Starla berjalan mundur beberapa langkah dari Megantara. Dia mengangguk paham, "Ternyata kau belum bisa membuka hatimu untukku. Apakah kau masih mencintai Nalini?"Megantara tak bisa menjawab. Dia juga bimbang dengan perasaannya. Cinta dan benci memiliki perbedaan yang sangat tipis baginya. "Gadis itu sudah jelas-jelas meninggalkanmu. Apakah kau tidak merasa bahwa harga dirimu sudah diinjak-injak olehnya?""Beri aku waktu. Akupun tidak tau akan mudah mana, melupakannya atau belajar mencintaimu," kata Megantara. Karena jika mencintai Starla adalah hal yang mudah, sejak dulu Megantara sudah bisa melakukannya. Bahkan bisa sebelum dia menikah dengan Nalita. "Apa sesulit itu membuka hatimu padaku? Sebentar lagi kita akan memiliki seorang anak," tanya Starla dengan mata berkaca-kaca."Kau tau betul bagaimana nasib istriku sebelumnya. Dia tak pernah ku cintai meskipun dia sudah berjuang meregang nyawa saat melahirkan darah dagingku. Posisimu masih jauh lebih baik karena aku tidak pernah mem
"Akhirnya ayah diperbolehkan pulang," kata Nalini sambil memeluk lengan ayahnya. Mereka berdua sedang berjalan perlahan memasuki rumah setelah lebih dari satu minggu ayah di rawat di rumah sakit. "Selamat datang kembali di rumah, Tuan," tanya para pelayan yang berkumpul di ruang tamu rumah besar milik keluarga Nalini. Ayah Nalini tersenyum melihat semua berkumpul, "Aneh sekali. Mengapa kalian repot-repot menyambutku. Aku baru saja dari rumah sakit. Bukan memenangkan penghargaan.""Kalian terlihat gembira dan bersemangat sekali?" Ibu Nalinipun ikut heran. "Ini semua berkat kehadiran Nona Nalini. Dia memberikan keceriaan dan aura positif pagi para asisten rumah tangga di sini," kata salah satu asisten rumah tangga yang kebetulan paling senior. Dia sudah bekerja di keluarga itu sejak Nalini dan mendiang Nalita masih sangat kecil. Sang ayah merangkul pundak anaknya dengan lembut, "Seharusnya ayah yang membuat acara penyambutan untukmu."Nalini menggeleng, "Dengan kondisi ayah yang ber
Sivia berlari menuju ke taman milik omanya. Disana banyak tanaman hias yang membuat pemandangan segar. Tapi hati Sivia tetap kusut. Dia bertemu dengan sosok yang ingin ia temui segera, tapi mengingat apa yang terjadi dia menganggap bahwa pertemuannya sekarang sia-sia. Dia sudah terlanjur kecewa. Sivia menangis sambil terduduk di gazebo yang ada di taman. Beberapa saat kemudian Nalini ikut menyusulnya dengan duduk di sampingnya. "Sivia, mengapa menangis?" tanya Nalini. Tapi Nalini bertanya begitu juga sambil menangis. Nalini begitu merindukan gadis kecil di hadapannya itu. Sivia menoleh ke arah Nalini, "Bu, mengapa baru sekarang kau muncul lagi. Aku rasa semua sudah terlambat.""Apa yang kau maksudkan? Maafkan ibu, tapi bisakah kau memeluk ibu dulu? Bu Nalini sangat merindukanmu," kata Nalini sambil merentangkan tangannya. Sivia langsung berhambur memeluknya. Pelukan pelepas rindu yang begitu memuncak. Nalini kini merasa sangat bersalah karena dia menyakiti hati si kecil dengan kepe
"Rencana baik tidak perlu ditunda-tunda kan, ayah ibu. Jadi wajar jika mereka segera menikah," kata Nalini berkomentar. Tentu saja komentar yang bertolak belakang dengan isi hatinya. "Bu Nalini bisa datang ke acara pernikahan ayah? Aku tidak ingin datang. Tapi jika aku harus berada di acara itu, tolong temani aku," kata Sivia yang masih yang berpindah ke sisi Nalini. Oma dan Opa menghela napas. Dia tau dengan pasti bahwa pernikahan ini tidak dikehendaki oleh Sivia. Tapi mereka tidak ada hak untuk melarang Megantara menikah lagi. Dia sudah cukup lama menduda. Dia berhak mencari kebahagiaannya. Nalini mengelus rambut Sivia, "Sebetulnya besok bu Nalini harus berangkat ke Jogja. Tapi minggu depan bu Nalini akan usahakan untuk hadir dan menemanimu. Kau tidak perlu khawatir. Kau harus tampil cantik di hari spesial ayah." Senyum tulus Nalini berikan pada Sivia. Tatapan Sivia seperti menanyakan padanya apakah hatinya baik-baik saja. Ayah ibunyapun menatap dengan cara yang sama. Megantara,
"Saya harus kembali menetap di Jakarta. Itu permintaan dari orangtua saya," kata Nalini. Hening sejenak. Haris masih mencerna apa yang sedang disampaikan oleh Nalini. "Maksudmu, kau harus mengundurkan diri dari posisi chef di restoran ini?" tanya Haris masih tak percaya. Firasat buruknya benar terjadi. "Ya. Dengan berat hati saya harus melakukannya. Maaf karena saya membatalkan kontrak yang sudah saya setujui saat mulai bekerja disini. Saya bersedia membayar ganti rugi karena ini murni kesalahan saya. Saya juga akan mencarikan pengganti saya untuk bekerja di sini jika Anda berkenan," kata Nalini menjelaskan. "Mencarikan pengganti? Apa bisa semudah itu mencari pengganti," tanya Haris tak percaya. "Tentu saja bisa. Maaf sebelumnya jika saya lancang, sejak saya memutuskan untuk kembali menetap di Jakarta saya sudah menyebarkan info tentang lowongan chef di restoran ini melalui grup-grup sosial media yang berisi para chef. Sudah ada 10 orang yang menghubungk saya dan menyatakan keter
Nalini mengetuk pintu ruang kerja ayahnya dan langsung masuk. "Ayah, mengapa ayah memaksakan diri untuk be-" Nalini yang mengoceh tak jelas langsung menghentikan ocehannya ketika melihat ternyata sang ayah sedang berdiskusi dengan seseorang yang sangat Nalini kenal. Megantara. "Oh, kau yang mengantar makanan ayah? Kapan kau sampai di Jakarta?" tanya sang ayah sambil beranjak dari duduknya lalu mengambil dua tas yang Nalini bawa. "Aku baru sampai dan aku langsung kemari karena mendengar ayah sudah berangkat bekerja," jawab Nalini. "Ayah sudah sehat. Lagipula Megantara kali ini banyak membantu," kata sang ayah sambil memberesi berkas yang berserakan di meja tamu dan memulai membuka tas berisi makanan buatan ibu."Apa Pak Megantara tidak sibuk mengurus hotel dan pernikahannya?" celetuk Nalini. "Megantara membantu ayah karena kolega ayah adalah teman baiknya. Dia juga banyak tau soal bisnis ayah. Tidak sepertimu," kata ayah membela Megantara. "Dan urusan pernikahan semua sudah beres
"Nalini, kau benar-benar tidak apa-apa datang ke acara ini?" Tanya sang ibu sambil menggenggam tangan Nalini. Mereka masih berada di mobil. Tapi mobil mereka sudah sampai di depan gedung Mega Hotel. Tempat dilaksanakannya pernikahan Megantara dengan Starla hari ini mungkin sekitar 60 menit dari sekarang. Sang ayah yang duduk di samping supir juga menunjukkan raut khawatir, "Jika kau tidak ingin ikut masuk ayah tidak akan memaksamu. Tidak ada keharusan untukmu datang.""Aku sudah berjanji pada Sivia akan menemaninya. Dia tidak ingin sendiri saat melihat ayahnya menikah dengan gadis lain yang akan menjadi ibu tirinya," jawab Nalini. "Baiklah. Jika kau tidak berubah pikiran dan yakin dengan keputusanmu, ayo kita masuk," kata sang ayah. "Aku tau sebenarnya berat untukmu," ibu berbisik saat sang ayah sudah keluar dari mobil. "Tidak masalah bu," jawab Nalini sambil menyunggingkan senyumnya. Mereka masuk ke hotel dan berjalan menuju aula. Baru beberapa kerabat yang sudah hadir karena me
Starla kebingungan. Dia harus menanggapi dengan cara apa. Bukti yang ditunjukkan oleh Bobby begitu jelas. Dia menatap Bobby dengan tatapan marah. "Aku merekam ini sesungguhnya bukan karena untuk menjebakmu atau mengambil keuntungan darimu, tapi aku ingin menyimpan kenangan manis kita. Aku sadar kau tidak menginginkanku. Tapi mendengar kau hamil tentu saja pikiranku berubah. Aku ingin kita merawat bayi kita bersama-sama. Bukan malah melimpahkan tanggung jawab pada pria lain," kata Bobby terdengar tulus. Starla membuang muka. Lalu beralih menatap Megantara yang kini menatap jijik padanya, "Kak, tolong aku. Jangan batalkan pernikahan ini," air mata jatuh bercucuran dari mata Starla. Ibu Starla yang terlalu terkejut akhirnya justru jatuh pingsan. Beruntung ayah Starla dengan reflek menangkap sang ibu ke dalam dekapannya. Sedangkan Niko mendekat ke arah Starla dengan tatapan geram. Ditamparnya Starla dengan tangan kanannya secara keras. "Tindakanmu sangat memalukan. Aku tidak menyangka