Siang ini Nalini baru saja selesai menemani dan mengawasi para murid TK yang menunggu jemputan dari keluarga. Setelah semua murid pulang waktunya Nalini bersih-bersih ruangan memasak agar rapi dan jauh dari kuman untuk digunakan di kemudian hari.Ponselnya berbunyi, Nalini menghentikan aktivitasnya sejenak lalu mengambil ponselnya di saku blazzernya. Melihat nama ibunya terpampang membuat Nalini terkejut. Tidak biasanya sang ibu menghubunginya nika tidak ada hal yang mendesak. Apakah ada kabar yang tidak mengenakkan terjadi? Apakah ada suatu hal yang baru dan membuat ayahnya marah lagi? Itulah beberapa hal yang selalu membebani pikiran Nalini. "Hallo, ibu," Nalini menerima panggilan telepon tersebut. "Nak, apakah kau sibuk siang ini?" tanya sang ibu. "Tidak bu, sebentar lagi aku pulang kerja. Apakah ada suatu hal yang ingin ibu sampaikan padaku?" tanya Nalini hati-hati. "Ya. Aku ingin bertemu denganmu, Nak. Bisakah kita bertemu?" tanya sang ibu lagi."Tentu saja, Bu. Aku akan sa
Megantara sedang mengikuti rapat intern di salah satu meeting room hotelnya. Dia mengamati gerak gerik Niko yang sepertinya sangat tidak fokus. Pikiran pria itu menerawang dan tangannya memutar-mutar pena yang ia pegang. "Pembahasan lebih lanjut dan keputusannya saya umumkan saat rapat selanjutnya. Untuk kali ini saya cukupkan dulu. Instruksi saya untuk kalian, sekarang kalian bisa mempersiapkan keperluan yang sudah menjadi tanggung jawab kalian masing-masing saja,"Semua anggota yang ikut rapat segera kembali ke tempat kerjanya masing-masing. Kini tinggal tersisa Megantara dan Niko di dalam ruangan tersebut. Megantara sedang menatap Niko dengan penuh selidik. Sedang memikirkan apa pria di hadapannya itu? Seperti memikirkan hal yang bisa menyebabkan dunia runtuh saja. Sampai-sampai dia tidak sadar bahwa rapat sudah selesai. "Ehm.. ehm..," Megantara berdehem dengan sedikit kencang. Niko akhirnya tersadar dan terkejut mengamati bahwa ruangan sudah sepi. "Kemana yang lainnya?" Tanya
Nalini mendengar ada keributan di depan. Semua pegawai restoran dan chef penasaran dan akhirnya keluar dari dapur untuk menyaksikan apa yang terjadi. Seorang gadis sedang memegang pisau steak yang berukuran kecil tapi tajam. Sedangkan pria di depannya hanya berdiri tegang."Apa kau memutuskanku karena kau bosan denganku dan berselingkuh? Tunjukkan padaku gadis mana yang kau sukai. Tunjukkan padaku siapa yang bisa membuatmu berpaling dariku," teriak gadis itu sambil tetap mengarahkan pisau itu pada pergelangan tangannya sendiri. "Inilah salah satu alasan aku sudah muak denganmu. Kau terlalu emosional. Kau selalu merasa menjadi korban jika kau sedang bermasalah dengan seseorang. Aku sudah lelah bersabar. Tapi jujur aku tidak pernah berselingkuh darimu," sang pria didepannya menjawab dengan nada gugup. Dia sebenarnya malu karena banyak orang yang kini memperhatikan mereka. Mereka tentu saja menjadi pusat perhatian. Tapi belum ada orang yang berani untuk menghentikan aksi perempuan itu.
Nalini menduga jika Megantara saat ini menangis. Dia ingin melepaskan pelukannya tapi dicegah oleh Megantara yang semakin mengeratkan pelukannya. "Tunggu dulu, biarkan aku memelukmu seperti ini," kata Megantara. Tangannya menghapus bulir air mata yang memang menggenangi matanya. Pria itu memang menangis seperti dugaan Nalini. Nalini menghirup aroma tubuh Megantara dalam-dalam. Siapa yang tidak betah dan tak nyaman berada dalam kehangatan ini?"Maafkan aku," kata Megantara lagi. "Mengapa kau meminta maaf? Kau tidak berbuat salah sama sekali," jawab Nalini. "Melihatmu terluka seperti ini membuatku merasa tidak berguna karena tak bisa menjaga dan melindungimu," nada bicara Megantara begitu pelan dan penuh penyesalan. "Ini bukan salahmu. Aku yang tidak hati-hati. Aku hanya berpikir untuk mencegah hal yang lebih buruk terjadi. Oh ya, aku baru ingat. Bagaimana dengan gadis itu sekarang?" Pelukan Nalini terlepas. Dia menatap Megantara dengan khawatir. "Niko masih menahannya di restoran
"Lepas, lepaskan aku!" Pinta Nalini sambil menepuk-nepuk punggung Megantara. Tapi Megantara tidak menghiraukan dan tetap berjalan. Semua mata memandang ke arah mereka. "Pak, lepaskan. Pasti orang-orang akan berpikiran buruk tentang kita," kata Nalini dengan suara lirih. "Biarkan saja, aku tidak peduli. Kau tidak menuruti perintahku untuk beristirahat di rumah sampai lenganmu pulih. Jadi terimalah akibatnya," kata Megantara. Pria itu terus berjalan tanpa mendengarkan protes Nalini sampai mereka di depan mobil Megantara. Megantara memasukkan Nalini ke dalam mobil dan diapun ikut masuk. Duduk di kursi kemudi. "Aku akan mengantarmu pulang," kata Megantara dengan nada tegas. "Tapi aku masih memakai seragamku," kata Nalini menunjuk baju koki yang masih melekat di tubuhnya. "Kau bisa membawanya lagi saat kau sudah pulih dan kembali bekerja," jawab Megantara. "Aku sudah tidak apa-apa, kau tidak perlu berlebihan seperti ini," kata Nalini lagi-lagi membujuk Megantara. "Kau akan kenapa-k
Bobby memutuskan untuk memberitahu Starla perihal Nalini. Dia tau ini tak mudah baginya. Tapi hati kecilnya ingin Starla bahagia."Nalini adalah kakak dari mendiang istri Megantara. Dan sepertinya Megantara belum mengetahuinya," kata Bobby mengawali cerita. Satu kalimat dari Bobby bisa membuat Starla membelalakkan matanya. Ini informasi bombastis yang tidak ia sangka-sangka. "Kau serius? Atau hanya bercanda?" Starla mencoba memastikan kembali. "Untuk apa aku bercanda? Tidak ada untungnya untukku. Aku sudah payah mencari informasi ini. Sampai harus membuntutinya setiap hari," kata Bobby. "Lalu Nalini sudah mengetahui hal ini?" Tanya Starla lagi. Dia tertarik untuk mengorek informasi lebih dalam. "Kurasa dia sudah mengetahuinya," kata Bobby."Tapi apa untungnya untukku? Berhubungan dengan mantan dari saudara juga bukan sebuah masalah," kata Starla kembali lesu. "Menurutmu, untuk apa Nalini bersusah payah menyembunyikan fakta ini dari Megantara jika tidak ada masalah dibaliknya?" B
Nalini terkesiap, tatapan mata Megantara begitu tajam dan menuntut. Detik berikutnya bibir Megantara sudah berada di pipi Nalini. Tangan Megantarapun melingkar di pinggang Nalini. Kemudian kecupannyapun beralih ke telinga Nalini. Membuat Nalini bergidik geli. Nalini memegang pundak Megantara dan berusaha mendorong secara perlahan namun tenaga Nalini tak sekuat itu. Megantara justru melanjutkan aksinya mengecup leher Nalini. Nalini memejamkan mata. Tentu saja ada gelenyar aneh yang muncul dan ia rasakan dari sentuhan Megantara. "Hentikan, ini geli," Nalini tak kuat menahan geli sehingga tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. Respon yang tak disangka-sangka oleh Megantara. Tentu saja hal itu membuat Megantara berhenti. Ditatapnya Nalini yang masih tertawa sambil mengusap leher bekas kecupannya. "Kau ini, mengapa tidak bisa menanggapinya dengan romantis? Harusnya kau mendesah atau menahan nafas dan menunggu langkahku selanjutnya," protes Megantara kesal. Karena adegan romantis dan menu
"Hey, sebenarnya kau punya trik apa? Mengapa kau bisa mendapatkan cinta Pak Megantara?" tanya Vero saat dia sedang memasak di dapur. Nalini berada tepat di sampingnya dan melakukan aktivitas yang sama. "Tidak ada trik apa-apa," jawab Nalini singkat. "Tidak mungkin. Lalu waktu itu saat aku bertanya padamu mengapa kau mengelak? Kau seolah ingin menutupi hubunganmu dengannya," tambah Vero lagi. Entah mengapa kali ini mereka terlihat akrab. Tidak ada nada sinis dan tinggi dari Vero. "Sejujurnya. Aku merasa tidak percaya diri jika orang lain mengetahui status hubungan kami. Menjadi kekasihnya adalah hal yang berat. Aku tidak ingin membuatnya malu," jawab Nalini sambil pikirannya terisi dengan wajah tampan Megantara. "Lalu jika kau tidak percaya diri dan takut dia malu, untuk apa kau menerimanya? Itu seperti kau sudah tau bahwa ada kebakaran tapi kau malah masuk ke dalam api," kata Vero sambil tangannya tetap lihai memasukkan bumbu-bumbu ke dalam wajannya. "Karena pesonanya begitu meng
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N
Niko berlari menuju ke kamar Starla saat mendengar Mona memanggil namanya dengan berteriak. Starla tergeletak tak berdaya di lantai. Di sekelilingnya ada obat yang bertaburan tak beraturan. Mona menduga bahwa Starla sengaja mengkonsumsi obat secara berlebihan karena ingin mengakhiri hidupnya. Impiannya untuk menikah dengan orang yang ia cintai pupus. Lalu ia justru dihamili oleh pria lain. Niko menggendong Starla lalu berlari membawa adiknya itu ke mobil. Ibu Starla hanya bisa merapalkan doa. Semoga tidak terjadi hal buruk pada anaknya dan calon cucunya. Dia ikut masuk ke dalam mobil bersama Niko dan juga Mona. Starla segera mendapat pertolongan medis sesampainya di rumah sakit, beruntunglah Starla karena belum terlambat untuk menyelamatkan nyawanya dan juga bayi yang ada di dalam kandungannya. "Harusnya aku mati saja," keluh Starla saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan sudah sadarkan diri. Niko tertawa mencemooh, "Kau pikir dengan bunuh diri urusannya akan selesai?
Nalini merasa bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memang tidak terbiasa memanggil Megantara dengan namanya saja atau sebutan lain. Selalu dengan sebutan Pak. Dulu saat masih berpacaranpun dia kesulitan dan tidak biasa memanggil dengan sebutan tidak formal. Sivia terkekeh melihat ekspresi Nalini. Megantara tak menolong sama sekali. Dia sedang berkutat pada makanannya yang sebetulnya sama sekali tidak penting karena tidak ada rasanya bagi lidah pria itu. "Kau bisa memanggilnya dengan sebutan kak, mas, atau sayang," ujar ibu mertuanya. "Maaf, aku belum terbiasa," jawab Nalini sambil menggeleng pelan. "Tara, menurutmu istrimu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Ajarilah dia," goda sang ayah. Megantara terlihat berpikir lalu menatap Nalini dengan tatapan yang sulit diartikan. Nalini paling tidak bisa ditatap dengan intens seperti itu jadi dia menunduk. "Aku terserah saja, pilihan ketiga juga tidak buruk," jawab Megantara dengan nada datar. Nalini buru-buru me
Nalini baru saja selesai membersihkan dirinya. Badannya sangat lelah karena seharian berdiri menjadi ratu sehari. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan mendapati Megantara sudah tertidur. Dia menatap Megantara agak lama. Pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Akan jadi seperti apa hubungan mereka kedepannya. Nalini tiba-tiba takut, berada di sampingnya dalam kondisi tak dicintai namun dibenci pasti akan sangat sulit. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus menjalaninya. Takdir menuntunnya untuk bisa pasrah dan menerima. Nalini berjalan ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Megantara. Memiringkan tubuhnya membelakangi Megantara lalu menarik selimutnya sampai menutupi sebagian wajahnya. Itu yang bisa ia lakukan sekarang karena Nalini sangat membutuhkan tidur nyenyak. Keesokan harinya, Megantara terbangun lebih dahulu dan melihat Nalini masih tertidur pulas di sampingnya. Kini giliran Megantara yang menatap lekat wajah gadis polos yang kini menjadi istrinya. Tersirat rasa lela