Ngamar 5

"Loh, memangnya kenapa, Mas? Apa kamu selingkuh sehingga takut jika aku mengetahui perselingkuhan kamu dengan menerima telepon dari para na sa bah kamu? Atau ... jangan - jangan ada

na sa bah kamu yang nggak bisa bayar ci ci lan terus ngajak kamu e na- e na, Mas?" tanyaku berusaha untuk bersikap tenang meskipun jan tung ku berdebar keras menunggu jawaban dari mas Dedi.

Tapi jawaban mas Dedi sungguh di luar dugaan. Kukira dia akan menyangkal tapi ternyata dia tertawa terbahak-bahak.

"Hah, ba yar hu tang pake e na - en a? Aku saja tidak terpikirkan ke sana. Bisa rugi dong Rat, kalau para na sa bah memb a yar hu ta ng bukan dengan du it," ujar mas Dedi.

Aku mengerutkan kening.

'Kok ucapan nya beda banget dengan isi chat yang kubaca kemarin? Jangan - jangan dia tahu kalau aku sudah membaca pesannya, dan bahkan dia tahu jika aku semalam mengikuti nya. Sehingga sekarang dia bersikap tenang dan berusaha mengelabui ku,' batinku.

"Wah, wah, jadi kamu berpikiran buruk tentang aku, Rat? Kamu kan tahu kalau tidak ada seorang perempuan manapun yang secantik kamu.

Dan karena pikiran kamu itu, kamu jadi cemburu ya? Tenang saja aku tidak akan berselingkuh di belakang kamu. Aku setia kok. Aku masih ingat dengan janji ku pada orang tuamu untuk selalu membahagiakanmu. Jadi kamu jangan mikir macam- macam ya? Biar aku bekerja dengan tenang," ujar mas Dedi sambil membelai pipiku.

'Wah, akal - akalan apalagi yang sedang dimainkan suamiku. Baiklah, kemarin aku begitu gegabah mengikuti nya tanpa memikirkan rencana masak - masak. Tapi sekarang aku tidak akan terburu-buru.'

Aku akhirnya tersenyum dan menghela napas panjang.

"Maaf kalau aku terlalu cemburu dan over thingking, Mas. Tapi aku begitu karena takut kehilangan kamu. Apalagi kalau aku pernah melihat postingan di sosmed kalau ada orang yang berhutang tapi bayarnya pakai 'itu'," ujarku mengalah lebih dulu.

"Ratna, Ratna, aku tidak akan menduakan kamu. Ya sudah, aku makan dulu lalu berangkat kerja na gih ut ang. Do'ain ya semua na sa bah mau ba yar ut angnya biar aku lancar ngasih ua ng ke kamu," ujar mas Dedi, dan aku menganggukkan kepala.

Beberapa saat suasana hening. Hanya terdengar suara sendok dan piring yang beradu. Meskipun aku merasa tidak selera makan, namun kupaksa juga untuk makan. Karena aku tidak mau anakku kekurangan nutrisi.

Ting.

Mas Dedi membalik letak sendok nya diatas piring yang telah kosong. Rupanya dia sudah selesai makan.

"Uhm, Mas. Kalau aku bagaimana kalau aku memberikan masukan tentang pekerjaan kamu?" tanyaku saat melihat mas Dedi bersiap keluar dan memakai jaket levisnya.

"Hm, iya. Boleh saja. Apa saran dari mu, Rat?"

Aku terdiam. Merasa ragu untuk mengatakan saranku. Masalahnya saranku dilaksanakan atau tidak, tidak bisa menutupi fakta jika mas Dedi sudah ber

zi na. Tapi aku juga masih ragu benar kah mas Dedi menduakanku karena aku tidak mempunyai buktinya.

"Bagaimana kalau kamu bekerja yang lain, Mas. Tidak usah meminjamkan u t ang pada na sabah. Kita jualan saja. Kata kamu masakanku enak. Bagaimana kalau aku jualan sarapan saja? Nasi kuning, gorengan, aneka lauk matang? Kan aku bisa memasak semuanya?" tanyaku hati - hati.

Seketika wajah mas Dedi berubah.

"Tidak. Kamu kan istriku. Aku tidak akan membiarkan istriku bekerja untuk membantu perekonomian keluarga kita. Aku kan laki - laki dan sebagai tulang punggung keluarga, selagi aku sehat, aku akan mencari nafkah untuk kita. Memangnya kenapa sih kalau aku bekerja sebagai debt col e ct t or?" tanya mas Dedi.

"Aku cuma enggak sreg saja. Aku lebih senang dengan pekerjaan kamu dulu, Mas."

"Hm, pekerjaan dulu sebelum di PHK, cuma kuli pabrik dan ga jinya cuma sesuai UMR. Terikat kontrak dan nggak bisa libur semauku. Kalau min ja mkan u a ng, duitnya lebih banyak. Percayalah, kalau para na sa bah bisa ba yar tepat waktu, kita bisa membe li mobil walapun bekas. Kamu tenang saja ya," ujar mas Dedi sambil berjalan ke pintu depan. Aku yang belum puas, mengikuti nya.

"Tapi, Mas, bagaimana kalau para nasabah kamu tidak usah didatangi setiap hari? Tapi pakai sistem tra ns fer saja. Kamu kan enggak perlu capek mendatangi satu per satu rumah mereka untuk mena gih ci ci lan?" tawar ku lagi.

"Hm, enggak bisa, Yang. Apa kamu tahu, mena gih hu ta ng itu susah. Wong mas datengin mereka saja, mereka masih bisa ngeles dan nggak mau ba yar, apalagi kalau cuma dichat. Hm, chat dariku bisa - bisa malah jamuran dan lumutan, Rat. Sudah ya, kamu tidak usah khawatir, kamu tenang saja di rumah. Jangan mikir aneh - aneh. Tugas kamu hanya mendoakan dan mendukung ku saja," ujar Mas Dedi mencium kening ku.

Aku sebenarnya merasa risih. Ji jik juga membayangkan bi b ir mas Dedi yang telah men ci um perempuan lain. Huft.

Setelah motor mas Dedi tidak terlihat lagi, aku memutuskan untuk menelepon Agung, adik kandung ku, yang seorang perawat sebuah rumah sakit swasta.

"Halo, assalamu'alaikum, Mbak, tumben telepon, ada apa nih?!"

"Waalaikumsalam. Eh kamu nggak lagi kerja kan?! Duh, mbak lagi jenuh dan sepertinya mas Dedi selingkuh dengan nasabahnya. Kemarin akan kulabrak, eh rencana ku malah gagal. Kamu jangan cerita hal ini ke ayah bunda ya. Aku cuma bingung apa yang harus kulakukan, Gung," ujarku nyerocos panjang lebar, menumpahkan segala unek-unek.

Hening sejenak. Mungkin Agung pun bingung hendak memberikan masukan. Karena dia belum menikah.

"Hm, kalau suami kamu selingkuh, setahuku yang terbaik jangan labrak merka deh, Mbak. Tapi pancing mas Dedi lagi agar kembali padamu, lalu..."

"Hah, enak saja. Aku enggak mau ya kalau berbagi suami!" sahutku tegas.

Next?