Nalini terkesiap, tatapan mata Megantara begitu tajam dan menuntut. Detik berikutnya bibir Megantara sudah berada di pipi Nalini. Tangan Megantarapun melingkar di pinggang Nalini. Kemudian kecupannyapun beralih ke telinga Nalini. Membuat Nalini bergidik geli. Nalini memegang pundak Megantara dan berusaha mendorong secara perlahan namun tenaga Nalini tak sekuat itu. Megantara justru melanjutkan aksinya mengecup leher Nalini. Nalini memejamkan mata. Tentu saja ada gelenyar aneh yang muncul dan ia rasakan dari sentuhan Megantara. "Hentikan, ini geli," Nalini tak kuat menahan geli sehingga tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. Respon yang tak disangka-sangka oleh Megantara. Tentu saja hal itu membuat Megantara berhenti. Ditatapnya Nalini yang masih tertawa sambil mengusap leher bekas kecupannya. "Kau ini, mengapa tidak bisa menanggapinya dengan romantis? Harusnya kau mendesah atau menahan nafas dan menunggu langkahku selanjutnya," protes Megantara kesal. Karena adegan romantis dan menu
"Hey, sebenarnya kau punya trik apa? Mengapa kau bisa mendapatkan cinta Pak Megantara?" tanya Vero saat dia sedang memasak di dapur. Nalini berada tepat di sampingnya dan melakukan aktivitas yang sama. "Tidak ada trik apa-apa," jawab Nalini singkat. "Tidak mungkin. Lalu waktu itu saat aku bertanya padamu mengapa kau mengelak? Kau seolah ingin menutupi hubunganmu dengannya," tambah Vero lagi. Entah mengapa kali ini mereka terlihat akrab. Tidak ada nada sinis dan tinggi dari Vero. "Sejujurnya. Aku merasa tidak percaya diri jika orang lain mengetahui status hubungan kami. Menjadi kekasihnya adalah hal yang berat. Aku tidak ingin membuatnya malu," jawab Nalini sambil pikirannya terisi dengan wajah tampan Megantara. "Lalu jika kau tidak percaya diri dan takut dia malu, untuk apa kau menerimanya? Itu seperti kau sudah tau bahwa ada kebakaran tapi kau malah masuk ke dalam api," kata Vero sambil tangannya tetap lihai memasukkan bumbu-bumbu ke dalam wajannya. "Karena pesonanya begitu meng
Nalini mencoba mengatur nafas perlahan. Dia tutupi rasa gugupnya dari Megantara. Pembicaraan yang mengarah pada masa lalu mereka membuat Nalini memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut."Apa kau mengetahui dengan pasti alasan gadis yang hendak dijodohkan denganmu itu pergi?" Tanya Nalini. "Tidak. Dan aku tidak peduli dengan alasannya," jawab Megantara. Raut wajahnya begitu keras. "Lalu bagaimana jika alasannya bukan karena kau terlalu buruk sehingga dia menolakmu. Tapi karena ada hal lain yang melatarbelakanginya?" Tanya Nalini lagi. "Terserah apa alasan gadis itu yang jelas gadis itu adalah seorang pengecut, pecundang. Jika dia memiliki alasan, mengapa dia tidak berani mengungkapkan dengan jujur. Dia malah lari dan aku membencinya," kata Megantara. Nalini tak bisa berkata apa-apa lagi. Sebenci itukah Megantara padanya? Bagaimana nasibnya kelak jika pria itu mengetahui gadis yang dibencinya kini justru sedang bersanding dengannya. Megantara menggenggam tangan Nalini, "Kau ad
Megantara tersadar saat mendengar kata-kata Sivia di sampingnya, senyumnya mengembang. Nalini yang menatap ke arahnyapun ikut tersenyum. Jarak mereka tinggal satu meter. Sudah saatnya Megantara mengulurkan tangannya untuk diraih oleh sang kekasih. "Kau cantik sekali malam ini, sayang," kata Megantara berbisik. "Kau juga tampan seperti biasanya," jawab Nalini. Meskipun sambil tersipu karena dia masih belum terbiasa dalam memuji sang kekasih yang sebetulnya punya segudang alasan untuk dipuji. "Ikutlah denganku sebentar," kata Megantara sambil menggandeng Nalini di sebelah kanannya dan tetap menggandeng Sivia di sebelah kirinya. Benar-benar pemandangan yang manis saat dilihat dari sudut manapun. "Ayah, ibu," panggil Megantara pada kedua orangtuanya yang baru saja mengobrol dengan kerabat mereka. Mereka berdua menoleh dengan serempak lalu tersenyum ke arah Nalini. "Aku ingin memperkenalkan Nalini secara resmi meskipun sebetulnya ibu dan ayah sudah mengenalnya," kata Megantara. Nali
Megantara mengartikan kalimat sang mertua sebagai kalimat penolakan. Pria yang sudah dianggapnya sebagai ayahnya itu tak merestui hubungannya dengan Nalini. Tapi mau bagaimanapun dia ingin tau alasannya. "Ayah tidak bisa memberikanku restu?" tanya Megantara memastikan. "Tidak jika dengan gadis di sampingmu itu," kalimat dari sang ayah mertua membuat suasana berubah menegang. Tamu di sana sudah banyak yang pulang. Tapi sebagian masih berada di sana dan mendengar secara langsung percakapan tersebut. Nalini melepaskan genggaman tangannya pada Megantara dan berjalan mundur. Ibu Megantara yang merasakan hawa yang tak mengenakkan langsung memberi isyarat pada Mona dan Niko untuk bisa membawa Sivia keluar dari sini karena obrolannya bukanlah untuk didengar oleh anak seusianya. Semua mata tertuju pada Megantara, "Apa alasan ayah tidak menyetujui hubunganku dengan Nalini?" "Apakah kau sudah mencari tau latar belakang keluarganya dengan baik?" tanya ayah mertua Megantara. Pertanyaan itu me
Ingatan Megantara kembali ke kejadian beberapa tahun yang lalu. "Pertunangan anak kita terpaksa dibatalkan," kata Ayah Nalini saat dia sedang berada di kediaman keluarga besar Megantara. "Apa yang terjadi?" tanya Ayah Megantara. Megantara yang baru datang dari kantor ikut bergabung di ruang tamu. Sang ibu juga ikut duduk di sana mendampingi sang ayah."Anakku memilih untuk pergi dari rumah. Pergi ke Swiss mengejar cita-citanya yang omong kosong itu," kata ayah Nalini dengan nada kesal dan marah. "Apa aku harus menyusul kesana untuk membawanya pulang?" tanya Megantara. Ayahnya hampir menyetujui saran dari Megantara. Tapi ditolak mentah-mentah oleh ayah Nalini. "Tidak perlu repot-repot untuk membujuknya. Anak itu sangat keras kepala. Percuma saja. Lagipula aku juga sudah tidak menganggapnya sebagai anakku lagi," kata-kata ayah Nalini begitu frontal. "Undangan pertunangan sudah diedarkan. Jika dibatalkan apakah tidak berbahaya untuk reputasi kita?" Tanya ayah Megantara. "Harusnya
"Pak, Pak Megantara," panggil seseorang membuat Megantara membuka matanya. Dia merentangkan tubuhnya yang begitu pegal dan kaku. Lalu mencoba duduk. Semalaman dia enggan pulang ke rumah. Tidurpun sulit. Dia hanya merenung di dalam ruangan kantornya kemudian secara tak sengaja tertidur saking lelahnya. Dia melirik arloji yang masih melingkar di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Oh sudah kesiangan rupanya. Megantara menatap seseorang yang berdiri di hadapannya. "Maafkan saya karena lancang membangunkan Anda tuan," kata kepala chef sambil membungkuk."Tidak masalah. Aku justru harus berterima kasih karena jika kau tidak kemari maka aku akan terlambat menyelesaikan agenda kerjaku hari ini," Megantara melepas dasinya. Sepertinya setelah ini dia harus mandi. "Tuan, ada yang ingin saya bicarakan," kata kepala Chef dengan penuh kehati-hatian. Megantara mengerutkan alis. Dia juga heran sepagi ini kepala chef sudah datang menemuinya. "Ada apa?" Tanya Megantara
"Apa maksudmu? Kau ingin pergi kemana?" Balas sang ibu dari seberang. "Ke sebuah tempat. Ibu tidak perlu tau. Dan kali ini ibu tidak perlu membantuku lagi. Aku akan berusaha untuk diriku sendiri. Ibu tidak perlu khawatir," kata Nalini sambil menahan tangis. "Nak, ayo kita bertemu. Kau dimana sekarang?" tanya sang ibu. "Aku harus pergi sekarang, Bu. Maaf tidak bisa menemuimu. Akan semakin sulit bagiku untuk pergi jika aku bertemu denganmu. Maafkan aku, Bu. Tak pernah bisa jadi anak yang baik untuk ibu," kata Nalini. "Siapa yang mengatakan bahwa kau bukan anak baik? Kau anak baik. Kau anak kebanggaanku," jawab ibu. Nalini menggeleng meskipun sang ibu tak bisa melihatnya, "Aku anak pembangkang. Tidak pernah menuruti perintah ibu dan ayah. Maafkan aku."Nalini buru-buru menutup telepon karena dia sudah tak sanggup untuk menahan tangisannya. Isak tangisnya kini tumpah. Dia tak bisa membendung lagi genangan air di pelupuk matanya. Dia tak peduli jika supir taksi melirik dari kaca spion