"Rencana baik tidak perlu ditunda-tunda kan, ayah ibu. Jadi wajar jika mereka segera menikah," kata Nalini berkomentar. Tentu saja komentar yang bertolak belakang dengan isi hatinya. "Bu Nalini bisa datang ke acara pernikahan ayah? Aku tidak ingin datang. Tapi jika aku harus berada di acara itu, tolong temani aku," kata Sivia yang masih yang berpindah ke sisi Nalini. Oma dan Opa menghela napas. Dia tau dengan pasti bahwa pernikahan ini tidak dikehendaki oleh Sivia. Tapi mereka tidak ada hak untuk melarang Megantara menikah lagi. Dia sudah cukup lama menduda. Dia berhak mencari kebahagiaannya. Nalini mengelus rambut Sivia, "Sebetulnya besok bu Nalini harus berangkat ke Jogja. Tapi minggu depan bu Nalini akan usahakan untuk hadir dan menemanimu. Kau tidak perlu khawatir. Kau harus tampil cantik di hari spesial ayah." Senyum tulus Nalini berikan pada Sivia. Tatapan Sivia seperti menanyakan padanya apakah hatinya baik-baik saja. Ayah ibunyapun menatap dengan cara yang sama. Megantara,
"Saya harus kembali menetap di Jakarta. Itu permintaan dari orangtua saya," kata Nalini. Hening sejenak. Haris masih mencerna apa yang sedang disampaikan oleh Nalini. "Maksudmu, kau harus mengundurkan diri dari posisi chef di restoran ini?" tanya Haris masih tak percaya. Firasat buruknya benar terjadi. "Ya. Dengan berat hati saya harus melakukannya. Maaf karena saya membatalkan kontrak yang sudah saya setujui saat mulai bekerja disini. Saya bersedia membayar ganti rugi karena ini murni kesalahan saya. Saya juga akan mencarikan pengganti saya untuk bekerja di sini jika Anda berkenan," kata Nalini menjelaskan. "Mencarikan pengganti? Apa bisa semudah itu mencari pengganti," tanya Haris tak percaya. "Tentu saja bisa. Maaf sebelumnya jika saya lancang, sejak saya memutuskan untuk kembali menetap di Jakarta saya sudah menyebarkan info tentang lowongan chef di restoran ini melalui grup-grup sosial media yang berisi para chef. Sudah ada 10 orang yang menghubungk saya dan menyatakan keter
Nalini mengetuk pintu ruang kerja ayahnya dan langsung masuk. "Ayah, mengapa ayah memaksakan diri untuk be-" Nalini yang mengoceh tak jelas langsung menghentikan ocehannya ketika melihat ternyata sang ayah sedang berdiskusi dengan seseorang yang sangat Nalini kenal. Megantara. "Oh, kau yang mengantar makanan ayah? Kapan kau sampai di Jakarta?" tanya sang ayah sambil beranjak dari duduknya lalu mengambil dua tas yang Nalini bawa. "Aku baru sampai dan aku langsung kemari karena mendengar ayah sudah berangkat bekerja," jawab Nalini. "Ayah sudah sehat. Lagipula Megantara kali ini banyak membantu," kata sang ayah sambil memberesi berkas yang berserakan di meja tamu dan memulai membuka tas berisi makanan buatan ibu."Apa Pak Megantara tidak sibuk mengurus hotel dan pernikahannya?" celetuk Nalini. "Megantara membantu ayah karena kolega ayah adalah teman baiknya. Dia juga banyak tau soal bisnis ayah. Tidak sepertimu," kata ayah membela Megantara. "Dan urusan pernikahan semua sudah beres
"Nalini, kau benar-benar tidak apa-apa datang ke acara ini?" Tanya sang ibu sambil menggenggam tangan Nalini. Mereka masih berada di mobil. Tapi mobil mereka sudah sampai di depan gedung Mega Hotel. Tempat dilaksanakannya pernikahan Megantara dengan Starla hari ini mungkin sekitar 60 menit dari sekarang. Sang ayah yang duduk di samping supir juga menunjukkan raut khawatir, "Jika kau tidak ingin ikut masuk ayah tidak akan memaksamu. Tidak ada keharusan untukmu datang.""Aku sudah berjanji pada Sivia akan menemaninya. Dia tidak ingin sendiri saat melihat ayahnya menikah dengan gadis lain yang akan menjadi ibu tirinya," jawab Nalini. "Baiklah. Jika kau tidak berubah pikiran dan yakin dengan keputusanmu, ayo kita masuk," kata sang ayah. "Aku tau sebenarnya berat untukmu," ibu berbisik saat sang ayah sudah keluar dari mobil. "Tidak masalah bu," jawab Nalini sambil menyunggingkan senyumnya. Mereka masuk ke hotel dan berjalan menuju aula. Baru beberapa kerabat yang sudah hadir karena me
Starla kebingungan. Dia harus menanggapi dengan cara apa. Bukti yang ditunjukkan oleh Bobby begitu jelas. Dia menatap Bobby dengan tatapan marah. "Aku merekam ini sesungguhnya bukan karena untuk menjebakmu atau mengambil keuntungan darimu, tapi aku ingin menyimpan kenangan manis kita. Aku sadar kau tidak menginginkanku. Tapi mendengar kau hamil tentu saja pikiranku berubah. Aku ingin kita merawat bayi kita bersama-sama. Bukan malah melimpahkan tanggung jawab pada pria lain," kata Bobby terdengar tulus. Starla membuang muka. Lalu beralih menatap Megantara yang kini menatap jijik padanya, "Kak, tolong aku. Jangan batalkan pernikahan ini," air mata jatuh bercucuran dari mata Starla. Ibu Starla yang terlalu terkejut akhirnya justru jatuh pingsan. Beruntung ayah Starla dengan reflek menangkap sang ibu ke dalam dekapannya. Sedangkan Niko mendekat ke arah Starla dengan tatapan geram. Ditamparnya Starla dengan tangan kanannya secara keras. "Tindakanmu sangat memalukan. Aku tidak menyangka
Nalini mematut dirinya di cermin. Kini dia sudah selesai dirias. Diapun sudah memakai baju yang seharusnya dipakai oleh Starla. Kebetulan sekali ukuran tubuh mereka hampir sama. Hanya saja selama ini Nalini tidak pernah memperhatikan penampilannya sehingga tak menyadari tubuh semampainya sudah seperti seorang model papan atas."Sepertinya waktu kita hampir habis. Ayo kita mengantar pengantin kita ke aula," kata salah satu perias sambil tersenyum puas terhadap hasil pekerjaannya. Nalini nampak ragu ketika harus berjalan. Dia masih tidak percaya jika harus menikah secepat ini. Megantara memang tipe idealnya. Cintanya pada Megantara juga masih ada. Tapi pernikahan macam apa ini? Tidak ada lamaran. Tidak ada kata cinta. Dia hanya seperti mempelai pengganti. Agar keluarga Megantara tidak malu jika harus mengumumkan pembatalan pernikahan. Salah satu perias menggaet tangan Nalini dan menuntunnya berjalan. Mau tak mau langkah Nalini menjadi lebih cepat dan kini mereka sudah berada di pintu
Nalini baru saja selesai membersihkan dirinya. Badannya sangat lelah karena seharian berdiri menjadi ratu sehari. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan mendapati Megantara sudah tertidur. Dia menatap Megantara agak lama. Pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Akan jadi seperti apa hubungan mereka kedepannya. Nalini tiba-tiba takut, berada di sampingnya dalam kondisi tak dicintai namun dibenci pasti akan sangat sulit. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus menjalaninya. Takdir menuntunnya untuk bisa pasrah dan menerima. Nalini berjalan ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Megantara. Memiringkan tubuhnya membelakangi Megantara lalu menarik selimutnya sampai menutupi sebagian wajahnya. Itu yang bisa ia lakukan sekarang karena Nalini sangat membutuhkan tidur nyenyak. Keesokan harinya, Megantara terbangun lebih dahulu dan melihat Nalini masih tertidur pulas di sampingnya. Kini giliran Megantara yang menatap lekat wajah gadis polos yang kini menjadi istrinya. Tersirat rasa lela
Nalini merasa bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memang tidak terbiasa memanggil Megantara dengan namanya saja atau sebutan lain. Selalu dengan sebutan Pak. Dulu saat masih berpacaranpun dia kesulitan dan tidak biasa memanggil dengan sebutan tidak formal. Sivia terkekeh melihat ekspresi Nalini. Megantara tak menolong sama sekali. Dia sedang berkutat pada makanannya yang sebetulnya sama sekali tidak penting karena tidak ada rasanya bagi lidah pria itu. "Kau bisa memanggilnya dengan sebutan kak, mas, atau sayang," ujar ibu mertuanya. "Maaf, aku belum terbiasa," jawab Nalini sambil menggeleng pelan. "Tara, menurutmu istrimu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Ajarilah dia," goda sang ayah. Megantara terlihat berpikir lalu menatap Nalini dengan tatapan yang sulit diartikan. Nalini paling tidak bisa ditatap dengan intens seperti itu jadi dia menunduk. "Aku terserah saja, pilihan ketiga juga tidak buruk," jawab Megantara dengan nada datar. Nalini buru-buru me