Mobil Megantara sudah sampai di pelataran rumah kontrakan Nalini. Megantara keluar dari mobil dan berjalan ke arah pintu Nalini dan membukakan. Nalini keluar dari mobil dengan perlahan dan sebelum dia sempat berjalan meninggalkan Megantara, kedua tangannya telah diraih oleh pria tampan itu. "Beristirahatlah. Kau pasti sangat lelah sehingga mengalami emosi sesaat. Aku harap besok kau sudah relaks dan kembali ceria seperti biasa lagi, aku menyayangimu," kata Megantara sambil mengusap pipi Nalini lalu mendaratkan ciumannya di kening Nalini. Nalini memejamkan mata, merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. Apakah pernyataannya yang panjang lebar tadi hanyalah emosi sesaat? Mengapa Megantara bisa menyimpulkan hal itu. Apakah kalimatnya yang harusnya menyakiti hati Megantara karena membahas perpisahan tidak berimbas apa-apa kali ini? Tapi jika tadi Megantara mengiyakan keinginannya, apakah ia akan sanggup menjalani hari esok? Pertanyaan itu berkecamuk di pikiran Nalini. Nalini
Jika Nalini harus dengan jujur menjawab pertanyaan spontan dari Bu Rini, maka jawabannya adalah ya. Sivia dan dia memang ada hubungan darah. Tapi Nalini tentu harus menutup rapat kenyataan itu jika masih mengharapkan hubungannya dan Megantara berjalan baik-baik saja. Terbersit di pikiran Nalini, apakah dia harus jujur saja meskipun nantinya akan terasa pahit? "Terima kasih bu, belum resmi menjadi ibuku saja kami sudah dibilang mirip, nanti setelah bu Nalini jadi ibuku, kami pasti akan jadi pasangan ibu dan anak yang sangat serasi," jawaban polos itu muncul begitu saja dari mulut Sivia dengan wajah berbinarnya. Nalini yang justru sedang melamun itu langsung kembali ke kesadarannya. "Wah. Manis sekali," Bu rini mengelus kepala Sivia dengan pelan lalu menatap Nalini dengan tatapan penuh tanya. Mungkin nanti malam Nalini akan diinterogasi habis-habisan karena Bu Rini pasti mengira aku akan segera menikah dengan pria yang sedang dekat denganku alias Megantara. "Bu Rini, kami akan berjal
Siang ini Nalini baru saja selesai menemani dan mengawasi para murid TK yang menunggu jemputan dari keluarga. Setelah semua murid pulang waktunya Nalini bersih-bersih ruangan memasak agar rapi dan jauh dari kuman untuk digunakan di kemudian hari.Ponselnya berbunyi, Nalini menghentikan aktivitasnya sejenak lalu mengambil ponselnya di saku blazzernya. Melihat nama ibunya terpampang membuat Nalini terkejut. Tidak biasanya sang ibu menghubunginya nika tidak ada hal yang mendesak. Apakah ada kabar yang tidak mengenakkan terjadi? Apakah ada suatu hal yang baru dan membuat ayahnya marah lagi? Itulah beberapa hal yang selalu membebani pikiran Nalini. "Hallo, ibu," Nalini menerima panggilan telepon tersebut. "Nak, apakah kau sibuk siang ini?" tanya sang ibu. "Tidak bu, sebentar lagi aku pulang kerja. Apakah ada suatu hal yang ingin ibu sampaikan padaku?" tanya Nalini hati-hati. "Ya. Aku ingin bertemu denganmu, Nak. Bisakah kita bertemu?" tanya sang ibu lagi."Tentu saja, Bu. Aku akan sa
Megantara sedang mengikuti rapat intern di salah satu meeting room hotelnya. Dia mengamati gerak gerik Niko yang sepertinya sangat tidak fokus. Pikiran pria itu menerawang dan tangannya memutar-mutar pena yang ia pegang. "Pembahasan lebih lanjut dan keputusannya saya umumkan saat rapat selanjutnya. Untuk kali ini saya cukupkan dulu. Instruksi saya untuk kalian, sekarang kalian bisa mempersiapkan keperluan yang sudah menjadi tanggung jawab kalian masing-masing saja,"Semua anggota yang ikut rapat segera kembali ke tempat kerjanya masing-masing. Kini tinggal tersisa Megantara dan Niko di dalam ruangan tersebut. Megantara sedang menatap Niko dengan penuh selidik. Sedang memikirkan apa pria di hadapannya itu? Seperti memikirkan hal yang bisa menyebabkan dunia runtuh saja. Sampai-sampai dia tidak sadar bahwa rapat sudah selesai. "Ehm.. ehm..," Megantara berdehem dengan sedikit kencang. Niko akhirnya tersadar dan terkejut mengamati bahwa ruangan sudah sepi. "Kemana yang lainnya?" Tanya
Nalini mendengar ada keributan di depan. Semua pegawai restoran dan chef penasaran dan akhirnya keluar dari dapur untuk menyaksikan apa yang terjadi. Seorang gadis sedang memegang pisau steak yang berukuran kecil tapi tajam. Sedangkan pria di depannya hanya berdiri tegang."Apa kau memutuskanku karena kau bosan denganku dan berselingkuh? Tunjukkan padaku gadis mana yang kau sukai. Tunjukkan padaku siapa yang bisa membuatmu berpaling dariku," teriak gadis itu sambil tetap mengarahkan pisau itu pada pergelangan tangannya sendiri. "Inilah salah satu alasan aku sudah muak denganmu. Kau terlalu emosional. Kau selalu merasa menjadi korban jika kau sedang bermasalah dengan seseorang. Aku sudah lelah bersabar. Tapi jujur aku tidak pernah berselingkuh darimu," sang pria didepannya menjawab dengan nada gugup. Dia sebenarnya malu karena banyak orang yang kini memperhatikan mereka. Mereka tentu saja menjadi pusat perhatian. Tapi belum ada orang yang berani untuk menghentikan aksi perempuan itu.
Nalini menduga jika Megantara saat ini menangis. Dia ingin melepaskan pelukannya tapi dicegah oleh Megantara yang semakin mengeratkan pelukannya. "Tunggu dulu, biarkan aku memelukmu seperti ini," kata Megantara. Tangannya menghapus bulir air mata yang memang menggenangi matanya. Pria itu memang menangis seperti dugaan Nalini. Nalini menghirup aroma tubuh Megantara dalam-dalam. Siapa yang tidak betah dan tak nyaman berada dalam kehangatan ini?"Maafkan aku," kata Megantara lagi. "Mengapa kau meminta maaf? Kau tidak berbuat salah sama sekali," jawab Nalini. "Melihatmu terluka seperti ini membuatku merasa tidak berguna karena tak bisa menjaga dan melindungimu," nada bicara Megantara begitu pelan dan penuh penyesalan. "Ini bukan salahmu. Aku yang tidak hati-hati. Aku hanya berpikir untuk mencegah hal yang lebih buruk terjadi. Oh ya, aku baru ingat. Bagaimana dengan gadis itu sekarang?" Pelukan Nalini terlepas. Dia menatap Megantara dengan khawatir. "Niko masih menahannya di restoran
"Lepas, lepaskan aku!" Pinta Nalini sambil menepuk-nepuk punggung Megantara. Tapi Megantara tidak menghiraukan dan tetap berjalan. Semua mata memandang ke arah mereka. "Pak, lepaskan. Pasti orang-orang akan berpikiran buruk tentang kita," kata Nalini dengan suara lirih. "Biarkan saja, aku tidak peduli. Kau tidak menuruti perintahku untuk beristirahat di rumah sampai lenganmu pulih. Jadi terimalah akibatnya," kata Megantara. Pria itu terus berjalan tanpa mendengarkan protes Nalini sampai mereka di depan mobil Megantara. Megantara memasukkan Nalini ke dalam mobil dan diapun ikut masuk. Duduk di kursi kemudi. "Aku akan mengantarmu pulang," kata Megantara dengan nada tegas. "Tapi aku masih memakai seragamku," kata Nalini menunjuk baju koki yang masih melekat di tubuhnya. "Kau bisa membawanya lagi saat kau sudah pulih dan kembali bekerja," jawab Megantara. "Aku sudah tidak apa-apa, kau tidak perlu berlebihan seperti ini," kata Nalini lagi-lagi membujuk Megantara. "Kau akan kenapa-k
Bobby memutuskan untuk memberitahu Starla perihal Nalini. Dia tau ini tak mudah baginya. Tapi hati kecilnya ingin Starla bahagia."Nalini adalah kakak dari mendiang istri Megantara. Dan sepertinya Megantara belum mengetahuinya," kata Bobby mengawali cerita. Satu kalimat dari Bobby bisa membuat Starla membelalakkan matanya. Ini informasi bombastis yang tidak ia sangka-sangka. "Kau serius? Atau hanya bercanda?" Starla mencoba memastikan kembali. "Untuk apa aku bercanda? Tidak ada untungnya untukku. Aku sudah payah mencari informasi ini. Sampai harus membuntutinya setiap hari," kata Bobby. "Lalu Nalini sudah mengetahui hal ini?" Tanya Starla lagi. Dia tertarik untuk mengorek informasi lebih dalam. "Kurasa dia sudah mengetahuinya," kata Bobby."Tapi apa untungnya untukku? Berhubungan dengan mantan dari saudara juga bukan sebuah masalah," kata Starla kembali lesu. "Menurutmu, untuk apa Nalini bersusah payah menyembunyikan fakta ini dari Megantara jika tidak ada masalah dibaliknya?" B