"Siapa yang masuk rumah sakit?" tanya Starla penasaran saat Megantara memutuskan sambungan teleponnya dan terlihat panik."Ayah mertuaku, maksudku ayah Nalita dan Nalini," jawab Megantara.Starla memberengut karena dia yakin setelah ini pria di hadapannya itu akan langsung pergi meninggalkannya demi menuju orang yang masih ia anggap sebagai ayah mertuanya. "Maafkan aku tapi aku harus segera kesana. Kau bisa pulang sendiri kan?" kata maaf yang keluar dari mulut Megantara tentu saja membuat luluh hati Starla. Dia tidak akan mempermasalahkan hal sepele semacam ini. "Baiklah. Aku tidak apa-apa. Semoga ayah mertuamu baik-baik saja," kata Starla. Megantara tak menjawab namun hanya mengangguk dan segera berjalan meninggalkan Starla. Megantara melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ibu mertuanya menelpon sambil menangis dan mengatakan bahwa ayah mertua dilarikan ke rumah sakit karena terkena serangan jantung. Tiga puluh menit kemudian Megantara sudah sampai di rumah sakit tempat ayah
Megantara mengangguk. Tapi dia tidak nampak bahagia. Ibu mertuanya bisa merasakan itu. "Seharusnya calon pengantin bisa tersenyum senang dan bahagia kan? Kau tidak perlu merasa tidak enak padaku. Meskipun di suasana seperti saat ini, mendengar kabar bahagia harus dengan bahagia juga," kata Ibu Mertua sambil tersenyum. Megantara ikut tersenyum. Senyum ibu mertuanya sangat mirip dengan senyum Nalini. Mengapa dia baru menyadari ini sekarang. "Untuk urusan pernikahanku aku akan menceritakannya lain kali. Sekarang aku akan memesan tiket pesawat untuk menjemput Nalini. Aku tidak memiliki nomor kontaknya yang baru," Megantara mengotak atik ponselnya. ***Kini secepat kilat Megantara sudah berada di depan restoran tempat Nalini bekerja. Tapi, dia tidak bisa masuk karena sudah tutup. Ini memang sudah larut malam. Dia terburu-buru dan memesan tiket pesawat tanpa memperkirakan pukul berapa dia akan sampai. Kini yang bisa dia lakukan adalah menginap di sebuah hotel. Besok pagi dia akan menem
"Terima kasih sudah menjemputku meskipun jauh. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu," kata Nalini saat mereka sudah turun dari pesawat. "Kau mau kemana?" tanya Megantara saat Nalini sudah berjalan menjauhinya. "Aku mau ke rumah sakit," jawabnya. "Ikutlah denganku. Aku akan mengantarmu," kata Megantara sambil menunjuk tempat parkir. Megantara memang memarkirkan mobilnya sejak sebelum berangkat ke Jogja. Nalini berpikir sejenak. Dia ingin menolak karena berlama-lama bersama Megantara membuat hatinya galau lagi. "Aku harus mengantarkanmu sampai ke hadapan ibu," kata Megantara. Tidak boleh ada penolakan. Nalini menunduk, mau tak mau dia harus menurut. Lagi-lagi sifat bos yang dimiliki Megantara muncul. Nalini ingat betul sifat ini Megantara tunjukkan saat mereka baru saja mengenal. Saat berpacaran, Megantara berubah lemah lembut dan kini dia kembali ke setelan awal. "Apa yang kau pikirkan, ayo," kata Megantara saat Nalini masih saja berdiam diri, tak mengikuti langkahnya. Nalini te
Nalini menghentikan langkahnya saat dirinya berpapasan dengan Megantara dan Starla. "Kau ada disini? Aku pikir kau sudah hidup di tempat yang jauh dan tidak akan kembali," sapa Starla dengan wajah penuh kepura-puraannya. Starla sebetulnya tau jika Megantaralah yang telah membawa Nalini pulang ke Jakarta. Dia menyewa seseorang untuk memata-matai Megantara selama masa sebelum pernikahan mereka. Starla sengaja mengajak Megantara untuk memeriksakan kandungannya ke dokter spesialis kandungan di rumah sakit tempat dimana ayah Nalini dirawat. Kebetulan dokter spesialis itu adalah kenalannya, jadi dengan liciknya dia meminta dokter untuk memberikan keterangan palsu kepada Megantara mengenai usia kandungannya.Dan keberuntungan sepertinya selalu berada di pihak Starla. Mereka benar-benar dipertemukan. Nalini tak menjawab. Dia hanya terdiam dan mengamati tangan Starla yang masih saja bergelayut manja dengan Megantara dan Megantara tak menepis itu. Megantarapun hanya berdiri diam sambil menat
Bobby memasuki rumah sakit lagi setelah memastikan Starla dan Megantara pergi menggunakan mobil. Dia menuju ruangan dimana menjadi tempat Starla dan Megantara periksa tadi. Tertulis bahwa disana adalah poli obgyn. Bobby mengenal seorang dokter yang berpraktek di ruangan itu. "Maaf, Pak. Anda tidak bisa masuk sembarangan. Apakah Anda akan memeriksakan istri Anda yang sedang hamil?" tanya seorang perawat. "Aku ingin bertemu dengan dokter Andre," kata Bobby langsung pada intinya. "Maaf, dokter Andre sedang memeriksa banyak pasien. Anda sudah membuat janji dengan beliau?""Belum," Bobby menggeleng. "Kalau Anda berkenan, Anda bisa menunggu karena tinggal tersisa dua pasien lagi untuk siang ini," jawab perawat dengan sopan. "Baiklah. Aku akan menunggu,"Bobby menunggu dengan sabar sampai akhirnya empat puluh menit kemudian, sang dokter keluar dari ruangan. "Ndre," panggil Bobby. "Eh, Bobby. Sedang apa kau ada disini?" "Aku ingin berbicara denganmu," kata Bobby sambil menyeret dengan
Starla berjalan mundur beberapa langkah dari Megantara. Dia mengangguk paham, "Ternyata kau belum bisa membuka hatimu untukku. Apakah kau masih mencintai Nalini?"Megantara tak bisa menjawab. Dia juga bimbang dengan perasaannya. Cinta dan benci memiliki perbedaan yang sangat tipis baginya. "Gadis itu sudah jelas-jelas meninggalkanmu. Apakah kau tidak merasa bahwa harga dirimu sudah diinjak-injak olehnya?""Beri aku waktu. Akupun tidak tau akan mudah mana, melupakannya atau belajar mencintaimu," kata Megantara. Karena jika mencintai Starla adalah hal yang mudah, sejak dulu Megantara sudah bisa melakukannya. Bahkan bisa sebelum dia menikah dengan Nalita. "Apa sesulit itu membuka hatimu padaku? Sebentar lagi kita akan memiliki seorang anak," tanya Starla dengan mata berkaca-kaca."Kau tau betul bagaimana nasib istriku sebelumnya. Dia tak pernah ku cintai meskipun dia sudah berjuang meregang nyawa saat melahirkan darah dagingku. Posisimu masih jauh lebih baik karena aku tidak pernah mem
"Akhirnya ayah diperbolehkan pulang," kata Nalini sambil memeluk lengan ayahnya. Mereka berdua sedang berjalan perlahan memasuki rumah setelah lebih dari satu minggu ayah di rawat di rumah sakit. "Selamat datang kembali di rumah, Tuan," tanya para pelayan yang berkumpul di ruang tamu rumah besar milik keluarga Nalini. Ayah Nalini tersenyum melihat semua berkumpul, "Aneh sekali. Mengapa kalian repot-repot menyambutku. Aku baru saja dari rumah sakit. Bukan memenangkan penghargaan.""Kalian terlihat gembira dan bersemangat sekali?" Ibu Nalinipun ikut heran. "Ini semua berkat kehadiran Nona Nalini. Dia memberikan keceriaan dan aura positif pagi para asisten rumah tangga di sini," kata salah satu asisten rumah tangga yang kebetulan paling senior. Dia sudah bekerja di keluarga itu sejak Nalini dan mendiang Nalita masih sangat kecil. Sang ayah merangkul pundak anaknya dengan lembut, "Seharusnya ayah yang membuat acara penyambutan untukmu."Nalini menggeleng, "Dengan kondisi ayah yang ber
Sivia berlari menuju ke taman milik omanya. Disana banyak tanaman hias yang membuat pemandangan segar. Tapi hati Sivia tetap kusut. Dia bertemu dengan sosok yang ingin ia temui segera, tapi mengingat apa yang terjadi dia menganggap bahwa pertemuannya sekarang sia-sia. Dia sudah terlanjur kecewa. Sivia menangis sambil terduduk di gazebo yang ada di taman. Beberapa saat kemudian Nalini ikut menyusulnya dengan duduk di sampingnya. "Sivia, mengapa menangis?" tanya Nalini. Tapi Nalini bertanya begitu juga sambil menangis. Nalini begitu merindukan gadis kecil di hadapannya itu. Sivia menoleh ke arah Nalini, "Bu, mengapa baru sekarang kau muncul lagi. Aku rasa semua sudah terlambat.""Apa yang kau maksudkan? Maafkan ibu, tapi bisakah kau memeluk ibu dulu? Bu Nalini sangat merindukanmu," kata Nalini sambil merentangkan tangannya. Sivia langsung berhambur memeluknya. Pelukan pelepas rindu yang begitu memuncak. Nalini kini merasa sangat bersalah karena dia menyakiti hati si kecil dengan kepe