudian terlonjak kaget ketika ponselnya berbunyi.
"Lagi, aku sudah menyimpan nomormu di ponselku ketika kau tertidur malam kemarin. Jadi jika ada perlu apapun tinggal kabari saja." Ucap pemuda Smith itu tanpa merasa bersalah sama sekali.
"YA!!!! BERANI SEKALI KAU MENGOTAK ATIK PONSEL MILIK ORANG LAIN!"
Teriaknya ketika pemuda Smith itu berjalan keluar dari rumahnya sambil tersenyum penuh kemenangan.
Shit, he's crazy boy!Irene Broune menatap pantulan dirinya melalui cermin di kamarnya. Saat ini, ia baru saja selesai memoleskan make up ke wajahnya hingga berbeda dari biasanya. Tubuhnya terbalut dress berwarna peach dengan banyak permata berkilau yang panjang dressnya hanya sebatas lutut hingga saat gadis itu berjalan paha mulus miliknya akan terlihat. Rambut pirangnya ia gelung dengan pita kecil disekelilingnya kemudian hanya menyisakan sedikit rambut yang sengaja ia juntai ditiap sisi pelipis.Gadis itu masih heran kenapa Reviline malah memilihnya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya padahal diluar sana masih banyak gadis lain yang sepertinya bersedia menggantikan posisinya. Sekitar tiga puluh menit lalu, Reviline memberitahukan scenario yang akan dijalankan olehnya melalui telepon. Sebenernya dia agak tidak percaya diri bahwa malam ini akan melakukan hal semacam ini padahal dulunya dia aktif sekali berperan di drama musikal ketika
Kelopak matanya mengatup dari beberapa saat lalu ketika Irene menyandarkan tubuhnya di dinding bercat putih. Sekarang sedang dilangsungkannya pameran lukisan yang bertempat di Art Gallery kota Hollo. Para pengunjung dari berbagai kalangan bahkan sudah berdatangan menikmati lukisan yang ditampilkan. Beberapa kelompok pelajar bahkan datang dengan membawa alat tulis ditangan mereka beberapa diantaranya membawa kamera. Orang-orang di kota ini terlihat begitu antusias mengelilingi pameran.Netra biru terangnya kemudian menyorot ke arah Peter selaku wakil ketua penyelenggara pameran yang kini terlihat memasuki ruangan panitia. Menghembuskan napas perlahan karena tubuhnya cukup lelah setelah tadi malam hanya bisa tertidur empat jam saja. Entah kenapa matanya sulit terpejam mengingat bagaimana perlakuan manis Reviline kepadanya."Ah, aku sudah gila." Lirihnya lalu memilih berkeliling seperti pengunjung lainnya.B
Udara terasa begitu dingin ketika Gadis Broune menyusuri trotoar jalanan yang terlihat sepi.Sudah pukul sembilan malam tetapi Irene masih berkeliaran setelah beberapa saat lalu menemui Peter di salah satu kedai dekat tempat tinggalnya. Pertemuannya dengan pemuda tan itu karena karena Peter akan kembali ke kotanya besok pagi. Untuk itu, Peter ingin mentraktir Irene beberapa makanan sebagai salam perpisahan. Ah, ia jadi rindu rumahnya dulu.Meremas slingbagnya perlahan saat melewati jalan yang gelap, sepertinya lampu penerang jalan disini rusak. Harusnya tadi ia menerima ajakan Peter untuk mengantarnya kembali ke rumah.Saat dirinya sedang fokus berjalan, seseorang muncul dari kegelapan dengan jalan yang tertatih. Irene yang melihatnya ingin segera berteriak tetapi percuma saja tidak ada orang lain yang terlihat disekitar sini.Mendengar langkah kaki yang kian mendekat, Irene kemudian
"Tuan muda berhasil kabur."Pria yang berumur awal empat puluhan itu membanting guci yang berada di dekatnya dengan kencang hingga membuat beberapa orang disana kaget. Raut muka tidak suka terpancar jelas dari wajah pria yang kini menatap ke arah anak buahnya dengan marah.Ruangan mewah yang sengaja dibuat kedap suara itu sekarang kondisinya amat mencekam mengingat bahwa Andrew Smith memiliki peran besar disana."Falco!" Ujar Andrew kepada algojonya yang bernama Falco, ia sudah bertahun-tahun bekerja untuknya.Falco melihat ke arah bossnya dengan penuh hormat."Apa yang kalian lakukan? Kenapa menangkap Reviline Smith saja kalian tidak becus!!!" Ucap pria itu yang tak lain ayah kandung Reviline.Anak buahnya saat ini menundukkan
December 20, 2015Jemari lentik milik gadis bernama Irene Broune melingkar disekeliling cangkir berwarna tosca berisi segelas coklat panas dari sang ibu, Hanna Broune. Sudah lebih dari satu jam salju pertama turun di Kota Hollo, gadis itu masih dengan setia duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Mata birunya menatap pohon maple yang terletak tidak jauh dari trotoar depan rumahnya, daunnya kini mulai tertutup salju. Ah, sepertinya truk pengeruk salju harus bekerja ekstra mulai besok pagi.Sudah lebih dari tiga hari Irene dan ibunya pindah ke Kota Hollo. Tetapi anehnya ia bahkan belum pernah sekalipun menjumpai tetangga depan rumahnya. Padahal Irene hanya ingin berkenalan atau jika bisa sekalian menjadi teman, karena dia merasa bosan ketika belum mendapat teman di tempat baru ini.Pandangannya tertegun ketika mendapati seorang pemuda jangkung me
Sudah lewat tengah malam.Jalanan Kota Hollo terlihat begitu sepi menyisakan beberapa kendaraan yang bisa dihitung dengan jari. Mobil Audi milik Irene Broune masih terparkir tidak jauh dari cafe tadi. Sudah sekitar dua jam ia menunggu, bahkan beberapa tokoh yang ada dijalanan Kota Hollo mulai tutup.Ah, seharusnya pemuda itu berpikir berapa kali untuk meminum bir jika memang toleransi alkoholnya rendah, alhasil tiba-tiba pemuda itu muntah didalam mobil. Merepotkan saja!Malam ini, ibunya tidak pulang ke rumah karena baru saja tadi pagi melakukan peresmian kantor cabangnya di Kota Hollo. Ibunya, Hanna Broune yang sudah berumur akhir tiga puluhan masih berdedikasi sebagai psikolog klinis. Sedangkan ayahnya sudah meninggal sejak empat tahun lalu akibat kecelakaan mobil.Pemuda itu masih belum bangun padahal Irene telah selesai membersihkan l
Beradaptasi dengan lingkungan baru mungkin tidak begitu mudah bagi Irene. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu terus saja menatap keluar jendela kamarnya berharap badai salju segera usai. Hari ini dirinya berencana pergi ke Art Gallery untuk mempersiapkan pameran yang akan diadakan minggu nanti. Sepertinya dia akan terlambat buktinya lima belas menit lalu, rekan kerjanya memberitahu bahwa teman-temannya yang lain sudah berkumpul disana. Sialnya dia tidak melihat perkiraan cuaca hari ini, ibunya bahkan sudah pergi ke kantor terlebih dahulu saat fajar belum menyingsing. Kalau dia tidak datang hari ini ke lokasi pameran, dia sendiri jadi tidak enak sebab dua hari yang lalu sudah absen karena membantu sang ibu mengurusi kantor baru.Setelah beberapa saat pikirannya berkecamuk, ia kemudian memutuskan untuk mengendarai mobilnya menuju Art Gallery Kota Hollo di tengah
Bak rollercoaster, kehidupan memang berjalan naik turun. Bedanya hanya terletak pada bagaimana caranya seseorang untuk menjalaninya, memilih melewati sampai akhir hingga menemukan jalan keluar atau hanya berputar pada porosnya.Lalu bagaimana untuk Reviline Smith? Untuk beberapa orang terkadang mengikuti alur tidak selamanya berakhir buruk tetapi apakah dia akan menyesal kemudian hari karena tidak berjuang sejak awal. Dirinya tidak punya mimpi lagi untuk saat ini padahal dulu semuanya ingin dia gapai tetapi hilang begitu saja ketika harapan itu pergi bersama luka yang sampai sekarang ia rasakan.Reviline sudah lebih dari setengah jam berkutat pada buku yang saat ini sedang ia baca. Sudah menjadi rutinitas baginya ketika ada waktu luang disela-sela pemotretan. Jadwal memotretnya hari ini dilanjutkan jam enam sore setelah jam satu siang tadi selesai sesi pemotretan kedua, saat ini temannya sedang menggantikannya memotret mod
"Tuan muda berhasil kabur."Pria yang berumur awal empat puluhan itu membanting guci yang berada di dekatnya dengan kencang hingga membuat beberapa orang disana kaget. Raut muka tidak suka terpancar jelas dari wajah pria yang kini menatap ke arah anak buahnya dengan marah.Ruangan mewah yang sengaja dibuat kedap suara itu sekarang kondisinya amat mencekam mengingat bahwa Andrew Smith memiliki peran besar disana."Falco!" Ujar Andrew kepada algojonya yang bernama Falco, ia sudah bertahun-tahun bekerja untuknya.Falco melihat ke arah bossnya dengan penuh hormat."Apa yang kalian lakukan? Kenapa menangkap Reviline Smith saja kalian tidak becus!!!" Ucap pria itu yang tak lain ayah kandung Reviline.Anak buahnya saat ini menundukkan
Udara terasa begitu dingin ketika Gadis Broune menyusuri trotoar jalanan yang terlihat sepi.Sudah pukul sembilan malam tetapi Irene masih berkeliaran setelah beberapa saat lalu menemui Peter di salah satu kedai dekat tempat tinggalnya. Pertemuannya dengan pemuda tan itu karena karena Peter akan kembali ke kotanya besok pagi. Untuk itu, Peter ingin mentraktir Irene beberapa makanan sebagai salam perpisahan. Ah, ia jadi rindu rumahnya dulu.Meremas slingbagnya perlahan saat melewati jalan yang gelap, sepertinya lampu penerang jalan disini rusak. Harusnya tadi ia menerima ajakan Peter untuk mengantarnya kembali ke rumah.Saat dirinya sedang fokus berjalan, seseorang muncul dari kegelapan dengan jalan yang tertatih. Irene yang melihatnya ingin segera berteriak tetapi percuma saja tidak ada orang lain yang terlihat disekitar sini.Mendengar langkah kaki yang kian mendekat, Irene kemudian
Kelopak matanya mengatup dari beberapa saat lalu ketika Irene menyandarkan tubuhnya di dinding bercat putih. Sekarang sedang dilangsungkannya pameran lukisan yang bertempat di Art Gallery kota Hollo. Para pengunjung dari berbagai kalangan bahkan sudah berdatangan menikmati lukisan yang ditampilkan. Beberapa kelompok pelajar bahkan datang dengan membawa alat tulis ditangan mereka beberapa diantaranya membawa kamera. Orang-orang di kota ini terlihat begitu antusias mengelilingi pameran.Netra biru terangnya kemudian menyorot ke arah Peter selaku wakil ketua penyelenggara pameran yang kini terlihat memasuki ruangan panitia. Menghembuskan napas perlahan karena tubuhnya cukup lelah setelah tadi malam hanya bisa tertidur empat jam saja. Entah kenapa matanya sulit terpejam mengingat bagaimana perlakuan manis Reviline kepadanya."Ah, aku sudah gila." Lirihnya lalu memilih berkeliling seperti pengunjung lainnya.B
Irene Broune menatap pantulan dirinya melalui cermin di kamarnya. Saat ini, ia baru saja selesai memoleskan make up ke wajahnya hingga berbeda dari biasanya. Tubuhnya terbalut dress berwarna peach dengan banyak permata berkilau yang panjang dressnya hanya sebatas lutut hingga saat gadis itu berjalan paha mulus miliknya akan terlihat. Rambut pirangnya ia gelung dengan pita kecil disekelilingnya kemudian hanya menyisakan sedikit rambut yang sengaja ia juntai ditiap sisi pelipis.Gadis itu masih heran kenapa Reviline malah memilihnya untuk berpura-pura menjadi kekasihnya padahal diluar sana masih banyak gadis lain yang sepertinya bersedia menggantikan posisinya. Sekitar tiga puluh menit lalu, Reviline memberitahukan scenario yang akan dijalankan olehnya melalui telepon. Sebenernya dia agak tidak percaya diri bahwa malam ini akan melakukan hal semacam ini padahal dulunya dia aktif sekali berperan di drama musikal ketika
Menerawang jauh ke nirwana biru, semburat putih terlihat mengelilingi. Burung-burung berlalu lalang menghiasi jalanan yang sudah bersih dari salju mematuk biji-bijian yang jatuh dari pepohonan.Reviline Smith baru saja keluar dari Coffe Shop sembari menenteng cup coffe Americano yang baru saja ia beli. Setelah memasuki mobilnya yang terparkir di dekat area pertokohan, ia kemudian menatap sinis seseorang yang duduk disamping kursi pengemudi."Bukankah aku sudah menyuruh managermu untuk menjemputmu kemari, Clara."Clara terdiam sembari memperhatikan kukunya yang sudah dipoles kutek berwarna merah mencolok tadi pagi. "Tidak. Aku sudah memberitahukan kepada managerku bahwa dia tidak perlu menjemputku."Reviline meremas setir mobil dengan begitu geram, "Apa yang kau katakan?""Aku hanya ingin menikmati sebuah kencan." Jawabnya tanpa merasa bersalah sama sekali sembari menaikan satu kakin
Kelopak matanya mengerjap berkali-kali menyesuaikan cahaya remang yang dipancarkan lampu tidur di atas laci kayu. Kepalanya masih sedikit berdenyut ketika dirinya bangun dari posisi tidurnya. Terdiam sesaat kemudian menyadari bahwa dirinya merasa asing dengan ruangan yang didominasi warna putih yang sekarang ia tempati, jelas sekali ini bukan kamarnya."Kau sudah bangun."Irene tersentak saat menyadari Reviline mengamatinya dari kursi yang terletak tak jauh di pojok kamar. Entah kenapa tiba-tiba potongan kejadian beberapa jam lalu kembali berputar seperti roll film sehingga membuat kepalanya pusing. Sontak gadis Broune itu segera menyibak selimut guna melihat pakaiannya masih terpasang dengan benar atau tidak. Sedangkan Reviline hanya tertawa samar melihat kelakuan gadis didepannya."Hey! Kau tidak melakukan hal-hal anehkan saat aku pingsan ta
Bak rollercoaster, kehidupan memang berjalan naik turun. Bedanya hanya terletak pada bagaimana caranya seseorang untuk menjalaninya, memilih melewati sampai akhir hingga menemukan jalan keluar atau hanya berputar pada porosnya.Lalu bagaimana untuk Reviline Smith? Untuk beberapa orang terkadang mengikuti alur tidak selamanya berakhir buruk tetapi apakah dia akan menyesal kemudian hari karena tidak berjuang sejak awal. Dirinya tidak punya mimpi lagi untuk saat ini padahal dulu semuanya ingin dia gapai tetapi hilang begitu saja ketika harapan itu pergi bersama luka yang sampai sekarang ia rasakan.Reviline sudah lebih dari setengah jam berkutat pada buku yang saat ini sedang ia baca. Sudah menjadi rutinitas baginya ketika ada waktu luang disela-sela pemotretan. Jadwal memotretnya hari ini dilanjutkan jam enam sore setelah jam satu siang tadi selesai sesi pemotretan kedua, saat ini temannya sedang menggantikannya memotret mod
Beradaptasi dengan lingkungan baru mungkin tidak begitu mudah bagi Irene. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu terus saja menatap keluar jendela kamarnya berharap badai salju segera usai. Hari ini dirinya berencana pergi ke Art Gallery untuk mempersiapkan pameran yang akan diadakan minggu nanti. Sepertinya dia akan terlambat buktinya lima belas menit lalu, rekan kerjanya memberitahu bahwa teman-temannya yang lain sudah berkumpul disana. Sialnya dia tidak melihat perkiraan cuaca hari ini, ibunya bahkan sudah pergi ke kantor terlebih dahulu saat fajar belum menyingsing. Kalau dia tidak datang hari ini ke lokasi pameran, dia sendiri jadi tidak enak sebab dua hari yang lalu sudah absen karena membantu sang ibu mengurusi kantor baru.Setelah beberapa saat pikirannya berkecamuk, ia kemudian memutuskan untuk mengendarai mobilnya menuju Art Gallery Kota Hollo di tengah
Sudah lewat tengah malam.Jalanan Kota Hollo terlihat begitu sepi menyisakan beberapa kendaraan yang bisa dihitung dengan jari. Mobil Audi milik Irene Broune masih terparkir tidak jauh dari cafe tadi. Sudah sekitar dua jam ia menunggu, bahkan beberapa tokoh yang ada dijalanan Kota Hollo mulai tutup.Ah, seharusnya pemuda itu berpikir berapa kali untuk meminum bir jika memang toleransi alkoholnya rendah, alhasil tiba-tiba pemuda itu muntah didalam mobil. Merepotkan saja!Malam ini, ibunya tidak pulang ke rumah karena baru saja tadi pagi melakukan peresmian kantor cabangnya di Kota Hollo. Ibunya, Hanna Broune yang sudah berumur akhir tiga puluhan masih berdedikasi sebagai psikolog klinis. Sedangkan ayahnya sudah meninggal sejak empat tahun lalu akibat kecelakaan mobil.Pemuda itu masih belum bangun padahal Irene telah selesai membersihkan l